Pilihan Redaksi Tan Malaka: Semangat Muda

Tan Malaka: Semangat Muda

-

Ditulis oleh Tan Malaka pada bulan Januari 1926 di Tokyo

Kontributor: Naskah ini dikirim oleh “Pacar Merah Indonesia “, diedit supaya sesuai dengan ejaan baru oleh Ted Sprague (May 2007)

  1. KE ZAMAN KOMUNISME

Tiap-tiap pergaulan hidup di muka bumi ini, baik di Asia atau Eropa, baik dulu ataupun sekarang, terdiri oleh klassen atau kasta, yakni kasta tinggi, rendah. dan tengah.

Menurut pikiran KARL MARX, maka timbulnya kasta tadi, yaitu disebabkan oleh perkakas mengadakan hasil, seperti cangkul, pahat dan mesin. Adanya kasta tadi pada sesuatu pergaulan hidup, menyebabkan, maka politik, Agama dan adat, dalam pergaulan hidup itu bersifat kekastaan atau bertinggi berendah. Ringkasnya perkara mengadakan hasil, menimbulkan kasta, dan kasta itu menimbulkan paham politik, agama dan adat yang semuanya bersifat kekastaan. Oleh sebab itu kata Marx lagi, semua sejarah dari semua bangsa, ialah pertandingan antara kasta rendah dan tinggi, antara yang terhisap dan yang menghisap, antara yang terhimpit dan yang menghimpit. Demikianlah pada Zaman Feodalisme atau Zaman Bangsawan, Kaum Hartawan yang terhimpit itu bertanding dengan kaum Bangsawan dan Raja yang menghimpitnya. Di Eropa pada tahun 1789 Kaum Hartawan di Prancis bisa mengalahkan Kaum Bangsawan dan mendirikan Peraturan Kemodalan seperti macam sekarang.

Dalam hal itu pertandingan belum lagi berhenti. Karena pada Zaman Kemodalan sekarang, pertentangan kasta makin tajam, ialah antara Kaum Buruh yang terbanyak dan tertindas itu dengan Kaum Hartawan, yang terkecil, tetapi terkaya dan terkuasa itu.

Berhubung dengan lebar dan dalamnya pertandingan dalam Zaman Kemodalan ini, maka kelak Kaum Buruh, kalau menang ia tidak saja akan memerdekakan dirinya sendiri, seperti dulu Kaum Hartawan, melainkan akan memerdekakan seluruh pergaulan hidup dan sekalian manusia. Dan oleh sebab Kaum Hartawan di seluruh dunia bersatu, maka haruslah pula Kaum Buruh seluruh dunia bersatu, buat manghancurkan musuhnya.

  1. Watak Zaman-Bangsawan

Pada Zaman-Bangsawan, maka perkakas di sawah dan ladang, hanyalah cangkul atau bajak. Di tempat pertukangan, pahat atau ketam yang semuanya diangkat dengan tangan. Hasil sawah, pertukangan dan pertenunan, cuma buat keperluan masing-masing orang atau masing-masing famili saja. Kalau ada berlebih dari keperluan itu, barulah dijual, supaya bisa membeli kain, cangkul atau bajak. Jadi perniagaan baru mulai timbul.

Ringkasnya pada Zaman-Bangsawan perkakas kecil, hasil sedikit dan buat keperluan masing-masing famili saja. Sisa keperluan satu-satu famili juga sedikit, sebab itu perniagaan masih lemah.

Beberapa tani, tukang dan saudagar pada Zaman Bangsawan berkumpullah mendirikan desa atau kota. Buat menjaga keamanan dalam desa tadi dan mempertahankan desa tadi pada musuh, maka mereka mendirikan Pemerintah Desa. Anggota biasanya terdiri dari orang yang tua, yang pandai, cerdik, berani dan mendapat kepercayaan dari orang banyak. Pangkat memerintah negeri akhirnya jadi turun menurun dari bapak ke anak. Sekarang penduduk desa sudah mulai terbagi atas kasta: Tani, Tukang, Saudagar dan kasta-memerintah, yaitu Bangsawan. Apabila desa tadi banyak berperang-perangan, maka makin besar kuasanya Kaum Bangsawan dan makin dalam kebangsawanan. Kemudian dua desa atau beberapa desa mulai mangadakan perserikatan buat mempertahankan diri kepada serangan dari luar. Urusan negeri dan peperangan sekarang jatuh di tangan seorang Bangsawan yang tetinggi, yang sekarang berpangkat Raja dan berkuasa lebih dari Bangsawan yang sudah-sudah. Makin banyak peperangan dan kemenangannya Raja itu, makin besar kekuasaannya turun menurun.

Negeri bertambah besar, kekuasaan makin tertumpuk kepada Raja dan Bangsawan, kekayaan makin tertumpuk kepada Kaum Hartawan serta kaum Buruh dan Tani makin terhisap dan tertindas.

Supaya Buruh dan Tani yang terbanyak itu, takluk saja kepada Kaum Raja dan Bangsawan, maka harus diadakan Agama, Didikan dan Adat yang bersifat kekastaan atau kebudakan.

Gereja atau mesjid jatuh di tangan Kaum Bangsawan juga, anaknya Rakyat diajar jongkok dan menyembah, sedangkan anaknya Raja serta Bangsawan diajar memukul, memaki dan menerjang.

Demikianlah wataknya Zaman-Bangsawan itu di India, di Jawa atau Tiongkok dan Jepang.

  1. Watak Zaman Hartawan

Kira-kira 200 tahun yang lalu, kaum Hartawan di Eropa makin bertambah kaya. Pertukangan, dan pertenunan yang dulu kecil-kecil, dan buat keperluan masing-masing famili saja, sekarang sudah terkumpul pada satu pabrik. yang memakai beratus-ratus kuli. Perniagaan sudah jauh melewati batas desa atau negeri. Bank sudah meminjamkan kepada atau menerima uang simpanan dari seluruh penduduk negeri.

Tetapi, walaupun kekayaan Kaum-Hartawan sangat maju, kekuasaannya masih tinggal seperti dulu. Raja dan Bangsawan masih bisa ambil pajak sehekendak hatinya. Kemerdekaan Kaum-Hartawan buat mengirim barang dari satu negeri ke negeri lain sangat terhambat, karena barang-barangnya acap kali dipajaki oleh Bangsawan atau Raja. Juga Kaum Pendeta, yakni keturunan Bangsawan tak kecil keganasannya.

Buat merdeka mendirikan pabrik dan kirim mengirim barang, maka Kaum Hartawan mesti merdeka dalam urusan politik-Negeri.

Dengan pertolongan Tani dan Buruh, maka Kaum Hartawan pada tahun 1789 bisa menghancurkan semua kekuasaan Kaum Bangsawan dan Raja Prancis. Sekarang urusan ekonomi, dan politik luar serta dalam negeri sama sekali jatuh di bawah tangan Kaum Hartawan dan Wakilnya.

Sekarang Modal bisa tumbuh dan menjalar kiri kanan dengan leluasa. Dalam satu pabrik tidak seratus atau dua ratus, melainkan sudah sampai 30 ribu orang kuli kerja (Inggris, Jerman dan Amerika). Hasilnya dalam satu jam saja sudah beribu-ribu pikul. Mengangkutnya hasil tidak lagi dengan bahu, kerbau atau kuda, melainkan dengan kereta atau kapal yang cepatnya seperti petir. Dengan kelingking saja satu sekerup dibuka, mesin yang kuatnya sejuta kuda berputar dengan sendirinya saja. Kirim mengirim dan pesan memesan barang ke empat penjuru alam dijalankan dengan kawat atau radio. Dari Asia dan Afrika tiap-tiap hari diangkut barang-barang yang mesti dikerjakan dalam pabrik di Eropa, dan dari Eropa atau Amerika tiap-tiap jam berjalan kapal yang mengangkut barang-barang pabrik ke Asia dan Afrika. Ringkasnya mesin kerja dengan kuat dan cepat, Kuli terkumpul pada satu pabrik saja sampai beribu-ribu, pekerjaan teratur dari satu administrasi-pabrik dan dikerjakan bersama-sama, sedangkan perniagaan sudah internasional.

Tetapi seperti pada Zaman-Bangsawan ada pertentangan antara Kaum Bangsawan dan Kaum Hartawan, begitulah juga pada Zaman Hartawan atau Kemodalan ada pertentangan antara Kaum Hartawan dan Kaum Buruh serta Tani. Seperti Zaman­Bangsawan mengandung Benih-Hartawan yang kelak akan menghancurkan Kaum-Bangsawan sendiri, demikianlah pula Zaman-Hartawan kita ini mengandung Benih Buruh yang kelak akan menghancurkan Kaum Hartawan.

Keyakinan ini kita Kaum Komunis tidak diperoleh dari limau-purut atau ujung jari, seperti tukang-tukang ramal, tetapi kita peroleh dari bukti yang nyata.

Pertentangan-pertentangan yang nyata dan tak bisa didamaikan pada Zaman-Kapitalisme atau Hartawan, ialah:

  1.     Hak-Milik. Pada Zaman-Hartawan, seperti juga pada Zaman-Bangsawan maka perkakas mengadakan hasil itu berpisah dari orang yang mengadakan hasil, yakni Kaum-Buruh. Sebab perkakas itu bukan kepunyaan Kaum-Buruh, melainkan satu atau dua orang Hartawan, maka hasil yang diadakan oleh Kaum-Buruh tidaklah kepunyaan Kaum-Buruh sendiri, melainkan kepunyaan yang memiliki perkakas, seperti: tanah, pabrik, kereta, kapal dan lain-lainnya. Kaum Hartawan tak bekerja, tetapi ia memiliki hasil. Kaum Buruh membanting tulang, tetapi tak memiliki hasil yang diadakannya sendiri. Sebabnya, maka dunia sampai terbalik begitu, ialah karena hak-Milik, yang pada semua negeri Bangsawan diaku sah oleh Wet (Bahasa Belanda untuk hukum – catatan editor) dan agama, sekarang dalam Zaman-Hartawan menjadi racun. Dengan alasan hak Milik itu, modal kecil menjadi besar, perusahaan kecil terpukul oleh yang besar dan tani kecil terpukul oleh tani besar, sehingga tukang-tukang kecil dan tani­tani tidak lagi berpunya apa-apa. Kaum yang tidak berpunya ini, terpaksa menjual tenaganya pada Kaum Hartawan dengan harga seberapanya saja, asal bisa menolak bahaya lapar dan mati. Jadi sebab hak Milik tadi pergaulan hidup terbagi dua: l. Kaum Hartawan Sang tersedikit orangnya, tetapi memiliki Perkakas dan Hasil, dan 2. Kaum Buruh, yang terbanyak orangnya, yang sungguhpun mengadakan hasil tak memiliki hasil itu, karena ia orang upahan saja.
  2. Anarkisme. Sungguhpun dalam satu pabrik ada teratur banyak dan caranya mengadakan basil, tetapi satu pabrik berpukul-pukulan dengan yang lain. Kalau satu negeri mempunyai misalnya 100 pabrik kain, maka tiap-tiap pabrik ada mengatur dan menentukan banyak hasil yang mau diadakan, buat masing-masingnya, tetapi yang 100 pabrik tadi tidak mengatur banyak hasil buat seluruh negeri, melainkan masing-masing mengadakan hasil buat memukul yang lain. Makin banyak hasil dapat makin murah harganya barang, sehingga lawannya terpukul dan jatuh. Kalau hasil tiba-tiba menjadi terlampau banyak, harga terlampau murah, dan pabrik tertutup, seperti teh, getah dan minyak di Indonesia baru-baru ini. Walaupun Rakyat perlu memakai hasil itu, tetapi yang punya tidak akan membagikan pada Rakyat, malah lebih suka membuang hasil itu, seperti Kapitalis-Gandum di Amerika pada tahun 1922. Jadi hasil yang diadakan oleh 100 pabrik tadi bukanlah buat negeri dan penduduknya, melainkan buat perniagaan dan pukul-memukul dalam perniagaan. Demikianlah Kaum Hartawan mengadakan hasil tidak rasional, yakni menurut keperluan orang banyak, melainkan anarkistis, yakni sesukanya saja, buat mencari untung.

III.       Mesin. Buat pukul-memukul dalam perniagaan atau concurrensi, Kaum Hartawan memakai mesin baru. Dengan jalan begitu hasil dengan cepat menjadi berlipat ganda, sehingga harganya barang itu bisa murah sekali. Tuan pabrik yang masih memakai mesin tua, tidak bisa menghasilkan begitu banyak dan begitu cepat. Harga barangnya tinggal mahal, dan akhirnya ia jatuh. Tetapi mesin baru tadi mengurangkan tangan yang mengangkatnya, karena mesin itu bisa dijalankan dengan uap atau listrik saja. Berhubung dengan memakai mesin baru, beribu-ribu buruh dilepas, karena melimpah. Tiap-tiap negeri di Zaman Hartawan penuh dengan limpahan Buruh, yakni buruh yang dilemparkan dan tidak bisa dapat kerja. Limpahan Buruh ini, selalu bertambah-tambah, karena mesin baru tiba-tiba menaikkan hasil, dan tiba-tiba naiknya hasil tiba-tiba pula mendatangkan krisis yakni jatuh harga barang. Kalau krisis datang beribu, berjuta buruh dilepas. Ringkasnya Zaman-Hartawan penuh mempunyai perkakas (mesin), dan penuh mempunyai hasil, tetapi sebaliknya berjuta manusia tanpa pekerjaan dan hidup dalam kelaparan. Nyatalah sudah Kaum Hartawan tidak bisa mengurus keperluan Rakyat.

  1. Kasta. Pada Zaman-Hartawan satu kongsi perniagaan bisa maju dengan dua jalan: pertama dengan memukul, kedua dengan berkawan. Kalau satu kongsi mempunyai modal yang besar, tentu ia dengan sementara menurunkan harga barangnya, bisa menjatuhkan musuhnya. Tetapi kalau mereka sama-sama kuat, maka ia mencoba berserikat. Dengan perserikatan mereka mudah menaikan harga barang dengan sekehendak hatinya, karena tak ada persaingan lagi. Yang kerugian tentulah Rakyat juga, yang terpaksa membayar. Dengan jalan berserikat itu dua atau tiga maatschappy (perusahaan) menjadi sindikat. Sindikat ini kurang teratur lagi, karena masih banyak kepala yang mengurus, ialah kepala-kepala dari maatschappy (perusahaan) yang berserikat. Supaya urusan lekas, maka kepala yang banyak tadi ditukar jadi satu, sehingga perniagaan bertambah kuat, urusan rapi dan lekas, karena urusan ge-centraliseerd yakni mempunyai satu kepala saja. Inilah namanya trust. Trust ini bisa berserikat lagi dengan trust lain, seperti trust besi dengan trust arang, sehingga harga arang dan besi boleh dibikin sekehendak yang punya trust. Di Jerman umpamanya Stinnes tidak mempunyai satu, melainkan bermacam-macam trust, seperti arang, besi, kertas, kereta, kapal, Banken, kayu, dan sebagainya. Jadi pertama harga grondstof atau barang asli, yang perlu dikerjakan di pabrik bisa rendah sesuka Stinnes saja. Sebaliknya fabriekswaren atau barang pabrik boleh dia naikkan sesuka hatinya, karena pabrik, kereta, kapal dan surat kabar buat advertensi sama sekali jatuh ditangannya. Jadi semua kongsi, maatschappy (perusahaan) dan Sindikat jatuh di bawah combinatie-trust-Stinnes. Semua urusan ekonomi di Jerman hampir tergenggam di tangan satu manusia saja. Juga Bank dari kongsi kecil menjadi Sindikat, Sindikat menjadi trust dan Trust-Combinaties. Jadi semua urusan Bank jatuh di bawah kekuasaan satu manusia pula (Stinnes). Bank pada tiap-tiap negeri memberi pinjaman pada industri. Supaya ia dapat untung tetap, maka ia adakan kontrol pada industri tadi. Akhirnya industri jatuh di bawah kekuasaan Bank. Bank memberi pinjam uang pada negeri, sebab itu menteri pada suatu negeri kemodalan harus cocok dengan Direktur Bank. Begitulah semua menteri di Amerika mesti tunduk pada Bankir Morgan, Jerman pada Stinnes, Prancis pada lauchuer dan sebagainya. Bank pada suatu negeri acap memberi pinjaman uang kepada negeri lain. Supaya bunga terus diterima, Menteri luar harus menjaga keperluan itu, dan kalau perlu haruslah negeri luar itu dijadikan jajahan. Dengan jalan begitu barang jajahan bisa tetap masuk (kopi, gula, kapas, dll.) orang jajahan tetap beli barang pabrik (kain, mesin, dll.) dan bayar hutang. Nyatalah sudah, bahwa kemajuan kapitalisme mengumpulkan kekuasaan pada satu dua orang. Seorang Bankir menguasai industri negeri, pemerintah negeri dan koloni. Kaum modal pada sesuatu negeri semakin hari semakin bertambah kaya dan bertambah sedikit, kaum buruh bertambah banyak dan bertambah miskin. Pertentangan Hartawan dan Buruh bertambah tajam, sehingga puteran kasta yakni revolusi sosial tak bisa dihindarkan. Salah satu Hartawan atau Buruh mesti hancur.
  2.  Imperialisme. Anarkisme dalam hal mengadakan menyebabkan Kaum-Hartawan dalam sesuatu negeri satu dengan lainnya berpukul-pukulan dan hancur- menghancurkan. Walaupun mereka terhadap kepada negeri lain ada bersatu, tetapi anarkisme tadi juga menyebabkan beberapa negeri di atas dunia ini satu sama lainnya berpukul pukulan dan hancur-menghancurkan pula. Tiadalah satu negeri mengadakan hasil buat keperluan seluruh dunia, melainan buat perniagaan dan persaingan. Satu negeri yang perlu memakai barang jajahan buat pabriknya seperti kapas, getah, dan sebagainya mau sendiri saja memiliki barang asli atau grondstof itu. Ia sendiri saja mau memiliki negeri jajahan itu sebagai pasar barang pabriknya (besi, mesin, kain-kain, kertas dll.) dan ia sendiri saja mau meminjamkan uang pada jajahan itu, supaya ia sendiri saja pula mendapat bunga yang tetap. Berhubung dengan keperluan industri dan perniagaannya, maka ia sendiri pula mau menggenggam politik negeri jajahan itu. Politik imperialisme ini menyebabkan yang satu negeri berdengki-dengkian dan bermusuh-musuhan dengan negeri yang lain Hal ini menaikkan persiapan peperangan pada tiap-tiap negeri imperialisme dan akhirnya mengadakan peperangan dunia. Demikianlah peperangan dunia yang baru ini, yang memakan jiwa 10.000.000 manusia dan beribu juta harta disebabkan oleh pertentangan antara imperialisme Inggris dan Jerman. Sesudah Jerman kalah, maka timbul lagi sekarang pertentangan antara imperialisme yakni Inggris dan Prancis di Eropa dan lebih tajam lagi Jepang dan Amerika di Asia Timur. Nyatalah sudah, bahwa imperialisme tak bisa dibunuh selama kapitalisme dan anarkisme dalam hal mengadakan hasil masih tetap. Sebab itu peperangan dunia pada tiap-tiap waktu masih mengancam kita.

Kelima penyakit kemodalan yang kita sebutkan diatas ini tiadalah bisa sembuh, karena sudah terbawa oleh diri kemodalan sendiri. Penyakit itu lah yang menyebab­kan Kaum Hartawan bertambah penakut dan bertambah sedikit orangnya dan sebaliknya penyakit itu lah yang menyebabkan Kaum Buruh bertambah miskin, tetapi bertambah rajin kerja (sebab terpaksa) bertambah tertindas, tetapi bertambah revolusioner dan bertambah banyak orangnya. Krisis ekonomi dan politik bertambah dekat, artinya ini cuma revolusi sosial atau putaran-kasta sajalah yang bisa mengobati krisis itu, dan menghindarkan bala yang bisa menimpa seluruh manusia diatas dunia ini:

“Kaum Hartawan yang malas dan sedikit itu haruslah turun, serta Kaum Buruh yang terbanyak dan mengadakan hasil itu, harus memiliki hasil itu dan membagikan hasil itu buat kastanya sendiri dan sekalian orang yang kerja. Ringkasnya Kaum Buruh harus merebut kekuasaan ekonomi dan politik dunia”.

  1. Zaman Diktatur Proletar

Kaum Agama mengambarkan surga persis seperti kehendak nafsunya sendiri. Begitu juga Kaum Utopis, seperti Thomas More, Saint Simon, Fourier dan Robert Owen menggambarkan masyarakat yang sempurna di dunia ini persis seperti nafsunya masing-masing.

Kita Kaum Komunis tidak mengambil gambaran Komunisme itu dari nafsu seorang tukang mimpi atau ahli nujum saja. Kita tidak disuruh Karl Marx buat menghapalkan saja sifat-sifat Komunisme dan terus tinggal mendoa saja supaya Surga Dunia itu datang. Melainkan kita mendapat keterangan yang jelas dari Marx, bahwa kemajuan Feodalisme di dunia ini membawa kemajuan Kapitalisme, dan kemajuan Kapitalisme sekarang ini membawa kemajuan Komunisme. Sebagaimana Kaum Bangsawan sudah terpukul oleh Kaum Hartawan, begitu juga kelak Kaum Hartawan akan dikalahkan oleh Buruh. Kalahnya itu bukanlah pula oleh sebab-sebab yang mistik atau gaib­gaib melainkan atas sebab-sebab yang nyata, yang bisa dilihat dan dirasa.

Tidaklah pula datangnya Komunisme itu tiba-tiba saja, seperti surga akan terkembang sesudah hari kiamat, tetapi berangsur-angsur, yakni seperti Zaman Kemodalan sendiri yang dulu datangnya juga berangsur-angsur. Dimana pertentangan sangat dalam, seperti di Rusia, maka putaran kasta Buruh dengan Hartawan itu akan disertai dengan banjir darah. Dimana pertentangan itu, selalu dikurang-kurangi, karena Kaum hartawan selalu kasih konsesi atau kemunduran, seperti bisa terjadi di Inggris, maka putaran kasta tadi, boleh jadi tidak berapa menuntut jiwa. Tetapi buat seluruh dunia putaran-kasta itu tiada akan terjadi dengan damai, seperti juga putaran kasta Bangsawan dengan Hartawan dulunya tiadalah terjadi dengan damai.

Tingkat yang mula-mula mesti kita tempuh di atas Zaman-Kemodalan ini ialah Dictaturnya-Proletar. Bukanlah pada satu negeri saja seperti Rusia, tetapi buat di seluruh dunia. Pada tingkat Diktator-Proletar ini, semua Perkakas Hasil, seperti Pabrik Tambang, Tanah, Kereta, Kapal, Gudang-Gudang dll. dimiliki oleh Kaum-Buruh dan diserahkan pada negaranya Kaum Buruh. Semua urusan buat mengadakan hasil, jatuh di bawah pimpinan Kaum-Buruh sendiri, yang di jalankan oleh Wakil-Wakil yang dipilih oleh Kaum Buruh itu tidak lagi ditetapkan buat perniagaan dan mencari untung saja, tetapi terutama buat keperluan Rakyat. Anarkisme dalam hal mengadakan hasil akan hilang dan berganti dengan rasionalisme, yakni mengadakan hasil menurut keperluan Rakyat. Kaum buruh berhenti menjadi orang upahan yang dibayar sebagaimana suka si Kapitalis saja, karena Buruh sekarang sudah memiliki perkakas hasil yang diadakannya sendiri. Sepadan dengan itu Kasta-Buruh, sebagai Kasta upahan atau budak hilang dan berganti dengan Kasta Pekerja yang campur mengurus pekerjaannya dan memiliki hasil yang dikerjakannya. Oleh karena sekarang mengadakan hasil tidak lagi dengan sesukanya seorang Kapitalis buat perniagaan saja, maka hasil tak akan melimpah lagi, sehingga bisa mendatangkan krisis atau mesti menimbulkan politik merebut jajahan buat pasarnya barang limpahan itu. Jadi politik imperialisme akan hilang dan berganti dengan tukar-menukar barang, seperti barang Eropa dengan Afrika atau Asia, satu negeri dengan yang lain. Berhubung dengan hilangnya politik imperialisme, maka akan hilang pula militarisme dan hilang pula peperangan dunia buat merebut jajahan dan pasar.

Supaya Kaum Buruh aman dan sentosa memiliki perusahaan dan semua hasilnya perusahaan, maka haruslah ia merebut politik-negeri. Kaum-Hartawan dan budaknya dari Kasta Tengah atau Kaum Sosial-Demokrat haruslah diusir dari pemerintahan negeri. Kalau tidak begitu ia akan memogoki (saboteeren) semua peraturan yang baik buat Kaum-Buruh dan menunggu waktu yang baik, dimana ia bisa memakai laskar, armada, justisi, polisi dan bui buat menindas peraturan ekonomi kaum buruh, seperti yang kita rancangkan diatas. Bersama dengan Pemerintah-negeri, haruslah dengan sekejap Laskar, Armada, Justisi, Polisi dan Didikan dijadikan merah. Artinya itu, semua anggota ini, haruslah jatuh di bawah kekuasaan Kaum-Buruh dan seberapa bisa diisi dengan Kasta Kaum Buruh sendiri.

Dengan Pemerintah Merah, Tentara Merah, Polisi Merah, dan Didikan Merah, maka Kaum Buruh bisa menjaga peraturan mengadakan hasil dan haknya atas hasil itu, terhadap kepada musuh baik di dalam atau pun di luar negeri, yang tak putus akan mencoba merebut kembali kekuasaannya yang hilang itu.

Apabila sesudah bertahun-tahun Kaum Hartawan sama sekali hancur, seperti dulu juga Kaum Bangsawan sama sekali hancur, maka barulah lambat laum anggota-anggota Ekonomi Merah, Politik Merah, Didikan Merah dan Justisi Merah berhenti menjadi perkakas penginjak Kemodalan dan Kaum Hartawan, dan menjadi perkakas buat mendatangkan Komunisme. Pada Zaman Komunisme, kasta akan hilang, tindasan dan isapan akan hilang, kekayaan, kepintaran, pengetahuan, kesenian, dan literatur akan menjadi miliknya orang bersama.

Jadi Komunisme itu bukanlah ilmu batin, yang datangnya sesudah habis dibakar kemenyan sepikul, melainkan suatu peraturan buat pergaulan hidup yang sudah terkandung sendiri oleh pergaulan hidup yang sekarang ini. Lekas datangnya itu bergantung sebagian besar dari cakap dan kuatnya Kaum-Buruh Dunia, mendatangkan Diktatur Proletar, yakni memerahkan peraturan ekonomi dan politiknya Kaum Hartawan yang ada sekarang.

  1. Taktik

Pada Zaman-Feodalisme, maka Taktik buat mendatangkan pemerintah baru itu, yakni dengan ramal dan kemenyan. Seorang guru atau Kiyai, tahu membaca dalam buku atau di ujung jarinya, kapan Ratu Adil atau Imam Madhi akan datang. Dengan jimat dan kemenyan, maka Kaum Revolusioner-feodal bisa mengalahkan musuh. Psikologi atau semangat semacam ini lahir dari keadaan cara mengadakan hasil juga. Pada Zaman-Feodalisme itu mengadakan hasil terutama dengan cangkul. Kalau tanahpun subur, si Tani rajin mencangkul, tetapi hujan tak turun-turun tentu padi tak dapat. Apa itu hujan, buat si Tani, yang belum pernah dengar Natuurkunde atau ilmu-alam adalah perkara kasih atau bencinya Tuhan. Dia bergantung kepada Tuhan itu, dan cara mendapatkan hujan tidak lain dari membakar kemenyan. Bukanlah seperti buruh-pabrik, yang sama sekali tak tergantung pada alam, malah memakai alam itu uap dan elektris kapan ia suka dan berapa ia suka. Sebab itu si Tani pasif atau penerima dan si Buruh aktif atau jalan. Sifat itu terbawa-bawa dan juga buat mendatangkan pemerintah baru, tak lain akal buat si Tani melainkan nujjum, jimat dan kemenyan.

Di antara Kaum-Buruh industri adalah tiga taktik yang terutama dimajukan: Anarkisme, Reformisme dan Revolusioner.

Taktik Anarkisme lahirnya pada pertengahan Abad yang lalu. Kaum Anarkis, percaya, bahwa kalau tiap-tiap pembesar Kaum-Hartawan di bom, diracun atau ditikam, maka mereka akan takut memerintah. Si Penindas akan hilang, dan Komunisme akan datang sendirinya saja. Jadi mereka tidak memakai tingkat Diktatur Proletar seperti kaum Komunis, dan.tidak memperdulikan organisasi massa-aksi atau aksi ramai-ramai yang teratur. Bahwa semuanya itu mimpi tak perlu dibentangkan disini. Kaum Hartawan dengan polisi, justisi dan tentaranya adalah sangat teratur dan mempunyai disiplin yang sangat keras. Dan kalau satu pembesar terbunuh, maka seribu lagi gantinya. Sebab itu, kalau Kaum-Buruh tak berkelahi teratur dan mempunyai disiplin yang keras ia mesti kalah. Anarkisme belum pernah menang. Cuma pada waktu Bakunin masih ada, disana sini di negeri yang achterlyk atau mundur kapitalismenya seperti di Selatan Jerman, di Balkan ia bisa bikin huru hara. Tetapi di negeri yang sudah maju kapitalismenya pada masa itu (tahun 1850) seperti Inggris, Bakuninisme sama sekali tak bisa dijalankan. Di Rusia sendiri pada tahun 1917 dan sekarang di Jerman Anarkisme sama sekali tak berarti. Sebab kaum anarkis tak mau mengakui aturan dan disiplin itu, maka ia tak bisa membikin perserikatan, malah mudah berpecah-pecahan, dan bertengkar-tengkaran. Sebab ia mengukur kemarahan Rakyat yang tertindas itu kepada yang menindas bukan dengan alasan ekonomi, melainkan dengan kemarahannya personal, maka ia mudah kena provokasi, dan terdorong, sehingga ia terisolasi dari orang banyak, dan akhirnya kalah.

Taktik Kaum Sindikalis, yang juga beralaskan Anarckisme yang terutama berpengaruh di sebelah Selatan Eropa dan Amerika Selatan pun tak bisa mencukupi kekuatan buat memerangi kemodalan zaman sekarang. Kaum Syndicalist itu anti-parlemen dan anti-politik. Sebab itu Kaum Syndicalist tak mau mengirim wakil ke parlemennya kaum Hartawan. Sebaliknya ia menyangka, bahwa Serikat Buruh itulah yang tertinggi. Sudahlah tentu dasar anti-politik dan anti-parlemen itu salah sekali. Dengan sikap begitu, Kaum-Buruh tak tahu akan politiknya Kaum-hartawan, sedangkan politik dan ekonomi itu bersanak sudara. Politik tidak lain dari gecon­centreerde ekonomi, artinya itu, politik ialah pusatnya urusan ekonomi. Apabila Kaum-Buruh akan menyia‑nyiakan politik, yakni pusatnya ekonomi kaum Hartawan itu, mereka akan mudah terjerat kaki dan lehernya.

Taktik Kaum Sosial Demokrat tak perlu kita uraikan di sini dengan panjang lebar. Mereka itu percaya bahwa Modal dan Tenaga (Arbeid) tak bertentangan. Begitu juga Hartawan dan Buruh bisa sama-sama jalan. Sebab itu Kaum Sosial Demokrat memasuki Parlemennya Kaum Hartawan. Mereka percaya, bahwa kalau kelak dengan jalam damai mereka bisa mengadakan wakil lebih banyak dari Hartawan, maka Hartawan akan kalah suara dan akan mundur saja. Sesudahnya itu perusahaan ekonomi boleh dijatuhkan ke tangan Buruh. Berhubungan dengan itu, maka Kaum Sosial Demokrat anti-revolusioner dan aksinya ialah merebut bangku Parlemen saja. Sepadan dengan keyakinan ini, maka Kaum Sosial Demokrat, dimana-mana sudah menjadi Kaum Penghianat. Pembunuhan jiwa Buruh yang 10.000.000 dalam peperangan besar baru lalu, ialah terjadi dengan bantuan Sosial Demokrat, yang selalu bantu Begrooting Kaum Hartawan dimana-mana. Di sekalian jajahan, Sosial Demokrat membantu politiknya Kaum Imperialist buat menindas bangsa Timur. Di Jerman, Ebert, Noske dan Scheidemann sudah merasakan, bahwa Parlemen itu tak mudah dijadikan anggota Kaum Buruh. Dimana dulu, Sosial Demokrat mendapat Meerderheid atau Suara Kelebihan dalam Ryksdag (Parlemen), sekarang mereka jadi boneka saja, dan pemerintah sama sekali jatuh di tangan Fasis. Oleh karena Sosial Demokrat pada tahun 1918-1923 tidak memerahkan Justisi, Kementerian, Laskar dan Polisi, maka anggota-anggota ini dengan rahasia mengumpulkan kekuatannya di bawah selimutnya Sosial-Demokrat. Oleh karena kaum reaksi Jerman sekarang di bawah Presiden Jendral bisa sembelih semua Sosial Demokrat, yang dulu tuannya itu.

Taktik Merah, atau taktik revolusioner tidak saja di Rusia sudah menjatuhkan kemodalan, dan bisa mempertahankan Soviet sudah lebih dari 8 tahun, tetapi dimana-mana di dunia, Eropa Barat, Amerika, Tiongkok, Jepang, India dan Indonesia sedang membingungkan yang berkuasa. Taktik merah tidak bersarang di jimat atau kemenyan, melainkan berurat pada keadaan hidupnya Rakyat yang tertindas. Kita tidak anti-parlemen seperti Kaum Syndicalist, tetapi tidak pula parlemener seperti si Pengkhianat Sosial Demokrat. Kita masuki Parlemen, buat membuka topengnya Kaum Hartawan dan Sosial Demokrat, tetapi sama sekali tiada mengharapkan hasilnya yang konkrit atau nyata dari aksi di Parlemen itu. Kita tahu, bahwa sebagian besar dari Buruh masih mengikut Sosial Demokrat dan percaya pada Parlementarisme. Sebab itu kita masuki Parlemen itu buat memecahkan dari dalam. Dalam pada itu kita lebih pentingkan mengatur kekuatan Buruh, Tani dan sekalian Rakyat yang tertindas di luar Parlemen. Semuanya aksi dan pertarungannya Buruh, Tani dan penduduk kota, baik ekonomi ataupun politik mesti kita campuri. Bukan buat menipu mereka dan memperdamaikan dengan Hartawan seperti laku Sosial Demokrat, melainkan buat membantu mendorong, dan kalau bisa menghancurkan Hartawan dan budak­budaknya. Menurut kekuatan kita dan Rakyat yang percaya pada kita, maka kalau bisa semua aksi ekonomi kita besarkan jadi mogok umum, kalau perlu ditambah dengan boikot dan demonstrasi. Dari mogok umum, boikot dan demonstrasi yang dilakukan di seluruh negeri itulah bisa lahir pemberontakan buat merebut politik negeri dan mendirikan Diktatornya Proletar.

  1. Rusia

Seperti Pemberontakan Hartawan kepada Bangsawan di buka oleh Hartawan Prancis pada tahun 1789, begitulah Pemberontakan Buruh kepada Hartawan dimulai oleh Buruh Rusia kepada Hartawan disana. Seperti Revolusi 1789 di Perancis didahului oleh revolusi kecil di Inggris pada tahun 1650 (Cromwell), begitu pula diktatur proletar di Rusia tidak sama sekali baru, karena sudah didahului oleh Komune Paris pada tahun 1870, pada percobaan 1870 Karl Marx, dan Lenin banyak mendapat pelajaran buat menyempurnakan diktaturnya Proletar.

Pada Revolusi Prancis kita bisa mempelajari, bahwa kemenangan Kaum Hartawan yang masih revolusioner itu turun naik. Republik-Hartawan yang didirikan pada tahun 1789 cuma bisa berdiri 5 tahun saja. Kemudian datang Napoleon yang akhirnya jadi Kaisar dan sesudahnya Napoleon jatuh maka berturut turut Raja keturunan Lodewyk XVI, (yang dipancung kepalanya oleh kaum pada revolusioner) bisa kembali memerintah. Barulah pada tahun 1849, maka Republik Hartawan bisa kembali lagi, yang walaupun sementara disambung oleh Napoleon III, sampai sekarang bisa terus berdiri. Jadi tidak kurang dari 60 tahun Prancis berkelahi dengan kalah menang buat demokrasi dan Parlemenarisme cara kemodalan. Dalam waktu Prancis berjuang dengan Bangsawan itu, maka berturut-turut negeri menjatuhkan Raja dan Bangsawannya seperti Belanda dan dimana-mana kekuasaan Bangsawan dan Raja di potong-potong seperti Jerman, Italia, Spanyol, dll. Ringkasnya berpuluh tahun Hartawan di seluruh dunia mesti berperang dengan kalah dan menang baru bisa menghancurkan Raja dan Bangsawannya sama sekali.

Ini pengajaran yang dalam artinya buat kita. Dunia Hartawan yang berpuluh-puluh kali lebih kukuh dari dunia Bangsawan tentulah takkan bisa kita hancurkan dalam satu hari.

Kita tahu, bahwa reaksi di seluruh dunia sekarang bertambah hebat. Karena kaum Sosial Demokrat pada tahun 1917-1923 berkhianat, maka Revolusi Rusia tak diikuti oleh negeri lain-lain. Kaum Reaksi di belakang baju Sosial Demokrat, yang dikemukakan di Jerman buat melindungi Kaum Hartawan bisa bernapas kembali dan mengumpulkan semua senjatanya, yang pada tahun 1918-1923 hampir sama sekali hilang dari tangannya. Sekarang di Jerman Kaum Reaksi sudah mengancam dengan pemerintah Fasis, yakni diktaturnya Kaum Hartawan. Kaum Hartawan tidak akan memakai Parlemen lagi melainkan tangan besi, seperti Mussolini di Italia. Hartawan akan lemparkan demokrasi, dan atur ekonomi dengan memaksa kaum buruh kerja, dengan gaji sedikit, dan waktu yang lama, dan menghancurkan semua pergerakan revolusioner, dengan jalan kasar. Begitu juga di Prancis, dimana ekonomi kusut, Fasis sudah siap. Di Inggris, dimana pada 2 atau 3 bulan lagi disangka akan datang frisis sekarang Fasis sudah mengasah-asah pedang kiri kanan dan mengumpulkan uang dan senjata. Di Amerika, dimana Kaum Komunis mulai maju, Klu Klux Klan, sudah jadi Fasis, dan selalu sedia akan menghancurkan pergerakan merah. Tentulah Fasis dapat sokongan dari Kaum Hartawan baik lahir ataupun batin.

Tetapi makin gelap jalan di muka, makin terang buat kita suluh yang di belakang. Sejarah menyaksikan kita, bahwa pertandingan kasta itu, bukanlah permainan, melainkan suatu kemestian pergaulan hidup dan suatu kewajiban sebagai manusia. Kalau musuh kita mengasah-asah pedang, maka jawab kita lain tidak hanyalah menegapkan barisan dan mempertajam senjata lahir dan batin. Pekerjaan yang sudah dimulai oleh Rusia dengan korban beribu-ribu jiwa, tiadalah boleh kita khianati dengan kelembekan atau dengan meninggalkan dasar yang sudah kita peluk.

Walaupun di kiri kanan ada reaksi, kita mesti terus menyusun tentara yang ada di negeri kita. Kalau kawan kita pada waktu yang di muka ini, baik di Rusia ataupun Eropa Barat dan Amerika dapat serangan, maka kita harus tidak mundur malah merebut kemenangan pada barisan yang kita duduki, yakni: di muka Rakyat Indonesia.

  1. KEADAAN INDONESIA
  2. Ekonomi

Adapun sifat kapitalisme di jajahan, seperti Indonesia dan Asia lain, adalah berlainan sekali dengan kapitalisme di Belanda dan Eropa lain. Disana lahir dan majunya kapitalisme itu terbawa oleh keperluan negeri sendiri, sedangkan di sini lahir dan majunya kemodalan itu terbawa oleh keperluan bangsa asing. Sebab itu di Eropa majunya kapitalisme itu dengan jalan menurut alam atau Organisch, sedangkan di Indonesia kunstamatig atau bikinan. Berpadan dengan hal itu, Kapitalisme di Eropa ada sehat dan sempurna, sedangkan yang di Indonesia verkracht atau terperkosa, seolah-olah sepokok kayu yang kena kelindungan.

Kapitalisme di Eropa membagi negeri atas kota dan desa. Di kota terdapat perusahaan atau industri dari kain, besi, batu, kertas dll. Sedangkan di desa terdapat gandum, sayur, sapi, domba dan hasil buat lain-lain makanan. Jadi dipukul rata kota memperusahakan barang pabrik dan desa mengadakan hasil tanah dan ternak. Bagian pekerjaan di kota dengan desa itu bertambah terang sekali pada negeri yang sangat maju permodalannya

Tentulah hasil pabrik di kota itu, gunanya, terutama buat penduduk kota sendiri. Sisanya itu ditukarkan dengan makanan yang dihasilkan oleh desa. Begitulah kain, pisau, perkakas rumah, baja, dll yang dibikin di kota ditukar dengan gandum, sayur, daging, dll yang dihasilkan di desa, yakni dengan sisa yang dimakan oleh penduduk desa. Pada negeri kemodalan yang belum terang imperialistis, dan sehat ekonominya seperti Amerika sebelum perang 1914-1918, maka jumlah harga sisa barang kota itu hampir sama dengan harga sisa hasil tanah di desa. Begitulah asal majunya kemodalan dan perusahaan, yakni dari pertukaran barang pabrik di kota-kota dan hasil tanah di desa-desa. Makin maju perusahaan di kota, makin banyak penduduk desa lari ke kota mencari pekerjaan, kepandaian atau kepalsiran, karena di kota terkumpul, pabrik, sekolah, bioskop, rumah komedi, dll.

Di Indonesia juga akan bisa begitu, kalau Belanda tak datang dan membunuh perusahaan kecil-kecil, buat membikin kapal, kain, barang-barang besi, seperti sudah ada di Tuban, Gresik, dll. Perusahaan kecil-kecil itu juga akan jadi besar, memakai uap dan listrik seperti di Eropa dan Amerika. Kota-kota Indonesia juga akan menarik penduduk desa dengan lekas dan bertambah hari bertambah maju penduduk, pabrik dan kaum buruhnya. Juga di kota Indonesia akan diadakan kain, bajak buat desa, dan desa-desa terutama hasilnya buat penduduk kota-kota Indonesia sendiri.

Tetapi sebab Belanda dengan hukum melarang membuat kapal dan membunuh perusahaan anak negeri dengan memasukkan barang pabrik yang murah harganya, maka kota dan desa kita jadi lain sifatnya dari kota di Eropa. Kota kita tidak ada yang menghasilkan, kain, bajak dan perkakas lain buat desa-desa, karena semua barang, ini dimonopoli atau diborong oleh Belanda. Desa kita tidak buat mengadakan hasil untuk penduduk kota, melainkan terutama buat tebu, teh, kopi, getah d. s. g. bukan buat keperluan negeri dan Bumiputera, melainkan buat untung si Pengisap yang tidur di Belanda. Sebab itu desa dan kota kita satu dengan lainnya tidak bergandengan dan tali bertali seperti pada suatu negeri yang sehat ekonominya, melainkan keduanya buat pengisi perut besar si Lintah Darat yang tidur di Belanda itu saja. Berhubung dengan hal ini, maka majunya kapitalisme di negeri kita jadi kunstmatig atau tak sehat.

Sebab perusahaan di negeri kita tidak buat keperluan anak bumi putera sendiri, maka barang yang perlu buat hidup kita, harus dibeli dari negeri lain dengan harga sesukanya orang lain itu saja. Dan oleh karena tanah di Jawa terdesak oleh kebun-kebun besar, maka beras, yakni nyawa kita, mesti datang dari negeri lain.

Demikianlah pada tahun 1922 Rakyat membeli barang kain yang masuk ada kira-kira F. 182.531.000. Di jajahan lain seperti India, Tiongkok dan Filipina barang pakaian sudah bisa dibikin dinegeri sendiri. Jadi disana uang Rakyat bayaran kain itu tinggal di negeri sendiri, sedangkan di Indonesia terbang kesakunya Lintah Darat Belanda. Harga beras masuk, walaupun beras Jawa nomor 1 kualitasnya di dunia dan bangsa Jawa memang pintar bertani pada tahun 1922 juga ada F. 74.947.000. Karena di Jawa hampir tak ada kapital dan saudagar anak negeri, seperti di jajahan maka untung perniagaan beras ini tidak satu peser jatuh di tangan anak negeri. Demikianlah untung perniagaan berhubung dengan import (barang masuk) yang pada tahun 1922 banyaknya ada F 696.300.000 itu hampir semuanya mengalir ke saku Lintah Darat Bangsa Asing.

Sudahlah terang, bahwa total export (harga barang keluar) yang pada tahun 1922 ada F.1.142.400.000 sama sekali dimakan oleh Lintah Darat Belanda yang memonopoli sekalian perusahaan besar-besar di Indonesia ini. Sedangkan di jajahan lain untung dari import dan export itu ada sebagian jatuh di tangan anak negeri, maka di Indonesia yang sangat subur dan kaya ini, semuanya keuntungan perniagaan dan hasilnya perusahaan dan tanah sama sekali terbang ke perutnya Lintah Darat yang tidur, palsir atau mondar-mandir di Belanda. Sisanya yang terlempar kepada bumiputera, gunanya sekedar buat hidup sebentar, seperti kuda atau kerbau, yang dipakai penarik kereta, juga mesti diberi makan.

Sebab kapitalisme Indonesia gunanya buat memenuhi keperluan bangsa asing, yang jauh tinggalnya itu, maka keadaan dan majunya kapitalisme Indonesia juga semata-mata menurut keperluan bangsa asing yang tinggal di negeri asing itu. Kromo mesti menyewakan tanah buat gula, getah dan teh dan jadi kuli Belanda mau dapat untung. Rakyat Indonesia tak bisa dapat pabrik kain, pabrik mesin dan kapal, sebab Belanda takut Twente dan perusahaan kain sana akan jatuh, dan juga saudagar-saudagar Belanda, pabrik kapal dan perusahaan-perusahaan kapal yang mengangkut barang import dan export dari Indonesia ke Belanda akan turut jatuh. Sebab itu Indonesia mesti tinggal jadi landbow-land atau negeri-pertanian tidak negeri perusahaan atau industri-land. Penduduknya mesti tinggal mundur (pasif) dan mudah ditindas. Tiadalah seperti pada negeri industri, yang mempunyai buruh yang lebih maju dan lebih aktif dan tak gampang ditindas. Selama Indonesia tinggal jadi jajahan, maka ia tak akan bisa memajukan ekonomi dan perusahaannya sebagaimana yang baik buat dirinya senriri, karena ia terpaut oleh Lintah Darat Belanda, yang tak memperdulikan nasib Rakyat Indonesia.

  1. Sosial

Di negeri-negeri yang sangat maju kemodalannya, seperti Jerman dan Amerika maka Kaum Buruh itu jumlahnya ada kurang lebih 3/4 bagian dari seluruh penduduk negeri. Artinya itu ada 3/4 atau 75% dari penduduk yang tak berpunya apa-apa lain dari tenaganya dan tergantung hidupnya semata-mata dari modal besar.

Sepanjang ada bahwa perhitungan tahun 1905, maka di Jawa saja ada kira-kira 40% dari bumiputera yang proletar atau tak berpunya apa-apa. Kalau kita taksir sekarang, berhubung dengan bertambah majunya industri, angka itu sudah jadi 50%, maka dari penduduk tanah Jawa yang 36 juta itu ada 18 juta yang hidupnya tergantung dari perusahaan besar dan kecil. Tetapi di Sumatra, Borneo, Celebes, Daerah Ternate dan sebagainya yang jumlah jiwa kira-kira 18 juta itu masih sedikit kaum proletar. Hampir semua penduduk mempunyai tanah, modal kecil, perusahaan kecil atau perahu penangkap ikan. Kita pikir kita akan tak berapa salah menaksir (karena statistik yang sah belum ada ), bahwa kaum proletar di seluruh Indonesia pada masa ini ada kira-kira 18 juta, yakni kira-kira 34% dari penduduk yang 54 juta itu.

Tetapi di antara yang tak berpunya, Buruh Industri masih sangat sedikit. Di Jerman umpamanya, yang jumlah isi negeri hampir sama dengan Indonesia, yakni 60 juta ada kira-kira 2 juta buruh-pelikan (buruh pertambangan), sedangkan di Indonesia tak lebih dari 100.000, yakni seperdua puluhnya. Buruh kereta juga kira-kira 2 juta, sedangkan di Indonesia tak lebih dari 80,000, jadi kurang dari seperduapuluhnya di Jerman. Berjuta-juta buruh industri model baru, seperti pada pabrik membuat kereta, mesin, kapal, kain dll.  yang ada di Jerman, sama sekali tak ada di Indonesia. Jadi perkara banyaknya buruh industri, maka Indonesia, jauh kalahnya oleh Jerman, Inggris dan Amerika, juga kalah oleh Jepang dan India, dimana juga sudah terdapat buruh industri model baru.

Di Eropa, Amerika dan Jepang yang memiliki Pabrik, Tambang, Kereta, Kapal, Bank dll itu ialah bumiputera juga, Di Jajahan seperti India, Filipina dan Mesir sudah banyak bumiputera sendiri yang mernpunyai industri model baru, pertanian dan perniagaan model baru. Tetapi di Indonesia modal besar bumiputera bolehlah dikatakan tak ada. Betul di Jawa, lebih-lebih Sumatera di antara bumiputera ada yang mempunyai modal F.100.000 kebawah, tetapi ini masih kecil, dan urusan perniagaan atau perusahaan yang mempunya F.50.000.000, yang memiliki tambang, pabrik dan Bank seperti di Tiongkok, India atau Jepang, jadi kasta Hartawan bumiputera, memang di Indonesia tak ada. Sebabnya ialah karena dulunya Belanda dengan sengaja membunuh timbulnya modal anak negeri. Di Indonesia kasta-kasta itu terutama kasta-tani, kasta-buruh dan kasta tengah (ambtenar, saudagar, tani besar, kaum terpelajar d.s.g.) Di antara kasta-kasta ini, kasta inilah yang terbanyak dan kasta buruhlah yang terkuat dan makin hari makin kuat, karena kaum buruhlah yang geconcentreerd atau terkumpul dan ialah yang menjalankan industri, yakni nyawanya ekonomi, dan kasta buruhlah yang akan termaju pikiran dan wataknya dalam pergerakan ekonomi dan politik.

Dengan angka-angka saja belum bisa kita dengan sempurna memperbandingkan majunya buruh Indonesia dengan Eropa. Majunya itu terutama pula tergantung pada kualitas atau tingginya industri yang ada. Kita sudah terangkan di atas, bahwa Indonesia bukanlah industri-land melainkan terutama landbow-land, walaupun landbow atau pertanian di Indonesia dijalankan dengan perkakas yang model baru sekali.

Berhubung dengan itu, maka buruh Indonesia terutama bukanlah buruh industri malah buruh tani (gula, teh, getah dan sebagaianya). Yang buruh industri betul (minyak tanah, kereta, kapal) masih sedikit sekali. Perbedaan buruh pertanian Indonesia dengan buruh perusahaan di Eropa itu membawa perbedaan lahir batin pula. Proletar Indonesia masih muda, dan masih ada pertaliannya dengan familinya di desa-desa, dan acap kali masih mempunyai tanah di desa-desa. sedangkan proletar-industri Eropa sudah sampai ke nenek moyangnya terikat oleh pabriknya. Proletar kita masih mundur dalam pekerjaan teknik, masih percaya sama tahayul dan masih pasif. Proletar industri Barat sigap dan disiplin dalam pekerjaan, tak terikat oleh tahayul lagi, serta bersikap aktif dalam pikiran dan pekerjaan.

Begitulah pula kaum-tengah Eropa bersifat lain dari kaum tengah Indonesia. Di Indonesia sendiripun, berbeda pula satu kasta dengan kasta yang lain dan berbeda pula satu kasta pada satu pulau dengan kasta itu juga pada pulau lain di Indonesia. Seorang tani di Jawa umpamanya, yang selalu campur dengan pabrik gula, yang acap naik kereta tentulah berlainan sekali pikiran dan wataknya dengan seorang tani pemotong sagu di daerah Ternate, yang belum pernah seumur hidupnya melihat asap pabrik atau mendengar peluit kereta express. Ringkasnya perbedaan kemajuan industri pada satu negeri dengan negeri lain membawa perbedaan kualitas, yakni pikiran dan wataknya kasta-kasta di negeri negeri itu, seperti Buruh Eropa dengan Buruh Indonesia, Tani Jawa dengan Tani di daerah Ternate.

  1. Krisis-Ekonomi

Walaupun Indonesia sangat kaya, dan pertanian serta perusahaan dijalankan dengan cara model baru sekali, tetapi bumiputera selalu dalam kemiskinan dan urusan uang (staatsfinancien) sudah lama selalu dalam krisis. Walaupun pada waktu perang yang baru lalu, modal-besar mendapat untung berlipat ganda dari waktu normal atau biasa, tetapi sebab harga barang naik dan gaji tinggal sedikit, maka kemelaratan Rakyat malah bertambah dari yang sudah-sudah. Pada penghabisan perang, urusan uang kalang kabut, sehingga hampir mendatangkan bangkrutnya negeri.

Sebab yang dalam, yang mendatangkan kesengsaraan dan krisis itu, walaupun kapital-besar mendapat untung berlipat ganda, terutama sekali, karena untung itu baik langsung atau tak-langsung semuanya mengalir ke Eropa. Langsung karena tiap-tiap tahun berjuta-juta uang dikirim ke Eropa, buat membauar bunga modal (dividenten) yang masuk di industri, kereta, pelikan dan kapal tak langsung, yakni dengan jalan perniagaan (export dan import), yang sama sekali dimiliki oleh bangsa asing juga.

Walaupun Pemerintah Indonesia sekarang (ambtenar, serdadu, Justisi, armada, polisi d.s.g.) gunanya bermata-mata buat membantu dan membesarkan modal asing serta sebaliknya penindas dart, pengisap bumiputera buat modal besar itu, tetapi uang buat pengisi perutnya Pemerintah itu, yakni pajak, tiadalah dibayar oleh Kaum-Modal Belanda sendiri, melainkan oleh bumiputera juga. Jadi Rakyat Indonesia tidak saja membiarkan harta, tenaga dan kemerdekaannya dirampok oleh Kaum Modal Belanda, tetapi mesti membayar gaji hambanya kaum modal itu, yaitu Gubernur-jendral, Resident, Regent, Wedono, Commissaris van Politie, Jendral, Major dan beribu-ribu hamba yang lain-lain.

Sebab Modal-Belanda tak mau membayar gaji hambanya itu dari kantongnya sendiri, dan buat penambah Modal-Besar di Indonesia, maka Pemerintah Belanda terpaksa meminjam uang ke lain negeri. Sampai tahun 1923, maka banyaknya uang pinjaman itu sampai F. 1476.662.000. Dengan bunga 5%, maka saban-saban tahun mesti dibayar bunga kepada negeri lain F.6.471.641. Bunga itu tentulah tiada dibayar dari gaji Guberner-Jendral atau untungnya Colijn, melainkan dengan pendapatan Rakyat juga. (Semua angka-angka ini kita petik dari Handbook of the Netherlands East-Indie, yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri)

Uang masuk atau inkomsten, yakni terutama buat gaji hambanya pemerintah pada tahun 1921 ada F.769.700.000 tetapi uang keluar atau uitgaven, yakni yang dimakan oleh hamba-hamba tadi ada F.1.055.200.000. Jadi dapat kekurangan F.285.500.000. Kekurangan itu tinggal terus menerus, tiap-tiap tahun.

Buat pengobat krisis ini, maka Kaum-Modal Belanda memilih hambanya Guberner-Jendral  Fock.

Sebab Fock ini dulunya ia mengaku liberal, maka buat penutup malunya sebagai liberal ia mula-mula pura-pura mau menolong Rakyat Indonesia. Ia berjanji mau memaksa Modal-Gula memperbaiki nasib buruh dan tani gula dengan ongkos Modal Gula sendiri. Lagi pula ia mau memaksa Modal Besar menolong Rakyat membayar pajak yang besar itu, supaya kekurangan pajak tadi bisa tertutup dan rakyat dapat kelonggaran

Tetapi sesudah Modal Gula menyepak kembali, maka tuan Fock diam saja. Dan apabila Colijn, yakni Raja Minyak menjawab “Tutup mulutmu, kalau tidak kamu saja boikot, dan pabrik minyak kami tutup”, maka tuan Fock yang liberal tadi lebih suka memihak kepada gajinya yang beribu-ribu itu, dari pada memihak kepada Rakyat atau kepada paham liberalismenya. Malah ia lebih menjilat ke atas dan lebih menendang ke bawah.

Keatas: Gaji ambtenaren yang besar-besar di naikkan, laskar, armada dan polisi dibesarkan.

Kebawah: Pajak dinaikkan, buruh dilepas dan diturunkan gajinya, uang-keluar buat pendidikan, dan kesehatan Rakyat diturunkan.

Walaupun Fock sedikit menaikan cukai dari barang masuk dan ke luar tetapi saudagar Belanda yang mempunyai barang-barang itu dengan mudah bisa menaikkan harga barang-barangnya, yang mesti dibayar oleh Rakyat yang membelinya juga (minyak, kain, korek-api d.s.g.)

Rumah-Gadai, yang dipunyai oleh pemerintah sendiri menaikan untungnya pula dengan jalan menaikan isapan (Renten) pada Rakyat yang miskin juga. Sekarang ini menurut keterangan buku-buku, Rakyat Indonesialah yang tertinggi sekali membayar pajak di dunia ini.

Di negeri-negeri lain di Timur seperti India, Filipina dan Tiongkok, bumiputera sendiri ada mempunyai perusahaan, pertanian dan perniagaan besar, sehingga untungnya juga tinggal dalam negeri sendiri, dan sebagian dari untung itu dipakai buat membayar pajak negeri. Tetapi di Indonesia pikulan uang sama sekali tertimpa pada Rakyat-Melarat, yang makin tahun bertambah miskin, karena semuanya untung mengalir ke sakunya Lintah Darat yang tidur di Den Haag atau Zorgvliet.

Makin besar Pemerintah-Indonesia meminjam uang kepada bangsa lain seperti Amerika dan Inggris, makin berkuasa Modal Asing di Indonesia, makin habis tanah ditelan oleh Modal-Asing itu, makin besar uang yang mengalir ke negeri sebagai bunga dan dividen uang pinjaman itu, dan berhubung dengan itu makin dalam kemelaratan Rakyat dan makin hebat pula krisis ekonomi yang akan datang.

Selama semua untung dari modal-besar, baik langsung atau tak langsung sama sekali mengalir ke luar negeri, selamanya itu Krisis ekonomi Indonesia tak bisa diobat. Betul sekarang, Fock hampir bisa mengadakan balans-begrooting atau sama-berat uang masuk dan uang-keluar, tetapi balance itu semata-mata memperberat pikulan Rakyat, dan wujudnya langsung akan memperjauhkan yang memerintah dari yang terperintah dan memperdalam krisis-politik.

  1. Krisis Politik

Di Filipina, India dan Mesir, oleh karena adanya Tani-Besar, Kapitalis besar dan Saudagar Besar dari bumiputera sendiri, maka dalam waktu krisis politik, kaum imperialist bisa memadamkan atau mengurangkan krisis politik itu, dengan jalan konsesi, yakni memberikan sebagian dari kekuasaan itu kepada bumiputera. Disana kaum modal asing mempunyai banyak sama keperluan ekonomi dengan modal bumiputera. Kalau pada suatu jajahan, dimana Imperialisme itu masih autokratik (yakni memungut semua kekuasaan) Rakyat bergerak menuntut kemerdekaan, seperti di India pada tahun 1918-1923, maka kaum imperialis memukul pergerakan itu dengan konsesi politik. Imperialisme Inggris memberi 1/2 atau 3/4 Parlemen, dimana Kaum-Modal bumiputera boleh mengirimkan wakilnya. Oleh karena kaum-tengah dan intelektual pada negeri yang ada mempunyai nasional-capital hampir semuanya memihak pada nasional kapitalis itu, maka mereka itulah yang terpilih menjadi anggota dari 1/2 atau 3/4 Parlemen tadi. Oleh karena keperluan Modal-Asing dan Modal Bumiputera banyak bersamaan, maka buat modal asing itu tak besar bahayanya, kalau sebagian dari politik negeri terserah pada wakilnya modal kulit hitam. Oleh karena kaum buruh dalam pertandingan buat keperluannya tak bisa membedakan Modal hitam dan Modal putih, maka Kaum Tengah dan intelektual, yang mempertahankan modal hitam itu terbawa-bawa mempertahankan modal putih seperti C. R. Das pemimpin Partai-Swaray di India. Dengan konsesi politik itulah di India Inggris menarik Kaum intelektual, yakni pemimpin pergerakan Rakyat ke dalam Parlemen dan dengan jalan kompromi itulah ia sering-sering mengundurkan revolusi.

Menurut pemandangan kita, atas dasar Marxisme, maka di Indonesia, sebab tidak ada nasional-kapital, Modal Belanda tak bisa memberi konsesi-politik yang berarti. Ia harus sendirinya memerintah atau dengan bumiputera yang memang terang budaknya.

Kaum cap Budi-Utomo (B.O.), Serikat-Islam (S.I.) dan Nasionale Indische Partij (N.I.P) yang dulu terpikat oleh suara merdunya Van Lim­burg Stirum, sekarang kita harap sudah yakin, bahwa mereka yang mau tinggal jadi Wakil Rakyat Indonesia tak bisa kerja bersama-sama dengan Wakil Modal Belanda di Volksraad, dan Volksraad tak bisa jadi 1/2 Parlemen, seperti di India atau 3/4 Parlemen seperti di Mesir dan Filipina. Volksraad mesti tinggal semata-mata buat Kapital-Asing, dan anti seluruh Rakyat. Tetapi oleh karena Nasionalis atau Islamis dinegeri kita tak sepeser mengerti Marxisme, yakni kea­ daan dan kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan ber­hubung dengan itu politiknya kasta, maka mereka tentu masih bingung, tak mengerti apa-apa, apa sebab Dr. Tjipto, Tjokro dan Muis disepakkan, sesudah dipakai oleh Limburg Stirum pada waktu Krisis-politik tahun 1918. Kita kaum Komunis yang memboikot Volksraad pun belum pernah mengadakan pemandangan kekastaan yang jelas dan terang, kenapa Volksraad Indonesia tak bisa menjadi Parlemen, selama Keadaan Sosial d inegeri kita masih tetap seperti sekarang.

Pemandangan kita di negeri jajahan lain, seperti India di atas sudah sebagian memberi keterangan. Di Indonesia tak ada Kasta-Landlords (Tuan Tanah) atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan kekayaannya. Kasta saudagar-besar dan Modal-Besar sama sekali tak ada. Sebab itu kaum intelektual, yang di negeri kita baru mulai timbul belum mempunyai kasta bumi­putera tempat mereka berlindung. Sebab itu kaum intelektual kita masih pasif. Karena didikannya di sekolah imperialis, mereka tak mengerti, bahwa kasta mereka mesti mencampurkan diri ke kasta Buruh dan tani, karena kasta-kasta inilah di Indonesia yang bisa merebut kemerdekaan.

Oleh karena Kasta Modal Bumiputera di indonesia tak ada atau masih sangat kuno dan lemah serta kasta-intelektualnya pasif, maka kalau Modal Belanda mau memberi 1/2 atau 3/4 Parlemen, haruslah ia memberi hak-politik dan Suara Memilih Wakil kepada Buruh dan Tani. Kepada kasta-kasta kedua inilah ia harus memberi konsesi dan dengan Rakyat melaratlah ia harus membagi kekuasaan politik.

Ini namanya contradictio determinis, artinya itu membantah diri sendiri. Masakan yang menindas bisa memberi 1/2 atau 3/4 senjata kepada yang tertindas, seperti si Penyamun akan memberikan pistolnya kepada yang disamunnya. Dengan segera yang disamun akan membunuh yang menjamun.

Semua Hukum dan Kekuasaan yang ada di Indonesia sekarang, ialah buat membantu dan membesarkan Modal Asing dan sebaliknya buat menginjak Rakyat Indonesia. Kalau Rakyat yang sama sekali terinjak itu diberi hak politik, yakni senjata buat mengubah, atau menghapuskan Hukum-Negeri tentulah tak satu Hukum akan tinggal buat mempertahankan Modal Asing itu. Kalau di Indonesia ada kasta Modal Bumiputera yang kuat, Kasta-Terpelajar yang kuat pula, tentulah kasta-terpelajar ini bisa ditipu oleh Modal Asing dengan 1/2 atau 3/4 sampai 7/8 Parlemen. Dengan politik menipu kaum-terpelajar (kaum mana terutama di jajahan sangat dipercayai oleh Rakyat), kaum imperialist. Belanda akan bisa menipu Rakyat yang mengikut kaum-intelektual itu dan meundurkan revolusi. Tetapi di Indonesia sebagian besar dari Rakyat ialah Tani, Buruh dan Saudagar kecil-kecil yang sama sekali tak bersamaan keperluannya dengan Modal Asing, malah sama sekali bertentangan. Sebab itulah Belanda takkan bisa memberi konsesi-politik yang berarti kepada Rakyat kita.

Pertanyaan di negeri kita tidaklah revolusioner atau evolusioner, melainkan bagaimana kita harus mengadakan program-merah, taktik-merah, organisasi-merah, agitasi-merah dan aksi-merah, supaya Rakyat kita dengan lekas dan dengan sedikit kerugian jiwa bisa lekas lepas dari tindasan dan isapan Modal Belanda.

Sikap Merah kita ini menjadikan cemas dan ketakutannya Kaum Modal Belanda, dan kecemasan serta ketakutannya itu membesarkan, laskar, armada, polisi dan resisir pula. Hal yang terakhir ini seterusnya menaikan pajak pula dan kenaikan pajak mendalamkan dendam kesumat Rakyat Indonesia pada pemerintah asing ini pula. Demikianlah satu bersangkutan dengan yang lain dan hasilnya memperdalamkan krisis ekonomi dan politik juga. Ringkasnya sikap merah kita tidak saja berguna, buat mendidik Rakyat Indonesia dalam politik, tetapi juga memperdalam pertentangan antara si Penghisap dan yang Terisap, sebab itulah mencepatkan datangnya kemerdekaan.

III. PROGRAM.

Diatas kita sudah mencoba menerangkan, bahwa krisis atau pertentangan ekonomi & politik di Indonesia sangat tajam. Pertentangan itu, lebih-lebih, kalau kelak dicampuri oleh hal-hal lain, seperti bahaya kelaparan atau penyakit, pada tiap-tiap waktu bisa melahirkan revolusi.

