Analisa Harian Rasisme dan Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Papua

Rasisme dan Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Papua

-

Pasca kematian George Floyd yang ditangkap Polisi Minneapolis, pada 25 Mei 2020 dengan tuduhan membeli rokok menggunakan uang palsu, membuat puluhan ribu orang berdemonstrasi di Amerika hingga menyebar sampai lebih dari 75 negara. Masa memprotes tindakan  seorang Polisi berkulit putih bernama Derek Chauvin, yang mengakibatkan Floyd meninggal secara tragis. Pada video yang beredar luas, Derek Chauvin menindih lutut kirinya di antara kepala dan leher Floyd. Akibat dari tindakan itu, Floyd tidak bisa bernafas dan akhirnya pria Afrika-Amerika itu meninggal dunia. Kematian Floyd yang tragis itu, tidak saja memantik aksi warga Afrika-Amerika dan solidaritas orang-orang Amerika berkulit putih di negara Paman Sam. Tetapi juga kematian Floyd memantik solidaritas kemanusian di beberapa negara di dunia, seperti di Berlin-Jerman, pusat kota London, Italia, Kanada, Irlandia, hingga ke seluruh dunia.

Apa yang terjadi kepada George Floyd seorang Afrika-Amerika bukanlah hal yang baru bagi orang-orang kulit hitam atau Afro Amerika, di United State (US). Tetapi merupakan masalah yang berabad-abad tidak dapat diselesaikan, yakni rasisme. Dan rasisme di Amerika adalah hasil kontruksi sosial atau pemebelajaran masyarakat sebagaimana kata Jane Elliott, juru bicara kampanye melawan rasisme.

“Rasisme adalah perilaku yang dipelajari. Tidak seorang pun dilahirkan dengan perasaan superior. Keungggulan diajarkan, dan itu yang kami (orang kulit putih Amerika) ajarkan di negara ini.” Katanya.

Disamping itu, masalah Floyd yang dinyatakan sebagai tindakan rasisme itu juga kemudian dikait-kaitkan sama dengan nasib orang Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun hal itu dibantah oleh Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid. Politisi dari Partai Golkar itu mengatakan bahwa tidak relevan bila kasus kematian Floyd di Amerika Serikat dikaitkan dengan diskriminasi terhadap etnis Papuakarena beda konteks dan kepentingan.

“Jangan sama. Tidak ada relevansinya karena beda konteks dan kepentingan.” katanya.

Disamping itu,  menurut Direktur Amnestty Internasional, Usman Hamid, bahwa sebenarnya masalah ini ada kesaamannya. Usman menegaskan, bahwa ada kemiripin antara kasus Floyd dan orang Papua di Indonesia.

“Ada kemiripan antara kasus Georger Floyd dan orang Papua di Indonesia. Sama-sama menjadi korban rasisme.” katanya.

Sebagaimana terhadap orang Papua, rasisme sitematik terhadap orang-orang kulit hitam di Amerika juga memiliki akar yang panjang.” katanya lagi.

Menurut saya, apa yang dikatakan Direktur Amnesty Internasional itu benar. Bahwa peristiwa yang membuat Amerika terbakar, juga membunyikan bel peringatan kepada warga Amerika dan masyarakat dunia bahwa rasisme itu masih ada. Serta membuka mata Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia terkait persoalan rasisme.

Peristiwa rasisme terhadap orang Papua sudah ada juga saat Papua bergabung dengan Indonesia melalui perjanjian New York Agreement, 15 Agustus 1962 antara Belanda, Indonesia, dan Amerika. Perjanjian yang dibuat di Kota New York, Amerika Serikat. Yang paling fundamental adalah perjanjian penting ini tidak melibatkan orang Papua. Orang Papua dianggap bodoh dan tidak bisa berfikir soal nasib dan masa depannya sendiri oleh Indonesia pada saat itu.

Dalam sejarah negara Amerika, pernah—dua periode negara super power itu—dipimpin oleh seorang Afrika-Amerika, yaitu Barac Obama. Namun warga kulit hitam Amerika hingga kini masih mendapatkan perlakuan rasisme. Amerika bahkan melewati berbagai perjuangan terhadap rasialisme, seperti perjuangan Marthen Luther King, tetapi upaya ini hanya kecil dari perjuangan menghapuskan rasisme di Amerika.

Demikian dengan Papua, walau bukan menjadi presiden, tetapi sudah ada orang Papua yang mengisi posisi-posisi menteri dalam kabinet kepresidenan Indonesia. Juga menjadi Pangdam, Kapolda, Gubernur, Wali Kota, dan lain-lain. Namun perlakukan merendahkan manusia lain terhadap manusia lain berdasarkan warna kulit masih terus dialami masyarakat adat Papua sejak bergabung dengan Indonesia.

Perlakuan tersebut dilakukan, baik langusng oleh negara melalui kebijakan politik, ekonomi dan hukum, juga dilakukan warga negara Indonesia berkulit putih, secara individu.

Saya melihat bahwa ini seakan direncakanakan dan terkonstruksi oleh kapitalisme. Kapitalisme memelihara rasis di rakyat untuk kepentingan kapitalisme terus berlanjut. Pada tanggal dimana kejadian tragis yang menimpa Floyd, seorang kulit hitam Afrika-Amerika di Minneapolis Amerika Serikat pun menimpa, Justinus Silas Dimara, seorang kulit hitam West Papua di Kota Jayapura-Papua.  Justinus S. Dimara, pada 25 Mei 2020 mendapatkan perlakuan kejam dari  aparat kepolisian Resort Kota Jayapura yang melakukan patroli penertiban sosial masyarakat guna pencegahan penyebaran pandemi Covid-19. Pada saat patroli, seorang polisi non Papua melakukan penyemprotan dengan air dari mobil water canon ke arah Justinus.

Akibat penyemprotan itu, Dimara terlempar dan kepalanya terbentur trap tangga Cafe Tenderloin, Hamadi, hingga meninggal dunia. Peristiwa tragis yang menimpa Justinus itu dapat dikatakan sebagai tindakan rasisme. Dikatakan rasisme bukan saja karena dilakukan oleh seorang Polisi non Papua. Tapi juga karena di wilayah Indonesia lain selama penarapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar guna menekan penyebaran pandemik covid-19. Tidak ada kasus penertiban manusia dari polisi yang mengakibatkan seorang meninggal dunia, tentu kecuali Papua.

Selain kematian Justinus yang fakta peristiwanya sengaja disembunyikan aparat dengan memutarbalikan fakta di beberapa media, ada juga perlakuan hukum yang tidak adil bagi orang Papua. Beberapa aktivis politik dan mahasiswa asli Papua ditangkap paska peristiwa rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Mereka ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan makar ketika melakukan aksi protes rasisme di Papua. Mereka dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Papua dengan hukuman penjara yang lebih berat dibandingkan dengan pelaku rasisme di Surayaba. Mereka adalah Buctar Tabuni 17 tahun penjara, Agus Kosaya 15 tahun penjara, Steven Itlay 15 tahun penjara, Alex Gobay 10 tahun penjara, Ferry Gombo 5 tahun penjara, Hengky Hilapok 5 tahun penjara, dan Irwanus Uropmabin 5 tahun penjara.

Sementara Tri Susanti sebagai Koordinator aksi pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya, juga sebagai pengarah masa rasis di Surabaya hanya dituntut satu tahun penjara hanya dan di vonis 7 bulan penjara di potong masa tahan oleh hakim. Padahal perbuatan pelaku adalah perbuatan merendahkan harkat dan martabat, serta perbuatan yang sangat meresahkan orang Papua dan merendahkan harkat dan martabat orang Papua.

