Press Release AMP dan FRI-WP: Segera Bebaskan Roland Levy, Kelvin Molama,...

AMP dan FRI-WP: Segera Bebaskan Roland Levy, Kelvin Molama, dan Victor Yeimo

-

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)

“Bebaskan tahanan politik Papua dan berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.”

Semakin lama Pelanggaran HAM yang ada di wilayah Papua semakin bertambah numpuk, intimidasi, represif, dan rasisme terhadap rakyat Papua tidak pernah ada henti-hentinya. Semenjak adanya penambahan Angkatan Militer TNI dan Polri yang diterjunkan ke wilayah Papua tahun 2019, dengan dalih untuk mengamankan rakyat Papua dari aktivitas TPN-PB OPM yang telah di anggap sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) oleh Pemerintah Indonesia. Hal itu membawa efek yang sangat merugikan bagi rakyat Papua. Bayangkan, tujuh SSK (Satuan Setingkat Kompi), lima SSK dari Marinir dan dua SSK Kostrad, yang tujuannya hanya untuk mengamankan objek-objek vital di wilayah Jayapura dan wilayah Papua lainnya. Tentu keberadaan militer TNI-Polri bukan untuk melindungi rakyat Papua, melainkan meneror dan semakin membuat masyarakat adat terusir dari tanahnya sendiri. Sesuai dengan pesan tertulis Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/CEN, Eko Daryanto. Dimana, sekitar 2.529 personel TNI-Polri diterjunkan ke wilayah Papua pada 21-30 Agustus 2019. Pengiriman Militer tersebut sebagai reaksi dari gerakan yang dilakukan oleh rakyat Papua atas masalah rasisme yang dilakukan oleh aparat dan Ormas reaksioner Indonesia terhadap mahasiswa Papua yang ada di Surabaya, Yogyakarta, dan wilayah Indonesia lainnya. Dan penambahan (Pasukan Setan) sekitar 400 personil terakhir pada 1 Mei 2021, yang ditempatkan pada Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak Papua, dengan dalih yang sama.

Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo masih mengkhawatirkan. Economist Intelligence Unit (EIU) merilis indeks demokrasi tahun 2019, Indonesia berada di angka 6.48 dan termasuk dalam demokrasi yang cacat. Salah satu penyebab rendahnya indeks tersebut adalah adanya pembatasan dan tindakan represif dalam bentuk pelarangan atas kebebasan berkumpul dan berekspresi. Pembatasan kebebasan sipil terhadap demonstrasi mahasiswa, kriminalisasi aktivis, petani, dan mahasiswa hingga pembatasan kebebasan berekspresi terhadap ekspresi politik orang Papua.

Pendekatan militerisme dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik dan masalah HAM yang ada di wilayah Papua, hingga akhirnya mengakibatkan penangkapan dan penahan secara paksa terhadap aktivis dan rakyat Papua secara paksa. Aparat keamanan semakin masif melakukan penangkapan terhadap aksi-aksi yang dilakukan orang Papua. Sebagian besar tindakan penangkapan tersebut berakhir dengan penangkapan dan penahanan. Data menunjukkan per tanggal 28 Januari 2020, ada sekita 109 Tapol Papua yang masih mendekam di penjara, kemudian Roland Levy dan Kelvin Molama, anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jakarta ditahan pada 3 Maret 2021 dengan tuduhan pengeroyokan dan perempasan barang yang tak mereka lakukan. Kemudian penangkapan Victor Yeimo, Jubir luar negeri KNPB dan PRP pada 9 Mei 2021 karena dituduh melanggar pasal makar. Yang sejak 2019 telah ditetapkan sebagai Daftar Pencaharian Orang (DPO) oleh Polisi atas aksi rasisme yang dilakukan oleh rakyat papua, pada hal aksi tersebut memuncak sebagai reaksi atas kasus rasisme. Lalu diikuti dengan penangkapan 20 aktivis KNPB oleh Satgas Nemangkawi pada 11 Mei 2021, saat membagikan selebaran di Jayapura dengan tuduhan terlibat dengan Victor Yeimo.

Pemerintah Negara Republik Indonesia gagal dalam memberikan kesejahteraan, keadilan sosial kedaulatan (demokrasi) untuk rakyat tidak hanya terjadi di wilayah Papua, tetapi juga terjadi di wilayah Indonesia sendiri. Seperti kondisi masyarakat Jomboran dan Wadas, yang saat ini sedang mengalami musibah. Dimana keberadaan tambang membuat mereka merasa tidak aman dan nyaman, karena tanah mereka dirampas untuk kepentingan tambang dan pemerintah daerah seolah-olah melegitimasi sikap aparat militer yang membungkam ruang gerak rakyat yang ada di jomboran dan wadas dalam melawan pihak tambang. Mereka di intimidasi, dipukul, ditahan dan dibatasi hak-hak untuk bersuara, berkumpul dan melawan sikap tambang yang mengabaikan lingkungan hidup. Ketika rakyat Jomboran dan Wadas melakukan aksi protes terhadap tambang, aparat TNI, Polri, dan Ormas reaksioner selalu saja menentang hak-hak politik sipil rakyat dengan menodongkan senjata, bersikap arogan dan tidak segan-segan melakukan penangkapan tanpa melewati prosedur dari hukum aacara pidana.

Berangkat daripada kondisi dan situasi di atas, maka kami dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap dan menuntut:

Pertama: Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.

Kedua: Segera bebaskan kawan kami Roland Levy, Kelvin Molama, Victor Yeimo, serta semua tahanan politik Papua yang hari ini masih di tahan di penjara Indonesia.

Ketiga: Tolak Otonomi Khsus (Otsus) Jilid 2.

Keempat: Tuntaskan dan adili pelaku pelanggaran HAM di Papua.

Kelima: Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak Papua, dan seluruh wilayah West Papua dan Indonesia lainnya.

Keenam: Hentikan kriminalisasi aktivis pro-demokratis.

Ketujuh: Tarik militer organik dan non-organik dari seluruh tanah West Papua.

Kedelapan: Tutup Freeport, BP Tangguh, LNG, MNCS, Miffe, Blok Wabu, dan lainnya, yang menjadi dalang kejahatan kemanusiaan di West Papua.

Kesembilan: Berikan ruang demokrasi, akses bagi jurrnalis, dan media nasional dan internasional untuk meliput di West Papua.

Kesepuluh: Hentikan berbagai diskriminasi rasialis dan program kolonial Indonesia di West Papua.

Kesebelas: Sttop pemekaran kabupaten dan provinsi di West Papua.

Kedua belas: Bebaskan seluruh tahanan politik West Papua.

Ketiga belas: Hentikan kekerasan terhadap perempuan Papua.

Keempat belas: Lawan seksisme dan segera sahkan RUU PKS.

Kelima belas: Hapus UKT dan seluruh biaya pendidikan selama masa pandemi.

Keenam belas: Hentikan kriminalisasi gerakan rakyat.

Ketujuh belas: Tolak PHK sepihak dan bayar upahburuh 100% di tengah pandemi.

Kedelapan belas: Cabut izin PT. CMK dan PT. ADP di Jomboron dan Kaliprogo, Yogyakarta.

Kesembilan belas: Cabut izin IPL batu endisin di desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.

Kedua puluh: Cabut Omnibus Law Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020.

Yogyakarta, 14 Mei 2021

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan