Oleh: Yohanis Mambrasar
Sumber Tulisan, buku; Berhala-berhala Infrastruktur (Potret dan Paradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus), diterbitkan oleh ELsam Jakarta pada Desember 2020, 6 Esai dari Peneliti dan Penulis Muda Papua.
I. Latar Belakang
Bandara Werur di Kabupaten Tambrauw adalah proyek Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tambrauw yang dibangun dengan dalih percepatan akses untuk peningkatan ekonomi warga. Dengan adanya bandara, warga diyakinkan akan adanya perubahan tingkat kesejahteraan. Pemkab berasumsi keberadaan Bandara Werur akan mempercepat akses transportasi sehari-hari dan mempermudah kegiatan ekonomi warga karena bandara ini menghubungkan warga antar kampung dengan ibu kota Kabupaten Tambrauw maupun dengan kota-kota lainnya seperti Kota Sorong, Manokwari, serta kota-kota lainnya di Provinsi Papua Barat. Selain itu, Pemkab meyakini bahwa pembukaan rute penerbangan komersil domestik akan menyerap potensi wisatawan domestik dan internasional yang datang ke tempat wisata di Papua Barat, khususnya Raja Ampat.[1]
Gambar 1: Bandara Werur (Jasa Logistik 2018)
Berdasarkan keyakinan tersebut, Pemkab Tambrauw kemudian menganggarkan Dana Otonomi Khusus Kabupaten Tambrauw sebesar 15 miliar dalam anggaran Tahun 2012 – 2014 serta menetapkan bekas bandara Sekutu di Kampung Werur sebagai lokasi pembangunan bandara milik Pemerintah Kabupaten Tambrauw (kumparanBISNIS, 13 Februari 2018). Proyek besar Pemerintahan Kabupaten Tambrauw ini kemudian berubah menjadi proyek nasional dengan mendapatkan suntikan dana sebesar 39 miliar dari Kementerian Perhubungan pada tahun 2014 (Fernandez, 22 September 2014) . Bandara ini pun ditetapkan sebagai salah satu proyek Pemerintah Pusat di Papua Barat.[2]
Penetapan ini, sayangnya, mengabaikan aspirasi warga Kampung Werur dan Suku Abun marga Yeblo Sah—dua komunitas warga yang menetap di sekitar areal Bandara Werur. Pengabaian ini kemudian menimbulkan konflik internal karena kemudian masyarakat di sekitar Bandara Werur terbelah di antara sikap pro dan kontra. Pendekatan pemerintah yang hanya melibatkan para elit kampung seperti kepala kampung dan beberapa orang dekat pemerintah melahirkan saling curiga di antara warga Werur dan Abun.
Tulisan ini akan menjelaskan lapisan konflik yang ditimbulkan oleh pembangunan Bandara Werur di Kabupaten Tambrauw. Pada bagian kedua penulis akan menjelaskan akar konflik yang timbul akibat pembangunan bandara. Pada bagian ketiga, penulis akan mengelaborasi tuntutan warga korban pembangunan bandara dan menjelaskan sejauh mana itu mempengaruhi protes warga. Terakhir, penulis akan menunjukkan beberapa temuan terkait fungsi dan manfaat Bandara Werur bagi warga Tambrauw secara umum untuk memberikan latar belakang yang lebih luas mengapa tuntutan warga Werur dan Abun pada akhirnya muncul.
II. Pembangunan Tanpa Kesepakatan
- Orang-orang Bikar dan Abun di Kampung Werur
Kampung Werur, yang menjadi lokasi pembangunan Bandara Werur, merupakan salah satu kampung tua di Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Pasca pemekaran Kabupaten Tambrauw pada 2008, kampung ini turut memekarkan lima kampung baru yaitu Kampung Werur Tambrauw (Wertam), Kampung Werwaf, Kampung Werur Timur (Wertim), Kampung Suyam dan Kampung Bukit. Seluruh wilayah dari Kampugn Werur dan lima kampung pemekaran baru ini sebagian lokasinya masuk dalam areal bandara. Batas pagar bandara berhadapan langsung dengan pagar rumah sebagian warga enam kampung ini. Beberapa rumah warga lainya juga telah dibongkar akibat pembangunan bandara ini.
Kampung Werur didirikan pada tahun 1920-1930-an oleh orang-orang Biak. Mereka, orang-orang Biak pendiri Kampung Werur ini adalah bagian dari orang-orang Biak di tanah Karon[3] yang hari ini dikenal sebagai orang Bikar, akronim dari Biak Karon. Cerita yang beredar di kalangan orang-orang tua Bikar yang penulis temui mengatakan bahwa orang Bikar mulai bermigrasi ke Tanah Karon pada akhir abad 18 hingga awal abad 19. Mereka menghitung masa titimangsa kedatangan orang-orang Bikar ke Tanah Karon dari kedatangan misionaris Jerman Carl Willem Ottow dan Johan Gottlod Gleiser ke Pulau Mansinam pada 1855. Pada saat itu menurut cerita orang tua mereka, orang-orang Bikar bahkan sudah menempati pesisir Tambrauw sebelum Belanda menaklukan Kerajaan Tidore, di masa kejayaan tentara Kurabesi.[4]
Migrasi orang Bikar di Tanah Karon inilah yang menjadi awal mula orang Biak tinggal di Kampung Werur hingga saat ini.
Orang Kampung Werur merupakan gerenasi kedua orang Biak yang menetap di Tambrauw. Sebelum kedatangan mereka, orang-orang Biak telah bermigrasi ke Tambrauw dan menempati pesisir-pesisir di wilayah Tambrauw sampai di wilayah pesisir tempat orang-orang Moi, suku besar di Kabupaten Sorong, berada. Mereka inilah yang pertama kali mengidentifikasi dirinya sebagai warga Biak Karon, atau biasa disebut Bikar. Saat itu, menurut cerita yang berkembang di kalangan orang-orang Bikar, belum banyak orang Abun, satu dari empat suku asli Tambrauw[5], bermukim di daerah pesisir pantai ini. Seorang warga yang penulis temui bahkan berani mengajukan hipotesa bahwa pada saat generasi orang Bikar mulai datang ke Tambrauw, orang-orang Abun semuanya bermukin di dusun-dusun mereka yang terletak di balik gunung—mereka tersebar dalam kelompok-kelompok kecil di sekitar pengunungan Tambrauw. Meskipun demikian, warga Abunlah pemilik tanah di sepanjang pesisir Tambrauw, hingga hari ini. Kampung Werur sendiri, yang sebagiannya menjadi tempat pembangunan bandara, berdiri di atas tanah ulayat marga Yeblo Sah, salah satu marga Suku Abun.
Kontak orang Bikar dengan suku Abun terjadi setelah orang Biak menetap di wilayah yang hari ini dikenal sebagai Kampung Werur dan Kampung Sausapor. Hubungan ini dimulai ketika orang-orang Biak mulai mengenalkan agama pada suku Abun. Dari hubungan ini, setelah sekian lama hidup terpencar-pencar dan nisbi tertutup dari jangkauan pihak luar, orang-orang Abun kemudian membangun kampung-kampungnya sendiri. Hari ini, kampung orang Abun terdekat dari Kampung Werur yang ditinggali oleh banyak orang Abun adalah Kampung Werbes (Werur Besar) dan Kampung Sausapor. Jarak antara Kampung Werbes dengan Kampung Werur sangat dekat yaitu 1 km, sedangkan jarak Kampung Sausapor dengan Werur tidak telalu dekat yaitu sekitar 15 – 20 km.
Betapapun relasi antara orang Bikar di Kampung Werur dan orang Abun telah terjalin sejak lama, hingga hari ini secara demografis Kampung Werur nisbi homogen. Hal ini membuat Kampung Werur berbeda dengan kampung sekitar yang memiliki proporsi penduduk yang cukup besar dari suku Papua lain atau pendatang. Semua narasumber yang penulis temui bahkan mengajukan klaim bahwa semua penduduk Werur adalah orang Bikar.
Klaim ini tidak sepihak karena narasumber dari orang-orang Abun yang tinggal di kampung sekitar, juga mengatakan hal yang sama. Sampai hari ini, orang-orang sekitar Kampung Werur menyebut kampung ini sebagai kampung orang Bikar—sebutan yang tidak didapatkan kampung-kampung lain. Meskipun demikian, penulis menemukan beberapa warga Kampung Werur yang tidak berasal dari Suku Biak. Mereka menjadi orang Werur melalui jalur perkawinan, satu hal yang nampaknya telah terjadi dalam waktu yang lama. Apapun itu, komposisi demografis tersebut telah membentuk model kepemilikan tanah yang khas di Kampung Werur
Tanah dalam sistem adat Abun pada dasarnya dimiliki secara kolektif. Semua anggota marga memiliki dan mengelola tanah secara bersama-sama dengan penguasaan berada di tangan kaum laki-laki secara penuh. Meskipun demikian, laki-laki tidak secara mutlak bisa menentukan penggunaan tanah adat. Perempuan memegang peranan penting dalam penentuan pemanfaatan tanah, sehingga laki-laki Abun harus mendapatkan persetujuan dari perwakilan perempuan yang telah dimandatkan dalam marga sebelum mengambil keputusan penting terkait lahan adat. Ini termasuk juga dalam soal pelepasan tanah untuk pihak atau proyek tertentu yang akan masuk pada wilayah mereka. Adalah kewajiban para lelaki untuk berunding dengan perwakilan perempuan untuk mengambil kesepakatan bersama.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Kampung Werur berdiri di atas tanah adat Marga Yeblo Sah. Posisi ini, meskipun demikian, tidak lantas membuat hak pengelolaan tanah berada di tangan mereka. Selama beberapa generasi, secara adat orang-orang Yeblo Sah telah memberikan hak pengelolaan tanah kepada orang-orang Bikar di Kampung Werur. Tidak ada yang tahu kapan persisnya proses ini berlangsung. Baik orang Bikar dan Orang Yeblo Sah hanya saling mengetahui dan memahami bahwa proses itu telah terjadi sejak masa ketika Kampung Werur baru dibangun. Latar historis ini membuat orang-orang Bikar, orang Werur, miliki hak untuk mendiami serta mengelola atau melakukan pembangunan atas tanah sesuai batas-batas yang telah ditentukan. Hak pengelolaan dan penggunaan tanah inilah yang kemudian diwariskan secara turun-temurun dan yang hari ini dipegang oleh orang-orang Bikar di Kampung Werur.
Laiknya orang Abun, orang Bikar di Kampung Werur juga mengelola lahannya secara kolektif. Proses pengambilan keputusan penggunaan hak kelola pun sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Yang membedakan adalah tidak ada mekanisme persetujuan dari perempuan dalam proses pelepasan lahan. Hal ini karena mekanisme pengalihan fungsi dan kepemilikan lahan hanya ada pada Marga Yeblo Sah. Ini juga termasuk di lahan yang kemudian menjadi lokasi Bandara Werur. Setidaknya mekanisme itu terjaga sampai masuknya proyek pembangunan bandara.
- Penggusuran lahan tanpa sosialisasi dan kesepakatan
Pembangunan Bandara Werur bisa dikatakan telah menggangu sistem kepemilikan lahan yang berlaku di Kampung Werur selama beberapa generasi. Proyek besar pemerintah ini masuk ke Kampung Werur tanpa sosialisasi dan kesepakatan—melangkahi dua hak yaitu hak marga Yeblo Sah sebagai pemilik hak ulayat, yang berkuasa penuh atas wilayah Kampung Werur, termasuk Lokasi Bandara, dan hak orang Werur untuk menetap mengelola tanah tersebut sebagai perkampungan warga, berkebun dan beraktivitas lainnya di sepanjang areal bandara dan seluruh areal Kampung Werur. Tanpa membicarakan tentang berapa luas lahan yang akan dipakai dan nilai ganti rugi yang lazimnya muncul dalam banyak proyek pembangunan manapun, pemerintah mendatangkan mesin buldoser dan ekskavator. Secara sepihak mereka melakukan pengurusan lahan.
Penggusuran lahan ini dimulai pada Bulan September 2012.
Mama Elsa Mayor (50) seorang warga Werur yang lahan kebunnya digusur menuturkan betapa cepatnya proses penggusuran lahan warga terjadi. “Waktu datang sore itu sa ribut (marah) dorang karena dong belum bicara tapi alat berat su turung”. Alat-alat berat beroperasi sebelum ada sosialisasi yang memadai dan negoisasi (wawancara tanggal 17 Agustus 2019).
Pengakuan yang sama juga disampaikan oleh anggota marga Yeblo Sah pemilik hak ulayat yang juga merupakan mantan Wakil Bupati Tambrauw. Mantan wakil bupati tersebut mengatakan bahwa sejak awal pembangunan bandara ini pemerintah tidak melakukan pembicaraan dengan orang-orang Yeblo Sah sebagai pemilik hak ulayat. Artinya, pembangunan bandara dilakukan tanpa ada kesepakatan. Iamembenarkan keterangan yang disebutkan oleh orang Werur perihal tidak adanya kesepakatan pemerintah dengan mereka. Katanya, “Pembangunan prosesnya tidak melibatkan kami punya orang tua BIKAR. Belum ada kesepakatan antara pemerintah, tokoh masyarakat (Bikar) dan pemilik hak ulayat (orang Yeblo Sah) tentang berapa harga permeter, berapa harga ganti rugi tanaman tumbuh”(wawancara tanggal 14 Agustus 2020).
Gambar 2: Aktivitas Pembangunan Bandara (Dokumentasi Penulis)
Proses pengambilan lahan yang tidak transparan dan sepihak tersebut merugikan warga Werur karena menghilangkan kebun serta segala isi tanaman mereka. Kelapa, pisang, mangga dan tanaman buah lainnya, serta beberapa bangunan rumah yang menjadi sandaran dan tempat hidup orang-orang Werur disingkirkan begitu saja dengan dalil pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tanpa proses sosialisasi dan negoisasi yang memadai.
Inisiatif baik dari warga Werur maupun orang-orang Yeblo Sah bukannya tidak pernah ada. Pada September 2012, Warga Werur melalui perwakilan beberapa tokoh muda pernah melakukan audiensi dengan Bupati Tambrauw dikantornya untuk meminta penjelasan Pemerintah atas keberadaan kontraktor yang membawa bulldozer ke lahan warga kampung Werur. Dalam pertemuan itu, mereka meminta Bupati Gabriel Asem, para pejabat terkait, dan pimpinan DPRD Tambrauw melakukan dialog dengan warga Werur untuk menjelaskan rencana pembangunan bandara.
Rapat terbuka antar warga Werur dengan Pemerintah ini kemudian dilakukan pada akhir September 2012 di Balai Kampung Werur. Sayangnya, dalam pertemuan yang dihadiri Bupati dan Ketua DPRD ini, hanya segelintir orang yang terdiri dari Kepala Distrik, Kepala Kampung Werur, dan beberapa orang terdekat kepala kampung yang hadir. Dalam pertemuan ini, tidak ada kesepakatan antara warga kampung dengan Pemerintah. Warga juga tidak mendapat penjelasan tentang besar lahan yang digunakan, kajian AMDAL tentang dampak keberadaan bandara bagi mereka, serta mekanisme pemenuhan hak-haknya atas tanah dan tanaman tumbuh mereka yang digusur. Dalam pandangan warga, Pemerintah telah mengambil keputusan sepihak di hadapan para anggota DPRD, kepala distrik, kepala kampung dan orang-orang terdekatnya.
Gambar 3: Sarlota Yeblo, salah seorang narasumber (Dokumentasi Penulis)
Di luar itu semua, kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang menjadi prasyarat mutlak untuk mendapatkan izin lingkungan dalam setiap aktivitas pembangunan (Pasal 1 ayat (35) UU No. 32 Tahun 2009) kemungkinan besar tidak pernah dilakukan di Werur. Ini karena tidak ada orang Werur yang mengaku pernah terlibat, bertemu, atau sekedar melihat tim survei atau penelitian yang menanyakan rencana pembangunan bandara.
Kesaksian warga ini dikonfirmasi oleh keterangan beberapa warga Werur, salah satunya Yosias Paraibabo, mantan anggota DPRD Kabuapten Tambrauw yang merupakan orang dekat Bupati Gabriel Asem. Mereka mengakui bahwa sebelum pembangunan bandara Pemkab Tambrauw, mereka telah membuat dua forum di Kota Sorong pada 2012 untuk membicarakan pembangunan Bandara Werur. Forum ini dihadiri oleh mereka sebagai perwakilan warga, namun dalam pertemuan itu tidak dijelaskan kajian AMDAL, tidak pula ada proses persetujuan—dalam pertemuan itu pemerintah hanya menjelaskan rencana pembangunan bandara(wawancara tanggal 2 Januari 2020).
Sarlota Yeblo, tokoh perempuan Abun Yeblo Sah, mengatakan bahwa, sebagaimana orang Werur, mereka sebagai pemilik hak ulayat buta juga tidak tahu-menahu informasi pembangunan bandara. “Keluarga (Yeblo Sah) tidak diberikan AMDAL jadi kita buta dengan bandara ini,” tutur Sarlota setelah penulis menjelaskan soal AMDAL dan informasi mengenai dampak pembangunan yang mestinya orang-orang Yeblo Sah juga dapatkan(wawancara tanggal 15 Agustus 2019).
Sosialisasi secara umum dan upaya mendapatkan kesepakatan warga baru dilakukan Pemerintah setelah proyek ini telah dibangun dan setelah warga melakukan protes. Pemerintah menggunakan berbagai cara melakukan pendekatan kepada warga untuk mengambil hati warga agar berkompromi. Beberapa trik digunakan oleh pemerintah untuk menenangkan warga, di antaranya menjanjikan akan merekrut anak-anak mereka sebagai pegawai negeri, memberikan sejumlah uang kepada mereka sebagai uang denda atau uang permohonan maaf karena tanah warga digunakan tanpa adanya kesepakatan, dan bahkan memberikan jabatan kepala kampung kepada beberapa warga pemilik hak ulayat. Sosialisasi AMDAL kepada warga baru dilakukan 2 tahun kemudian yaitu pada Tahun 2014 di Hotel Cartenz Sorong, itu pun hanya dilakukan kepada beberapa orang kepala Kampung dan Tokoh Masyarakat pro pemerintah, sebagai perwakilan warga Werur dan warga Abun. Dalam pertemuan ini, tidak ada pembicaraan tentang kesepakatan antar warga dam pemerintah tentang penggunaan lahan atau tentang nilai ganti rugi.
Setelah sosialisasi tersebut, Pemkab Tambrauw menentukan nilai ganti rugi tanah kepada orang-orang Yeblo Sah sebesar Rp. 10.000 per meter persegi. Harga tanah ini ditentukan tanpa merujuk pada peraturan yang pasti karena Pemerintah berdalih belum memiliki peraturan daerah yang mengatur nilai harga tanah sebagai rujukan pembayaran ganti rugi tanah/lahan bandara. Selain tanah, Pemkab Tambrauw juga menentukan secara sepihak ganti rugi pohon; perpohon, kelapa yang telah berbuah (produksi) dihargai Rp. 200.000, sementara bagi yang belum berbuah dihargai Rp. 100.000. Pohon Mangga dan pohon jambu biji perpohonnya dihargai Rp.300.000-Rp.500.000. Semua tawaran harga ini ditolak oleh orang-orang Yeblo Sah karena sampai bandara diresmikan, mereka merasa belum pernah memberikan persetujuan atas penggunaan lahan bandara (wawancara dengan Yance Padwa tanggal 17 Agustus 2019 dan dengan NY tanggal 15 Agustus 2019) .
Penentuan harga secara sepihak oleh pemerintah ini sangat merugikan warga karena pohon kelapa dan mangga ditanam sendiri dan dirawat selama bertahun-tahun oleh warga, apalagi kedua pohon ini telah menjadi komoditas utama warga dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Nilai yang ditentukan pemerintah ini tidak sebanding dengan pendapatan mereka dari tanaman ini karena nilai penjualan panen kelapa dan mangga dalam satu tahun lebih tinggi dibandingkan harga ganti rugi yang diberikan pemerintah setelah menggusur kebun mereka.
- Tuntutan Ganti Rugi dan Protes Warga
- Tuntutan Ganti Rugi
Hingga kini informasi dan detil proyek yang jamak ditemui di areal pembangunan proyek pembangunan infrastruktur milik pemerintah tidak pernah terpancang di lokasi pembangunan bandara. Sampai bandara selesai dibangun oleh pemerintah, warga Werur dan Abun hanya memperoleh informasi lisan pada pertemuan-pertemuan formal dan informal yang diselenggarakan oleh pemerintah, atau melalui informasi yang sangat minim tersedia di media massa. Informasi pembangunan Bandara Werur ini memang terkesan tertutup. Warga Werur maupun orang-orang Yeblos Sah yang penulis temui secara seragam mengaku tidak mengetahui ihwal pembangunannya, termasuk persoalan administrasinya.
Hingga kini, misalnya, tidak satu pun warga Werur atau warga Abun pemilik hak ulayat mendapatkan dokumen lengkap pembangunan Bandara Werur baik itu berupa RAB, Surat Keputusan Pemerintah, Kajian AMDAL, LPJ Pemerintah dan dokumen-dokumen terkait lainnya tentang pembangunan Bandara Werur. Satu-satunya lembar dokumen yang dimiliki warga adalah sketsa gambar, bagian dari dokumen Master Plan, yang kini dipegang oleh salah satu tetua adat pemegang hak ulayat.[6]
Gambar 4: Sketsa gambar pembangunan bandara lampiran dokumen Master Plan yang dimiliki oleh salah satu tetua adat (Dokumentasi Penulis)
Tertutupnya informasi proyek bandara ini juga terjadi pada kerja sama penggunaan material timbunan (tanah dan batu) yang dilakukan antara warga pemilik material dan pihak kontraktor. Seorang warga bercerita bahwa pemilihan empat warga dan juga penentuan nilai harga tanaman tumbuh sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah. Begitupun kesepakatan dan transaksi pembayaran—semuanya tidak menggunakan bukti tertulis atau menggunakan kwitansi sebagai nota transaksi pembayaran.
Yance Padwa, mantan Kepala Kampung Werur, mengatakan (wawancara tanggal 17 Agustus 2019) bahwa ia bersama warga kampung telah meminta dokumen pembangunan bandara agar warga mengetahui proyek ini. Namun pemerintah terkait dan pihak kontraktor tidak memberikannya tanpa alasan yang jelas. “Tidak jelas,” kata Yance, “kontraktornya siapa, dana proyeknya berapa, tidak ada juga papan info proyek”. Akibatnya warga kewalahan mendeteksi berapa lahan mereka yang digunakan Pemerintah—ini kemudian membuat mereka kesulitan mengetahui berapa kerugian yang mereka alami dan bagaimana mekanisme pemulihan hak mereka.
Apa yang dirasakan oleh Warga Kampung Werur ini jelas bertentangan dengan pernyataan Bupati Tambrauw kepada berbagai media massa. Menurut bupati, tahap pertama pelepasan lahan dan pembersihan lahan telah tuntas dilakukan. Dalam satu keterangan (Sukmana, 22 September 2014) bupati malah membeberkan nilai proyek dan detil proyek termasuk di dalamnya pembayaran ganti rugi tanah dan tanaman tumbuh. “Lahannya 200 hektar, disitu ada hak ulayat dan tanah garapan. untuk garapan kita ganti dana Rp 6 milyar, untuk run way Rp 3 milyar untuk lahan, total Rp 9 milyar,” kata Bupati.
Pernyataan Bupati di atas tidaklah benar karena pada kenyataannya bukan saja tanaman tumbuh dan material timbunan yang belum dilunasi, tetapi juga lahan bandara sepersen pun belum dilunasi Pemerintah. Untuk lahan bandara, pemerintah baru membayar uang denda atau uang malu kepada warga pemilik hak ulayat sebesar Rp. 1.150.000.000 (satu milyar seratus lima puluh juta rupiah); warga Yeblo kemudian membagi uang ini kepada warga di Kampung Sausapor, Werbes, Bikar dan warga Bikar di Werur. Uang denda ini tidak termasuk dalam hitungan uang ganti rugi karena merupakan uang permohonan maaf pemerintah kepada pemilik hak ulayat karena telah melakukan pembangunan bandara tanpa adanya kesepakatan—sesuai mekanisme adat penyelesaian sengketa tanah warga Abun.
Adapun tanaman tumbuh dan material timbunan milik warga tidak dibayar secara seluruhnya. Pemerintah dan pihak kontraktor hanya membayar separuh saja, itupun setelah pemerintah secara sepihak menetapkan harga pembayaran tanaman tumbuh seperti kelapa, mangga, dan jambu biji (geawas). Untuk pohon kelapa, misalnya, oleh pemerintah telah ditentukan perpohon bagi pohon kelapa yang berbuah (produksi) harganya Rp. 200.000 dan yang belum berbuah perpohon harganya Rp. 100.000. Pembayaran ini tidak semuanya terealisasi karena tidak semua tanaman kebun warga dibayar secara baik dan adil.
Mama Regina Mambrasar, salah seorang pemilik kebun yang ikut tergusur, (wawancara tanggal 17 Agustus 2019) mengatakan Pemerintah berjanji untuk melunasi tanamannya telah digusur tetapi hingga penelitian ini dilakukan janji tersebut belum dilunasi. Regina berkata, “pembayaran tanaman tumbuh, bayar separuh, separuh tunggu tapi belum dibayar.” MW, warga lainnya,(interview tanggal 18 Agustus 2019) bercerita tentang upaya dirinya dan beberapa warga untuk bertemu Sekertaris Daerah Kabupaten Tambrauw dalam rangka meminta pembayaran ganti rugi atas penggusuran fondasi bangunan rumah mereka yang berukuran 8×6 meter. “Kami sudah ketemu dengan Sekda, tapi tidak tanggapi.”
- Protes Warga
Sebagaimana dijelaskan oleh penulis di sub-bab sebelumnya, ketidakjelasan informasi dan ketidakjelasan proses ganti rugi lahan dan tanaman merupakan problem yang sejak awal muncul dalam proses pembangunan Bandara Werur. Problem-problem tersebut juga sejak awal telah menimbulkan banyak protes langsung dari warga setempat. Protes warga ini secara umum terdiri dari dua bentuk. Pertama, protes yang dilakukan oleh warga Werur karena tidak setuju pembangunan bandara di kampung Werur pada bekas Bandara Sekutu. Kedua, protes yang dilakukan warga karena menuntut ganti rugi yang dilakukan warga Werur pemilik kebun dan tanaman tumbuh dan warga Abun pemilik hak ulayat.
Protes pertama warga Werur terhadap pembangunan bandara dilakukan saat pertemuan dengan bupati Gabriel Asem dan pejabat pemerintah lainnya di Aula Balai Kampung Werur pada tahun 2012, dalam agenda pertemuan warga Werur dengan Bupati Tambrauw yang menjelaskan tentang tujuan pembangunan bandara. Protes kedua dilakukan oleh sebagian warga Werur seminggu kemudian setelah dalam pertemuan tatap muka dengan dengan Bupati, warga Werur melarang pihak kontraktor melanjutkan penggusuran sebagian lokasi bandara karena belum ada kesepakatan. Warga lalu bereaksi menghentikan aktivitas penggusuran lahan. Aksi ini segera direspon pemerintah dengan menurunkan tentara dari Koramil Sausapor.
Orang-orang Yeblo Sah juga secara sporadis berkali-kali melakukan protes ganti rugi lahan dengan melakukan aksi penghentian buldozer. Mereka bahkan sempat memalang bandara beberapa jam sebelum diresmikan pada 13 Februari 2018. Salah satu protes terbaru dilakukan dilakukan oleh Soleman Mambrasar yang memalang bandara dengan menaruh dahan pohon pada runway bandara beberapa menit sebelum pesawat mendarat. Aksi menuntut ganti rugi timbunan material ini tidak lama setelah pemerintah meresmikan Bandara Werur. Dalam aksi itu, Soleman Mambrasar dan dua warga lainnya juga menahan tiga mesin ekskavator dan beberapa mesin lainnya milik pihak kontraktor sebagai jaminan (wawancara dengan Soleman Mambrasar tanggal 17 Agustus 2019) .
- Janji Kosong Akses Transportasi
Masyarakat Tambrauw memiliki tiga jalur akses transportasi untuk menjangkau antar kampung dan ke Kota terdekat seperti Kota Sorong dan Kota Manokwari. Dua jalur akses transportasi utama mereka adalah kapal laut dan angkutan darat seperti mobil dan motor roda dua. Waktu tempuh serta daya tamping yang dianggap terbukti cukup menjawab semua kebutuhan warga membuat sarana-sarana transportasi di atas menjadi pilihan utama yang paling strategis dan efektif bagi warga Tambrauw. Ini yang membedakan sarana-sarana transportasi tersebut dengan pesawat jenis Twin Otter yang baru beroperasi pasca bandara diresmikan.
Gambar 5 : Pesawat Jenis Twin Otter di Bandara Werur (Siregar, 15 Februari 2018)
Warga Tambrauw khususnya yang bermukim di dekat bandara lah yang lebih banyak menggunakan pesawat, itu pun juga kebanyakan bagi warga yang melakukan perjalanan yang sifatnya mendesak. Transportasi pesawat tidak menjadi sarana transportasi utama warga Tambrauw untuk perjalanan ke berbagai kota terdekat maupun perjalanan antarkampung dan dari kampung ke Ibu Kota Kabupaten Tambrauw, karena pesawat mustahil menjangkau kampung-kampung dan tidak dapat mengangkut barang bawaan warga dalam jumlah besar, khususnya barang jualan atau barang kebutuhan harian. Keterbatasan itu membuat pesawat tidak menjadi pilihan transportasi utama warga. Ini juga sekaligus membantah argumentasi pemerintah dalam pembangunan Bandara Werur.
Dalam banyak kesempatan pemerintah berdalih bahwa pesawat akan menjawab kebutuhan masyarakat atas akses transportasi yang menurut mereka sekaligus berguna untuk menunjang pembangunan Kabupaten Tambrauw. Alih-alih itu terbukti, Bandara Werur kini hanya berfungsi sebagai sarana transportasi tambahan bagi warga untuk bepergian ke Kota Manokwari atau Kota Sorong.
Bagi warga yang melakukan aktivitas ekonomi, kapal laut masih menjadi sarana transportasi utama untuk mengangkut barang. Anton Langgodai, seorang petani di Kampung Werur, mengatakan (wawancara tanggal 1 Januari 2020) meskipun pesawat telah beroperasi, namun transportasi bagi petani untuk mengangkut hasil tani mereka ke pasar masih sangat sulit. Ia mengatakan bahwa “tidak ada dampak pertumbuhan ekonomi semenjak bandara ini dioperasikan, transportasi bagi kami petani untuk dagangkan hasil tani kami masih susah.” Hermanto Mambrasar, seorang PNS Pemkab Tambrauw yang memiliki usaha kios, mengamini pernyataan Langgodai. Harga komponen sembako yang berasal dari luar daerah pun tidak lantas menjadi lebih murah pasca pembangunan bandara (wawancara tanggal 1 Januari 2020).
Alasan mengapa pesawat tidak dapat memenuhi kebutuhan transportasi warga terang benderang sebenarnya. Sebanyak 90 persen warga Tambrauw merupakan warga petani dan tinggal di berbagai kampung di pedalaman dan pesisir pantai. Dari sini saja terlihat bahwa yang warga butuhkan hanya sarana transportasi darat dan kapal laut atau angkutan laut lainnya yang dapat mengangkut barang bawaan mereka termasuk barang dagangan mereka dengan lebih baik dari sekarang. Jarak tempuh yang nisbi dekat antara Kabupaten Tambrauw dengan Kota Sorong dan Kota Manokwari atau antar kampung di Tambrauw juga membuat mobil dan kapal menjadi sarana utama yang paling efektif dan efisien bagi warga.
Argumentasi pembangunan bandara sebagai sumber pendapatan PAD karena bandara Werur akan didesain sebagai bandara komersial pun lebih merupakan argumentasi asal-asalan Bupati Gabriel Asem yang sangat tidak berdasar kajian yang matang. Harapan bupati bahwa Bandara Werur akan menjadi bandara transit bagi para turis ke Kabupaten Raja Empat tidak realistis karena beberapa hal. Pertama adalah karena posisi dan fasilitas yang dimiliki Bandara Werur. Bandara Werur tidak akan menjadi bandara transit karena sudah ada Bandara Domine Eduard Osok (Bandara DEO) Sorong yang lebih strategis menghubungkan para wisatawan dengan Kabupaten Raja Empat serta memiliki fasilitas pendukung yang jauh lebih memadai. Fasilitas dan jarak tempuh yang lebih dekat dan cepat antara Bandara DEO Sorong dengan Kabupaten Raja Emat sebagai pusat tujuan para wisatawan, dan bahkan ke beberapa tempat pariwisata di Tambarauw, tentunya menjadikan Bandara DEO sebagai bandara transit utama di Papua Barat. Ini akan membuat Bandara Werur tidak bisa menggantikan atau menyaingi Bandara DEO sebagai bandara transit utama utama para sebagaimana digagas pemerintah Tambrauw. Alih-alih, Bandara Werur hanya akan berfungsi sebagai bandara perintis yang melayani pesawat jenis pilatus dan twin otter dengan jenis maskapai seperti Susi Air atau Trigana untuk pesawat jenis kecil.
Kedua adalah karena jumlah penumpang. Minimnya pengguna pesawat di Kabupaten Tambrauw akan membuat sulit pihak maskapai manapun membuka rute penerbangan di Bandara Werur. Jumlah penduduk Tambrauw masih tergolong sedikit. Dengan mayoritas penduduk Kabupaten Tambrauw merupakan petani[7] yang lebih memilih menggunakan kapal dan mobil tentunya membuat pengguna pesawat di Tambrauw akan sangat sedikit. Penulis mendapatkan beberapa cerita tentang sedikitnya jumlah pengguna pewat dapat dideteksi melalui jumlah penumpang pada pesawat jenis Susi Air yang kini telah beroperasi di Bandara Werur untuk melayani rute penerbangan Tambrauw-Sorong dan Tambrauw-Manokwari. Meskipun demikian, dalam proses pencarian data lapangan, penulis tidak bisa menkonfirmasi kabar ini, baik kepada pihak pengelola maupun dari dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pihak bandara.
V. Penutup
Lebih dari dua tahun sejak diresmikan dan beroperasi tanpa menjawab janji kesejahteraan yang telah dibawa oleh Bupati Kabupaten Tambrauw Gabriel Asem, Pemkab Tambrauw kini berniat mengalih-fungsikan penggunaan Bandara Werur. Bandara yang telah membuat orang-orang Werur dan Yeblo Sah kehilangan banyak lahan tanpa proses pemberian ganti rugi yang memadai itu berencana dijadikan sebagai Lapangan Udara Angkatan Laut (Lanudal) Wing III dan Pangkalan terdepan ARMADA III TNI AL. Pihak TNI AL telah melakukan pembicaraan dengan Bupati Gabriel Asem dan sejumlah pejabat daerah lainnya untuk menggunakan Bandara Werur sebagai pangkalan militer. Tercatat pada tanggal 07 Agustus 2018 pihak TNI AL dengan Pemerintah Kabupaten Tambrauw yang dipimpin langsung oleh Bupati Gabriel Asem telah melakukan pertemuan membicarakan niat TNI AL ini, bahkan pihak TNI AL telah melakukan uji coba pendaratan di Bandara Werur (Rahanyamtel, 7 Agustus 2018) .
Rencana pengalihan fungsi bandara dari bandara sipil ke militer oleh Bupati Gabriel Assem sampai penelitian ini selesai belum mendapatkan penolakan dari warga, setidaknya demikian yang terlihat di permukaan. Meskipun demikian, langkah tersebut secara tidak langsung menguatkan pendapat warga Werur dan orang-orang Abun Yeblo Sah soal ketidakefektifan pembangunan Bandara Werur sebagai sarana transportasi warga. Langkah tersebut sekaligus membantah argumentasi awal pemerintah kepada publik Tambrauw, juga orang-orang Kampung Werur dan Abun tentang manfaat bandara bagi kehidupan mereka.
Esai-Esai dapat di donwload dalam link: https://elsam.or.id/berhala-berhala-infrastruktur-potret-dan-paradigma-pembangunan-papua-di-masa-otsus/
- References
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sorong. 2020. Kabupaten Tambrauw Dalam Angka 2020. Sorong. Accessed September 14, 2020.
Fernandez, Mg N. 2014. “Kembangkan Bandara Rp39 M, Kemenhub-Pemkab Tambrauw Teken MoU.” bisnis.com, September 22. Accessed September 14, 2020. https://ekonomi.bisnis.com/read/20140922/98/259068/kembangkan-bandara-rp39-m-kemenhub-pemkab-tambrauw-teken-mou.
Hamdani, Trio. 2018. “Jokowi Bangun Bandara Werur, Bekas Peninggalan Perang Dunia II.” detikfinance, October 21. Accessed September 14, 2020. https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4266423/jokowi-bangun-bandara-werur-bekas-peninggalan-perang-dunia-ii.
Iskana, Febrina R. 2018. “Ke Papua, Menteri Jonan Resmikan Sejumlah Proyek Infrastruktur Energi.” www.kontan.co.id, February 15. Accessed September 14, 2020. https://industri.kontan.co.id/news/ke-papua-menteri-jonan-resmikan-sejumlah-proyek-infrastruktur-energi.
Jasa Logistik. 2018. “Bandara Werur – Tambrauw, Bandara Tua Yang Dibangun Kembali.” kargoku.id.
kumparanBISNIS. 2018. “Jonan Resmikan Bandara Werur Dan PLTMH Warabiai Di Papua Barat.” kumparan, February 13. Accessed September 14, 2020. https://kumparan.com/kumparanbisnis/jonan-resmikan-bandara-werur-dan-pltmh-warabiai-di-papua-barat/full.
Langgodai, Anton. 01/01//2020. Interview by Y. Mambrasar. 01/01//2020. Kampung Werur, Kabupaten Tambrauw.
Mambrasar, Hermanto. 2020. Interview by Y. Mambrasar. January 1, 2020. Kampung Werur, Kabupaten Tambrauw.
Mambrasar, Regina. 2019. Interview by Y. Mambrasar. August 17, 2019. Kampung Werur, Kabupaten Tambrauw.
Mambrasar, Soleman. 2019. Interview by Y. Mambrasar. August 17, 2019. Kampung Werur, Kabupaten Tambrauw.
Mantan Wakil Bupati Tambrauw. 2020. Interview by Y. Mambrasar. August 14, 2020. Sorong.
Mayor, Elsa. 2019. Interview by Y. Mambrasar. August 17, 2019. Kampung Werur, Kabupaten Tambrauw.
- 2019. Interview by Y. Mambrasar. August 18, 2019. Kampung Werur, Kabupaten Tambrauw.
- 2019. Interview by Y. Mambrasar. August 15, 2019. Kampung Sausapor, Kabupaten Tambrauw.
Padwa, Yance. 2019. Interview by Y. Mambrasar. August 17, 2019. Kampung Werur, Kabupaten Tambrauw.
Paraibabo, Yosias. 2020. Interview by Y. Mambrasar. January 2, 2020. Kampung Werur, Kabupaten Tambrauw.
Rahanyamtel, Ahmad. 2018. “TNI-AL Berencana Jadikan Bandara Tambrauw Sebagai LANUDAL Wing Udara 3.” SORONGSAYA.co, August 7. Accessed September 14, 2020. https://sorongraya.co/metro/tni-al-berencana-jadikan-bandara-tambrauw-sebagai-laudal-wing-iii/.
Siregar, Maulina. 2018. “Bandara Weruru Papua Barat : Bekas Pangkalan Udara Saat Perang Dunia II: Susi Air Layani Penerbangan Rute Sorong-Werur.” Travia, February 15. Accessed September 14, 2020.
Sukmana, Yoga. 2014. “Bandara Di Papua Barat Akan Dibangun Di Lahan Bekas Pangkalan Militer Sekutu.” Kompas.com, September 22. Accessed September 14, 2020. https://money.kompas.com/read/2014/09/22/121609226/Bandara.di.Papua.Barat.Akan.Dibangun.di.Lahan.Bekas.Pangkalan.Militer.Sekutu.
Widjojo, Muridan S. 2013. Pemberontakan Nuku: Persekutuan lintas budaya di Maluku-Papua sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu.
Yeblo, Sarlota. 2019. Interview by Y. Mambrasar. August 15, 2019. Kampung Sausapor, Kabupaten Tambrauw.
[1] Pandangan Pemkab Tambrauw soal Bandara Werur ini salah satunya bisa dilihat dalam (Hamdani, 21 Oktober 2018)
[2] Bandara ini usai dibangun pada Tahun 2017 dan diresmikan pada 13 Februari 2018 oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan(Iskana, 15 Februari 2018). Pemerintah Tambrauw langsung mengaktifkan penerbangan dengan melakukan kontrak bersama pihak maskapai Susi Air dan membuka rute penerbangan Tambrauw – Sorong dan Tambrauw – Manokwari, dengan jadwal penerbangan seminggu 2 kali, menggunakan pesawat jenis twin otter.
[3] Tanah Karon adalah penyebutan yang lebih populer terutama di kalangan Orang Asli Papua (OAP) untuk seluruh wilayah yang secara administratif dikenal sebagai Tambrauw. Orang-orang Biak Karon meyakini bahwa nama Karon itu adalah nama yang diberikan leluhur mereka untuk wilayah Tambrauw sekarang sejak kedatangan mereka yang pertama. Penyebutan Tambrauw untuk wilayah Karon sendiri baru muncul sejak tahun 2008 setelah pemekaran Kabupaten Tambrauw.
[4] Kurabesi, atau Gurabesi, adalah nama yang lebih popular dari Sekmaferi, tokoh legendaris Papua yang hidup di abad 15. Gurabesi adalah pemimpin armada laut legendaris yang terdiri dari orang-orang Papua. Berasal dari Biak, Gurabesi dan armadanya kemudian berlabuh di daerah Kepulauan Raja Ampat dan menguasai wilayah ini setelah mengusir orang Sawai. Gurabesi dikenal terutama karena keberhasilannya membantu Sultan Tidore dalam menghancurkan armada Jailolo yang membuat ia kemudian diambil menantu oleh sultan. Lebih lanjut soal Gurubesi bisa dibaca dalam (Widjojo 2013).
[5] Suku asli lainnya adalah Suku Mea, Suku Ireres, dan Suku Impur
[6] Penulis telah bertemu dengan semua tetua atau tokoh-tokoh kunci warga Yeblo pemilik hak ulayat, serta sejumlah warga Werur yang terdiri dari kepala Kampung maupun warga untuk menanyakan dokumen lengkap pembangunan bandara, namun tidak ada satupun dari mereka yang diberikan dokumen lengkap. Keterangan yang sama juga penulis peroleh ketika melakukan verifikasi keterangan warga dengan mewawancarai orang-orang Pemerintah yang tinggal di Kampung Werur, seperti Wakil Bupati Tambrauw dan anggota DPRD. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui dokumen-dokumen pembangunan Bandara Werur. Penulis juga telah beberapa kali menghubungi pegawai dinas perhubungan Kabupaten Tambrauw maupun para anggota DPR Kabupaten Tambrauw untuk meminta dokumen pembangunan bandara namun tidak diberikan tanpa alasan yang jelas.
[7] Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sorong (2020:45), lebih dari separuh dari total angkatan kerja sebesar 6.546 di Kabupaten Tambrauw bekerja di sektor pertanian.