Tri Susanti sebenarnya terbukti sebagai pelaku rasisme. Tapi dihukum ringan oleh negara. Sementara orang Papua yang menjadi korban rasis lalu memprotes tindakan rasisme tersebut dihukum berat. Padahah, pengibaran bendera Bintang Kejoa dan teriakan Papua merdeka adalah ekspresi massa pendemo yang tidak terima dengan perlakuan rasisme. Juga teriakan Papua merdeka dan pembentangan bendera Bintang Kejora. Bagi saya apa yang dilakukan yang dijadikan 7 Tapol di Balikpapan, Kaltim adalah tindakan yang bukan rasis dan tidak merendahkan Indonesia.

Perbedaan sangsi hukuman yang dituntut tiga orang JPU Kejaksaan Tinggi Papua, Yafet R. Bonai, S.H., M.H., Ismail Nahumarury, S.H., M.H., dan Adrianus Tomana, S.H., M.H., kepada Buctar Tabuni adalah perlakuan yang tidak adil dan diskriminasi. Sebagaimana yang dikakatan Direktur Lembaga Bantuhan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, bahwa timpangnya putusan hukum adalah bentuk ketidakadilan dan diskriminasi.

“Putusan JPU sangat tidak adil dan diskriminasi. Serta melanggar surat edaran Jaksa Agung tentang pedoman penyusunan tuntutan yang menyebutkan jangan ada disparitas.” katanya.

Perlakuan rasisme dalam hukum pun dialami orang kulit hitam di Amerika. Jauh sebelum George Floyd dibunuh, perlakukan tidak manusiawi oleh polisi kulit putih selalu terjadi. Ada 20an kasus hukuman mati tanpa pengadilan muncul sebagai budaya baru untuk mengatur kehidupan orang kulit hitam di Amerika. Pengadilan terhadap orang kulit hitam di Amerika seakan direncanakan sebelum pengadilan.

“Hukuman mati tanpa pengadilan terhadap orang kulit hitam Amerika tidak hanya direncanakan tapi juga didukung penuh aparat kepolisian.” Kata pejuang anti hukuman mati tanpa pengadilan, Ida B. Wells-Barnett.

Dari beberapa fakta peristiwa di atas, maka penulis menegaskan kembali, bahwa perlakuan rasisme terhadap orang kulit hitam di Amerika dan yang dialami orang Papua di Indonesia adalah buah apel di belah dan tak ada bedanya. Memiliki kesamaan yang kental. Dan pohon dari buah “apel bernama rasisme itu adalah kolonialisme.

Praktek kolonialisme telah berakar di Papua. Di Amerika sejak dulu manusia kulit hitam hanya dijadikan budak oleh orang kulit putih yang merasa yakin memiliki kedudukan lebih tinggi dari orang kulit hitam. Bahkan bias negatif dari hasil pembelajaran atau kontruksi sosial itu, dulunya dilindungi dalam konstitusi Amerika. Perilaku dan sikap kolonial yang merasa lebih hebat dan lebih maju pun ada ditubuh dan otak negara Indonesia dan sebagian besar warga negaranya, sejak 1960an sampai hari ini.

Sejak dulu,  orang Papua itu dipandang negatif. Atau dibilang berbadan bau, pemabuk, pengacau, bodoh, terbelakang, dan tidak punya peradaban maju. Lebih sakitnya lagi, dianggap seperti binatang, monyet, dan lain-lain. Sehingga hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya orang Papua, serta sumber daya alamnya harus dikontrol oleh hukum dan alat kekerasan milik negara melalui TNI dan Polri yang rasis, demi kepentingan negara yang kolonialistik.

Untuk melawan kolonialisme dan kapitalisme, tidak ada solusi lain, selain perasaan senasib dan sepenanggungan atau semangat nasionalisme kebangsaan harus menjadi senjata rakyat Papua. Berbicara hanya anti rasisme hanya berpeluang mengevaluasi sistem kolonialisme Indonesia, tapi tidak bisa menggulingkannya. Yang bisa melawan dan menghancurkannya adalah gerakan revolusioner dengan senjata nasionalisme kebangsaan Papua.

Philipus Robaha
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa)

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan