Ekopol Desing Pesawat di Tengah Konflik Adat: Studi Atas Pembangunan...

Desing Pesawat di Tengah Konflik Adat: Studi Atas Pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas, Kampung Kamanap, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua

-

Oleh: Philipus Robaha

Sumber Tulisan, buku; Berhala-berhala Infrastruktur (Potret dan Paradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus), diterbitkan oleh ELsam Jakarta pada Desember 2020,  6 Esai dari Peneliti dan Penulis Muda Papua.

 

“Yang kitong dapat dari pembangunan bandara itu, dengar bunyi pesawat dan lihat pesawat turun-naik di kitong punya kampung, itu saja.” (Johan Songgeni, Kepala dewan adat suku Busami, Kamanap, 25 Agustus 2019)

22 Agustus 2019. Gerimis siang itu menciptakan pelangi di langit Kampung Kamanap[1], Distrik Kosiwo-Yapen Selatan, Kabupaten Kepulauan Yapen. Pemandangan indah bagi siapapun yang baru pertama kali menyusuri kampung tersebut. Indah sekaligus sepi. Gerimis seperti menyirap semuanya, termasuk Bandara Stevanus Rumbewas.

Landasan pacu berukuran 1600m x 30 m nampak kosong. Tidak ada aktivitas penerbangan dan pendaratan. Tak satupun pegawai operasional bandara terlihat hadir di terminal bandara. Demikian juga ruko-ruko di sekitarnya. Bandara baru milik pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen itu seakan libur. Semua sepi dan terasa sunyi. Kesunyian yang selaras dengan informasi publik terkait dampak pembangunan bandara yang tidak pernah sampai ke masyarakat pemilik hak ulayat.

Pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas sejak awal memang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat Kampung Kamanap dan Kampung Panduami, dua kampung yang menjadi lokasi pembangunan bandara. Selain tiadanya informasi publik, muncul anggapan bahwa pembangunan bandara telah mengubah hidup orang-orang di Kampung Kamanap dan Panduami secara sosial dan ekonomi. Sebelum ada bandara, masyarakat dua kampung itu merasa kehidupan sosial mereka relatif rukun. Keseharian mereka sebagai orang kampung disibukkan dengan aktivitas perkebunan dan pertanian yang melibatkan interaksi tolong-menolong antar warga. Mereka biasanya menjual sebagian besar hasil kebun dan pertanian dan sisanya untuk konsumsi domestik. Komoditas sayur dan kakao, dalam pandangan warga kebanyakan, dipandang cukup menyejahterakan hidup mereka secara ekonomi, setidaknya dibandingkan dengan kehidupan pasca pembangunan bandara.

Tulisan ini akan melihat lebih jauh dampak sosial, budaya, dan ekonomi serta dampak lingkungan pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas terhadap masyarakat Kampung Kamanap dan Panduami terutama bagi mereka yang terdampak oleh pembangunan bandara.[2]

 

Stevanus Rumbewas, Tanah Orang Busami, dan Kisah Awal Pembangunan Bandara

Stevanus Rumbewas. Nama bandara ini diambil dari nama tokoh dari Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen.[3] Stevanus lahir di Serui pada tahun 1908. Sempat menjadi Kapten Tituler Angkatan Laut Indonesia. Pada 1969, Stevanus menjadi delegasi dari Kepulauan Yapen (waktu itu masih menjadi kecamatan) untuk mengikuti pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Kota Biak. Penentuan pendapat rakyat yang dimenangkan oleh militer Indonesia itu mengantarkan Stevanus Rumbewas menjadi tokoh terkemuka di Kepulauan Yapen.

Peran Stevanus Rumbewas dalam Pepera membuatnya memiliki pengaruh yang kuat di mata masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Yapen-Waropen. Pengaruh itulah memungkinkan Stevanus Rumbewas pada tahun 1980 mendorong penyerahan tanah orang-orang Busami, salah satu suku asli di Kepulauan Yapen, sebagai lokasi transmigrasi (Tim Peduli Tanah Bandara Kamanap 2011). Cerita soal penyerahan tanah ini masih diingat betul oleh masyarakat sekitar. [4] Di atas lokasi tersebut itulah hari ini berdiri Bandara Stevanus Rumbewas.

Kisah pengalihan lahan transmigrasi menjadi lahan bandara dimulai pada tahun 1996 atau dua tahun sebelum diktator Soeharto diturunkan dan rejim Orba selesai. Drs. Laban Samori, Bupati Yapen-Waropen waktu itu, melakukan kunjungan kerjanya ke Kampung Kamanap dan melakukan tatap muka dengan masyarakat. Salah satu hasil tatap-muka Bupati Samori dengan masyarakat di tahun 1996 adalah pengalihan fungsi tanah yang diserahkan oleh Stevanus Rumbewas pada tahun 1980 menjadi lokasi pembangunan bandara. Kesepakatan antara masyarakat adat Kampung Kamanap dengan Bupati Samori di tahun 1996 itulah yang dipakai oleh pemerintah Kabupaten Yapen pada tahun 2000 untuk membongkar hutan dan perkebunan milik masyarakat, guna membangun bandara baru menggantikan bandara Sudjarwo Tjondronegoro.  Tahun 2014, Bandara Stevanus Rumbewas mulai beroperasi.

Awalnya, pembangunan bandara ini dimaksudkan untuk melayani rute Serui-Biak (PP) dan Serui-Jayapura (PP). Tujuannya tak lain untuk mempersiapkan kampung Kamanap sebagai salah satu calon ibu kota kecamatan ketika terjadi pemekaran wilayah Kabupaten Yapen-Waropen[5]. Frans Sanadi, Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen ketika ditemui langsung oleh penulis  di ruang kerjanya, pada hari Kamis tanggal 3 Oktober 2019 menyampaikan bahwa pembangunan Bandara Kamanap (demikian Bandara Stevanus Rumbewas sering disebut oleh masyarakat sekitar) merupakan tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen. Ke depannya, Pemkab Kepulauan Yapen menginginkan bandara tersebut dijadikan tukar guling dengan bandara lama, Bandara Sudjarwo Tjondrogero, milik Dinas Perhubungan Udara Kabupaten Kepulauan Yapen.

Bandara Sudjarwo Tjodronegoro adalah bandara peninggalan pemerintah kerajaan  Belanda. Memiliki luas dan panjang landasan pacu antara 650 X 20 m, bandara ini termasuk dalam ukuran bandara terpendek yang ada di Indonesia dan hanya bisa diterbangi pesawat jenis Twin Otter dengan kapasitas penumpang 12 orang.  Berada di pusat kota Serui, Bandara Sudjarwo Tjondronegoro dianggap menjadi hambatan bagi pembangunan ibu kota Kabupaten Kepulauan Yapen. Apalagi, ditinjau dari aspek keselamatan dunia penerbangan, tata posisi landasan pacu pesawat bandara Sudjarwo Tjondrogero tidak searah dengan datangnya angin barat [6] sehingga membahayakan keselamatan penumpang.[7]  Selain itu, tidak searahnya posisi bandara dengan kedatangan angin barat membuat sering ada masalah dengan waktu pendaratan pesawat dan jadwal penerbangan pesawat. Hal ini yang kemudian menjadi alasan pemerintah untuk membangun bandara baru di kampung Kamanap.

Sentimen Orang Asli-Pendatang dan Janji Kompensasi

  1. Status Kepemilikan Tanah dan Sentimen Orang Asli-Pendatang

Papua, sebagaimana slogan kampanye Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Papua (GempaR-Papua), bukan tanah kosong. Hal yang sama pula berlaku untuk tanah yang hari ini menjadi lokasi Bandara Kamanap. Ada masyarakat adat sebagai pemilik tanah adat, orang-orang Busami—masyarakat yang masih memegang prinsip saling menghormati dan menghargai serta saling tolong-menolong sebagai norma sosial dan budaya. Norma sosial dan budaya yang, sebagaimana dirasakan oleh orang-orang Kamanap, berubah drastis pasca pembangunan bandara.

Orang-orang yang penulis temui selama kunjungan ke Kampung Kamanap pada akhir Agustus sampai awal Oktober 2019 menceritakan keluhan yang nyaris sama. Mereka, misalnya, merasa kebersamaan warga Kamanap menguap seiring masuknya bandara ke kampung mereka. Dahulu, apabila ada satu keluarga yang sedang mengerjakan rumahnya, maka tanpa perlu meminta keluarga tersebut akan mendapatkan bantuan warga, terutama tetangga dekatnya. Perempuan akan membantu menyiapkan makanan dan laki-laki akan membantu mengerjakan bangunan rumah. Bantuan itu akan diperoleh hingga rumah yang dikerjakan selesai. Pasca pembangunan bandara, hal semacam itu sulit ditemukan lagi di Kamanap.

kepala suku sebagai pemimpin tertinggi dalam struktur masyarakat adat mengalami pergeseran. Jika dulu kepala suku merupakan sosok yang disegani dan dihormati serta mendapatkan tempat dalam segala aspek terkait hubungan sosial antara warga, sejak masuknya bandara semuanya berubah. Satu peristiwa paling terkenal yang menandai pergeseran ini nilai ini menimpa seorang kepala suku di Kamanap yang juga adalah guru di gereja setempat. Kepala suku tersebut hampir ditebas parang setelah menolak menandatangani surat pelepasan tanah untuk keret atau marga yang mau menjual tanah.[8] Kejadian pemarangan kepala suku ini tidak muncul tiba-tiba.

Sejak bandara masuk ke Kamanap, “perang dingin” memang terjadi di antara sesama masyarakat yang memiliki kepentingan atas lahan garapan di atas tanah bandara dengan pemilik hak adat atas tanah bandara. Perang dingin ini mulai mengemuka sejak Temu Musyawarah Adat Masyarakat Suku Busami pada 2001 memutuskan Marga Aisoki Rombe, sebagai pemilik tanah Bandara.[9] Keputusan ini membuat dua marga Suku Busami yang lain, mengonsolidasikan diri ke Marga Aisoki Rombe dengan melakukan penolakan pembangunan bandara. Posisi ini berseberangan dengan Marga Korwa dan Rumbewas yang ingin melepaskan/menjual tanah bandara kepada pemerintah berdasarkan klaim kepemilikan mereka atas tanah bandara.

Untuk memahami klaim kepemilikan tanah ini, penting mengurut sejarah keberadaan Marga Korwa dan Rumbewas di Kampung Kamanap.

Keberadaan marga-marga dari Suku Biak di tanah Yapen sendiri memiliki sejarah yang panjang. Albert Rumbekwan (Rumbekwan 2019) menulis pada tahun 1840 Von Rosenberg, seorang Zending, melaporkan peristiwa penyerangan di Biak-Numfor yang dilakukan marga Suku Biak dari Pulau Biak terhadap marga Suku Biak lainya di Kepulauan Padaido. Penyerangan itu mengakibatkan nyaris seluruh penduduk di kepulauan itu diserang dan dibunuh habis oleh orang-orang dari Pulau Biak. Akibatnya, sebagian besar penduduk Pulau Miokwundi, pulau tetangga Kepulauan Padaido, yang merupakan marga dari suku Biak berlayar ke Pulau Yapen.

Sejarah migrasi orang Biak ke tempat lain, meskipun demikian, terjadi jauh sebelum penyerangan di Kepulauan Padaido. Sejawaran A.B Lapian berpendapat, migrasi ini didorong oleh persaingan dan peperangan antar suku, kondisi geografis, dan kebudayaan. Albert Rumbekwan sendiri berpendapat bahwa kemarau panjang yang pernah terjadi di tahun 1400-an merupakan pemicu utama Suku Biak melakukan pelayaran ke wilayah-wilayah pesisir utara Papua, salah satunya di Yapen (Wamla, 4 Januari 2016).

Dalam konteks Kampung Kamanap, tidak diketahui persis kapan tepatnya dua marga Suku Biak, yakni Marga Korwa dan Marga Rumbewas datang. Yang jelas, menurut penuturan orang-orang Busami, proses asimilasi orang Biak dengan suku-suku asli telah terjadi selama bergenerasi—salah satunya melalui pernikahan. Proses pernikahan ini yang kemudian membuat mereka, orang-orang Korwa dan Rumbewas, kemudian memiliki hak kelola atas tanah adat Suku Busami. Demikianlah selama beberapa generasi, status hak kelola dua marga Suku Biak ini tidak pernah dipersoalkan.

Sampai kemudian datang proyek pembangunan Bandara Kamanap yang menguarkan sentimen antara marga-marga suku Busami dengan Marga Rumbewas dan Marga Korwa. Hak pengelolaan tanah yang selama beberapa generasi diberikan oleh Suku Busami kepada orang-orang dari Marga Rumbewas dan Marga Korwa mulai digugat. Sentimen dan gugatan hak tanah ini tidak muncul begitu saja. Tahun 1999, setahun sebelum rencana pembangunan Bandara Kamanap benar-benar direalisasikan, Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Kepulauan Yapen Waropen melakukan pengukuran tanah di sekitar lokasi bandara. Proses pengukuran tanah ini kemudian menyebutkan bahwa Marga Rumbewas memiliki 39 hektar tanah adat dan 27 hektar tanah bersertifikat (milik perseorangan); Marga Korwa memiliki 18 hektar ditambah 7,75 hektar tanah yang diambil untuk pembangunan apron bandara yang letaknya berada di wilayah administrasi pemerintah kampung Panduami; sementara Marga Songgeni memiliki 8 hektar tanah. Di luar mereka, tercatat 26 orang individu di luar marga Rumbewas, Korwa dan Songgeni memiliki hak atas tanah, salah satunya Philips Wona, mantan Bupati Yapen Waropen yang memiliki tanah seluas 9.940 m².

Data kepemilikan ini sontak ditolak oleh Suku Bisami. Data ini juga memunculkan konflik terbuka baik di antara marga-marga Suku Busami, atau marga-marga Suku Busami dengan Marga Korwa dan Marga Rumbewas, atau di internal Marga Korwa dan Marga Rumbewas. Marga-marga Suku Busami terlibat saling tuduh telah menerima uang ganti rugi tanah. Sementara di dalam Marga Korwa dan Rumbewas, yang mendukung pelepasan lahan—di antara mereka timbul kecurigaan dan tuduhan telah menerima uang ganti tanah. Lebih dari itu, data BPN tersebut membuat posisi sebagian pemimpin adat Marga Songgeni terbelah.

Seorang warga dari Suku Busami bercerita bahwa ia sering dicurigai oleh kerabat dari keret/marganya sendiri—ia dituduh membawa uang ganti rugi tanah adat marga mereka. Ketika pemerintah memberikan uang ganti rugi di bulan Desember 2019 dengan nominal tidak sesuai dengan proposal yang diberikan oleh marga pemilik tanah, ia dicurigai oleh marganya telah mengambil uang tersebut. Ia pun menampik hal tersebut.“Untuk dapat uang ganti rugi tanah, bapa kitong harus buat proposal dan akan dibayar pada bulan Desember. Tapi dibayar pun tidak sesuai dengan yang kitong minta.”

Perselisihan antara Suku Busami dengan Marga Korwa dan Marga Rumbewas ini terlihat jelas, salah satunya, dalam dua momentum penting yang diselenggarakan di tahun 2001.

Pada tanggal 22-23 Februari 2001, dua tahun pasca pengukuran lahan oleh BPN di Kampung Kamanap, masyarakat adat Suku Busami melakukan sidang dewan adat Suku Busami. Sidang yang dilakukan di tengah acara “Temu Musyawarah Adat Masyarakat Suku Busami” tersebut dilakukan untuk merespon konflik sosial dan budaya pasca pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas, termasuk konflik klaim hak adat atas tanah. Dalam pertemuan itu dibahas sejarah suku Busami, batas-batas tanah milik marga, hak-hak adat masyarakat, hingga pemanfaatan pembangunan Bandara dan hak ganti rugi tanah dan tanaman, serta proses pelepasan tanah adat suku Busami kepada pemerintah guna pembangunan bandara.[10]

Pada tahun yang sama pula Tim Peduli Tanah Bandara Kamanap (selanjutnya disebut sebagai Tim Peduli) dibentuk. Tim ini dibentuk untuk memperjuangkan ganti rugi atas kerugian meteriil meliputi tanah dan tanaman dan non-materiil, yakni dampak sosial dan budaya pasca pembangunan bandara.

Temu Muswarawarah Masyarakat Adat Busami dan Tim Peduli menghasilkan keputusan yang berbeda terkait hak kepemilikan tanah bandara. Perbedaan ini menunjukkan posisi kedua kelompok yang berseberangan.

Di dalam hasil  “Temu Musyawarah Adat Masyarakat Suku Busami” disebutkan bahwa tanah yang diserahkan kepada pemerintah untuk pembangunan Bandara adalah milik Marga Aisoki Rombe. Sehingga, segala hal terkait dengan negosiasi pembangunan Bandara Kamanap harus melalui Marga Aisoki Rombe. Lebih penting, forum “Temu Musyawarah Adat Masyarakat Suku Busami” menyepakati posisi Suku Busami yang menolak penjualan lahan adat untuk pembangunan Bandara Kamanap. Forum menyepakati bahwa seandainya proyek gagal dibatalkan, mereka menuntut pemerintah untuk membayar uang sewa kepada Suku Busami, melalui Marga Aisoki Rombe. sebagai pemilik adat.

Posisi berbeda dimiliki olehTim Peduli. Dalam dokumen proposal “Penyelesaian Tanah Bandara Kamanap-Panduami” disebutkan bahwa tiga marga, yakni Rumbewas, Korwa, dan Songgeni merupakan pemilik hak ulahyat tanah bandara—tanpa ada kepemilikan Marga Isoki Rombe, sebagaimana diamanatkan oleh sidang dewan adat.[11] Dokumen ini mengatur mekanisme penggantian lahan dan tanaman—artinya Tim Peduli dalam posisi menyepakati proses pelepasan lahan atau ganti rugi lahan dan tanaman, artinya berseberangan dengan Suku Busami.

  1. Janji Kompensasi dan “Uang Susu” yang Belum Terpenuhi

Dalam surat Bupati Yapen Philips Wona kepada Ketua Dewan Adat Suku Busami terkait masalah ganti rugi tanah dan tanaman tanah bandara Kamanap pada tahun 2001[12], terdapat keterangan bahwa luas lahan yang diperuntukkan bagi kepentingan pembangunan Bandara Kamanap akan direvisi sesuai kebutuhan. Disebutkan dalam surat tersebut bahwa Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah TK II Yapen Waropen nomor 113 Tahun 1992, tanggal 28 September 1992, dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan. SK Bupati Yapen Waropen sendiri mengatur bahwa harga tanaman terutama non-kakao dibayar dengan harga yang berbeda dengan harga tanaman kakao. Pohon kakao dibayar dengan harga lebih murah karena sebagai komoditas andalan masyarakat, pohon ini ditanam dalam skala yang lebih banyak dibanding tanaman non kakao.

Dalam Surat Bupati Philips Wona, peraturan tersebut disebutkan akan ditinjau kembali karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan, sehingga pemerintah akan mengambil langkah-langkah kompensasi melalui kebijakan berikut:

  1. Mengganti lahan-lahan perkebunan/masyarakat yang tanamannya telah dimusnahkan dan tanahnya terpakai untuk Pembangunan Lapangan Terbang, mulai dari kegiatan land clearing, pembibitan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan dan lain-lain.
  2. Memberikan bantuan bahan makanan berupa beras sebanyak 20 (dua puluh) kg per kepala keluarga selama 1 (satu) tahun
  3. Membangun fasilitas air bersih berupa sumur galian sebanyak 15 (lima belas) titik sambil menjajaki kemungkinan pembangunan air bersih perpipaan, jika sumber air yang tersedia memungkinkan untuk maksud tersebut.
  4. Memberikan bantuan dana bagi anak-anak suku Busami yang sedang melanjutkan pendidikan diberbagai perguruan tinggi.

Dari semua kompensasi yang dijanjikan pemerintah melalui Bupati Philips Wona tersebut, hingga kunjungan penulis di akhir Agustus 2019, yang terealisasi hanya 15 titik sumur galian. Kebanyakan dari sumur-sumur tersebut kini sudah tidak terurus baik oleh masyarakat dan tidak digunakan. Sementara, janji kompensasi untuk pembangunan air perpipaan yang dijanjikan belum terealisasi masih hingga sekarang.[13]

[14]

 

[15]kompensasi yang dijanjikan oleh pemerintah tidak ditepati.

Ketika diwawancarai oleh penulis, Wakil Bupati Frans Sanadi mengatakan bahwa masalah ganti rugi tanah bandara Kamanap dan tanaman berjalan lancar-lancar dan pemerintah telah mengalokasikan dana APBD Kabupaten Yapen untuk pembayaran ganti rugi tanah dan tanaman[16]. Pernyataan Frans Sanadi ini berbeda keterangan warga. Salah satu mantan kepala kampung yang diwawancarai oleh penulis mengatakan bahwa mereka sebagai pemilik hak tanah adat sudah melalukan aksi demonstrasi menuntut hak ganti rugi tanah dan tanaman dengan cara memalang pintu masuk bandara.Tapi sampe sekarang tidak ada jawaban”[17]

Padahal, tanggung jawab pemerintah semestinya melampaui apa yang dituntut oleh Tim Peduli pada 2001. Lebih dari itu, pemerintah mesti mengakui hak-hak orang-orang Kamanap yang menjadi korban pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas tanpa terkecuali. Dari sini, pemerintah semestinya mengetahui bahwa masyarakat Kamanap, baik Suku Busami, Marga Korwa, dan Marga Rumbewas berharap Bandara Udara Stevanus Rumbewas dapat menjadi lapangan kerja bagi masyarakat Kampung Kamanap dan Panduami.[18] Sayangnya, hingga kepemimpinan Bupati Tonny Tesar (2012-2022), masyarakat masih menagih kompensasi yang sama yang pernah dijanjikan Bupati Laban Samori dan Bupati Philips Wona.

Dampak Lingkungan dan Ekonomi

Pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas bukan saja menciptakan bisingan pesawat dan membawa api pertikaian bagi masyarakat kampung Kamanap dan Panduami. Bandara ini juga membawa dampak perusakan lingkungan melalui pembalakan dan penebangan hutan mangrove yang dijadikan tiang-tiang penyangga tanah timbunan di lokasi bandara sebelum dilakukan proses pengerasan tanah bandara dan pengaspalan.  Adalah PT. Arta Makmur Permai dan CV. Parirap yang melakukan pembalakan hutan mangrove. Dua perusahaan ini menebang dan memotong ribuan pohon mangrove berukuran dua meter lalu ditancap di lokasi bandara. Setelah batang pohon mangrove ditancap, lalu diberi alas dari atas dengan terpal kemudian penimbunan lokasi bandara dilakukan. Selain pembabatan hutan mangrove, hutan berisi rotan yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat juga dibabat.[19]

Proses pembangunan bandara membawa cerita tentang kerusakan lingkungan yang lain. Air Kali Sahorata, sumber air bersih terbesar orang-orang Kamanap, yang sebelumya digunakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan mandi, makan, minum dan mencuci kini hanya bisa digunakan untuk mencuci, tercemar akibat pembuangan limbah pembangunan bandara.

Selain memiliki dampak lingkungan, pembangunan bandara di kampung Kamanap dan Panduami telah menggusur ekonomi rakyat, mengorbankan lahan-lahan pertanian pertanian warga. Padahal, di atas bidang-bidang tanah itulah para petani pernah menggantungkan hidupnya dengan menanam tanaman jangka panjang seperti kakao, rambutan, vanili, pisang, langsat, pinang dan durian, juga tanaman jangka pendek seperti sayur-mayur; kacang panjang, cabe, tomat, dan berbagai sayuran lainnya. Ini belum termasuk tanaman hutan seperti rotan yang sebelumnya telah disebutkan. Sebelum pembangunan bandara, tanaman-tanaman jangka panjang dan sayur-mayur serta hasil hutan seperti rotan membuat para petani dan masyarakat di Kamanap dan Panduami sebelum ada bandara hidup layak. Beberapa dari mereka bahkan kerap membanggakan diri sebagai petani berdasi.

Istilah petani berdasi yang dilontarkan oleh beberapa orang Kamanap yang penulis temui merujuk secara berbeda pada makna istilah ini secara umum. Istilah ini di Kamanap tidak merujuk pada para pemilik tanah yang hanya mempekerjakan buruh tani untuk mengolah lahannya tanpa terlibat dalam proses produksi (Rahardi, September 12, 1989), melainkan hanya untuk menunjukkan kebanggaan atas ekonomi mereka sebelum masuknya bandara di Kamanap.

Sebelum pembangunan bandara, para petani ini bekerja sepanjang tahun merawat ladang dan kebun dengan mempekerjakan tenaga buruh pikul ketika musim panen tiba. Dari hasil usahanya tersebut mereka mampu membiayai sekolah anak-anak mereka hingga perguruan tinggi secara mandiri. Tidak hanya itu, para petani sanggup memiliki tabungan di bank serta membeli kendaraan roda dua dengan sistem kredit, yang akan dibayarnya setiap bulan dari hasil panen perkebunan mereka, yang sistem tanamnya telah dijadwalkan atau diatur.  Tanaman sayuran dapat di panen setiap minggu untuk dijual dan dinikmat sendiri sambil menunggu musim panen tanaman jangka panjang (durian, rambutan dan langsat) yang biasanya di panen lalu di jual ke Biak, Manokwari dan Jayapura. Sementara kakao sebagai tanaman produksi utama para petani dapat di panen dua kali dalam sebulan dan dijual kepada tengkulak kakao di Kota Serui.

Ketika pembangunan bandara masuk, para petani berdasi ini kehilangan lahan pertanian dan perkebunan. Tentu saja ini menghilangkan sumber ekonomi dan memporak-porandakan perekonomian para buruh yang bekerja di kebun mereka. Para petani tersebut kini ada yang menjadi buruh penebang pohon, buruh pikul kayu senso, serta pemburu babi hutan dengan cara-cara tradisional. Secara fisik, mereka memang masih bisa melakukan pekerjaan baru pasca kehilangan tanah, namun pekerjaan-pekerjaan itu jauh dari keahlian mereka sehingga pendapatan sebagai buruh pun jauh lebih kecil dari pada sewaktu menjadi petani.

Cerita YA, salah satu pemimpin adat Busami, bisa menjadi gambaran bagaimana nasib orang-orang yang tergusur oleh bandara dan sekarang menjadi buruh karena tidak punya tanah. Setelah bandara selesai dibangun dan mulai beroperasi, YA bekerja sebagai pegawai honorer dinas perhubungan udara yang ditempatkan di bandara. Menjadi pegawai bandara tidak lantas membuat gajinya mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi YA cukup beruntung karena ia masih bisa berkebun untuk menambal kekurangan gajinya karena masih punya tanah di luar lokasi bandara.

Secara khusus perlu disebutkan di sini bahwa kaum perempuan pun turut merasakan kehilangan pekerjaan mereka yang selama itu menjadi andalanya. Mama M, salah satu perempuan Busami yang penulis temui bercerita bahwa pada hari penggusuran lahannya untuk pembangunan bandara, mengatakan dirinya menangis memikirkan keberlanjutan ekonomi keluarganya yang sebelumnya ia tanggung bersama-sama dengan suaminya. Di hari-hari sebelum ada bandara di kampungnya, Mama M bersama suaminya bertukungkus-lumus mengolah lahan. Dari hasil pekerjaannya itu, mereka menghidupi diri mereka dan membayar uang kuliah anaknya. Maka, ketika alat berat mulai datang ke kampungnya merampas lahan yang menjadi tumpuan hidup keluarganya, keresahan besar memenuhi pikiran Mama M.