Keyakinan ini tiadalah kita peroleh dari satu dalil atau nujum. Juga tidak, dari ilmu kebangsaan cap N.I.P yakni karena yang memerintah berkulit putih dan yang terperintah berkulit hitam, yang memerintah berwatak Barat dan yang terperintah berwatak Timur. Warna, watak atau Agama itu tak perlu mendatangkan revolusi. Kalau umpamanya di Indonesia ada kasta­hartawan bumiputera yang kuat, walaupun kasta ini beragama berkulit putih dan berwatak Timur, tetapi dengan konsesi 1/2 sampai 7/8 Parlemen, revolusi itu tiap-tiap kali bisa dihindarkan. Betul warna, agama dan watak itu bisa menambah tajamnya pertentangan yang sudah ada, tetapi tiada bisa menjadi hoofd-factor atau hal yang terpenting dalam sesuatu pemberontakan. Yang bisa mendatangkan revolusi di Indonesia kita ini sewaktu-waktu ialah karena pada krisis ekonomi dan politik, yang dipertajam oleh perbedaan watak, warna dan agama, tak ada kasta-hartawan bumiputera, yang bisa memperdamaikan yang memerintah dengan yang terperintah.

Sebab kita tahu, bahwa kemodalan Belanda besok atau lusa mesti jatuh, maka haruslah kita dari sekarang mengadakan peraturan ekonomi & politik, ialah program yang cocok dengan kastanya partai kita, yakni partai Rakyat melarat, yang tergambar pada P.K.I dan S.R.

Betul sesuatu program revolusioner, yakni kehendak sesuatu golongan atau kasta, tak berarti, kalau tak ada pergerakan revolusioner dari kasta itu sendiri. Tapi betul pula, bahwa sesuatu pergerakan revolusioner yang tidak mempunyai basis teori, atau lantai yang berdiri atas teori akan mati sendirinya saja. Lihatlah Budi Utomo, S.I dan N.I.P. Ketiganya, dulu, mula-mulanya revolusioner. Tetapi tidak satu yang bisa menggambarkan maksudnya dengan terang. Betul juga sebab jatuhnya ketiga partai itu karena tak mempunyai disiplin, tetapi sebab yang terutama sekali ialah mereka tak bisa membuat program yang kukuh

Juga partai kita, walaupun di sana sini lebih terang melahirkan kehendaknya dari partai yang lain 2 di Indonesia, belum pernah memformulasi atau menetapkan program dengan secukupnya. Apabila kita mau tinggal memegang pimpinan revolusioner atas Rakyat melarat di Indonesia, maka haruslah sekarang kita memaklumatkan kehendak kita, dalam perkara ekonomi, politik, sosial d.s.g.

Adapun program itu tiadalah bisa kita gali dari dalil yang keluar lebih dari 1300 tahun dahulu, seperti pahamnya Haji Agust Salim, karena peraturan negeri pada zaman yang belum mempunyai pabrik, Bank dan kereta api itu berbeda sekali dengan keadaan negeri kita sekarang. Tiadalah pula bisa program itu kita timbulkan dari sentimen atau perasaan kebangsaan saja Kaum N.I.P. Akhirnya tiada pula bisa disalin dari programnya sesuatu partai komunis di Eropa atau Amerika dimana keadaan ekonomi, politik dan sosial berbeda sekali dengan keadaan di Indonesia. Melainkan kita harus memakai geest atau semangatnya Marxisme, buat mendirikan program yang cocok dengan keadaan di negeri kita. Jadi cuma metode atau cara mendirikan program itu saja bisa Marxis atau Komunis tetapi material atau perkakas mendirikan itu ialah Indonesia.

Berpadanan dengan itu, maka watak program kita haruslah:

  1. a)    Cocok dengan kekuatan kita. Tuntutan kita tak boleh terlampau jauh, supaya kita jangan lekas dilabrak oleh musuh, baik diluar atau didalam negeri, Sebaliknya pula kita tak boleh mengadakan peraturan ekonomi & politik yang mundur, dimana Rakyat akan tinggal terhisap dan tertindas. Berapa jauhnya tuntutan kita itu, sebagai partai internasional, kita juga mesti memikirkan keadaan internasional. Artinya itu, revolusi dunia, boleh jadi tiada lama lagi akan pecah. Tetapi boleh jadi juga lebih lama dari kita kehendaki sendiri, Kalau revolusi-dunia besok pecah, tentu kita besok pula bisa dapat pertolongan lahir dan batin (perkakas mesin, kepandaian buat industri d.s.g) dari buruh Eropa dan Amerika. Kita dalam hal ini tak akan celaka, kalau segera mendirikan Diktatur-Proletar yang sempurna, yang sepadan dengan keadaan Kapitalisme Indonesia. Tetapi kalau revolusi dunia lama lagi akan pecah, dan kita besok mendirikan Soviet-Republik, maka kita yang terletak di antara imperialisme Inggris, Amerika dan Prancis ini dan terpisah sekali dari kaum Buruh revolusioner di Rusia, Eropa dan Amerika, dengan lebih lekas dan lebih kuat dari pada Rusia akan dikepung dan dilabrak oleh imperialisme itu. Sedangkan Republik biasa saja (demokratis) sudah akan bisa menggojangkan seluruh Asia, apalagi kalau nama Republik itu dimerahkan pula. Tidak bisa dibantah lagi bahwa, walaupun Indonesia terutama landbouw-land, tetapi hidup kita sudah sama dengan industrieel land seperti Eropa. Ekonomi sudah hampir sama sekali bersifat internasional, karena hasil industri dan landbouw kita seperti gula, minyak-tanah, karet, kopi, kina, dll sama sekali tergantung dari perniagaan di luar negeri kita dan pasar-pasar di luar Indonesia. Sebaliknya pula semua keperluan hidup Rakyat Indonesia seperti kain, perkakas dan beras sama sekali datang dari negeri lain. Kalau Inggris atau Amerika besok tak mau mangaku kemerdekaan kita, artinya itu tak mau berniaga dengan kita, maka sehari kita tak bisa mengurus ekonomi. Berhubung dengan itu sebentar kita akan jatuh. Jadi jauhnya program kita haruslah sepadan dengan kekuatan kita yang ada dan cakap menentang musuh lari atau tersembunyi, baik didalam ataupun diluar negeri. Program itu haruslah satu lantai yang kukuh buat berjalan sendiri (kalau revolusi dunia belum datang) atau buat berjalan bersama-sama dengan dunia (kalau revolusi dunia sama datang dengan kemerdekaan Indonesia).
  2. b)    Bisa menaikkan derajatnya Rakyat Indonesia. Kaum-Buruh Indonesia haruslah memiliki perkakas hasil yang besar-besar, seperti pabrik, ondernemingen (bahasa Belanda untuk ventures atau perusahaan – catatan editor), tambang, Kereta, Kapal dan Banken. Mereka haruslah betul-betul berkuasa dalam hal menentukan, membuat dan membagikan (produksi & distribusi) hasil negeri. Mereka haruslah berkuasa betul dalam hal politik negeri. Perhubungan antara tuan dan budak, seperti yang masih ada di Eropa (kecuali Rusia) Amerika dan Jepang, yakni negeri-negeri yang kapitalistis pelan, haruslah dihapuskan. Untung yang berjuta‑juta yang sekarang tiap-tiap tahun mengalir kesaku Lintah Darat Belanda, di Den Haag, haruslah tinggal di Indonesia sendiri. Uang, ini boleh dipakai buat Didikan dan Kesehatan Rakyat, buat membantu Kaum Tani dan saudagar kecil dan Tukang-Tukang dengan jalan Koperasi dan terutama buat mendirikan industri model baru di Indonesia, seperti industri pembuat kapal, kereta, mesin-mesin dan perkakas lain-lain, pabrik kain, kertas dan membangun electrische-centrale (bahasa Belanda untuk pembangkit tenaga listrik – catatan editor) dari sungai-sungai dan danau-danau di Indonesia. Dengan perbutan demikian, maka niscayalah lama lambat seluruh Rakyat Indonesia, Buruh , Tani, Tukang dan Student akan maju derajatnya dalam hal ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan atau peradaban.
  3. c)     Bisa menarik Indonesia ke zaman industrialisme model baru. Bahwa perusahaan besar-besar, kepunyaan modal asing perlu dan bisa dimiliki kaum-Buruh, itu sudahlah terang. Perlu, karena dengan jalan begitu, hasil boleh diatur dengan rasional, yakni menurut keperluan Rakyat, bukan lagi buat di Lintah Darat di Eropa. Bisa, karena perusahaan besar-besar itu semuanya kepunyaan Modal-Asing, yang memperoleh harta itu dari Rakyat Indonesia juga dan tiadalah ada Kaum-Hartawan bumiputera yang cukup kuat buat melawan politik nasionalisasi Kaum-Buruh. Dengan pertolongan uang pada tukang, saudagar-kecil dan tani di Indonesia, dan dengan memberi pertolongan kepada mereka mendirikan Koperasi Negara, Pemerintah Baru di Indonesia bisa membesarkan dan mengumpulkan perusahaan kecil-kecil yang terpancir-pancir dan bisa membawa semua perusahaan kecil-kecil itu ke bawah pimpinannya. Semua perusahaan kecil, lama lambat akan hilang, sebab terbawa di bawah pengaruh Pemerintah-Baru (Republik-Indonesia), atau kalah bersaing dengan perusahaan Republik yang besar-besar. Kalau daya upaja yang tersebut diatas ditambah lagi dengan daya upaja mendirikan perusahaan yang model baru, maka dengan segera Indonesia, yang begitu mundur sekarang industrinya, sesudah beberapa lama akan menjadi negeri industri model baru di dunia penduduknya akan bertambah maju dalam segala hal dan politiknya juga akan memeluk seluruh alam atau menjadi internasional.
  4. d)    Bisa Mengadakan kerukunan seluruh Rakyat melarat. Kerukunan itu perlu tidak saja buat merebut kemerdekaan dari imperialisme Belanda, tetapi juga buat mempertahankan kemerdekaan itu keluar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang). Walaupun Kaum-Buruh kita terkuat dari kasta-kasta lain di Indonesia, tetapi ia sendirinya saja tentu sukar merebut kemerdekaan buat seluruh Indonesia, seperti juga buat Sumatra, Borneo, Celebes d.s.g, dimana industri dan kaum buruh baru mulai datang. Di Jawa sendiripun buruh industri yang betul-betul masih sedikit. Ringkasnya, walaupun buruh bisa termuka dan bisa memberi pimpinan pada seluruh Rakyat melarat dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi ia mesti mendapat pertolongan dari, tani, saudagar, student, serdadu dan tukang. Haruslah seluruh Rakyat tertindas di Indonesia terikat dalam satu “tentara‑kemerdekaan”. Tetapi ikatan itu harus berdasar ekonomi. Tani, atau tukang, tak bisa lama diikat dengan paham kebangsaan cap N.I.P. atau B.0. atau dengan agama cap S.I. saja. Ikatan semacam itu tidak bisa kukuh, karena tak mengandung kekuatan lahir melainkan perasaan saja. Ikatan itu cuma bisa kekal, kalau berdasar ekonomi jani, kalau tani, tukang dan saudagar dalam persahabatan dengan buruh itu betul‑betul mendapat keuntungan lahir dan batin (ekonomi, politik dan sosial). N.I.P. dan B.0. takkan bisa memperbaiki nasib kaum melarat, sebab kalau Indonesia di bawah pimpinan mereka menjadi merdeka, maka perusahaan besar-besar akan jatuh di bawah Angenent, Veynschenk, Raden Mas ini, atau Raden itu. Pun S.I tak akan bisa juga karena sesudah negeri merdeka urusan ekonomi sama sekali akan jatuh di bawah Kyai, Haji atau Sjech, seperti di Mesir Arab, Turki atau India. Tetapi kalau P.K.I. dan S.R. yang merebut kekuasaan, ia bisa menaikan derajat si Kecil karena lebih dulu mereka menghapuskan hak-Milik pada perusahaan besar-besar dan menghapuskan kasta Hartawan. Sebab kasta-buruh di Indonesia bukan Kasta-Penghisap, maka ia kelak bisa mengadakan perserikatan yang kukuh dengan segala golongan yang terhisap dan tertindas oleh imperialisme sekarang.
  5. e)    Bisa membangunkan semangat revolusioner seluruh Rakyat Indonesia, dengan kekal. Betul perasaan kebangsaan dan Agama bisa menbangunkan kebencian kepada Penindas dan mendatangkan kerukunan pada Rakyat, tetapi kebencian dan kerukunan semacam, sangat negatif dan sementara. Sebentar menjadi dingin, seperti pepatah Minangkabau: Panas-panas tahi ayam. Tetapi satu Program yang mempunyai lantai teori yang kokoh dan mudah dimengertikan pada Rakyat, bisa mendatangkan keyakinan yang tetap, karena keyakinan semacam ini berhubung betul dengan hidup dan pikirannya hari-hari, dan bisa memberi jawab pada soal-soal ekonomi, politik dan sosial. Dari keyakinan semacam itulah saja bisa timbul kemauan yang keras buat mempraktikkan cita-cita yang terpeluk oleh Program itu. Sebab itu Program yang kukuh itulah saja yang bisa membangunkan dan menetapkan semangat revolusioner dari seluruh Rakyat Indonesia sampai maksudnya sampai.

III. PROGRAM

  1. Program Nasional P.K.I & S.R.
  2. Ekonomis
  3. Nasionalisasi atau memindahkan Pabrik dan Tambang (seperti pabrik gula, kina, kelapa, semen dan tambang arang, emas, timah d.s.g.) ke tangan Pemerintah Rakyat Indonesia.
  4. Nasionalisasi Tanah dan Kebon, seperti Gula, Getah, Tebu, Kopi, Kina, Kelapa, Indigo d.s.g.
  5. Nasionalisasi Transportasi dan Komunikasi (Kereta, Kapal, Telegraf dan Telepon).
  6. Nasionalisasi Bank, Perusahaan dan lain-lain Anggota-Perniagaan.
  7. Electrificatie perusahaan, dan mendirikan industri model baru dengan pertolongan Negara, seperti buat pakaian, kereta, kapal, mesin d.s.g.
  8. Mendirikan Koperasi-Rakyat dengan pertolongan Negara. Memberi perkakas dan pertolongan pada Kaum Tani, buat memperbaiki pertanian.
  9. Emigrasi atau memindahkan sebagian penduduk Jawa dengan ongkos Negara, ke pulau-pulau di luar Pulau jawa.
  10. Membagikan Tanah-Tanah kosong pada proletar-tani, dan memberi pertolongan pada Tani itu buat mengerjakannya.
  11. Menghapuskan sisanya feudalisme (Yogya, Solo d.s. g) dan Tanah Partikulier, serta membagikan tanah-tanah ini pada Tani-Tani Miskin dan Proletar Tani.
  12. Politik.
  13. Kemerdekaan Indonesia yang sempurna (absolut) pada saat ini juga.
  14. Mendirikan Federasi-Republik dari kepulauan Indonesia.
  15. Memanggil Rakyat-Rakyat Indonesia yang mewakili seluruh Golongan dan Rakyat Indonesia pada saat ini juga.
  16. Memberi hak-Memilih yang sempurna pada Rakyat Indonesia (lelaki & perempuan) pada waktu ini juga.
  17. Sosial.
  18. Gaji minimum.
  19. Kerja 7 jam dan memperbaiki nasib kerja dan hidupnya Kaum Buruh.
  20. Perlindungan Kerja (Arbeidsbescherming) Kaum Buruh dengan mengakui hak buat mogok.
  21. Mendapat sebagian Untung dari Perusahaan yang besar-besar.
  22. Mendirikan Rapat-Buruh (Arbeidersiaden) pada perusahaan besar-besar.
  23. Menceraikan Negara dengan Agama, dengan mengakui Kemerdekaan Agama seluas-luasnya.
  24. Memberi hak-hak ekonomi, politik dan Sosial pada semua penduduk Indonesia lelaki dan perempuan.
  25. Nasionalisasi Gedung besar-besar, mendirikan rumah-rumah baru, dan membagikan tempat tinggal buat Buruh-Negara.
  26. Membunuh penyakit menular dengan sekuat-kuatnya.
  27. Didikan.
  28. Didikan dengan diwajibkan dan ongkosnya Negara buat semua penduduk Indonesia sampai berumur 17 tahun, didikan mana memakai bahasa Melayu sebagai bahasa utama dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terpenting.
  29. Menghapuskan  peraturan dan asas Didikan sekarang dan mendirikan peraturan dan asas baru, yang praktis, yang langsung berhubung dengan industri yang ada dan yang akan didirikan.
  30. Memperbanyak dan memperbaiki sekolah Pertanian Pertukangan dan Perniagaan dan menambah serta memperbaiki sekolah tinggi buat Personel Teknik dan Administrasi yang tinggi.
  31. Militer
  32. Menghapuskan Laskar yang imperialistis sekarang dan mendirikan Laskar Rakyat buat mempertahankan Republik Indonesia.
  33. Menghapuskan hidup di tangsi dan peraturan yang menghina Kaum-Serdadu, memberi izin tinggal di kampung dan di rumah yang dibikin buat mereka, penganggapan yang lebih baik dan menambah gaji Kaum Serdadu Rendah,
  34. Memberi hak leluasa buat Organisasi dan Pertemuan kepada Kaum Serdadu.
  35. Polisi dan Justisi.
  36. Memisahkan Pemerintah dari Polisi dan Justisi.
  37. Memberi hak-sempurna kepada tiap-tiap Pesakitan, buat mempertahankan diri di muka Hakim, dan melepaskan seorang tertuduh dalam 24 jam, apabila keterangan dan saksi kurang cukup.
  38. Semua Perkara, yang wettig (mempunyai cukup dasar hukum) mesti diperiksa dalam 5 hari pada tempat yang umum, teratur dan patut.
  39. Aksi-Program.
  40. Menuntut 7 jam kerja.
  41. Minimum Gaji dan perbaikan Kerja dan Hidupnya Kaum Buruh.
  42. Mengakui Federasi Serikat Buruh dan hak Mogok.
  43. Mengatur Tani buat hak-ekonomi dan politik.
  44. Menghapuskan Punale Sanctie (pidana terutama atas penolakan untuk melakukan pekerjaan dan melarikan diri – catatan editor).
  45. Menghapuskan hukum-hukum dan peraturan-peraturan buat menghambat pergerakan politik, seperti Exorbitante-Stakings-Pers (sensor media – catatan editor) dan Onderwyswetten dan mengaku hak leluasa buat bergerak.
  46. Menuntut hak membikin demonstrasi. Massa demonstrasi (ramai-ramai) di seluruh Indonesia buat melawan Tindasan Bergerak dan Pajak dan buat melepaskan semua pemimpin Rakyat yang dibui dan mengembalikan semua pemimpin Rakyat yang dibuang, massa aksi mana harus dikuatkan oleh Mogok-Umum dan Massa-ongehoorzaamheid (tak menurut perintah pemerintah).
  47. Menuntut menghapuskan Volksraad (dewan penasehat untuk Netherlands East Indie yang dibentuk oleh Belanda – catatan editor), Raad van Indie (Council of Indies atau Dewan Hindia yang dibentuk untuk mengawasi Gubernur-Jendral VOC – catatan editor) dan Algemeene Secretarie (Seketratis Jendral – catatan editor) dan memanggil Rapat Rakyat (Nasional Assembly) dari mana nanti akan dipilih Anggota Menjalankan Hukum (Komite Eksekutif), yang bertanggungan kepada Rapat Rakyat.
  48. Keterangan Program.

Program diatas, ialah buat seluruh Rakyat Indonesia, yaitu Kasta-Proletar dan Non-Proletar atau yang tidak Proletar, seperti Kasta Tukang, Saudagar Kecil, Tani, Student d.s.g yang semuanya menghendaki Kemerdekaan sebagai Bangsa dan melawan Imperialisme Belanda. Sebab di Indonesia tidak sampai 1% penduduk yang membenci pada Indonesia Merdeka dan cinta pada Pemerintah Belanda, maka Program Nasional ini tidak salah namanya, karena betul memeluk hampir semua penduduk Indonesia.

Oleh karena di Indonesia Kasta Buruhlah yang terkumpul atau geconcentreerd (terkonsentrasi), maka ia lah pula yang bisa memberi pimpinan pada kasta-kasta yang lain-lain yang cerai berai itu. Pada Program ini kita melihat, bahwa Buruhlah yang termuka dalam hal tuntutan. Terutama tuntutan ekonomi (A), Sosial (C), dan Aksi (G), sebagian besar semata-mata buat keperluan Kaum Proletar. Tetapi dalam tuntutan Politik (B), Didikan (D), Pengadilan (F), keperluan Buruh banyak bersamaan dengan non-Proletar, sebab itu bisa dicampurkan. Umpamanya semua tuntutan politik (B. dari 1-4) sama sekali boleh dipakai buat non-proletar. Tuntutan ekonomi seperti A. 5, 6, 7 dan 8 bolehlah dikatakan terutama buat non Proletar. Sedangkan tuntutan F dari 1-3 semata-mata buat kasta yang tidak boleh kita lupakan dan lengahkan ialah Kaum-Serdadu.

Walaupun pada Program Nasional, yakni buat seluruh Native atau penduduk Indonesia, semua tuntutan kita jadikan satu, tetapi dalam propaganda dan agitasi tentulah, tuntutan yang terutama buat Kaum Buruh tidak boleh kita pakai buat kaum Tani. Umpamanya tututan nasionalisasi pabrik tentulah buat kaum Tani tidak sepenting perkara pertanian dan koperasi. Jadi dalam agitasi dan propaganda kita mesti pilih tuntutan yang konkrit atau yang nyata dan dirasa buat masing-masing kasta. Kadang-kadang kita pentingkan betul tuntutan ekonomi seperti pada kasta Buruh dan Tani, kadang-kadang kita pentingkan politik seperti pada penduduk kota dan Kaum Student, kadang­kadang perlu kita terangkan sikap kita terhadap kepada agama, seperti di Solo, Yogya, Aceh, Banjarmasin.

Semua tuntutan yang diatas tentulah yang umumnya saja. Berpuluh-puluh tuntutan kecil-kecil buat Buruh, Tani dan Student atau Tukang, di Jawa atau Sumatera d.s.g pada kitab ini tak bisa kita tuliskan. Program Nasional haruslah pendek dan memeluk dasar dari tuntutan yang terutama saja. Tetapi plaatselyke Organisaties dan plaatselyk Beleid atau kecakapan pada masing-masing tempat tak boleh melupakan tuntutan yang plaatselyk dan penting buat satu kasta atau golongan. Umpamanya buat Kaum Militer boleh lagi ditambah beberapa tuntutan. Begitu juga buat Buruh Gula, buat Pelabuhan, buat Tani di d jawa, Sumatera dan Borneo, buat saudagar kecil di mana-mana negeri, buat pemancing ikan di Madura, Ternate d.s.g, pimpinan pada masing-masing tempat mesti mengadakan tuntutan, sehingga seluruh penduduk Indonesia mempunyai Program buat mengubah nasib masing-masing kasta atau golongan.

Semua tuntutan itu haruslah konkrit atau dirasa, pendek dan terang. Dari tuntutan bersifat semacam inilah bisa datang keyakinan dan bisa lahir aksi revolusioner.

  1. ORGANISASI.

Adapun perkara organisasi pada suatu jajahan, seperti Indonesia adalah suatu perkara yang sangat sukar dan penting sekali. Dari pada kuatnya organisasi kita itulah bergantungnya, bisa atau tidakkah kita kelak memecahkan organisasi musuh yang sangat teratur tiu. Berhubung dengan Organisasi kitalah kelak bergantungnya, bisa apa tidakkah kita merebut Kemerdekaan, baikpun sebagai Bangsa ataupun sebagai Kasta.

Tiadalah bisa kita putuskan semua persoalan Organisasi itu dengan perkara Agama, sehingga barang siapa sudah “dikekahkan” dan pandai menyebut “syahadat” bolehlah diikat di dalam satu perkumpulan. Tiada perduli apa yang satu Saudagar Besar dan yang lain buruh atau tani melarat. Atau dengan persoalan Kebangsaan, sehingga barangsiapa mempunyai kulit hitam atau setengah hitam bisa masuk ke dalam satu Partai politik. Tak perduli apa yang satu Tuan Tanah dan yang lain tak berpunya apa-apa.

Kita harus menyusun serdadu buat merebut kemerdekaan itu menutut keperluan masing-masing, yang sama keperluan hidup dalam satu organisasi pula, karena buat memperbaiki keperluan hidup itulah manusia dari tiap-tiap Sejarah dan tiap-tiap bangsa bergerak dan mengorbankan nyawanya. Oleh karena si Kapitalis bertentangan keperluannya dengan si Buruh, baikpun mereka “Indier” cap N.I.P. ataupun kaum-Islam cap S.I, seperti macan bertentangan keperluannya dengan sapi, oleh karena itulah mereka dari dua Kasta itu tak boleh disusun dalam satu barisan. Kalau mereka sementara bisa bekerja bersama-sama buat menendang musuh, seperti di Indonesia, haruslah mereka disusun dalam berlain-lain barisan. Oleh karena kita Marxis percaya, bahwa semua pertandingan di dunia terbawa oleh tindasan dan kemelaratan, maka sebab itulah kita terutama bersandar atas Kaum Tertindas dan Melarat.

Walaupun kita internasionalistis, tiadalah bisa kita mengambil saja Organisasi Buruh di Eropa atau Amerika dan tanpa kritik, menanam Organisasi itu di negeri kita. Organisasi-pindahan semacam itu akan mati sendirinya saja, seperti gandum Eropa, kalau dipindahkan ke Indonesia niscaya akan mati juga. Kita harus dengan semangat Marxisme, memeriksa keadaan ekonomi, sosial dan kebudayaan di negeri kita, memeriksa banyak, kuat dan kualitasnya kasta-kasta yang ada di Indonesia dan menyusun tiap-tiap Kasta yang terhimpit pada masing-masing Barisan dan menyusun semuanya Barisan dari semuanya Kasta itu pada Tentara Nasional, buat memecahkan musuh dari dalam ataupun luar negeri.

  1. Maksud dan Sifat-sifat Organisasi

Maksudnya Partai Revolusioner di Indonesia ialah buat menendang Musuh dan mempraktikkan atau melakukan Programnya. Jadi Cara dan Sifatnya bekerja haruslah sepadan dengan Maksudnya itu, dan sepadan pula dengan Tempat dan Keadaannya bekerja. Artinya yang terus ialah sepadan dengan tingkat dan tajamnya perkelahian dan sepadan dengan pulau, kota atau desa tempat kita mengadakan aksi. Berhubung dengan itu, maka aksi kita pada waktu reaksi belum kurang ajar dan Rakyat masih lembek berlainan den­ gan aksi kita, kalau reaksi kurang ajar dan Rakyat bangun dan tetap hati. Dan lagi aksi yakni cara dan sifatnya kerja kita itu di Jawa lain dari di Sumatera atau Ternate, di Surabaya lain dari di Cicalengka atau Magelang, dimana industri masih lemah.

Makin plastis atau liat seperti rotan Cara dan Sifat kerja kita itu, makin besar pengaruh Partai kita di seluruh Indonesia dan makin dekat Maksud kita. Supaya kita bisa memimpin seluruh Rakyat Indonesia yang tertindas itu, haruslah kita lebih dahulu bisa memimpin Partai kita sendiri yang sebagai Avant-Garde atau Pasukan Muka dari Rakyat yang Revolusioner  itu.

Sebab itulah maksudnya Organisasi kita, terutama buat mengatur pimpinan yang sempurna, yakni menyusun dan mendidik kekuatan yang bisa memberi pimpinan kepada seluruh Rakyat.

Pimpinan itu baru bisa sempurna, kalau perhubungan atau kontak dengan Rakyat sempurna pula. Tanpa kontak satu Partai tak bisa memberi pimpinan, karena ia terlampau maju di muka atau terlampau tinggal di belakang Rakyat.

Supaya hubungan dengan Rakyat Melarat rapi sekali, maka Organisasi kita memeluk dasar Demokratis Sentralisme. Artinya ini Sentralisasi Pekerjaan yang dilakukan dengan semangat demokratis atau sama rata. Jadi semua anggota Revolusioner dan semua anggota Revolusioner, seperti P.K.I, S.R, Serikat Buruh, JOI, d.s.g, masing-masingnya harus bekerja menurut kekuatan masing-masing, pekerjaan mana mesti teratur dan terkumpul. Bedanya Partai kita dengan Partai Sosial Demokrat, yakni beda bekerja. Pada Partai Sosial Demokrat yang bekerja itu cuma pemimpinnya, tetapi anggotanya pasif saja. Sebab itulah Partai Sosial Demokrat sangat birokratis. Semua anggota menurut saja apa perintah pemimpinnya, sama betul dengan demokratisnya Parlamentarisme Kaum Hartawan, yang juga terbagi atas Menteri yang aktif dan mengerjakan sekalian pekerjaan dan anggota Parlemen, yang kerjanya mengomong saja. Pada Partai Komunis semuanya anggota harus bekerja, kecil atau besar (propaganda, kursus, membagi surat kabar, buku, mengerjakan administrasi d.s.g menurut kecakapan masing-masing), sehingga demokrasi atau sama rata kita artinya “sama rata bekerja.” Sifat Demokratis Sentralisme itulah yang bisa menghilangkan birokratisme, dan ialah yang mendidik pimpinan sampai kuat dan plastis.

Disiplin itu, ialah nyawanya suatu pergerakan revolusioner. Dalam pergerakan S.I sudahlah cukup kalau seorang bersumpah “demi Allah demi Qur’an,” buat menjadi anggota. Dalam pergerakan N.I.P sudahlah cukup kalau orang yang mau jadi anggota itu mengaku azas N.I.P. Sesudahnya ia bersumpah, atau sesudah ia mengaku dasar itu ia boleh tidur nyenyak, dengan tiada dapat gangguan apa-apa dari partainya. Tetapi buat pergerakan kita “mengaku Program” itu belum lagi setengah kewajiban seorang anggota.

Partai komunis tiadalah menghendaki “pendeta Komunis” yang hapal programnya dari muka sampai ke belakang dan dari belakang sampai ke muka. Partai kita mau aksi atau perbuatan, aksi yang tetap dan benar yang berpadanan dengan azas dan maksud kita. Kalau pada waktu sebelum revolusi seorang anggota tiada mengeluarkan aksi apa-apa, maka tiadalah bisa kita harapkan yang dia pada waktu yang penting tiba tiba saja akan mendapat semangat yang aktif, seolah-olah mendustakan dirinya sendiri pada waktu biasa. Ringkasnya Partai kita menuntut aksi yang tetap dan benar, besar atau kecil dari tiap-tiap anggota. Kalau seorang anggota tiada mencukupi perintah Partai, mengerjakan pekerjaan yang dikira berpadanan dengan kekuatan anggota itu, maka lebih baik ia keluar saja dari pada tinggal dalam Partai dan memberi contoh yang buruk pada kawan‑ kawannya yang lain. Tetapi disiplin kerja atau arbeid­disipline semacam itu, tentulah pula tidak dalam satu hari saja bisa kita jatuhkan. Kita periksa dulu keadaan satu Seksi atau Lokal dan perkara menjatuhkan “disiplin kerja” itu harus ditimbang betul-betul dengan pemimpin-peminpin yang sudah lama kerja. Tetapi disiplin itu haruslah segera dijatuhkan pada seorang anggota yang mengkhianati partai, juga pada seorang anggota yang tiada mempertahankan.

Serdadu revolusioner itu ialah serdadu yang mengerti dan mufakat dengan Program partainya, yang selalu bekerja sepadan dengan kekuatannya dan selalu menjaga kesentosaan partainya terhadap kepada musuh di dalam atau di luar partainya.

Agitasi. Seperti seorang Penambang menceraikan emas itu dari tanah dan lumpur, maka kita mengeluarkan aksi Kaum Tertindas itu dari peri kehidupan mereka itu juga. Perkakas kita buat mengeluarkan aksi itu ialah Agitasi. Dari dalam, betul dan kuatnya Agitasi itulah bergantung datangnya Aksi.

Membuat Agitasi itu tiadalah dengan “Assalamualaikum atau dalil-dalil” cap Haji Agust de Groote …… dengan tiada menyelesaikan persoalan hidup si Kromo hari-hari, atau kalau menyelesaikan ia tiada berani menarik si Kromo kepada aksi. Juga tiada seperti N.I.P yang agitasinya tiada pula lebih jauh welsprekendheid (lancar) atau mahirnya bicara tentang darah Indier dan wataknya Indier. Kita Kaum Komunis tak pula boleh berlaku seperti Kaum Syndicalist, yang menyangka, bahwa kalau kita campur menuntut hak Kecil-kecil ada berlaku kompromistis, dan cuma berharap, seperti kaum Utopis, bahwa Aksi Rakyat itu kelak datangnya akan sama sekali tiba-tiba saja. Tidak pula seperti si Pengkhianat Kaum Sosial Demokrat yang campur menyelesaikan persoalan si Kecil itu ialah buat menarik mereka, supaya ia memilih Kaum Sosial Demokrat jadi anggota Parlamen, atau supaya Kaum Buruh masuk jadi anggota Partai Sosial Demokrat. Kita Kaum Komunis menyelesaikan persoalan si Kromo, supaya mendapat kepercayaan dari mereka, bahwa kita betul-betul mau menolong mereka. Begitulah kita mendapat kontak dengan mereka dan bisa menarik mereka kepada aksi yang teratur.

Agitasi itu haruslah konkrit atau nyata sekali. Haruslah ia bersandar atas hisapan dan, tindasan si Kecil hari-hari. Di antara Buruh, tentulah perkara gaji, lama kerja dan penganggapan-lah perkara yang ter penting. Tiadalah perkara ini boleh kita singkirkan, melainkan kita dengan segala kepintaran memberi jawab, yang bisa memberi kepercayaan dan menimbulkan aksi kaum Buruh. Pada penduduk kota-kota, dimana non-proletariers yang terbanyak itu, selalu diojak-ojak oleh Tuan Tanah, Pemungut Pajak, Tuan Rumah, d.s.g. perkara pajak dan perkara sewa rumah itulah perkara yang penting buat peri hidupnya Rakyat. Begitulah pula pada desa-desa, baik di Jawa, Sumatera atau Celebes perkara tanah dan pajak itulah sangat dirasa oleh penduduk negeri. Dalam hal ini tiadalah boleh kita memangku tangan dan seperti seorang Pendeta menunjuk ke kitabnya, serta berkata: “Kalau Komunisme datang semuanya itu akan hilang. Apalkanlah Komunisme supaya Zaman Keselamatan itu lekas datang. Rajinlah saudara mengunjungi Kursus kami. Kami tak suka main pakrol-pakrol, karena itu semua kompromis. Tahanlah lapar dan sakit sampai Komunisme datang.” Kita ulang lagi, apa saja tindasan Rakyat kita mesti memperlihatkan kepintaran buat memberi oplossing atau jawab, mesti mempunyai keberanian buat berdiri di muka, menuntut Haknya Rakyat, yang tertindas. Seperti si Penambang akan mendapat emas dengan memasukan tangannya kedalam lumpur begitulah pula kita harus bisa membawa Rakyat ke dalam Aksi, kalau kita campuri kesakitan dan siksanya hari-hari.

Dari aksi kita hari-hari itulah kita bisa memperoleh kepercayaan, pengaruh dan Contract yang kekal, dan dari aksi kecil-kecil itulah bisa lahirnya aksi yang besar. Marxisme itu bukanlah ilmu “hapalan” melainkan satu pedoman buat aksi, atau satu richtsnur tot handelen (guide to action)

Legal atau Illegal yakni Terbuka atau Tertutupnya, kita bekerja semuanya bergantung kepada keadaan bekerja. Kita suka bekerja legal, karena dengan jalan umum itu Program dan Taktik kita lekas diketahui oleh seluruh Rakyat. Tetapi kalau terpaksa, kita mesti teruskan propaganda dan Agitasi kita dengan jalan tertutup. Walaupun kita dipaksa berjalan tertutup, kita harus memakai dengan segala kekuatan dan kecakapan segala jalan buat mendapat kontak dengan Rakyat. Tidak boleh kita geisoleerd (terisolasi) atau terpisah dari Rakyat.

Di Eropa Barat kita melihat pada waktu sebelum perang, Partai yang terbuka itu, tak bisa sama sekali bekerja tertutup seperti Partai kita di Rusia. Sebabnya ialah karena di Barat sangat tebal demokratisnya negeri, jadi orang bisa mendorong kiri kanan dengan mulut. Tetapi di Rusia Partai revolusioner harus bekerja di bawah tanah. Sebab itulah kalau Revolusi datang dan Partai revolusioner di Barat itu terpaksa bekerja tertutup ia tidak bisa jalan seperti Partai kita di Rusia yang tahu kerja, baik terbuka atau pun tertutup.

Partai yang selalu kerja tertutup itu, ada mengandung bahaya, sama sekali akan kehilangan kontak dengan Rakyat melarat. Sebab itu ia akan tidak tahu, bagaimana perasaan Rakyat, dan kalau ia tiba-tiba keluar, Rakyat tidak mengikut, atau kalau Rakyat melarat tiba-tiba memberontak, Partai yang tersembunyi dan kehilangan kontak tadi, belum lagi siap.

Contoh Partai Konspirasi atau Rahasia, yang tak mempunyai kontak itu banyak di negeri Timur, seperti. Afdeeling B satu contoh yang baik. Sesudah anggotanya disumpahi setinggi langit, maka ia boleh kelak menunggu “alamat” dari Alam dan menunggu perintah dari pimpinan yang tertinggi, kapan mesti keluar. Alamat buat keluar itu, tiadalah hal yang nyata yang beralasan ekonomi atau politik melainkan, barang yang gaib-gaib yang kita kaum Komunis pada masa ini tak bisa mengerti lagi. Anggotanya tak bekerja dengan sadar, memakai anggota ekonomi dan politik Rakyat yang ada dan diaku sah oleh Pemerintah buat mendalamkan aksi, melainkan bekerja menambah iman. Tiba-tiba ia ketahuan oleh pemerintah, dan kalau pemimpinnya di hukum berat, Rakyat tercengang, karena ia memang tak tahu apa-apa.

Kalau kita mengatakan kita mesti kerja tertutup, maka maksud kita bukanlah mesti meninggalkan pekerjaan yang praktis hari-hari dan kita lakukan kerja tertutup itu ialah karena terpaksa, seperti sekarang kita sudah terpaksa menutup sebagian dari pekerjaan. Bukan karena kita takut melainkan karena kita tidak bodoh dan mau diprovokasi, yakni berkelahi sebelum siap betul. Pada masa Afdeeling B tak ada hal yang penting yang menyebabkan anggotanya perlu bersumpah gelap-gelap, karena S.I mempunyai pengaruh berjuta-juta. Kalau S.I mempunyai pimpinan yang pantas atau ditolak maju berterang-terangan oleh Pasukan S.I. sendiri, dan dalam S.I. sendiri, sebagai Linker-Vleugel atau Sayap Kiri, maka 2 atau 3 biji Belanda, yang tersesak karena ada peperangan (1914-1918) itu gampang dikirim ke pulau Merak.

Kalau kita Kaum Komunis terpaksa bekerja tertutup, maka kita mesti tetap tinggal bersambung dengan Rakyat. Anggota kita mesti tinggal mengurus anggota-anggota yang masih diaku Sah oleh yang berkuasa. Kalau Serikat Buruh umpamanya tak diaku, maka kita lari ke koperasi, kalau inipun tak diakui kita lari lagi ke Serikat Kematian, dan seterusnya, sampai “saat” kita datang, yakni kalau seluruh Rakyat keluar bergerak. Bekerja dalam Organisasi yang di aku sah oleh pemerintah itu perlunya bukan saja buat mengetahui stemming atau suaranya Rakyat, tetapi juga buat mendidik pemimpin-pemimpin kita berbicara dan mengatur Organisasi. Sehingga kalau Pemberontakan datang kita tidak kekurangan Orator, yakni tukang pidato, Agitator dan Organisator yang cakap, pemuka-pemuka mana perlu sekali buat merebut dan mempertahankan Kemerdekaan ke dalam dan ke luar Negeri.

Partai Komunis berdiri atas Massa-Aksi, yakni Aksi beramai-ramai dan Massa-Aksi ini bersamping kepada demonstrasi. Demonstrasi-politik, dijalankan dengan tuntutan politik. Kalau yang menuntut cukup kuat dan gembira, maka hak-politik itu boleh direbut dengan kekarasan.

Pada sesuatu demonstrasi, kontak atau Perhubungan dengan Rakyat (Buruh, Tani, Tukang, Saudagar dan Student) haruslah teguh betul. Perhubungan itu baru bisa teguh dan boleh dipercaya, kalau Pimpinan demonstrasi itu ada mempunyai cukup wakil dari semua Kasta yang tersebut diatas. Suara semua Wakil Kasta itu mesti didengar betul oleh urusan demonstrasi, kalau tidak demonstrasi itu bisa terlandpur atau ketinggalan. Sebab di Italia dan Inggris umpamanya pada waktu sesudah perang Partai kita, yang dikhianati oleh Sosial Demokrat itu tak cukup mengadakan Wakil dari Serikat Buruh, jadi tak cukup mengadakan kontak dengan Buruh, maka ia jadi kalah, Di kedua negeri itu kita sudah bisa merebut politik negeri, sebab Buruh sudah luar biasa kegembiraannya (di Inggris 1-2 juta Buruh Tambang 3 bulan mogok). Tetapi Partai Politik Komunis disana tak cukup mendapat Suaranya Kaum Buruh itu, sebab tak cukup Wakil di dalam Partai.

Supaya demonstrasi di Indonesia berhasil, haruslah kelak di Sentral Pimpinan Revolusioner diadakan Wakil dari semua Pulau dan semua Kasta di Indonesia. Begitulah suara dari segenap pihak boleh di ukur dan kita tak mudah ketinggalan seperti di Italia atau Inggris dulu itu dan tak pula mudah terlanjur seperti pada Aksi bulan Maret di Jerman 1921.

Demonstrasi itu menuntut Pimpinan yang plastis dan Korban yang banyak. Pimpinan mesti selalu tahu, apa demonstrasi mesti diperkencang lagi dengan Pemogokan atau Boikot. Dalam masa itu Pimpinan, Surat Kabar, dan Perhubungan surat menyurat mesti ditempat yang rahasia, yang tak bisa diketahui oleh musuh.

Sebelum demonstrasi keluar, haruslah dibicarakan lebih dahulu tempat Demonstrator yang keluar dari semua penjuru kota atau desa mesti bertemu, apa tuntutan yang penting buat masa itu, apa perspektif atau Hasil demonstrasi kelak, kapan dan bagaimana mesti dibubarkan. Bersama-sama dengan beribu­ribu dan berjuta-juta Demonstrator itu ada tersembunyi Pimpinan, sebagai Staff umum atau Sidang Pimpinan, yang cukup mendapat kabar dari mana­mana dan pada tiap-tiap saat bisa memberi perintah kepada pemimpin-pemimpin yang ditaruh dipenjuru yang penting-penting, buat memimpin sekalian pasukan demonstrasi tadi.

  1. Tentara Nasional.

Berapa susahnya mengadakan Organisasi yang tetap pada suatu jajahan seperti Indonesia, sudahlah bisa dibuktikan oleh sejarah pergerakan Indonesia, sendiri dalam kira-kira 17 tahun yang terakhir ini, Organisasi B.O cuma tergantung diawang-awang saja, sama sekali tak mempunyai pengaruh diantara Rakyat. N.I.P dan S.I yang diembus dengan “kebangsaan” dan “Agama” sekarang sudah kosong karena pompa angin tak bisa kerja begitu lama. Organisasi itu mesti berurat pada ekonomi dan Kasta, baru ia bisa tumbuh dengan tetap. Tetapi kita mesti bilang terus terang, bahwa sampai sekarang pada partai kita sendiripun belumlah jelas dan konsekuen, bahwa “Keadaan ekonomi dan Keadaan Kasta di Indonesia” itulah yang menjadi kriteria atau ukuran dalam pertimbangan kita buat mengadakan Organisasi. Di jajahan lain-lain seperti Mesir, India d.s.g dimana ada Nasional Kapital yang kuat dan pergerakan Nasionalisme yang revolusioner, maka dalam golongan Kaum Komunis sendiri adalah timbul pertimbangan, apakah tidak baik, jangan mendirikan Partai Komunis sendiri, melainkan memasuki Partai Nationalis yang revolusioner yang ada, dan dari dalam, sebagai Linksche Vleogcl atau Sayap Kiri, menumpu pergerakan Nasionalisme itu sampai ke Revolusi. Alasan pihak ini, yakni, dimana Buruh diatur oleh Kaum Komunis berpisah dari Kaum Nasionalis, seperti sudah dilakukan di Mesir dan India, disana pergerakan Nasionalis jadi mundur. Jadi kata pihak ini, selama pergerakan Nasionalisme masih revolusioner, biarlah Buruh Industri, yang menang pada tiap-tiap jajahan jadi pasukan muka pergerakan revolusioner, diatur oleh Kaum Nasionalis, dan kita Komunis cuma menolong saja dari dalam dan menjaga supaya pergerakan jangan jadi lembek. Maksud yang pertama toh, kata pihak ini seterusnya melemparkan “imperialisme.”

Disini tak tempatnya buat memeriksa pertimbangan ini lebih jauh. Tetapi kita boleh mengambil pengajaran dari pertimbangan itu, bahwa pada satu jajahan pergerakan nasionalisme itu buat melemparkan imperialisme satu faktor atau hal yang sangat penting, yang tiada boleh kita putuskan dengan dogma atau “kajian hapalan” saja.

Sebaliknya pula kita tidak boleh menunjuk ke bangkai S.I dan N.I.P dan berkata : “Nah, kan perlu lagi dihidupkan bangkai bangkai ini.”

N.I.P dan S.I mati karena ada mempunyai sebab yang dalam sekali, ialah karena tak ada Nasional Kapital yang kuat di Indonesia, yang bisa memberi inspirasi atau semangat buat mendirikan Program yang kokoh, Organisasi yang teratur serta Taktik yang tetap, seperti di Mesir dan India. Oleh karena pemimpin-pemimpin B.O, N.I.P, & S.I seperti Dauwes Dekker, Tjipto, Tjokro Aminoto dan Salim terpaut oleh Kasta dan didikan mereka, ia tak pernah sampai ke kasta Kaum Buruh. Mereka tak bisa mengerti, bahwa di Indonesia Kasta inilah yang kuat karena geconcentreerd (terkonsentrasi) dan dari Kasta inilah bisa datangnya inspirasi dan pimpinan buat merebut kemerdekaan.

Sebaliknya pula kita Komunis tak pula boleh memandang Indonesia sabagai Negeri industri, seperti Jerman atau Inggris, dan memikir bahwa Kebangsaan dan Agama dalam pertarungan kemerdekaan sama sekali tak ada artinya. Dan berhubungan dengan hal ini cukuplah kalau di Indonesia kita adakan Satu Partai Komunis saja.

Sikap inilah kira-kira yang dipeluk oleh pihak yang mau menghapuskan S.R pada Konferensi bulan November 1924 di Yogya. Yang dijadikan alasan, ialah :

“Kaum borjuis kecil di Indonesia selalu kalah, juga dalam perjuangan dengan imperialisme Belanda, yang tergambar pada B.O, N.I.P & S.I. Sebab itu S.R yang juga kumpulan borjuis kecil tak akan bisa menang.”

Demikianlah kira-kira isinya Referaat Hoofdbestir. Kalah atau menangnya borjuis kecil di Indonesia buat kita pada masa ini perkara “puur philosophisch” (filosofi murni) artinya perkara timbang menimbang dengan tiada akan mendapat keputusan. Tetapi bukanlah kesimpulan atau putusan kalah menangnya itu sekarang yang terpenting buat kita, melainkan akuan, yang tak dibantah, malah terbawa oleh Referaat tadi sendiri, yakni Kaum borjuis kecil masih selalu berkelahi, jadi masih revolusioner.

Inilah yang terpenting buat kita, dan hal ini memang apriori atau sudah termasuk ke dalam pikiran. Kaum Borjuis Kecil, di mana-mana mau menjadi Borjuis Besar atau Hartawan-Besar. Pada Zaman Bangsawan, Borjuis kecil Indonesia terhambat oleh Raja dan Bangsawan kita, sebab itu ia acap berperang dengan Bangsawan itu. Pada Zaman kita mereka terhambat oleh imperialisme Belanda, sebab itu ia sekarang melawan imperialisme Belanda. Perlawanan ini sudah terbawa oleh alam dan tak akan habis, selama keadaan kasta-kasta masih tetap. Ringkasnya sekarang dalam himpitan imperialisme Belanda, borjuis kecil kita yang kira-kira 70% banyaknya dan tak berapa bedanya tertindas dari Kaum Buruh Industri akan tinggal revolusioner.

Berhubung dengan akuan diatas ini maka persoalan kita seharusnya, sebelum imperialisme Belanda belum kalah, ialah:

Bagaimana kita mesti mengatur P.K.I. yang kuat sebagai Avant-Garde atau Pasukan-Muka dari pergerakan revolusioner Indonesia ?

Bagaimana kita mesti menyusun Kaum Non-Proletar, sebagai Reserve atau Pasukan Pembantu pergerakan revolusioner ?

Bagaimana kita mesti menarik Landstorm atau Laskar dalam waktu tersesak, dari seluruh Rakyat Melarat ?

Bagaimana kita mesti mengadakan perhubungan antara P.K.I dan S. R. sebagai Partai Non-Proletar ?

Inilah persoalan kemerdekaan di Indonesia. Kita mesti mengaku, bahwa Non-Proletar saja tanpa Kaum Buruh susah mengalahkan Belanda. Sebaliknya pula Kaum Buruh tanpa pertolongan 70% Non-Proletar tidak pula mudah akan menang. Sedangkan di Jerman, dimana 75% dari penduduk negeri sama sekali buruh Industri model baru, pada tahun 1923, yakni waktu yang terpenting sekali buat revolusi, kita dengan segala daya upaja mendekati Kaum Borjuis Kecil. Juga di Rusia kemerdekaan kita peroleh dan kita pertahankan dengan Kaum Tani besar kecil yang banyaknya 80% itu, jadi dengan borjuis kecil juga.

Berhubungan dengan 4 persoalan yang diatas, maka kita sangka pertimbangan buat mengadakan Satu Partai, yakni P.K.I saja buat seluruh Indonesia ada salah. Kita pikir di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang dan Surabaya pun sekarang mesti dilakukan Partai Kembar, yakni P.K.I dan S.R. Dengan politik Satu Partai, baik di seluruh Indonesia ataupun buat kota-kota besar, kita pikir, pertama kita bisa tinggal kecil (sectarisme) atau kedua besar, seperti perut kemasukan angin.

Kecil, karena sudah kita terangkan, bahwa Indonesia tidak negeri industri betul melainkan landbouw-industri. Sudah pula kita perlihatkan, bahwa kota-kota kita bukan pusatnya industri (kain, besi, mesin, kapal d.s.g). Penduduknya kota-kota kita, terutama non-proletar, seperti tukang-tukang, dobi, saudagar kecil-kecil seperti penjual cendol, satai d.s.g. atau Buruh Halus, seperti guru-guru, jongos, clerk d.s.g. Yang buruh tulen di kota-kota kita masih sangat sedikit, kalau diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Lagi pula mereka bukan buruh industri produktif yakni buruh yang mengadakan hasil (kain, besi, dll), melainkan buruh pengangkut, seperti kereta, kapal dan tram, yang kecakapannya juga kurang dari buruh industri betul. Tiadalah seperti di Berlin, London atau New York, dimana, kalau tutup pabrik pukul satu berbunyi kita melihat sampai 1.000.000 Buruh Pabrik, yang muka, tangan dan pakaiannya berkilat-kilat dengan minyak mesin, berduyun-duyun meninggalkan pabrik. Ini belum ada! Malah belum seperti Bombay, dimana buruh kain saja terkumpul 150.000. Atau di Calcutta yang mempunyai 300.000 buruh model baru, seperti buruh pelikan (tambang), kain, mesin, kereta, kapal dll. Betul ada beratus ribu sudah terkumpul di perusahaan gula, tetapi mereka itu buruh tani. Yang buruh pabriknya baru sedikit, dan sebab disini ada pabrik gula, disana 50 KM lagi berdiri pabrik lagi, jadi sebab sangat terpencar-pencar, maka kita susah pula mengatur mereka.

Ringkasnya betul buruh kita (kereta, kapal, gula, minyak d.s.g.) lebih kuat dari non-proletar, karena mereka menjalankan perusahan negeri, tetapi kita jangan overschatten (overestimate atau melebih-lebihkan), melebihi perhitungan kekuatan kita. Kalau kita bersandar semata-mata pada buruh tulen dengan mengadakan Satu Partai, serta menghilangkan S. R. maka Partai kita akan sangat kecil.

Kalau ia dijadikan besar, maka terpaksa ia menarik jadi anggotanya saudagar-saudagar cendol, nasi, rujak d. s. g. Inilah namanya verwatering (mengencerkan), lebih santan dari pada air dan seperti SI akan segera jatuh kegemukan saja. Tidak boleh tidak elemen borjuis kecil itu, kalau masuk Partai Komunis, walaupun ia “menghapalkan” program kita, akan membawa semangat dan wataknya borjuis kecil (adat, logika, dan sifatnya). Betul kursus dan didikan bisa membangunkan semangat revolusioner, tetapi sebagai Marxis kita mesti tahu “bahwa keadaan itulah yang menentukan semangat” atau de mate­rieele onderbouw bepaalt den geestelyken bovenbouw. Cuma kaum Utopis dan Dogmatis yang percaya, bahwa dengan “menghapalkan” saja satu ilmu bisa jadi orang bersifat baru. Betul bisa satu atau dua orang yang bukan golongan buruh bisa menjadi Komunis, tetapi sebagai kasta, Kaum borjuis kecil tak bisa dilompatkan menjadi Komunis Revolusioner. Dan sebab di Indonesia borjuis kecil itu memang masih terpaut oleh semangat revolusioner (sebab belum pernah menang) sebab itulah kita gampang menyangka, bahwa sebab dia revolusioner itu ia Komunis. Inilah bahaya yang ada kalanya kelak bisa masuk ke dalam badan PKI sendiri, yang bisa memecahkan diri dari dalam.

Bagaimana, kalau kita dirikan Satu Partai buat seluruh Indonesia dari kaum Buruh, dan non-proletar kita susun dalam Serikat Buruh?

Serikat Buruh saja tak cukup buat mereka, karena mereka borjuis kecil di negeri kita juga mempunyai cita-cita politik. Siapapun di kota-kota atau desa-desa, apapun juga pekerjaannya ia mau merdeka sebagai bangsa. Jadi kita harus mengadakan politik yang sepadan dengan kehendak mereka itu. Koperasi, Serikat Buruh atau Serikat Tani tak mencukupi cita-cita politik, lebih-lebih dari penduduk kota dan setengah kota.

Lagi pula, kalau kita mau mengadakan Serikat Buruh buat borjuis kecil di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang, Surabaya d.s.g. di kota-kota klas dua seperti Sumedang, Pekalongan, Palembang, Banjarmasin d.s.g, berapa ribu Serikat Buruh mesti kita bikin, buat mengikat saudagar kecil-kecil, jongos, tukang penatu d.s.g, Ini dalam praktiknya mustahil!

Kita tidak saja di desa-desa dan kota-kota klas dua mesti mengadakan Organisasi politik yang memenuhi cita-cita 70% dari penduduk kita, tetapi juga di kota­kota besar seperti Betawi dan Surabaya, dimana borjusi kecilah yang terbanyak dan industri produktif sama sekali belum ada. Baru kalau Partai Komunis bersamping dengan Organisasi, yang memeluk beribu-ribu anggota, yang pada segenap waktu bisa dijalankan bersama-sama, baru kita bisa mengadakan aksi politik umpamanya demonstrasi yang berarti. Walaupun kita cuma dua atau tiga ribu, tetapi kalau kita dalam Aksi politik sebagai Avant-Garde dikelilingi oleh beribu-ribu Proletar & Non-proletar sebagai reserve, dan disukai oleh seluruh Rakyat yang tertindas sebagai Landstorm, kita bisa menang.

Berhubung dengan pertimbangan kita diatas, maka buat menjawab 4 pertanyaan tadi buat Indonesia Organisasi yang berikutlah yang sepadan dengan keadaan kita

  1. Diadakan Partai-Kembar (PKI & S. R.), pada pusat ekonomi, politik dan Pergerakan, seperti di Betawi, Semarang, Surabaya, Bandung, Padang dan Medan, pada pusat ekonomi (industri) seperti Cepu, Kediri, Pelaju, Belitung, Pangkalan Brandan, Sawah-Lunto, Balik Papan d.s.g, pada pusat politik, seperti Palembang, Kota-Raja d.s.g., pada pusat pergerakan, baik kereta atau kapal, seperti lain yang sudah tersebut diatas juga Banjarmasin, Makasar, Cilacap, Cirebon d.s.g. yakni menurut pertimbangan yang lain-lain (seperti di Balik Papan sudah cukup PKI saja).

Anggota PKI terutama mesti dari Buruh industri, seperti dari bengkel, baik kereta ataupun pelabuhan, Buruh Cetak, Pabrik gula, minyak­tanah, tambang arang, minyak d.s.g. Golongan inilah yang mesti jadi ruggegraat atau tulang punggungnya P.K.I.

Kursus mesti dikencangkan, tetapi isinya mesti praktis dan berpadan dengan keadaan dan aksi di Indonesia. Program dan Agitasi, dikencangkan betul, ialah yang berhubungan dengan industri dan negeri. (Lihat Program Nasional!).

Kontribusi dipertinggi dan disiplin diperkeras. Dalam semua Aksi seperti Pertemuan, Mogok dan demonstrasi anggota P.K.I mesti dimuka.

  1. Diadakan S.R. saja, selainnya dari tempat yang tersebut diatas (1) di seluruh Indonesia, di kota-kota klas dua, seperti Sumedang, Magelang, Paja Kumbuh, Pontianak, di pelabuhan klas dua, di desa-desa dan gunung-gunung sampai masuk ke dalam hutan seperti Puruk Tjau di Borneo. Tak ada tempat yang boleh di lupakan.

Anggota S.R boleh dari sembarang kasta, asal mengakui dasar revolusioner, yakni mau mengusir imperialisme Belanda (jadi berbeda dengan N.I.P, B.O & S.I ). Student, saudagar, tukang, tani dan penjual ini atau itu, beragama Islam, Kong Hu Tju atau Kristen; yang suka sama kebangsaan, agama atau anarkisme, pendeknya semua yang benci kepada Tindasan Imperialisme bolehlah berdiri di bawah bendera S. R.

Kursus haruslah berhubungan betul dengan “keadaan dan cita-cita mereka. Perkara kemerdekaan sebagai Bangsa Nasional yang merdeka, perkara sewa rumah, Pajak, pendidikan dan perkara yang lain, yang terasa betul oleh penduduk kota tak boleh dilupakan. Dalam kesusahan hari-hari, baikpun dengan pakrol-pakrol si Kecil di kota atau desa yang tak berhak apa-apa itu mesti ditolong oleh S. R.

Kontribusi mesti serendah-rendahnya, karena maksud kita yang terutama, supaya menarik mereka ke bawah pengaruh dan ke dalam aksi kita. Juga disiplin tidak bisa begitu keras, karena hal ini sudah terbawa oleh watak mereka. Jadi maksud kita yang terutama ialah mengumpulkan semua golongan yang tak senang hati di bawah Imperialisme Belanda dan memimpin mereka dalam segala aksi.

  1. Dengan Perantaraan P.K.I, kalau krisis ekonomi dan politik datang kita bisa menarik terutama, segala Buruh industri yang ada, baik yang sudah diatur dalam Serikat Buruh ataupun yang belum di atur. Dalam Pemogokan atau demonstrasi PKI. akan memberi pimpinan yang langsung atas semua golongan Kaum Buruh di Indonesia.

Dengan perantaraan S.R, semua penduduk kota, seperti klerk, tukang, penjual ini atau itu, student d.s.g dan semua penduduk desa dan gunung akan menarik dengan Tuntutan yang pantas ke dalam Aksi, seperti Boikot dan demonstrasi buat melawan Krisis ekonomi atau politik dan merebut Kemerdekaan. Jadi P. K. I. & S. R. keduanya mesti menjadi Organ atau Anggota buat seluruh Rakyat Indonesia merebut Kemerdekaan.

Teranglah sudah maksud kita bahwa kedudukan P.K.I dan S.R bukan kedudukan Bovenbouw (atas) dan Onderbouw (bawah), yang di kursus atau tak di kursus atau tinggi berendah (memang kita dengan semua Rakyat melarat mau ke zaman persamaan, bukan?), melainkan kedudukan dua kasta tertindas, tetapi berlainan keperluan dan sifatnya, oleh sebab mana mereka harus di atur dalam dua pasukan. Sebab Buruhlah yang terkumpul dan memegang perusahaan negeri yang terutama serta non-proletar terpencar-pencar, maka dari buruhlah bisa datang Aksi yang tetap, Ideal atau cita-cita yang tetap, Program yang tetap dan Senjata yang tetap (Mogok). Berhubung dengan itulah ia di Indonesia bisa memberi Pimpinan yang tetap revolusioner. S.R berdirinya bukanlah karena internasional (memang ini dulu pelawan semangat N.I.P) atau karena tak beragama (memang ini mengandung dan melawan semangat S.I) melainkan karena ia berdiri atas kasta non-proletar yang bersifat revolusioner. Kasta dan semangat revolusioner itulah yang menjadi kriteria atau ukuran di S.R, dengan tiada melanggar Agama atau Kebangsaan, malah mufakat, kalau Agama dan Kebangsaan itu ada memperkuat keyakinan dan semangat Revolusioner.

  1. Karena Buruhlah kasta yang terkumpul, dan ialah yang mempunyai senjata yang tertajam, yakni mogok, maka ialah pula yang mesti memberi pimpinan politik buat merebut kemerdekaan Indonesia.

Walaupun Seksi atau Lokal diatur dengan Partai Kembar, tetapi Sentral tentu mesti satu, supaya urusan, agitasi dan aksi bisa satu pula. Supaya semua golongan di Indonesia bisa diperhatikan keperluannya, maka pada Sentral Pimpinan Revolusioner di Betawi, seberapa boleh kelak mesti diadakan wakil dari semua pulau, dan semua kasta yang terutama seperti Buruh, Student, Tani dan Penduduk kota. Buat memperhatikan kepulauan Indonesia yang begitu besar tentulah belum cukup 5 atau 6 orang duduk di Sentral Pimpinan.

Supaya agitasi buat seluruh Indonesia dirasa betul oleh semua golongan haruslah Sentral Pimpinan Revolusioner, membedakan agitasi buat satu negeri dengan yang lain (Jawa dengan Sumatera atau Celebes, Padang dengan Jambi); dan satu golongan dengan golongan lain (Buruh dan Tani atau Student dengan Penduduk kota). Berhubung dengan hal ini pekerjaan di Sentral pimpinan haruslah dibagi-bagi (verdeling en specialiseeren van arbeid) (partisi dan spesialisi kerja).

Supaya pimpinan tinggal revolusioner, jangan seperti S.I atau N.I.P, haruslah baik di Sentral Pimpinan ataupun di Seksi atau Lokal, S.R yang mayoritas atau terbanyak ialah pemimpin Komunis. Dengan jalan begitu, kita menjaga supaya pergerakan Indonesia tinggal proletaris dan tak menjadi oportunistis atau reformistis, yakni lembek seperti S. I. dan N. I. P.

Demikianlah Sentral Pimpinan Revolusioner di Indonesia, yang mengikat semua Seksi P.K.I & S. R, semua Serikat Buruh, Koperasi, dan mengikat JOI dan Rakyat-Scholen, yang menaruh semangat proletaris dan revolusioner, menunggu datangnya saat, dimana ia dengan Massa-Aksi kelak akan merebut hak ekonomi dan politik.

Oleh karena Massa-Aksi itu cuma bisa dijalankan dengan Massa, yakni beramai-ramai, maka haruslah P.K.I yakni pemuka Kaum Buruh dan S.R yakni pasukan Muka Kaum Non-Proletar menambah anggotanya dengan berlipat ganda. Kalau S.I pada waktu baiknya bisa mengumpulkan sampai 1 atau 2 juta anggota (betul belum seperti anggota sekarang), dan menurut laporan pemerintah sendiri sampai 5 atau 6 juta simpatisan, yakni yang mufakat dengan S.I, maka kalau Taktik, Program dan Agitasi kita benar dalam waktu di muka ini sekurangnya kita mesti dapat laskar buat PKI 10.000 dan buat S.R 500.000. Juga anggota dari Serikat Buruh yang terutama seperti V.S.T.P, S.P.P.L, S.P.L.I dan S.G.B haruslah berlipat ganda banyaknya. Di Jambi, Palembang, Banjarmasin, Aceh d.s.g mesti ada koperasi-koperasi yang kuat. Demikianlah pula JOI harus memperbanyak anggota dan Seksinya. Di Betawi, Semarang dan Surabaya bersamping dengan P.K.I yang bisa mempunyai 1000-2000 anggota S.R bisa mendapat 10-20.000 anggota. Kalau sudah bisa kita mengadakan Tentara Nasional sebesar ini tidak saja Imperialisme Belanda segenap waktu bisa hancur, tetapi juga imperialisme Asing tak akan gampang menentang Tentara yang sebesar itu.

  1. REVOLUSI.
  2. Peperangan dan Revolusi.

Sebermula maka kemajuan Pergaulan itu diatur oleh hukum yang juga menguasai seluruh alam (hewan dan tumbuh-tumbuhan), yang dinamai Hukum Evolusi dan Revolusi. Kedua hukum ini sebetulnya satu, karena tak ada bedanya dalam sifat, melainkan berbeda cepatnya bekerja.

Seperti suatu sungai harus mengalir ke lautan, demikianlah juga pergaulan hidup kita ini menuju ke zaman persamaan, kesentosaan dan peradaban. Seperti sungai itu mengalirnya di tempat yang datar dengan tenang, demikianlah pergaulan hidup kita, kalau tak kuat kasta yang menghambat maju dengan sentosa. Berhubung dengan itu, maka kekayaan, kepandaian dan peradaban maju dengan tiada di rasa.

Tetapi seperti sungai yang terhambat majunya oleh gunung akan menebus gunung itu, demikianlah pula Pergaulan Hidup, yang terhambat majunya oleh satu Kasta atau Bangsa yang menindas, akan memecahkan Kasta dan Bangsa itu.

Baik dengan damai atau perkosa, Evolusi atau Revolusi Pergaulan Hidup kita tetap maju.

Sebagian dari kemajuan itu terjadi dengan peperangan. Satu Bangsa memerangi yang lain, dan menghimpit bangsa yang lain itu dengan alat senjata peperangan. Kemudian, maka bangsa yang menang itu bertambah kaya, bertambah kuasa dan bertambah pandai, sedangkan yang kalah bertambah miskin, serta bertambah bodoh. Nietsche, seorang filsuf atau Pemikir Jerman, menjunjung tinggi Uebermensch, atau Dewa dalam bukunya “Also Sprach Zarathustra” (Begitulah sabdanya Nabi Zoroaster) dan dalam “Die Willie Zur Macht (Nafsu merebut Kekuasaan), dimana ia menggambarkan dengan giat sifat-sifat yang perlu dipakai oleh seorang panglima perang dan pembesar negeri. Buku-buku itu dibaca oleh Kasta Opsir di Jerman di medan peperangan yang baru lalu ini dalam asap meriam dan hujan pelor dengan segala keyakinan.

Nietsche, ialah Nabi-Imperialisme, yang menyangka, bahwa peradaban itu mesti terbawa oleh kemenangan suatu bangsa atas bangsa yang lain. Inilah filosofi imperialisme, yakni Kultur Paksaan, Peradaban Militerisme & Peperangan, serta Peradaban bunuh membunuh sesama manusia dengan maksud hendak menindas dan memeras bangsa yang lemah. Nietsche ialah Zenith atau puncak Peradaban, yang tergambar oleh Arjuno, Iskandar Zulkarnain, Napoleon dan Wilhem II.

Selamanya ada tindasan, selamanya itulah pula ada rasa kemerdekaan. Cacingpun, yang diinjak bergerak kiri kanan, lebih-lebih manusia yang terinjak itu akan berusaha melepaskan dirinya dari injakan itu. Si Bengis Nero, menguatkan majunya Kaum Kristen. George III mengadakan Washington, yang melepaskan Amerika dari tindasan Inggris. Tsarisme di Rusia mengadakan Bolshevisme. Inggris di India melahirkan Pergerakan Boikot dan Swaray, demikianlah tak akan putus putusnya.

Peperangan buat Kemerdekaan tiadalah untuk menindas bangsa lain, melainkan buat melepaskan tindasan. Satria Kemerdekaan-Bangsa, tiadalah seorang Penindas, seperti Caesar, Napoleon dan Wilhem II, melainkan manusia yang berhati suci, berfikiran jernih dan yang setia kepada yang tertindas. Phoseon di Griek L’Ouver­ture pemimpin budak Negro, Garibaldi di Italia dan Rizal di Filipina, semuanya Satria, laksana gambaran Kemerdekan, Kesucian, Keberanian serta Kecintaan hati. Laskar Kemerdekaan, walaupun biasanya miskin dan tiada bersenjata, lebih kuat dari pada Laskar Imperialisme, karena dasar dan makudnya lebih tinggi. Disiplin laskar Kemerdekaan tiadalah pula perbudakan, seperti pada Laskar Imperialisme, melainkan kegiatan yang suci.

Tindasan feodalisme di Prancis, melahirkan pemikir baru, yang wujudnya mau melepaskan tindisan satu kasta dari kasta yang lain.

Voltaire dan Rousseau, dengan pena yang maha tajam memecahkan Feodalisme itu dan melahirkan fikiran baru, buat zaman yang baru pula, yakni: “Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan.”

Kaum Satria baru lahir pula, yakni buat menjalankan buah pena pemikir tadi. Mirabeau, Madame Roland, Danton, Robespierre dan Marat, ialah satria zaman baru, zaman mana kita masuki dengan banyak darah dan air mata mengalir. Satria Prancis tadi belumlah insaf, bahwa Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan itu sekarang diperkosa oleh Kapitalisme.

Pemikir baru mesti berdiri pula. Marx dan Engels, melahirkan pikiran dan pertandingan baru: “Kaum Proletar seluruh dunia bersatulah” Tidak lagi satu kasta dalam satu negeri, melainkan Kasta Hartawan diseluruh dunia haruslah dihancurkan oleh Kasta Proletar seluruh dunia, supaya datang Kemerdekaan dan Komunisme.

Lenin, Trotsky, dll sejawatnya di Rusia sudah memperlihatkan, bagaimana besar kekuatan Kaum Proletar itu. Sekarang di seluruh dunia Kaum Proletar sedang mengatur kekuatan buat perkelahian yang lama, sukar dan bengis itu.

Imperialisme boleh bersiap mengadakan kapal perang, meriam, kapal terbang, kapal selam, bom dan gas beracun. Bangsa jajahan di Timur dan Kasta Buruh di dunia boleh sementara dihisap dan ditindas, dan tiada apa kalau miskin dan tak bersenjata. Bangsa jajahan dan kasta Proletar ada mempunyai senjata yang lebih tajam dari pada peluru dan bom, yakni kerukunan.

Kalau Bangsa di jajahan dan Kaum Proletar mengerti, serukun dan mau, maka tentara imperialisme itu akan pecah dari dalam sendirinya karena yang memegang sekalian senjata itu ialah Kaum Proletar juga.

Inilah senjata kita Kaum Revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena dan Mulut.

Serdadu Revolusi, ialah serdadu yang mengerti serta yakin, dan kalau saatnya sudah sampai, maka dengan perkataan dan tangan saja ia bisa menjatuhkan musuh berapapun besarnya.

Revolusi bukanlah peperangan imperialisme, yang dilakukan buat bunuh membunuh dan rampas merampas. Revolusi ialah satu pertarungan lahir dan batin, dimana satu Bangsa Tertindas atau Kasta Tertindas, melahirkan dan mengumpulkan sifat-sifat manusia yang termulia untuk maksud yang tersuci.

  1. Revolusi di Indonesia.

Objektifnya, yakni hal keadaan negeri di Indonesia sudahlah lama masak buat Revolusi. Lepasan-Kerja (pemecatan – catatan editor) terjadi hari-hari, dan tentara Kaum Buruh yang tak kerja (werkeloozen) belum pernah sebesar sekarang. Gaji Kaum Buruh banyak dikurangkan, walaupun harga barang-barang masih tetap tinggi. Pajak sudah lama melewati kekuatan Rakyat kita.

Walaupun ekonomi dan politik dalam krisis, tetapi Rakyat belum lagi matang revolusioner, artinya itu belum sempurna siap dan bergerak sendirinya merebut dan memegang urusan ekonomi dan politik Negeri. Kesadaran Rakyat kita dalam hal politik, sungguhpun sangat cepat majunya, baru dalam permulaan, sebab itu masih satu persoalan besar, apakah ia cukup kuat dan giat buat menentang musuh di dalam dan di luar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang) pada pertarungan yang tentu hebat dan lama sekali. Rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikitpun mempunyai hak politik, karena, dari dulunya terhimpit oleh despotisme dan imperialisme, tentulah tiada bisa dibangun kan dalam dua tiga tahun saja. Perkumpulan politik kita mesti dilipat ganda banyak dan kualitas anggotanya pada masa ini juga. Berhubung dengan itu agitasi mesti lebih dalam dari pada yang sudah-sudah. Pun Serikat Buruh belum lagi cukup mempunyai banyak dan kualitasnya anggota, buat merebut ekonomi dan politik Negeri dan kelak menguruskan hasil dan pembagian hasil itu (produksi dan distribusi) serta mempertahankan negeri terhadap musuh di dalam dan di luar negeri.

Wataknya kelak Revolusi di Indonesia bolehlah sekarang kira-kira kita gambarkan. Tiadalah akan seperti di Marokko umpamanya, dimana ekonomi masih sangat mundur sekali. Oleh sebab disana pencarian hidup teutama pertanian kecil (bukanondernimingen) dan bergembala, maka tiadalah ada keberatan Abdul Karim buat menarik Tani dan Gembala itu lari ke gunung­gunung, buat meneruskan peperangan dengan Prancis dan Spanyol. Sebab negeri sangat besar dan penduduk sangat sedikit (luas Marokko saja, yang terletak ditepi gurun Pasir itu ada 4 1/2 Jawa, tetapi penduduk cuma 1/6 dari Jawa, sehingga Jawa ada 27 kali serapat Marokko dan kalau Jawa sekarang penduduknya serapat Marokko isinya tidak 36 juta melainkan 1 1/3 juta) dan pencarian hidup gampang sekali, maka perang gerilya, yakni perang lari-larian bisa diteruskan bertahun-tahun. Tetapi Jawa yang mempunyai isi negeri yang nomor satu rapatnya di dunia itu, dimana tak ada tempat lagi buat berlindung seperti Abdul Karim, dimana industri sudah sampai ke Trust dan Syndikaat, dimana hasil sama sekali tergantung pada pasar di luar negeri, dimana tiap-tiap tahun mesti masuk beras seharga F.75.000.000, jadi dimana ekonomi negeri sudah sama sekali berdasar kapitalistis dan internasional, tentulah tak setahun bisa menjalankan Karim-isme atau Dipo Negoro-isme. (Pada masa DipoNegoro penduduk Jawa baru 5 juta).

Oleh karena di India ada Kasta Hartawan bumi putera yang kuat, maka juga pergerakan politik selamanya  ini  bisa nasionalistis tulen. Artinya itu, cuma buat mengusir pemerintah Inggris dan mengisi pemerintah itu dengan Wakil dari Hartawan bumi putera. hak Milik akan tinggal tetap, dan berhubung dengan itu perusahaan yang besar-besar tiada akan jatuh di tangan Buruh industri. Buat Rakyat Kemerdekaan di India itu tak akan berapa menambah hak ekonomi dan politik. Dalam perkelahian menentang Imperialisme Inggris, politiknya Kaum Nasionalis India semata-mata buat memakai Rakyat dan Buruh sabagai serdadu buat maksud Kaum Hartawan. Oleh karena senjata mogok, buat dilawankan kepada Inggris, juga berbahaya buat kapital nasional sendiri, maka Ghandi melarang Kaum Buruh mogok. Senjata yang bisa dipakai oleh Kaum Nasionalis di India ialah Boikot saja, karena boikot itu mengenai perusahaan dan perniagaan Inggris dan membesarkan perusahaan dan oerniagaan Hartawan Bumi Putera.

Tetapi di Indonesia senjata mogok itu bisa dipakai seluas-lusnya, karena tak ada kapital nasional yang bisa dikenai. Mogok umum di Indonesia bisa dan mesti disertai oleh demonstrasi umum, karena pergerakan politik kita bukan untuk satu golongan kecil, yakni dari hartawan saja, melainkan untuk rakyat melarat yang terbanyak itu. Rakyat Indonesia, kalau sudah merebut kekuasaan politik, bisa mengubah nasibnya dengan lekas dan bisa menasionalisi sekalian perusahaan yang besar-besar (kebon, pabrik, tambang, kereta, kapal, dan bank) yang sekarang di tangan hartawan Belanda. Bersama dengan ini, maka kelak nasib buruh dan Rakyat akan segera bisa menjadi baik.

Berhubung dengan hal diatas, maka Revolusi Indonesia kelak akan berbeda betul dengan pemberontakan Marokko dan pergerakan di India (Non-Cooperation clan Swaray). Revolusi Indonesia tiadalah akan semata-mata untuk menukar kekuasaan Belanda dengan kuasaan bumi putera (Peperangan Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk menukar kekusaan hartawan Belanda dengan Buruh Indonesia (putaran-sosial).

Jadi pergerakan kita sekarang, ialah nasionalis sosial, dan berpadanan dengan itu perkakas bertarung ialah perkakas militer (Karim-isme) bercampur dengan perkakas ekonomi dan politik, yakni mogok, boikot dan demonstrasi.

Mana kelak yang lebih kuat diantara perkakas militer dan perkakas ekonomi dan politik itu, buat seluruh Indonesia, yang mempunyai pulau-pulau yang tiada sama kemajuannya, tiadalah bisa kita putuskan dengan sepatah perkataan saja.

Di Jawa, sebagai sentral ekonomi Indonesia tentulah Karim-isme cuma sebagian bisa dilakukan, yakni kalau perkakas mogok, boikot dan demonstrasi sudah segenap waktu bisa dipakai. Artinya itu, kalau perkumpulan politik (P.K.I & S.R) dan Serikat Buruh sudah siap betul. Sungguhpun begitu, Kaum Serdadu tak sekejap boleh dilupakan. Karena, kalau kelak buruh dan Rakyat bisa merebut semua kota-kota di pesisir, tetapi benteng-benteng Bandung, Ambarawa dan Malang masih setia pada pemerintah, maka Belanda bisa lekas mendatangkan pertolongan dari luar Indonesia (Negeri Belanda, Inggris dan Amerika). Seperti dulu Spanyol, sesudah 3/4 di usir oleh Filipina, tiba-tiba menjual Filipina kepada Amerika, begitu juga kelak Belanda, kalau sudah 3/4 terusir, akan mencari akal busuk. Sebab itu benteng-benteng di Jawa, dimana kelak Belanda lari berlindung, mesti kita persatukan dengan Rakyat merah. Dan kelak kita tak boleh menjatuhkan palu terakhir dan menjalankan Karim-isme (kekuatan militer) sebelum kumpulan politik dan buruh matang betul dan kaum serdadu mengerti betul akan maksud kita.

Di luar Jawa, dimana industri masih mundur Karim-isme bisa dilakukan. Tetapi kita mesti jaga lebih dahulu supaya Jawa sudah siap dengan senjatanya, yakni mogok, boikot dan demonstrasi. Kalau belum siap dan Karim-isme diluar Jawa dijalankan, maka pergerakan kita semacan itu akan sia-sia dan bisa lama memundurkan aksi.

Meskipun begitu, kalau sekiranya Karim-isme itu di Sumatra, Borneo, Celebes atau Ternate bisa dijalankan dengan lama dan kuat sekali, maka Belanda mesti akan dapat kesusahan besar. Tentu ia segera akan memukul pergerakan politik dan Serikat Buruh di Jawa, tetapi sebab ia terpaksa menaikkan pajak, semangat revolusioner akan tetap naik di seluruh Indonesia.

Kita tahu, bahwa Anarkisme di mana-mana, sebab kapitalisme sudah sangat teratur, tak bisa menang. Anarkisme di India sudah masyur bertahun-tahun, tetapi tetap tinggal kalah. Di Mesir sangat memukul pergerakan yakni sebagai provokasi, yang memberi senjata pada Inggris buat melarang sama sekail pergerakan politik (sesudah pembunuhan Sir Lee Stac). Pergerakan Anarkisme malah sangat mengacaukan dan melemahkan pergerakan Buruh di Jepang. Tetapi walaupun kita sama sekali tak mempunyai pengharapan akan mendapat Kemerdekaan Indonesia dengan jalan Anarkisme, berhubung dengan sikap pemerintah, Anarkisme di Indonesia bisa timbul. Selama Rakyat masih bisa mendengar pembicaraan nasibnya, protes dan maksud kita, selamanya itu mereka bisa ditahan sampai ke Aksi Teratur. Tetapi kalau pemerintah menutup Kawah Pergerakan, maka api revolusioner itu akan meletus di lain tempat: “Umpamanya gula akan habis terbakar. jembatan akan runtuh, Lokomotif terguling dan Belanda terbunuh dimana-mana.” Bukan karena kemauan P.K.I, melainkan kemauan Rakyat yang sudah putus asa, dan lari dari organisasi kita.

Walaupun pemberontakan Indonesia ada mengandung watak kebangsaan, tetapi, sebab ekonominya Jawa dan sebagian dari Sumatra sudah sangat maju kapitalistis dan internasional, maka Revolusi kita akan berwatak nasionalis-sosial, yakni campuran pergerakan kebangsaan dan kekastaan.

Berhubung dengan wataknya Revolusi di Indonesia itu, maka walaupun Karim-isme atau perang gerilya dan Anarkisme (sebab kapitalisme masih muda) kelak menjadi “aanvulling” (tambahan – catatan editor) atau tempelan dari pergerakan revolusioner, tetapi kemerdekaan Indonesia terletak terutama pada massa aksi yang teratur: “mogok, boikot dan demonstrasi.”

Walaupun berapa juga verleidelijk atau menggodanya Karim-isme dan Anarchisme (lebih-lebih kalau reaksi mengamuk!) kita tidak boleh diprovokasi dan menyimpang dari jalan yang betul, melainkan tetap mendidik sampai Rakyat bisa memegang senjata Massa aksi yang maha tajam itu.

  1. Taktik di Indonesia.

Dalam daya upaja memecahkan imperialisme Belanda ini tak perlu kita berpusing kepada memikirkan Sosial Demokrasi, seperti Partai kita di Eropa dan Amerika. Stokvis c.s di negeri kita tak berani berhubung dengan rakyat, seperti juga di lain-lain negeri jajahan Kaum Sosial Democrat sama sekali jadi ekornya imperialisme.

Cuma kita mesti menjaga, supaya di dalam partai kita, semangat kelembekan Sosial Demokrat tak bisa masuk.

Taktik kita terhadap kepada revolusioner kebangsaan dan agama ialah menarik mereka kedalam S.R Tiadalah ada salahnya, kalau kita kelak mengadaan Nasional-Platform, yakni Barisan Revolusioner yang memeluk sekalian Partai revolusioner besar kecil yang ada sekarang ini dan memimpin Barisan itu menjatuhkan imperialisme Belanda.

Taktik kita ke dalam negeri, terutama menarik sekalian golongan yang tiada bersenang hati di bawah Belanda. Kita mesti berusaha keras mengatur buruh dan tani gula yang banyaknya barangkali lebih dari 1.000.000 itu. Buruh Kereta yang 80.000, buruh dan tani teh, kopi, coklat, jati, getah yang tentu tak kurang dari 1.000.000 pula, buruh minyak tanah yang kira-kira 40.000, tambang arang, emas, timah yang lebih dari 50.000 itu, buruh pelabuhan yang kira-kira 100.000 dan kuli kontrak yang 300.000 itu. Juga tiada boleh dilupakan Kaum Student yang di sekalian jajahan jadi pasukan-muka pergerakan. Di Jambi, Palembang, Padang, Banjarmasin bumi putera yang berada itu, perlu koperasi buat mempertahankan diri terhadap kepada kapitalis besar. Penduduk kota nomor satu dan kota nomor dua dan desa-desa harus semua ditarik ke dalam S.R. atau P.K.I. Disebabkan oleh bermacam-macam hal, maka masih sangat sedikit dari semua golongan yang di atas terikat oleh organisasi kita. Kita percaya, berapa pun besarnya reaksi dengan segala kecakapan pada waktu di muka ini kita akan bisa melipat ganda anggota P.K.I & S.R, Serikat Buruh, JOI d.s.g. Sedangkan Ternate suatu pulau kecil saja ada kalanya bisa menarik anggota 13.000 dan berkontribusi beratus rupiah. Kita sama sekali tak akan heran, kalau dijalankan betul, Jawa, Sumatra, Borneo, Celebes, Ambon dan Bali besok atau lusa akan memeluk beratus ribu anggota, yang bisa membayar cukup dan tetap.

Kalau kita tidak bisa mengadakan organisasi yang bisa memeluk sekalian Kasta dan sekalian pulau terberai-berai itu, maka pekerjaan melemparkan Imperialisme itu adalah satu percobaan yang sangat sia-sia. Belanda bisa lari dari satu tempat ke tempat yang lain buat berlindung dan mencari kawan. Jawa akan bisa di adu dengan Sumatra, Menado dan Ambon sama Rakyat Islam d.s.g. Sebab itu taktik kita yang terpenting sekali ialah mempersatukan semua pulau dan Kasta dengan Program Minimum, yang dirasa oleh semua penduduk Indonesia.

Kalau kita bisa mempersatukan seluruh Indonesia dan mengadakan disiplin yang keras, barulah kita bisa memikirkan merebut kemerdekaan dan barulah bisa mempertahankan kemerdekaan itu terhadap kepada Inggeris dan Amerika.

Inggris tentu tak suka Indonesia akan menang. Pusat armada di Singapura (satu negeri di Indonesia juga), gunanya buat mempertahankan dan melebarkan jajahan Inggris di Asia. Dalam waktu peperangan, maka Singapura mudah diperhubungkan dengan Australia, India dan HongKong. Kalau di Indonesia pecah revolusi, maka perhubungan dengan Australia akan terancam. Inilah hal yang bisa dijadikan alasan oleh Inggris buat menolong Belanda dan memakai Volkenbond buat membetulkan politik Inggris. Lagi pula berjuta-juta ada Kapital Inggris di kebon getah, teh dan terutama di Minyak Tanah, sehingga Koninkelijke Petroleum Maatschappij itu bolehlah dikatakan perusahaan Inggris. Akhirnya kemerdekaan Indonesia akan sangat disukai oleh Tanah Malakka dan India dan dengan lekas akan menggoncangkan seluruh jajahan Inggris, lebih berbahaya dari segala macam pergerakan revolusioner di Eropa.

Kita tahu bahwa ketika Amerika memikir-mikir mau memberikan kemerdekaan pada Filipina, yang sudah lama matang buat Zelfbestuur (managemen swadaya – catatan editor) itu ia dapat tegoran dari Prancis, Inggris, Jepang dan Belanda. Alasan negeri-negeri imperialis, itu akan menyebabkan semua jajahan akan lebih keras menuntut kemerdekaannya dan akhirnya kekuasaan bangsa putih di Asia akan jatuh. Sebab itu terhadap kepada kemerdekaan Indonesia semua Imperialis mesti akan bersatu.

Walaupun Amerika menamai dirinya demokratis, buat kita tak kurang bahayanya. Pada tahun yang sudah dia terpaksa membeli getah dari luar negeri F.1.500.000.000. Harga ini F.1000.000.000 lebih mahal dari 2 tahun terlampau. Sebabnya ialah karena Inggris yang menguasai 70%. dari semua getah di dunia bisa dengan sekehendak hatinya menaikan harga itu, sehingga Amerika mesti membayar berlipat ganda. Supaya ia lepas dari monopoli Inggris, maka Amerika berdamai dengan Belanda. Boleh jadi pada waktu paling di muka ini berjuta-juta modal Amerika akan masuk ke Indonesia buat menambah kebun getah.

Jadi ringkasnya Inggris dan Amerika (juga Jepang) semuanya cinta pada Indonesia dan semuanya mau menduduki. Kalau kita merdeka, tetapi tak cukup bersatu, maka seperti Tiongkok, kaum perampok itu akan mudah adu-mengadu kita sama kita. Negeri kita akan cerai-berai, diperintahi atau dipengaruhi oleh beberapa imperialis. Dengan segera kita yang tiada mempunyai armada ini, kalau pikiran dan maksud tak satu akan hancur.

Sebaliknya kita tak boleh ngeri, asal mengerti, bahwa diantara satu imperialis dan yang lainnya, yang semuanya mengancam kita itu ada pertentangan keperluan. Politik kita kelak haruslah arif bijaksana mengenal pertentangan itu sewaktu-waktu dan memperdalam pertentangan itu supaya satu sama lainnya si perampok itu berkelahi dan kita terpelihara.

Kalau saatnya itu kelak sudah sampai, dan kita betul bersatu, maka nakoda kapal kemerdekaan itu, wajiblah dengan segala keyakinan, keberanian, ketetapan hati dan kepintaran menentang ribut topan di dalam dan di luar negeri, serta awas akan batu karang yang tersembunyi yang setiap waktu bisa menghancurkan kapal kemerdekaan itu.

  1. Massa Aksi di Indonesia..

Apabila kira-kira 30 tahun yang lalu Bonifacio mendapat jawab dari Rizal, bahwa Filipina tak bisa membuat Revolusi, karena tak mempunyai kapal dan bedil, maka Bonifacio dengan marah berkata: “Bliksem (petus!). Dimana dia baca?”

Dr. Jose Rizal, ialah seorang intelektual, yang dibuang oleh Spanyol ke sebuah pulau kecil. Ketika Dr. Rizal akan ditembak, sesudah diadakan tuduhan yang palsu, maka Bonifacio, yang memimpin Katipunan, yakni satu perkumpulan rahasia, mengirim wakil dengan rahasia sekali menemui Dr. Rizal, meminta, apakah ia mau lari dari penjara dan apakah ia mau memimpin Katipunan dalam revolusi kepada Spanyol. Dr. Rizal menjawab seperti diatas. Mendengar jawab itu Bonifacio menyindir dengan marah, bahwa tak ada buku sejarah, yang mengatakan, bahwa bangsa yang miskin dan tertindas itu mesti lebih dahulu menyiapkan kapal dan bedil buat revolusi.

Bonifacio ialah seorang Proletar tulen. Tetapi sebab sangat rajin belajar sendiri, ia cukup mengetahui revolusi di Eropa dan Amerika. Oleh sebab keberanian, kesucian serta ketetapan hati ia mendapat pengaruh dalam rahasia di seluruh Filipina luar biasa sekali. Sudah lama ia bercerai dari La Liga Filipina (Persatuan Filipina) yang didirikan oleh Dr. Rizal, karena perkumpulan ini sudah terang kompromis dan lembek sekali. Tetapi sebab Rizal guru dari Bonifacio dan tinggal diseganinya sebagai pemikir dan satria yang luar biasa, ia sudi menyerahkan pimpinan Katipunan yang dibikinnya itu kepada Dr. Rizal.

Apabila akhirnya Dr. Rizal dengan tuduhan palsu ditembak, maka seluruh rakyat Filipina meratap dan berniat membalas dendam. “Kalau Rizal seorang yang begitu besar, sehingga sangat disegani oleh Profesor di Eropa, yang tiada bersalah apa-apa ditembak lagi, siapakah yang bisa bekerja buat kemerdekaan Filipina?” Inilah pertanyaan yang lahir dalam pikiran Bumi Putera lelaki dan perempuan.

Sekaranglah datangnya saat buat Bonifacio akan memperlihatkan kepercayaannya atas massa atau Rakyat Filipina. Di Balintawak dekat dalam rahasia sekali Bonifacio mengumpulkan anggotanya dan dengan “bolo” (pedang) sekerat saja mereka menyerang tentara Spanyol yang teratur dan kuat itu. Beribu-ribu Rakyat mengikut panggilan Katipunan dengan bolo atau tanpa bolo. Dalam beberapa pertemuan dengan serdadu Spanyol, Rakyat Filipina, yang tak bersenjata itu merebut dengan tangan saja senapan serdadu Spanyol. Pada tiap-tiap medan peperangan berpuluh dan beratus senapan direbut, sehingga akhirnya cukup Rakyat mempunyai senjata api buat melawan Spanyol.

Tiada lama antaranya, maka bendera Rakyat yang karena miskinnya dibuat dari kain robek-robek saja terkibar di sebagian besar dari kepulauan Filipina. Hanyalah benteng Manila saja yang belum jatuh.

Banyak lagi contohnya massa aksi, yakni aksi Rakyat, kalau betul sudah matang revolusioner, baik di Eropa ataupun Asia, walaupun tiada bersenjata apa-apa bisa menundukan laskar yang teratur.

Umpamanya L’Ouverture, seorang budak Negro di Haiti (Amerika Tengah), yang memimpin budak miskin pula, bisa menaklukan Inggris, Spanyol dan serdadu Napoleon berikut-ikut. Di Revolusi Besar Prancis (1789) Rakyat yang paling miskin dan kurus kelaparan itu, sesudah kena propaganda revolusioner bertahun-tahun, akhirnya dengan tangan dan batu juga mengalahkan Laskar Raja dan Bangsawannya. Juga buruh di Rusia, yang miskin itu, baik pada revolusi 1905 ataupun 1917, tiada lebih dahulu memesan “kapal terbang” sebelum ia menyerang tentara Kaum Hartawan dan bangsawan di Rusia.

Senjatanya Rakyat yang betul revolusioner itu, hanyalah pena, mulut dan tangan saja. Kalau semangat revolusioner sudah betul menjadi darah daging Rakyat melarat, maka semua kepandaian dan senjata itu akan timbul sendirinya. Senapan bisa direbut dengan tangan dan juga seperti di Filipina tukang rumput bisa jadi jenderal. Inilah kemuliaan Revolusi dan kesucian si Revolusioner. Kita diatas mengambil contoh terutama dari Filipina, sebab penduduknya lebih dekat kepada kita dari penduduk negeri lain.

Orang tak bisa bantah, “O, ya, mereka tinggal di negeri sejuk sebab itu kuat.” Atau “mereka berkulit putih atau berasal ini atau itu.” Rakyat Filipina juga bangsa Melayu dan diamnya juga di Khatulistiwa.

Sebaliknya, walaupun sifat dan asal kita bersamaan, dalam hal lain-lain Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita.

Ketika mereka memberontak kepada Spanyol dan kemudian kepada Amerika, serta 3 tahun mendirikan Republik, jumlah jiwa cuma 8 juta. Spanyol kira kira 25 juta, dan satu imperialisme terbesar di dunia seperti Inggris. Amerika yang 50.000 terbunuh oleh bolo itu terkaya, dan mempunyai 100.000.000 jiwa. Sedangkan Indonesia sekarang mempunyai 55.000.000 jiwa, dan menentang Belanda yang cuma 6 1/2 juta saja.

Kita sekarang ada mempunyai perkakas mogok, tetapi Rakyat Filipina, sebab waktu revolusi industri belum maju, terpaksa langsung bertanding di medan peperangan, yang menuntut korban 100.000 jiwa mereka.

Kita lebih besar membayar pajak dari Filipina di bawah Spanyol, yang sekarang lebih besar dari bangsa apa­pun juga di dunia.

Kita masih bisa dan tetap akan bisa menaburkan benih revolusi, karena kita cukup mempunyai propagandisten dan surat kabar yang dibantu oleh kereta dan kapal. Sedangkan di Filipina Rizal yang memimpin La Liga Filipina yang sejinak B.O itu ditembak, dan propaganda terutama harus dijalankan dari luar negeri, Banifacio harus menjalankan propagandanya di Filipina dengan sangat rahasia sekali serta dengan kaki atau sampan kecil saja. Buku-buku dan surat kabar revolusioner, karangan Rizal, Del Pilar, d.s.g. yang dimasukan dengan rahasia sekali dari Spanyol, Hong-Kong dan Singapore, dibacakan oleh pasukan bacaan, yang membacakan pada Rakyat yang tak pandai membaca itu dalam rahasia sekali, karena pemerintah menghukum dan menyiksa keras si pembaca atau si punya buku dan surat kabar itu.

Walaupun Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita, ia toh bisa dan berani menentang Spanyol dan Amerika lamanya 3 tahun dan acap kali mengalahkan tentara kedua negeri yang sangat teratur itu.

Kita satu menitpun tak ada syak (keraguan) dan waham (ketidakpercayaan), bahwa kalau Rakyat Indonesia cukup sadar dalam hal politik (politik bewust) dan sudah tunggang mau merebut haknya baik ekonomi ataupun politik, juga dengan tangan dan batu saja bisa mengusir Belanda yang dua tiga biji itu dan menolak semua musuh dari luar negeri.

Disini tiada tempatnya buat membicarakan perkakas kita yang baik kita pakai, kalau Mogok dan demonstrasi kelak sudah melewati batas perdamaian dan sampai sendirinya ke tingkat perkelahian senjata. Memang kita di negeri semacam Indonesia cukup menyimpan senjata, yang segera akan kelihatan, apabila Rakyat yang 55.000.000 juta itu betul-betul sadar politik dan sama sekali keputusan jalan damai. Ringkasnya, kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar, Student, Penduduk kota, Jongos, Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki d.s.g  mau merebut kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat Filipina tempo hari, maka kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja: “Besok Republik Indonesia bisa ditabalkan (diproklamasikan).”

  1. Rapat Rakyat Indonesia.

Saat kita buat Massa Aksi itu sewaktu-waktu bisa datang. Krisis ekonomi dan politik yang sekarang sudah begitu dalam akan bertambah dalam lagi, kalau umpamanya datang bahaya kelaparan dan bahaya penyakit. Juga sikap reaksioner dari pemerintah sekarang ini sangat memperdalam permusuhan antara Belanda dan Rakyat.

Kalau Rakyat sempurna sadar akan haknya sebagai manusia, maka semua pembuangan dan tutupan yang sewenang-wenang itu kelak segera akan dibalas oleh Rakyat sendirinya. Kalau umpamanya Pimpinan melarang perbuatan semacam itu, maka Pimpinan itu sendiri akan dilemparkan oleh Rakyat dan akan diganti oleh Rakyat sendiri dengan pimpinan baru.

Kalau pemerintah melarang membuat pertemuan, demonstrasi & mogok, maka ia tiada akan memperdulikan perintah itu lagi, melainkan terus keluar memperlihatkan tiada senangnya dengan peraturan yang ada.

Kalau pemerintah mengirim Polisi dan Serdadu, maka Rakyat yang betul betul sadar itu sendirinya akan mendekati Serdadu dan Polisi itu. Kalau mereka itu tak mau memihak kepada Rakyat, maka Rakyat akan mengadakan Pasukan-Merah sendiri, mencari senjata sendiri dan bekerja sendiri buat mempertahankan Mogok, Pertemuan, dan demonstrasi.

Kalau Pemerintah terus memakai “Tangan Besi” dan tiada menimbang permintaan Rakyat (yang mengisi perutnya hamba-hamba Pemerintah itu), tetapi Rakyat belum berani melawan berterang-terangan, maka ia akan sendirinya berjalan gelap-gelap. Seperti di Mesir, India dan Irlandia juga di Indonesia akan kejadian sabotase, racun-meracun dan bunuh-membunuh dengan rahasia sekali.

Semangat revolusi itu, kalau sudah menjadi darah daging Rakyat melarat tiadalah bisa dibunuh dengan hukum atau peluru lagi. Kalau semangat revolusi itu sudah masuk di semua kasta dan sekalian pulau, maka datanglah saatnya buat memanggil Rapat Rakyat Indonesia.

Proletar, Tani, Student, Saudagar dan Serdadu haruslah dengan atau tanpa izin Pemerintah, memilih dan mengirimkan Wakil ke suatu tempat di Indonesia buat Rapat atau Pertemuan.

Rapat Rakyat ini akan membuat Hukum untuk Rakyat Indonesia, dan kalau pemerintah Belanda tak suka menjalankan atau mengaku hukum itu dan tak suka pergi (sudah tentu is tak suka!!), maka Rapat Rakyat itu mesti sendirinya menjalankan. Kalau Pemerintah mengirim laskarnya, maka Rakyat mesti sudah bisa menjawab kiriman pemerintah itu dengan sepatutnya (baik dengan propaganda dalam laskar itu sendiri, baikpun dengan Tentara Merah).

Memanggil Rapat Rakyat itu artinya mengirim ultimatum atau menentang Pemerintah sekarang, yang kita sudah yakin tak bisa mengurus terus ekonomi dan politik negeri dan tak disukai lagi oleh Rakyat. Panggilan kita itu haruslah dikeraskan oleh kemauan dan perbuatan Rakyat, yang sudah terbukti pada Mogok Umum dan demonstrasi, yang tak memperdulikan korban lagi dan dimana seluruh Rakyat melarat memperlihatkan ketetapan hati dan kegiatan. Dalam hal ini Rapat Rakyat itu, seolah-olah mahkotanya aksi kita dalam politik.

Tentulah Rapat Rakyat itu baru bisa dipanggil kalau sudah lahir alamat dan tanda-tanda, bahwa Rakyat melarat sudah matang revolusioner::

“Umpamanya kalau mogok, pertemuan dan demonstrasi, walaupun dilarang bisa diteruskan (tentulah kalau pimpinan merasa perlu…). Kalau tuntutan ekonomi dan politik dalam mogok dan demonstrasi sudah kelihatan terasa dan termakan betul oleh seluruh Rakyat. Misalnya buruh tetap menuntut tambah gaji, sebagian dari untung, merdeka bergerak, dan disana sini sudah mendirikan dewan buruh atau rapat buruh buat menguruskan hasil serta sudah merebut pabrik atau kebun terutama di SOLO-VALLEY, atau Daerah Kali Solo, yakni pusatnya ekonomi Indonesia. Kalau berhari dan berbulan (seperti di Mesir, India, Tiongkok, Jerman dan Rusia) Rakyat Indonesia berdemonstrasi menuntut di hapuskan pajak, menuntut Algemeen Kiesrech (hak umum untuk memilih – catatan editor), Rapat-Rakyat, Kemerdekaan dan tuntutan politik dll. Kalau Rakyat yang 55 juta itu, lebih suka mati dari pada hidup seperti budak dan ketawa melihat kuda dan karet polisi. Kalau bui dibongkar dan pemimpin dikeluarkan. Kalau buruh kereta dan kapal mungkir membawa pemimpinnya ke tempat buangan. Kalau kaum serdadu mungkir menindas pergerakan dan mungkir menembak Rakyat yang tak bersenjata dan tak bersalah itu. Kalau Belanda tidur dengan pistol di tangannya, dan tak berani makan, kalau makanannya tidak diperiksa oleh dokter lebih dahulu…”

Inilah semuanya tanda dan alamat, bahwa semangat revolusi itu sudah berurat dalam dan menjalar kemana-mana, serta tiada bisa diobat lagi, kecuali dengan kemerdekaan.

Barulah datang saatnya buat pimpinan revolusioner itu menimbang kekuatan kawan dan lawan, mengumpulkan Tentara Nasional dan mengerahkan tentara itu terhadap kepada musuh di dalam dan di luar negeri.

Sebelumnya saat buat bertanding habis-habisan itu datang, maka pekerjaan kita yang terutama terus: “Pertama Agitasi, kedua Agitasi dan ketiga Agitasi.”

Kalau Bonifacio, seorang proletar tulen, dengan jiwa selalu terancam dan dimana perkakas buat propaganda dan agitasi belum secukup di Indonesia bisa mengadakan Nasional Organisasi pada beratus-ratus kepulauan Filipina, maka kita di Indonesia Selatan dengan jiwa 55 juta dan perkakas lahir batin lebih dari cukup, tak boleh lekas putus asa dan tak boleh lekas menyimpang dari jalan yang betul.

Kita, sebagai Kaum Marxis, mesti tinggal bersandar pada keperluan, kemauan dan kekuatan massa, yakni Rakyat melarat dan kalau mereka belum masak-revolusioner dan belum siap menentang musuh dalam dan luar negeri yang sangat teratur itu, maka kita tak boleh diprovokasi oleh musuh, yakni tertipu bertarung pada tempat dan saat yang tidak kita kehendaki.

Semua pemberontakan Indonesia, kalau Rakyat belum matang revolusioner akan sia-sia belaka. Semua macam “putch” (pemberontakan tiba-tiba dari satu golongan kecil) harus kita singkiri dan musuhi. Kalau pemberontakan semacam itu sekiranya menang, maka Indonesia merdeka itu akan segera jatuh di tangan seorang militer. Dalam hal ini tiadalah politik dan rakyat yang berkuasa melainkan tangan besi seorang Militer. Hal ini terjadi di Tiongkok pada tahun 1911, dimana kekuasaan politik segera lepas dari Dr. Sun Yat Sen dan jatuh di tangan Yuan Shi Kai & Co.

Aksi ekonomi dan politik yang menempuh Rapat Rakyat itulah buat kita jalan yang tentu dan sentosa buat merebut kemerdekaan, menjatuhkan segala kekuasaan negeri pada Kaum politik, dan menghindarkan diktaturnya dan tindasan Kaum Militer dari bangsa Indonesia sendiri.

  1. Revolusioner Komunis.

Pada suatu negeri yang banyak mengandung sisa feodalisme, serta bibit kapitalisme, seperti Indonesia, sangatlah susah sekali buat menjadi komunis. Sisa feodalisme membawa agama dan politik, yang walaupun bisa revolusioner (seperti Dipo Negoro) tetapi sifatnya feodalistis. Demikianlah B.O & N.I.P yang percaya, bahwa Kerajaan cara Majapahit bisa dibangunkan lagi atau S.I yang dulunya percaya, bahwa Kerajaan Islam dan Kalifatullah yakni peraturan feodalisme akan bisa dibangunkan lagi.

Kapitalisme jajahan yang masih muda di negeri kita itu, mengandung bermacam-macam bibit pula. Ada yang bersifat kapitalistis, seperti juga terbawa oleh 3 partai yang tersebut diatas tadi, yang menghendaki modal Indonesia. Buruhnya yang masih muda itu ada pula mengandung anarkisme, yakni paham borjuis kecil yang dikalahkan oleh Modal-Besar. Demikianlah Anarkis di Eropa, yang hidup pada zaman yang lalu seperti Waffling, Proudon, Bakunin d.s.g mewakili kasta borjuis kecil atau kasta buruh yang kemarinnya borjuis kecil. Sebab borjuis kecil itu individualis (berdiri sendiri), karena ia si berpunya kecil, maka perkakasnya bertarung juga individualistis (memakai bom) dan tak tahu bersama-sama.

Tetapi buruh industri model baru, yang selalu kerja bersama-sama dan berdisiplin (karena kapitalisme memaksa begitu), membawa wataknya bersama itu menentang kapitalisme. Sebab itulah pada buruh industri, dan cuma pada buruh industri saja terbawa “kerja bersama” dan “bertarung bersama” dan dengan didikan lekas bisa hilang individualisme. Makin maju kapitalisme makin hilang anakisme (seperti Inggris dan Jerman) dan makin maju “kerja bersama” dan “aksi Bersama.”

Jadi revolusioner agama, feodalistis, revolusioner hartawan dan anarkistis cuma perkara yang lalu, yang besok kalau industri maju, akan hilang seperti abu ditiup angin, dan berganti dengan revolusioner komunis.

Dasarnya revolusioner komunis, tiadalah perasaan, seperti pada revolusioner yang lain-lain tadi, melainkan pengetahuan. Adanya revolusi kita percaya, karena perbantahan kasta. Di Indonesia karena kasta modal Belanda tak bisa kompromi dengan Rakyat Indonesia. Datangnya revolusi tidak tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan kalau Krisis ekonomi dan politik sudah cukup dalam dan Rakyat sudah cukup sadar. Revolusi itu bisa berhasil, kalau banyak dan kualitas anggota, dan pengaruhnya partai kita sudah mencukupi.

Kalau keadaan ekonomi dan politik sudah cukup matang-revolusioner, tetapi Rakyat dan Partai kita belum siap, maka kita komunis mesti bisa menahan perasaan kita sebagai individu, menyingkiri segala percobaan avonturisme atau sia-sia dan menunggu bertarung sampai Rakyat dan Partai kita siap. Tiadalah sekejap kita boleh ditarik perasaan, melainkan tetap berdiri atas pengetahuan. Tentu kita menjunjung tinggi keberanian Partai kita, kalau disana atau sini didorong oleh musuh.

Imperialis putih ialah, politik Amerika semacam itu akan atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan kekayaannya tetapi tidak seperti individu, melainkan bersama dengan Massa dan buat Rakyat Melarat itu pula. Aksi dan keberanian individual buat kita sangat sedikit harganya.

Kalau keadaan ekonomi & politik umpamanya sementara berubah baik, dan Rakyat jadi sementara lembek, maka kita tak boleh jadi refomis, seperti Sosial Demokrat atau jadi mata gelap seperti anarkis, melainkan tetap meneruskan Aksi revolusioner yang sepadan dengan keadaan. Kita tahu, bahwa Kapitalisme tak bisa mengatur negeri dan besoknya krisis mesti datang lagi.

Strategi kita tiadalah bersandar atas perasaan, seperti kebangsaan atau keberanian sebagai individu (melemparkan bom), melainkan bersandar pada pengetahuan tentangan ekonomi & politik Negeri dan pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau tabiat Rakyat kita, tabiat mana turun naik sepadan dengan keadaan ekonomi. Bagaimana keadaan industri, pertanian dan perniagaan serta sikapnya imperialisme Belanda haruslah kita ketahui betul, karena keadaan inilah yang menurun naikkan semangat revolusionernya seluruh Rakyat melarat.

Kalau krisis dalam, rakyat melarat matang revolusioner. Partai kita sempurna mempunyai kekuatan, disiplin dan pengaruh, serta musuh di dalam dan di luar negeri kebingungan, maka barulah General Staff kita mengumpulkan segala kekuatan yang ada dan mengorbankan tenaga dan jiwa buat kemerdekaan sebagai bangsa dan sebagai kasta..

Hai Rakyat Melarat !!

Berapa lamakah lagi kamu mau menderita injakan dan tindasan semacam ini? Tiadakah kamu tahu bahwa sangat besar kekuatan mu yang tersembunyi? Tiadakah kamu insaf, bahwa kerukunanmu artinya kemerdekaan buat kamu dan keturunanmu? Beranikah kamu terus hidup dalam perbudakan dan menyarankan anak cucumu juga jadi budak ?

Hai Kawan-Kawan Separtai !!

Ketahuilah, bahwa Rakyat kita, yang beribu tahun diajar jongkok, yang belum pernah mempunyai hak sebagai manusia itu tak mudah dididik. Janganlah kamu putus asa, kalau daya upayamu tidak lekas memperlihatkan hasil yang nyata. Teruskan pekerjaanmu yang maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis Rakyat melarat. Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak gantungan selalu mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah yang sangat ditakuti oleh musuh kita. Karena tak ada bangsa atau kasta yang mengerti di dunia ini yang rela ditindas dan dihisap…

Kawan-Kawan !!!

Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah !!

Kalau saatnya datang, berdirilah tegak di tengah­-tengah Rakyat, menentang peluru dan bayonetnya musuh. Jangan dilupakan ideal kita komunis: “Menang atau mati dalam Massa Aksi.”

Di tanganmu tergenggam Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan, Kepandaian dan Peradaban…

Kamu Kaum Revolusioner !!

Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: “Disini bersemayam Semangat Revolusioner”

 

Tokyo, Januari 1926.

Arsip Tan Malaka | Sejarah Marxisme di Indonesia | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.

Catatan:

Tulisan ini dipublikasikan semata-mata untuk pendidikan politik di Papua

 

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan