Hari ini tepat 15 tahun peristiwa Abepura berdarah atau yang lebih dikenal Uncen berdarah 16 Maret 2006.
Gerakan mahasiswa bersama faksi politik bernama Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Front Pepera PB) dipukul undur setelah sebelumya melakukan aksi demonstrasi dan memblokade jalan raya Abepura Sentani selama beberapa hari.
Aksi yang diawali dengan damai tersebut berujung jatuh korban jiwa. Aparat kepolisian yang memaksa membubarkan massa aksi dengan melepaskan gas air mata dan melakukan tindak kekerasan, justru dilawan balik mahasiswa dengan melempari batu. Saling serang tidak terhindarkan selama beberapa menit.
Hingga akhirnya 4 orang Polisi tewas seketika. Mendapati temannya tergelatak tak bernyawa TNI-POLRI menjadi semakin brutal, melakukan pemukulan, penembakan, menangkap, penyiksaan untuk membubarkan massa aksi, tidak hanya mahasiswa banyak warga sekitar pun diketahui terdampak amukan polisi. Malam hari aparat gabungan melakukan penggeladahan ke asrama-asrama mahasiswa Papua di kota/kab Jayapura.
Kampus di Kota Jayapura tidak luput dari sasaran operasi, para pimpinan universitas/fakultas hanya dapat menyaksikan operasi militer dalam rangka mengejar mahasiswa. Disetiap sudut kota dilakukan swiping, jalan raya, bandar udara, hingga Pelabuhan laut untuk memastikan setiap penumpang.
Menyadari bahwa aktivis dan simpatisan aksi sebagai sasaran utama penangkapan, sebagian besar melarikan diri mencari keselamatan. Separuh memilih tinggal di hutan dan gunung-gunung di sekitaran kota Jayapura, lainnya melarikan diri ke kabupaten/kampung sekitar, beruntung bagi mereka yang sempat lolos menaiki kapal untuk kembali ke daerah asalnya seperti Biak, Serui, Manokwari hingga Sorong dan Fak-Fak.
Mahasiswa yang lebih dahulu ditangkap untuk insiden itu adalah Selpius Bobi, mahasiswa STFT Fajar Timur yang saat itu sebagai sekjen dan penanggungjawab aksi Front Pepera PB. Dia ditangkap sementara sedang melakukan negosiasi bersama pemimpin kepolisian. Sementara berbicara bentrokan terjadi dibelakangnya, Selpius hanya dapat menyaksikan bentrokan itu namun tidak dapat menghindari penangkapan.
Dia dibawah ke Polda Papua diinterogasi, disiksa, sebelum akhirnya menghabiskan waktunya selama tiga tahun di Penjara Abepura. Bersama dengan Selpius Bobi puluhan mahasiswa juga ikut ditangkap dan dijerat kasus yang sama. Sedang lainya masuk Daftar Pencarian orang (DPO) karena dianggap sebagai dalang, mereka adalah, Markus Kayame, Eliyas Pakage, Musa Asso, Arnold Omba, Elkana Lokobal, Aleks Wayangkau, Lusi Gedi, Monjefri Obaja, Maman Abdurahman, (Alm) Heni Lani, Jefry Pagawak, Hans Gebze dan Ivanjelis Timotius Ijie.
Menurut Arnold Omba Kordinator Umum aksi itu, Ia bersama puluhan mahasiswa mengamankan diri di hutan Abepura selama 5 bulan sebelum bergerak berlahan melewati perbatasan ke Vanimo dan akhirnya diberangkatkan ke Port Moresby, Papua Nugini. Selama dihutan mereka bertahan hanya dengan memakan sayur dan umbi-umbian milik warga tanpa proses memasak, jika terpaksa mereka harus memakan dedaunan untuk bertahan hidup. Selama di persembunyian Arnold dan para aktivis lainnya tidak saling terhubung.
Setelah Selpius, Arnold mahasiswa yang paling ingin ditangkap, sehingga keluarganya menjadi sasaran intimidasi. Beruntung ketika ada kesempatan Isterinya memilih melarikan diri bersamanya. Orang tua dari Arnold belakangan didapati informasi, menjadi sasaran intimidasi dan penyiksaaan aparat karena tidak berhasil menangkap anak mereka. Cerita ini masih terus dikisahkan oleh kerabat dan masyarakat di kampung halaman dan saling memperingatakan untuk tidak terlibat pergerakan ketika menempuh studi di Jayapura. Sesampainya di Port Moresby, Papua Nugini Arnold dan Isterinya menetap sampai sekarang. Di PNG bersama (Alm) Fred Mambrasar aktivis senior Papua, Arnold Omba, Jefry Pagawak aktif mengkampanyekan kemerdekaan Papua disana.
Pasca kejadian berdarah itu Abepura menjadi kota mati, sunyi selama beberapa bulan. Para pengurus organisasi mahasiswa Uncen mengkisahkan bahwa mereka ikut terseret dalam kasus tersebut. Walaupun tidak sampai di tangkap dan di penjara, sebagian mereka dimintai keterangan soal insiden itu.
Peristiwa 16 Maret 2006 tersebut dilaporkan empat anggota polisi dan satu intelejen dari TNI AU meninggal dunia. Sedang dari pihak warga sipil tiga orang terkena tembakan, 105 orang luka-luka sebab kekerasan maupun terkena peluruh karet, 3 orang meninggal seketika, 70 ditangkap, 10 dijadikan tersangka dan tujuh diantaranya diketahui meninggal dunia selama berada dalam Rumah Tahanan Polda Papua.
Gerakan Mahasiswa, Konsolidasi, aksi, Bubar, bangun Kembali?
Seperti diketahui bentrokan 16 Maret 2006 tidak benar-benar adalah aksi mahasiswa sebab terdapat beberapa afiliasi gerakan disana yang disebut Front Pepera PB. Sebelum Front Pepera PB, mahasiswa membentuk Front Mahasiswa Pemuda Demokratik Papua Barat (FPMDPB), yang didalamnya terdapat AMP, SONAMAPPA, FNMP, PARJAL, organ Mahasiswa seperti UKM DEHALING, dan ikatan-ikatan mahasiswa asal daerah di Jayapura.
Konsolidasi terbentuknya FPMDPB telah dilakukan jauh-jauh hari sebelum terafiliasi kedalam Front Pepera PB. Walaupun belum dipastikan tujuan strategis dari terbentuknya organi-organ mahasiswa tersebut namun peran konsoldasi FPMDPB dibalik aksi di Uncen tersebut dapat di lihat dari keterlibatan massa aksi, hingga korban, bahkan mereka yang di DPO adalah para mahasiswa yang berada dalam organ-organ mahasiswa.
Pasca Uncen berdarah, tentu FPMDPB menjadi tidak berdaya sama sekali ketika semua pentolan organisasi, baik pimpinan hingga para kader kocar-kacir hilang entah kemana. Jayapura menjadi sepi alias mengalami kekosongan organ pergerakan mahasiswa, sesuatu yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Sehingga 16 Maret 2006 juga dapat dikatakan sebagai sebuah aksi tidak terencana karena mendapatkan pukulan telak oleh aparat polisi.
Dengan korban yang tidak sedikit, dan trauma yang luar biasa dikalangan mahasiswa Papua. Pemulangan (exodus) mahasiswa se Jawa Bali setahun kemudian menjadi kesempatan untuk menkonsolidasikan gerakan-gerakan mahasiswa di Kota Jayapura, Ibu Kota Provinsi Papua. Ada beberapa pergerakan-pergerakan yang mirip dengan terbentuknya FPMPDPB, yaitu konsolidasi dan kongres FMNP menjadi FNMMPP, untuk menjadi berbagai aktivis mahasiswa dan Pemuda secara luas. Selanjutnya, di 2008 konsolidasi-konsolidasi serupa terbentuknya Front Pepera PB, maka lahirlah KNPB.
Keunikan dari pergerakan mahasiswa adalah masa “kadaluarsa” para aktivis, sehingga setiap organ, setiap individu mahasiswa harus menyesuaikan diri. Generasi datang dan pergi, tetapi perjuangan, idealisme, serta semangat yang menjadi warisan digerakan. Sehingga setelah kegagalan-kegagalan organ mahasiswa, membangun Kembali pasca 2006, dengan tidak Kembali eksis di Jayapura, maka lahir-lahir organ baru seperti FIM West Papua 2009, AMP aktif Kembali di Jawa dan Bali 2010, GempaR-Papua 2013, SONAMAPPA Kembali 2017. Satu yang menjadi catatan dan disesalkan adalah kegagalan UKM DEHALING untuk mengkonsolidasi Kembali aktifitas gerakannya karena lebih muda diintervensi Lembaga Uncen.
Untuk melihat bagaimana kolaborasi-kolaborasi organ mahasiswa, pemuda, dan organ faksi lainnya hari ini, paling relevan yang dapat dilihat adalah Petisi Rakyat Papua (PRP) organ taktis yang dibentuk untuk kepentingan penolakan Otsus Jilid II, dan akan terus seperti ini. Gerakan-gerakan di Papua akan terus seperti itu, terbentuk, bertahan, dihancurkan, dan berubah untuk kepentinan perjuangan dan pembebasan.
**
Referensi
Ngelia Yason (Gerakan Mahasiswa Papua: Gerakan Sejarah Teori dan Praktek melawan penjajah:2019)
Link Berita
- https://suarapapua.com/2020/03/16/uncen-berdarah-16-maret-2006/
- https://nasional.tempo.co/read/76176/nama-buron-bentrok-abepura-diumumkan
- http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=8&dn=20070102183307