Pengantar
Banyak kalangan aktivis Papua yang belum memahami pemikiran Marx, termasuk alurnya, dan selalu menganggap bahwa teori Marx tidak cocok dengan perjuangan pembebasan nasional Papua dengan berbagai alasan, seperti: teori marx tidak relevan diterapkan di Papua kerena belum ada gerakan buruh, Papua masih dalam kehidupan masyarakat komunal tradisional atau masih dalam kehidupan masyarakat adat dan belum terkontaminasi dengan kehidupan modern (kapitalisme) sehingga teori marx harus diterapkan di wilayah, bangsa, dan negara yang gaya hidup mayoritas masyarakatnya sudah dalam kehidupan kapitalisme. Papua merupakan wilayah masyarakat adat sehingga perjuagan pun harus dengan teori adat.
Saya sendiri juga mengalami pengalaman saat mahasiswa tahun 2011 di Jakarta dan gemar membaca buku-buku Marxis saat belum mendalam memahami Marxis. Saya sering berdikusi dan menyampaikan realitas penindasan di Papua menggunakan analisis marxis tetapi dikritik habis-habisan oleh banyak kalangan mahasiswa dan akademisi Papua. Satu satunya pengalaman saya saat diskusi di Jakarta, di salah satu asrama mahasiswa Papua kerena berbicara dan menganalisa dengan menggunakan cara pandang Marx. Begini katanya, ” Kalau ko mau berjuang untuk Papua, harus belajar teori ala Papua (teori atau ajaran adat), tapi kalau ko masih keras kepala pakai teori marxis, silakan pergi berjuang di eropa. Papua tidak terima teori atau konsep perjuangan dari luar.”[1] Cara pandang ini kental di Papua. Mesti mengkritisi sesuatu hal paling tidak harus pula memahami dan mengetahui suatu objek yang mau dikritisi.
Sebagai seorang marxis, sosialisme, ilmu pengetahuan yang ilmiah, dan memandang teori marxis merupakan salah satu teori yang sangat berpengaruh di dunia, saya percaya banyak bangsa-bangsa di dunia menggunakan teori marxis untuk melawan penindasan dan bahkkan menghancurkan tirani untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki, seperti Revolusi Kuba, Revolusi Oktober 1917 di Rusia Revolusi China, Bolivia, dan lain-lain.
Tentu ini merupakan sepak terjang Marx dan Engels dalam membela hak masyarakat adat di zaman penjajahan kolonialisme seperti yang terjadi di Papua saat ini.
Banyak kalangan, terutama aktivis Papua yang selalu menuduh Marx dengan berbagai macam tuduhan yang menyebut materialisme, dialektika, dan historis (MDH) tidak relevan atau bahkan memusuhi perjuangan dan perspektif masyarakat adat.
Dalam Akumulatisi Kapital sebagai kerangka teori Marxis, Glen Sean Coulthard dalam bukunya Red Skin, White Mask (2014) menegaskan bahwa kerangka teori Marx sangatlah relevan dengan pemahaman komprehensif tentang penjajah-kolonialisme dan perlawanan mayarakat adat.
Kritik-kritik ini harus dianggap sebagai kritik yang serius dan harus kembali ke dasar klasik teori Marxian untuk memastikan di mana—jika ada—analisisnya salah, apa yang dapat bermanfaat darinya dan bagaimana membangun (atau merekonstruksi) kritik Marxis tentang kolonialisme yang relevan untuk perjuangan kontemporer. Melalui ini, kekuatan argumen historis-materialis klasik akan menjadi jelas.
Papua merupakan wilayah jajahan kolonialisme Indonesia. Dengan memahami bahwa Papua merupakan wilayah jajahan dan sedang berjuang untuk mencapai kemerdekaan, penting untuk menegaskan dan menjelaskan posisi Marxis bagi masyarakat adat pribumi (penduduk asli ).
Marx dan Perjuangan Masyarakat Adat
Sejarah perkembangan masyarakat menurut Marx, mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan adanya perjuangan klas adalah adanya kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.
Dalam kehidupan masyarakat komunal primitif, hubungan alat produksinya sebagai milik bersama atau milik sosial berlangsung hubungan produksi kerja sama yang bersifat dan berwatak sosialis. Sedangkan masyarakat pemilikan budak alat produksi dikuasai oleh tuan budak dan hasilnya dimiliki oleh tuan budak. Sedangkan budak tidak mendapatkan bagiannya sama sekali. Dalam masyarakat feodal, alat produksi dimiliki oleh tuan feodal (raja, sultan, kepala suku, ondoavi, dan lain-lain) dan hasil produksinya milik tuan feodal. Sedangkan kaum tani mendapatkan bagian yang tidak cukup. Dan masyarakat kapitalis dalam hubungan produksinya untuk milik perorangan (individu atau kelompok tertentu) alat produksi milik tuan kapitalis dan berlangsung hubungan produksi kapitalis, kaum buruh (pekerja) tidak mendapatkan bagiannya sama sekali.
Perlu diketahui bahwa penaklukan wilayah atau koloni lahir dari kebutuhan kapitalisme atau kapitalisme yang menciptakan kolonialisme karena kebutuhan akan pentingnya bahan mentah untuk diproduksi serta kebutuhan akan tenaga kerja sebab pada waktu itu belum ada alat produksi berupa mesin-mesin canggih, maka dibutuhkan wilayah-wilayah baru sebagai penyedia bahan mentah. Watak kaptalisme itu mengeskploitasi alam sebesar-besarnya demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dalam buku Marx, Das Capital I, Bab 31[2] tentang Kapitalis Industri, Marx menunjukan perlunya menganggap hubungan kolonial sebagai dasar hubungan kapital. Memang, dia sangat jelas tentang masalah ini dan Marx mengatakan dalam bab tersebut sebagai berikut, “Penemuan emas dan perak di Amerika, pemusnahan, perbudakan, dan penguburan di tambang penduduk asli masyarakat adat, benua itu, awal penaklukan dan penjarahan bangsa India, dan konversi Afrika menjadi pelestarian perburuan komersial kulit hitam adalah semua hal yang menandai awal era produksi kapitalis.”
Bab Awal bagian VIII Das Kapital I[3] tentang Akumulasi Primitif, menurut saya, Marx bukan hanya menjelaskan tentang asal-usul kapitalis industri, melainkan mengkrtisi penaklukan wilayah, penjarahan seluruh dunia di luar Eropa, yang berpusat pada “pemusnahan, perbudakan, dan penguburan di tambang penduduk asli masyarakat adat,” yang mencakup perampokan logam mulia, tanah, dan pemusnahan (genosida) penduduk asli.
Dalam Bab terakhir Kapital tentang Asal Usul Kapitalis Industri,[4] Marx mengatakan, “Jika uang, menurut Augier datang ke dunia dengan noda darah bawaan pada satu pipi, maka modal mengalir dari ujung kepala ke ujung kaki, dari setiap pori, dengan darah dan kotoran. Tidak cukup bahwa tanah semua daerah yang baru ditemukan direbut oleh penipuan atau kekerasan. Tdak cukup bahwa penghuni sah mereka dibunuh atau diperbudak, bahwa kejahatan orang-orang yang menjelek-jelekkan diri mereka sendiri, para pengikut makhluk paling murni harus dicurahkan seperti wabah ke negara-negara baru ini. Tidak cukup bahwa berjuta-juta makhluk hidup yang damai dimusnahkan dengan api, dengan pedang, dengan beban berat, dengan kekerasan pangkalan, oleh ranjau yang merusak dan keparahan yang tidak biasa—oleh anjing, pemburu manusia, dan oleh kesedihan dan keputusasaan—belum ada menginginkan satu kejahatan besar untuk menempatkan perbuatan orang-orang Eropa di luar semua persaingan dalam penyebab kejahatanndan bahwa kekejian yang tidak dapat ditemukan dalam perdagangan budak. Mereka telah merebut hampir semua negara lain, tetapi mereka tidak dapat merebut wilayah Afrika yang panas terik. Mereka tidak dapat merebut tanah itu, tetapi mereka merampas orang-orangnya untuk dijadikan budak. Karena itu mereka bertekad untuk mengurbankan mereka di kuburan orang-orang Amerika yang telah binasa. Mencurahkan darah ke darah, menimbun tulang demi tulang, dan mengutuk demi kutukan. Gagasan apa itu!”
Kritik Marx difokuskan pada perampokan luas yang menandai perampasan utama yang mendasari akumulasi modal di era merkantilis dan seterusnya, yang merupakan pusat pengembangan kapitalisme. Perampasan ini dilakukan di oleh kaum koloni melalui genosida penduduk asli dan impor budak.
Maka, muncullah apa yang oleh Coulthard disebut sebagai “perampasan terstruktur.” Ketika populasi asli dihilangkan dan karena wilayah ini dipenuhi dengan imigran/pemukim, masalah modal akhirnya menjadi salah satu dari perampasan juga para transmigran/pemukim.[5]
Pada akhir 1850-an dan sebelum Marx menulis Das Capital I, ada perubahan tegas dalam tulisannya dan tulisan-tulisan Engels kawannya terhadap pertahanan masyarakat adat, perjuangan antikolonial, menunjukkan kepedulian yang kuat terhadap pengakuan akan pentingnya formasi budaya masyarakat pribumi/mode produksi non-kapitalis.
Marx dan Engels mendorong perubahan perspektif dengan mendukung pertumbuhan perang perlawanan antikolonial yang berasal dari penduduk asli masyarakat adat itu sendiri, yaitu dengan mendukung pemberontakan Aljazair melawan kolonialisme pemukim Prancis, yang dipimpin oleh Emir Abdelkader pada tahun 1830-an dan 40-an; Pemberontakan Taiping tahun 1850–1864; Pemberontakan India atau apa yang disebut Marx “Pemberontakan Sepoy” tahun 1857–59; perjuangan nasionalis di Irlandia yang dipimpin oleh kaum Fenians pada tahun 1860-an dan sesudahnya; dan Perang Zulu melawan Inggris pada tahun 1879.
Dalam setiap kasus ini, Marx dan Engels memihak pasukan antikolonial dari masyarakat adat (penduduk asli). Pada tahun 1857, dalam tanggapan pedas terhadap kolonialisme Inggris sehubungan dengan apa yang disebut perang kemerdekaan India pertama, Marx mendukung perang untuk “kemerdekaan nasional” yang diselenggarakan oleh “liga revolusioner” yang berusaha mengusir Inggris dari India. Pemerintahan kolonial Inggris, ia berpendapat, didasarkan pada “prinsip menghancurkan kebangsaan masyarakat asli pribumi” melalui penghancuran paksa serta cara lain. Sejak saat itu, penekanan analisanya langsung difokuskan pada kemunduran daripada kemajuan “tidak sadar” yang terkait dengan pemerintahan kolonial Eropa.
Saking bertanggungjawabnya Marx terhadap penderitaan masyarakat adat, Marx mengensampingkan pekerjaan Volume 2 dan 3 Das Kapital bukan hanya karena identifikasi langsung dengan pemberontakan pribumi, tetapi Marx ingin menjelaskan dan mengkritisi bahwa pengeksploitasian tanah-tanah adat serta pemusnahkan etnis masyarakat adat pribumi itu berasal dari sistem akumulasi kapitalisme, maka dengan munculnya karya Charles Darwin tentang On The Origin Of Spesies (1859) fokus Marx lebih banyak mepelajari kebangkitan perlawan masyarakat adat yang sesuai dengan studi antropologis yang menggali ke dalam budaya, tradisional pribumi dan prasejarah manusia, mewakili apa yang disebut “revolusi dalam waktu etnologi,” serta mengangkat isu yang lebih lengkap kritik yang lebih revolusioner terhadap masyarakat kapitalis.
Penutup
Di abad ke-21, Marxisme adalah sebuah metode analisa partai marxis revolusioner di seluruh dunia. Klas dan sistem klas dalam masyarakat adat di seluruh dunia pada prinsipnya sama, terutama pada persoalan-persoalan prinsipil adat.
Sudah banyak Negara-negara berbasis adat dibangun dengan konsep sosialsme tribal menjadi ilmiah. Perkembangan marxisme di Papua semakin berkembang. Teori dan filsafat marxis sangatlah relevan dalam konsep, metode, ide, dan perjuangan masyarakat adat di Papua.
Tulisan ini merupakan sebuah pengenalan (awal) tentang perspektif marxisme dalam perjuangan pembebasan nasional, pembebasan masyarakat adat dari penindasan kapitalisme dan kolonialisme.
***
Referensi:
[1] Cerita diskusi seputar penindasan di Papua di salah satu asrama mahasiswa Papua di Jakarta tahun 2011.
[2] Karl Marx, Kapital Buku 1, Hasta Mitra, Jakarta, 2004., Bab 31.
[3] Karl Mrx, op.cip., Awal bagian VIII.
[4] Karl Marx, op. cip., Bagian terakhir.
[5] Coulthard, G. S., op. cip., hal. 84.
Pustaka:
Coulthard, G. S., Red Skin, White Masks: Rejecting the Colonial Politics of Recognition (Indigenous Americas), London, 2014.
Karl Marx, Kapital Buku 1, Hasta Mitra, Jakarta, 2004.
Charles Darwin, Teori Evolusi Manusia, Inggris, 1859.
Rekomendasi bacaan untuk gerakan rakyat Papua:
Kerstin Knopf, Giliran Menuju Masyarakat Adat, Studi Amerika, 60, no. 2/3 (2016): 179–200.
Lihat Sagar Sanyal, Marxisme dan Teori Pascakolonial, Ulasan Kiri Marxis 18 (2019).
Lihat esai di Ward Churchill, ed., Marxisme dan Penduduk Asli Amerika (Boston: South End, 1999); Russell Lawrence Barsh, Teori Marxis Kontemporer dan Realitas Asli Amerika, American Indian Quarterly 12, no. 3 (Musim Panas 1988): 187–211; Glen Sean Coulthard, Kulit Merah, Topeng Putih: Menolak Politik Pengakuan Kolonial (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2014), 9-10.
Coulthard, Kulit Merah, Topeng Putih, 6–15. Untuk tanggapan yang sangat luas terhadap gagasan bahwa tanah itu diambil semata-mata sebagai “hadiah gratis” yang tidak terkait dengan eksploitasi/pengambilalihan, dalam teori Marxian, lihat John Bellamy Foster dan Brett Clark, Perampokan Alam (New York: Monthly Review Press, 2020).
Atas peringatan Marx terhadap perlakukan materialisme historis sebagai “suprahistoris,” lihat Karl Marx, Surat kepada Dewan Editorial Otechestvennye Zapiski, dalam Late Marx and the Russian Road, ed., Teodor Shanin (New York: Monthly Review Press, 1983), 136.
Bagchi A, K, (1972), Beberapa Yayasan Internasional Pertumbuhan Kapitalis dan Keterbelakangan, Mingguan Ekonomi dan Politik, Vol.7, Edisi 31-32-33, 5 Agustus.
Dobb MH (1967) makalah tentang Kapitalisme, Pengembangan dan Perencanaan, Routledge, London.
Kalecki M. (1971) Esai Terpilih pada Dinamika Ekonomi Kapitalis 1933-1971, CUP, Cambridge.
Patnaik P. (2011), Ekonomi Fase Baru Imperialisme dalam Reisme Sosialisme, Tulika, Delhi.
Patnaik P. (2015), Mendefinisikan Konsep Produksi Komoditas dalam Studi dalam Sejarah Manusia, Vol 2, Edisi 1, Mei.
Patnaik U. (2012), Kapitalisme dan Produksi Kemiskinan, (Kuliah Peringatan TGNarayanan), Ilmuwan Sosial, Jan-Feb.
Raychaudhury T. (1985), Akar Historis Kemiskinan Massal di Asia Selatan, Mingguan Ekonomi dan Politik, Vol XX, No. 18, 4 Mei.
Tiada kebahagian bila hidup di bawah Kapitalisme yg arogan dan rakus.