Kabupaten Keerom merupakan bagian dari provinsi Papua yang letaknya berbatasan langsung dengan Negara Papua New Gunea (PNG). Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayapura berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 2001, dan menjadi kabupaten definitif pada 12 April 2003 (Paradoks Papua, Cypri J. Dele & John Djonga; 13). Jika, kita menghitung usia kabupaten ini dari tahun 2003 hingga sekarang maka, usia kabupaten Keerom sudah berumur 17 tahun. Selama 17 tahun masayarakat Keerom tidak pernah mendapatkan keadilan yang setara. Sehingga masyarakat bersama dewan adat beberapa kali melakukan protes yang sama sekali tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah Keroom.
Realitas yang memprihatinkan justru terjadi ketika pergantian posisi bupati yang baru masyarakat Keerom justru berada dalam situasi yang terancam. Dalam pemerintahan saja banyak hak-hak para pegawai yang tidak pernah dibayar. Buntut dari itu beberapa kali bupati kemudian demo. Selain itu kasus dinas kesehatan Keerom yang memprihatinkan. Sejumlah kepala puskesmas di beberapa distrik melayangkan protes terbuka dengan melakukan pemalangan kantor dengan menuntut agar kepala dinas diberhentikan karena hak-hak mereka sama sekali tidak pernah dibayar. Wajah kabupaten Keerom hingga usia yang ke 17 tahun ini tidak pernah berubah dari sisi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sangat berbanding terbalik ketika melihat realitas masyarakat transmigrasi dibanding masyrakat asli Keroom sendiri. Ada pembangunan yang tumpang tindih dan berat sebelah. Cenderung perekonomian lebih berpihak kepada mereka yang lain sedangkan masyarakat asli miskin di atas tanahnya sendiri. Ini bukan karena masyarakat asli Keroom pemalas, bukan juga karena mental masyarakat yang sudah tergerus arus zaman. Ini merupakan kesalahan dalam kebijakaan yang dibuat dan dilakukan oleh pemerintah daerah Keroom itu sendiri.
Masyarakat Keerom saat ini merasa bahwa mereka tidak mampu lagi menampung berbagai macam persoalan yang menimpanya di atas tanah leluhurnya. Oleh sebabnya, mulai muncul gerakan rakyat atau “aliansi Pencaker” dengan melakukan demostrasi bertahap hingga puncak pelampiasan amarah pada Kamis, 1 Oktober 2020 pukul 5:35 WP. Yang mana masa merusak dan membakar Kantor Dinas Tenaga Kerja (DISNAKER) dan Badan Pemberdayaan Masyarakt Kampung (BMPK).
Gerakan Rakyat dengan merusak dan membakar Kantor DISNAKER dan BMPK merupakan “buntut dari ketidakpuasan masayarakat Keerom terhadap pengumuman hasil CPNS formasi 2018. Ini bukan kesalahan masyarakat tetapi kesalahan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah daerah tidak berpihak kepada rakyat kecil terutama orang asli Keerom dan mereka yang sudah hidup lama di Keerom. Mereka tidak puas karena 20% untuk orang asli Papua dan 80% untuk Non Orang Asli Papua, yang mana pemerintah daerah tidak bisa menerjemahkan UU Otsus, Jurnal Reformasi, Kamis, 1/10/2020. Dengan demikian jelas bahwa wajah ketimpangan Otsus di Papua tercermin lewat ketidakadilan yang terjadi di Kabupaten Keroom.
“Shock Terapi” Pada Kebijakan Pemerintah Daerah
Konflik di kabupaten Keroom yang berpuncak pada pembakaran kantor DISNAKER dan BMPK merupakan “shock terapi” dari masyarakat asli yang menuntut keadilan bagi kesejahteraan hidup mereka. Kebijakan pemerintah yang cenderung berat sebelah menjadi buntut persoalan yang panjang dan tidak akan pernah terselesaikan di Keroom. Masyarakat asli Keroom benar-benar tersisih di atas tanah mereka sendiri. Bayangkan saja dari hasil pengumuman CPNS yang keluar. Banyak kejadian yang memprihatinkan. Banyak “wajah baru” di Keroom yang tembus dengan mudah sedangkan mereka yang sudah honor bertahun-tahun harus menelan pil pahit ketika hasil yang tidak memihak mereka. Para “siluman” memainkan peran mereka dalam pemerintahan daerah kabupaten Keroom. Sehingga yang lulus pun adalah mereka yang “siluman”. Tempat tinggal tidak jelas, unsur nepotisme yang cenderung tinggi, banyak wajah baru yang berKTP Keroom tetapi sehari-hari tinggal di Kota Jayapura. Orang-orang ini sudah sejak lama merusak jalannya kebijakan dan jalannya roda pemerintahan di Kabupaten Keroom. Mereka menjadi ‘pencuri’ yang merusak masyarakat asli. Persiapan kader bagi generasi Keroom melalui pendidikan juga berjalan di tempat. Hasilnya adalah kuota untuk orang asli Keroom direbut semua oleh mereka yang “tidak jelas”.
Dengan melihat realitas di atas maka saya berpendapat bahwa peristiwa pembakaran dan pembongkaran Kantor DISNAKER dan BMPK adalah “shock terapi” dan awal kebangkitan dan kesadaran orang asli Keerom atas identitas dirinya bahwa mereka masih ada di Tanah Keerom. Tanah Keerom bukanlah tanah kosong tapi masih ada orang. Yang kedua adalah reaksi terhadap ketidakadilan yang sedang dipraktekan oleh elit penguasa di Keerom. Yang ketiga adalah mau menunjukkan bahwa masih banyak persoalan yang terjadi di Kab. Keerom dan tidak dapat diselesaiakan. Misalnya, masalah pembukaan perkebunan kelapa sawit besar-besaran, pengambilan kayu secara illegal, pemberdayaan Sumberdaya Manusia yang tidak terkordinir baik, pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan dan “carut marut” dan masih banyak lagi kasus lainnya yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Jika seorang pemimpin mengedepankan prinsip keadilan dan keberpihakan kepada masayarakat, dengan pengabdian total kepada masyarakat sesuai dengan tugas yang mestinya. Saya yakin masyrakat tidak akan melakukan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada merusak fasilitas umum. Karena mereka merasa puas dengan kInerja dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah. Aksi protes dapat terjadi karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah yang tidak memuaskan harapan dan cita-cita luhur terbentuknya Kabupaten Keerom yaitu keadilan dan keberpihakan yang bermuara pada kesejateraan bersama (Bonum Comune). Semoga kejadian seperti ini tidak lagi terjadi di Kabupaten Keerom.