“Kalau kebun sudah tidak ada, terus Mama mau bantu ekonomi keluarga bagaimana? Kalau di kota boleh bisa kerja jadi pembantu rumah tangga. Tapi kalau di kampung begini kitong perempuan mau bikin apa? Kebun sudah tidak ada.”

Kesimpulan

Dalam setiap pembangunan infrastruktur, merupakan satu hal yang lazim apabila masyarakat yang hidup di sekitarnya, apalagi yang menjadi korban pembangunan tersebut. mempunyai harapan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang Kamanap dan Panduami, khususnya orang-orang dari Suku Busami. Sayangnya, harapan semacam itu seringkali tidak sesuai dengan yang diimpikan. Penulis telah menggambarkan harapan masyarakat adat Suku Busami terhadap pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas yang terhempas. Harapan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi, terutama yang berada di Kampung Kamanap dan Panduami, tidak terjadi. Di samping hal itu, permasalahan kompensasi dan ganti rugi tanah dan tanaman dari pemerintah masih terus menjadi ganjalan, bagai duri dalam daging yang akan selalu memantik konflik.  Selain dampak terhadap lingkungan dan ekonomi yang dihasilkan, kehadiran pembangunan infrastruktur yang menuai konflik justru berdampak buruk terhadap solidaritas sosial. Masyarakat pada akhirnya akan terpecah. Hal itulah kurang lebih yang terjadi pada masyarakat adat Suku Busami dalam menanggapi pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas.

**

 

Esai-Esai dapat di donwload dalam link: https://elsam.or.id/berhala-berhala-infrastruktur-potret-dan-paradigma-pembangunan-papua-di-masa-otsus/

 

Daftar Pustaka

Rahardi, F. 1989. “Ihwal Petani Berdasi.” Majalah Tempo, September 12. Accessed September 09, 2020. https://majalah.tempo.co/read/kolom/21509/ihwal-petani-berdasi.

Rumbekwan, Albert. 2019. “Peristiwa-Peristiwa Perang Suku/Tradisional Di Pesisir Utara Papua.” In Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Ipteks Dan Seni, edited by Albert Rumbekwan. V. Jayapura: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakan Universitas Cenderawasih.

Tim Peduli Tanah Bandara Kamanap. 2011. “Sejarah Singkat Kampung Kamanap Dan Pembangunan Bandara Kamanap: Proposal Tim Peduli Tanah Bandara Kamanap.”.

Wamla, Ibiroma. 2016. “Suku Biak, Suku Vikingnya Papua.” January 4. Accessed March 20, 2020. https://historia.id/kultur/articles/suku-biak-suku-vikingnya-papua-PMLzX.

Wardani, Dewasasri M. 2014. “Pelabuhan Dan Bandara Baru Diresmikan – Satu Harapan.” Satu Harapan, December 20. Accessed September 09, 2020. http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pelabuhan-dan-bandara-baru-diresmikan.

 

[1] Kampung Kamanap, atau Kamanap, dalam tulisan ini dipakai untuk menunjukkan dua hal. Pertama untuk menyebut nama kampung definitif yang hari ini secara administrasi bertetangga dengan Kampung Panduami. Kedua untuk menyebut ruang hidup orang-orang Suku Busami (yang terdiri dari 3 warga, yakni Aisoki Rombe, Songgeni, dan Moman) dan dua marga Suku Biak yang datang ke Kamanap sejak ratusan tahun lalu, yakni Korwa dan Rumbewas. Penyebutan kedua dipakai karena sampai hari ini, sebagai penulis temukan di lapangan, masyarakat kedua kampung sama-sama menyebut dirinya sebagai “orang Kamanap.” Hal ini dikarenakan kedua kampung ini sebelumnya merupakan satu wilayah administrasi, yakni Kampung Kamanap, sebelum dimekarkan menjadi dua kampung, Kampung Kamanap dan Panduami.

[2] Untuk keperluan penulisan naskah ini, penulis telah melakukan kerja lapangan selama dua minggu, terhitung sejak mulai bekerja pada 21 Agustus 2019. Untuk keperluan penulisan naskah ini, penulis telah melakukan serangkaian wawancara dengan aktor-aktor yang terlibat dalam pembangunan Bandara Stevanus Rumbewas Beberapa nama narasumber tidak ditulis dengan nama sebenarnya karena alasan keamanan.

[3] Kabupaten Kepulauan Yapen sebelumnya bernama Kabupaten Yapen-Waropen, yang dibentuk pada tahun 1969 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969. Pada tahun 2002, melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002, Kabupaten Yapen-Waropen dimerkarkan menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Yapen-Waropen dan Kabupaten Waropen. Pada tahun 2008, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2008, Kabupaten Yapen-Waropen berubah namanya menjadi Kabupaten Kepulauan Yapen.

[4] Penulis mengonfirmasi dalam kunjungan ke Kampung Kamanap pada 24 Agustus 2019.

[5]Surat Bupati Kabupaten Yapen Waropen kepada ketua lembaga musyawarah adat kampung Kamanap, nomor surat:5553/479/SET tertanda Drs. Philips Wona, Bupati Yapen-Waropen. Sebagai lampiran pada dokumen proposal tim peduli tanah bandara Kamanap (2014)

[6]Angin Barat adalah angin yang muncul/turun pada tiap bulan awal bulan Oktober- minggu ke dua bulan Desember dalam setahun dan merupakan angin yang bertiup kencang. Informasi dari beberapa nelayan yang tinggal di pantai Kampung Mariadei-Serui.

[7] Wawancara dengan pegawai BMKG setempat pada hari Minggu tanggal 22 Desember 2019 di rumahnya di Serui.

[8]Wawancara penulis dengan narasumber YS di Kampung Kamanap (25 Agustus 2019).

[9]hasil rumusan tim peduli tanah ada suku Busami (Mahasiswa dan Masyarakat) penulis dapat dari dokumen hasil “Temu Musayarah Adat Masyarakat Suku Busami” 2001.

[10]Terkait soal hasil rumusan tim peduli tanah ada suku Busami (Mahasiswa dan Masyarakat) penulis dapat dari dokumen hasil “Temu Musayarah Adat Masyarakat Suku Busami” 2001 yang diserahkan oleh YA, salah satu tetua adat Suku Busami.

[11] Menarik mengetahui bahwa sekretaris Tim Peduli adalah salah satu tokoh adat Marga Songgeni. Keterlibatan aktor dari Marga Songgeni dalam Tim Peduli, yang sejak awal tidak pernah menolak keberadaan Bandara Kamanap, ini jelas menunjukkan konflik internal di dalam Suku Busami. Meskipun demikian, penting untuk dinyatakan di sini bahwa tidak semua anggota Marga Songgeni bersepakat dengan sikap Tim Peduli.

[12]Surat lampiran dokumen proposal tim peduli tanah bandara Kamanap

[13]Wawancara salah satu kerabat dari Stevanus Rumbewas di kampung Kamanap (25 Agustus 2019).

[14]Uang susu adalah satu istilah filosofis orang Papua untuk menyebut uang ganti rugi tanah sebagai satu entitas yang tidak hanya bernilai komoditas, tetapi sebagai manifestasi dari mama atau ibu. Uang susu sendiri merujuk pada nilai penghormatan dari pihak laki-laki kepada seorang ibu/mama yang melahirkan dan menyusui dan membesarkan anak perempuannya yang ketika diusia dewasa anak tersebut ingin dipinang/diminang sebagai seorang istri dari pihak laki.

[15] Sedikit mengejutkan bagi penulis mendapati tidak adanya konflik terbuka lantaran kekalahan Suku Busami dalam menuntut hak adat mereka. Penulis menduga, situasi ini terkait dengan proses ganti rugi kepada Marga Korwa, Rumbewas, dan Songgeni yang juga belum selesai ketika penulis datang ke Kampung Kamanap.

[16]Wawancara penulis dengan Frans Sanadi, Wakil Bupati Yapen  di ruang kerja wakil bupati (3 Oktober 2019).

[17]Wawancara penulis dengan narasumber di kampung Kamanap (28 Agustus 2019). Narasumber adalah mantan kepala kampung Panduami. Juga sebagai pemilik hak tanah bandara yang dibangun apron bandara.

[18] Belakangan paska pembangunan Bandara Kamanap, malahan, muncul tuntutan masyarakat adat di Kabupaten Yapen mendesak pemerintah daerah membuat peraturan daerah (Perda) tentang harga tanah untuk memproteksi nilai jual tanah di Yapen. Mereka ingin mengantisipasi nasib terburuk kehilangan tanah secara cuma-cuma atau dengan harga murah Ketika proyek pembangunan datang dan mengincar tanah mereka.

[19]Oleh masyarakat setempat, rotan dimanfaatkan dan diolah menjadi beberapa barang bernilai ekonomi, seperti meja, kursi, dan aneka jenis piring.

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan