Pilihan Redaksi MAI Papua: Hutan Papua Semakin Hilang, Timika Krisis Air...

MAI Papua: Hutan Papua Semakin Hilang, Timika Krisis Air Bersih

-

Papua Darurat Air Bersih, Tutup Freeport, Tolak Otsus Jilid Dua Solusi Selamatkan Air dari Ancaman Imperealisme dan Kolonialisme

Hingga hari ini, jutaan bahkan miliaran orang di seluruh dunia masih menjalani kehidupan tanpa air bersih di rumah tangga, sekolah, tempat kerja, pertanian dan lain-lain yang berjuang untuk bertahan hidup dan berkembang. Kelompok-kelompok masyarakat yang tertindas dan miskin, yaitu Perempuan, anak-anak, pengungsi, orang cacat dan penduduk asli (masyarakat adat) seringkali diabaikan, mengalami diskriminasi ketika mencoba mengakses air bersih yang mereka butuhkan. Air bersih didefinisikan sebagai ‘Safe Water’ yaitu air yang aman untuk diminum, tersedia ketika dibutuhkan, bebas kontaminasi apapun dan mudah diakses di berbagai tempat.

Air dibutuhkan semua makhluk hidup, dan ini menjadi hak manusia siapapun orangnya. Akses terhadap air menopang kesehatan masyarakat dan karena itu menjadi kritis terhadap pembangunan berkelanjutan dan kestabilan dunia yang sejahtera. Kita tidak dapat maju menjadi masyarakat global (berkembang) jika masih banyak manusia yang hidup tanpa air bersih. Pada tahun 2010, PBB menyatakan hak manusia untuk meminum air yang aman dan bersih adalah esensial untuk menikmati kesenangan hidup dan memenuhi semua hak manusia. Hak tersebut meliputi semua orang tanpa diskriminasi untuk mendapatkan air yang layak, aman, cukup, dapat digunakan, mudah diakses dan mampu diakses termasuk untuk air minum, kebersihan pribadi, mencuci, memasak, kesehatan dan kebutuhan rumah tangga.

Keberadaan air lebih dari sekedar masalah konsumsi dan kesehatan bagi jutaan umat manusia, tetapi air juga dapat berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pembangunan ekonomi, sosial serta manusia. Hingga tahun 2015 setengah dari para pekerja di dunia atau sekitar 1,5 miliar orang bekerja di sektor yang memiliki hubungan dengan air. Walaupun demikian, seringkali orang-orang ini tidak dilindungi hak-haknya sebagai buruh.

Sejarah Hari Air Sedunia atau World Water Day ditujukan untuk menarik perhatian akan pentingnya air bersih dan juga menyadarkan untuk mengelola sumber-sumber air bersih secara berkelanjutan. Sekitar satu dari sembilan orang dari 2,1 miliar penduduk dunia belum memiliki akses kepada air bersih yang merupakan hak asasi manusia untuk hidup. Hari ini diperingati untuk membuat perbedaan bagi anggota masyarakat dunia yang mengalami masalah sehubungan dengan air, dan juga hari yang diperingati untuk mempersiapkan pengelolaan air di masa depan.

Papua Hari ini berada dalam kondisi darurat akan air bersih disebabkan oleh lajunya investasi imperealisme dan kolonialisme Indonesia yang telah merusak jutaan hektar hutan sebagi tempat penyedia sumber air bagi kepentingan umat manusia dipapua.

Darurat air bersih dipapua disebabkan Lajunya kepentingan Imperealisme dan kolonialisme atas hutan adat diPapua dimulai sejak massa orde baru ditandai dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing ditandai dengan hadirnya PT.Freeport dipapua dan juga ditandai dengan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, sistem persetujuan hak pengusahaan hutan (HPH) dimulai. Baik perusahaan negara colonial (BUMN) maupun investasi asing (Imperialisme ) berlomba-lomba memiliki HPH. Para elite penguasa ini kemudian membangun kerja sama dengan Investasi asing untuk mengeksploitasi hutan dengan keterlibatan yang sangat terbatas dari ilmuwan hutan atau mereka yang “mengerti” cara mengubah hutan tanpa dengan merusak alam. Efeknya, pada 1995, ada sekitar 586 konsesi HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektare atau lebih separuh dari luas hutan tetap, baik yang dieksploitasi perusahaan Investasi asing (Imperalisme) maupun kolonial Indonesia melalui BUMN.

Pada masa Presiden Soeharto di Papua sendiri terjadi kehilangan hutan lahan kering dengan laju sebesar 43 hektare/tahun, dan hutan lahan basah sebesar 35 hektare/tahun. penurunan luas hutan diikuti dengan peningkatan luas semak belukar 35 hektare/tahun. Perubahan hutan menjadi semak belukar tersebut mengindikasikan adanya aktivitas penebangan kayu pada periode tersebut. Selain itu juga ada 10 Izin Pelepasan Kawasan Hutan dengan luas mencapai 72.521,7 ha diterbitkan untuk pembangunan perkebunan. Inilah yang menjadi awal mulanya ekspansi perkebunan kelapa sawit di Papua.

Hadirnya PT.Freeport telah membawa dampak buruk bagi masyarakat adat papua dalam bidang kesehatan dalam hal Hal akses untuk mendapatkan air bersih disebabkan oleh pembuangan limbah tailing Freeport 1 miliar ton tailing ke sistem sungai wanagon-Otomona Ajikwa sehinggah menyemar dan menghilang sumber-sumber air bersih.

Sungai Ajkwa Bagian Bawah (Lower Ajkwa River) mengandung 28 hingga 42 mikrogram per liter (µg/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air tawar di Indonesia yaitu 20 µg/L, dan jauh melampaui acuan untuk air tawar yang diterapkan pemerintah Australia, yaitu 5,5 µg/L. Lebih jauh ke hilir, kandungan tembaga larut pada air tawar sebelum Muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22 – 25 µg/L dan bisa mencapai 60 µg/L.

Secara keseluruhan, Freeport Indonesia menyia-nyiakan 53.000 ton tembaga per tahun, yang dibuang ke sungai sebagai Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage, ARD) dalam bentuk buangan (leachate) dan tailing. Tingkat pencemaran logam berat semacam ini sejuta kali lebih buruk dibanding yang bisa dicapai oleh standar praktik pencegahan pencemaran industri tambang.

Pada masa awal Reformasi (Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati) semakin carut marutnya kerusakan hutan Papua terjadi kehilangan hutan lahan kering sebesar 96 ribu hektare/tahun dan hutan lahan basah sebesar 87 ribu hektare/tahun. Dampaknya terhadap tutupan lahan, terjadi peningkatan semak belukar sebesar 138 ribu hektare/tahun, pertanian sebesar 42 ribu hektare/tahun, dan pertambangan sebesar 73 hektare/tahun. Selain itu, juga ada 4 Izin Pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan seluas 94.332,69 hectare.

Hadirnya kebijakan undang-undang No. 21/2001 yang mengatur tentang otonomi khusus bagi Papua merupakan babak baru pemusnahan hutan besar-besaran terjadi. Undang-undang OTSUS memberikan kesempatan jahat kepada para elit-elit asli papua seperti-bupati Bupati berlomba-lomba untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya. Seperti pemberian izin HPH skala kecil, IPK dan sebagainya tanpa perhitungan ketersediaan sumberdaya hutan yang matang. Bertambahnya wewenang di tangan para Bupati dan DPRD hutan papua semakin habis selama massa Otsus hinggah saat ini.

Pada periode kepemimpinan Presiden Sosilo Bambang Yudihyono(SBY) pada massa berjalannya kebijakan undang-undang Otsus Papua investasi berbasis lahan yang terjadi di Papua semakin masif. Konversi hutan alam menjadi perkebunan terus berlanjut dan menyisakan ketidakadilan di Tanah Papua. pada masa ini, hutan lahan kering hilang seluas 32,9 ribu hektare/tahun dan hutan lahan basah sebesar 8.757 hektare/tahun. Dampaknya ada wilayah hutan yang berubah menjadi wilayah pertanian dengan laju 21,8 ribu hektare/tahun, perkebunan 6.245 hektare/tahun, semak belukar sebesar 11.8 ribu hektare/tahun, lahan terbuka seluas 4.499,9 hektare/tahun dan pertambangan seluas 174 hektare/tahun.

Di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan 70 izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan dengan luas mencapai 721.391 hektare. Rencana eksploitasi skala besar di Papua pada masa Sosilo Babambang Yudiyono (SBY) ini semua telah di rangkum dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dan di lanjutakan oleh Kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua periode.

Pada Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 – 2019, terjadi kehilangan hutan lahan kering sebesar 43 ribu hektare/tahun, dan hutan lahan basah sebesar 12 ribu hektare/tahun. Hilangnya hutan alam pada periode ini juga diikuti dengan bertambahnya tutupan lahan untuk perkebunan dengan laju 28 ribu hektare/tahun dan semak belukar 18 ribu hektare/tahun.

Untuk menyelesaikan semua persoalan dipapua terlebih khusus akses air bersih yang memadai bagi masyarakat adat papua untuk mendapatkan air Bersih yang sehat maka bertepatan dengan momen Hari Air Sedunia Kami Yang Tegabung dalam organisasi Masyarakat Adat Independen (MAI) Papua menuntut:

Pertama: Tutup Freeport Indonesia dan Segara bertanggung jawab dan audit kerugian selama masa beroperasi dari tahun 1967 hinggah saat ini.

Kedua: Tutup semua perusahan dari Seluruh Tanah Papua perusak sumber air bersih.

Ketiga: Pemerintah Reblik Indonesia Segera Bertanggung jawab Atas Semua kerusakan Hutan di Tanah Papua
Buka akses air bersih seluas-luasnya tampah Diskriminasi

Keempat: Tolak Otsus Jilid dua Pembawa Malapetaka Bagi Masyarakat Adat Papua

Timika, Senin, 22 Maret 2021

Koordinator Aksi
Yaferinus Ella

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan