Penulis Victor Wenda dan Soleman Itlay
Orang-orang tua di Pugima, kalau pergi ke kota Wamena, pada hari Senin hingga Kamis atau Jumat, pasti akan ketemu beberapa guru-guru dari suku Mee yang lama disana dan yang biasa jalan kaki—naik turun untuk mengajar anak-anak disana. Terutama SD Inpres Wuroba, SD YPPGI Walelagama, SD YPPK Santo Yusuf Pugima dan SD Inpres Sumunikama. Kalau tidak ketemu sepanjang jalan Pugima-Wamena, berarti guru-guru itu sakit, sibuk, urusan dinas atau apa.
Tapi sekarang guru-guru itu tidak nampak. Pak guru matematika, Mathias Pigai yang dulu tinggal di Potikelek dan jalan kaki ke Wuroba, menempuh jarak dari pusat kota Wamena ± 80-100 km setiap Senin-Kamis tidak nampak lagi. Orang tua Albertus Yatipai yang dulu mengajar di SD YPPK Pugima, sebelah paroki “Gembala Kita” Pugima itu tidak ada lagi. Seorang guru yang dulu pijit adiknya Marsel Itlay pada waktu ‘Ujian Ebtanas’[3]—ujian nasional di SD Inpres Siepkossy dan mengajar di SD YPPGI Pugima tidak nampak lagi.
Pertanyaanya: mereka semua ini kemana? Apakah mereka semua sudah meninggal dunia? Tuhan memanggil orang-orang yang sangat baik dan berjasa besar di Lemba Baliem itu begitu cepat? Atau ada apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu dilontarkan oleh orang tua murid di beberapa sekolah diatas, bahkan di seluruh tanah Papua. Karena guru-guru lama yang aktif, setia, sebar dan beta tinggal di kampung halaman orang karena tugas dan panggilan itu, fokus mereka kini senasib “pecah bela”.
Itlay ingin merasa terbeban sebelum berjumpa dengan seorang guru yang ia tidak kenal, tetapi karena rasa kasihan datang memijit, menyembuhkan dan menyelamatkan dia dari kesakitan dan penderitaan panjang, yang tubuhnya nampak seperti seorang yang terinfeksi HIV/AIDS itu, yang bersamaan dengan waktu ujian nasional pada 2006. Dia ingin membalas kebaikan dari guru yang ia tahu mukanya tetapi tidak tahu namanya itu. Baru-baru ini dia bertanya kepada Malvin Yobe dan anak-anak Mee yang lahir besar Wamena, tetapi mereka bilang “kalau sebut nama boleh kita bisa ingat bapa dia”.[4]
Lalu adiknya Marsel itu bertanya kepada beberapa orang Mee yang ada di kota Jayapura. Cari tahu mengapa guru-guru Mee yang dulu membanjiri kota dingin itu kini tidak nampak lagi. Juga sekaligus menanyakan nama dari guru yang dulu sembuhkan dia. Sesekali dia main ke rumahnya bapak Silvester Kudiai, anak dari bapa Vincent Kudiai, mantan kepala sekolah SMA YPPK Santo Thomas Wamena, yang beralamat di Buper Waena. Lalu bapak Silvester bilang “mereka semua pulang kampung”.
Sangat membingungkan sekali. Dan Itlay terus bertanya: kenapa mereka mau pulang ke kampung? Ada masalah apa sehingga mereka ingin meninggalkan tempat tugas mereka disana? Apakah orang Hugula (orang di Lembah Baliem tidak suka menyebut diri mereka ‘orang Wamena’) mengusir guru-guru Mee yang sangat berjasa besar di daeran seperti Wamena, Yalimo, Tiom, Karubaga, Mulia dan lainnya itu? Tidak!
Orang Mee dan Hugula, Lanny, Nduga, Yali, Kimyal, Yalimek dan lainnya dari dulu sangat bersahabat dan hidup rukun. Merasakan jatu bangun sama-sama. Merasakan manis pahit sama-sama. Walaupun suku-suku di wilayah Lapago sulu sering bermusuhan dan berperang, tetapi itu tidak degan orang Mee, atau migran Papua yang melayani orang di wilayah adat itu melalui bidang pendidikan dan kesehatan.
Mereka tidak pernuh, lukai, sakiti dan membunuh orang yang berjasah. Kalau ada korban pasti, orang itu selalu mempersulit dan memiliki niat jahat terhadap orang-orang Papua di kota itu. Mereka tahu siapa yang harus hidup sama-sama dan tidak. Tapi itu dulu. Sekarang orang sudah terima Injil dan keadaan sudah berubah. Non Papua dan pribumi selalu hidup sama-sama. Kalau ada cerita lain pasti itu mata-mata dan orang-orang pintar yang datang dengan kepentingan ekonomi. Bukan untuk melayani dengan hati.
Semenjak bapak Y. Gobay mulai meletakan dan membangun hubungan kekerabatan melalui misi perintisan gereja di Lembah Baliem, baik dari aliran Mssionaris Zending Protestan, Misi Katolik dan CAMA pada tahun 1954 setelah Tim Ekspedisi gabungan Amerika-Belanda menemukan lembah yang diberikan naman Baliem Valley pada 23 Juni 1938.[5]
Semua karena pemekaran dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Seperti yang dikatakan bapan Jhon Maturbongs, seorang anak katekis dan menjadi seorang kategis di Papua. Dia berasal dari Kei, Maluku Tenggara. Tapi lahir besar di Papua. Kata dia, kami rindu untuk membantu dan mengajar orang Papua. Seperti orang Papua juga sedang merindukan mereka untuk diajar dan merasakan suka duka sama.[6]
Anak-anak katekis merindukan orang-orang Papua di pedalaman yang identik dengan keterbatasan akses pendidikan, kesehatan dapelayanan lainnya. Mereka ingin sekali melayani orang Papua seperti dulu. Orang Papua yang pernah mendapatkan pengajaran dan pelayanan dari guru-guru katekis dulu ingin agar generasi penerus mereka diajar seperti dulu oleh anak-anak mereka pula. Tapi ada yang tidak suka persahabatan, kedekatan dan pengajaran seperti dulu.
Ada lagi cerita kecil satu dari kampung Yogonima. Pada September 2010 lalu di kampung itu, distrik Itlayhisage, kabupaten Jayawijaya. Beberapa pemuda dari perwakilan katolik, Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua (GKIP), Jemaat Siloam Sumunikama dan GKI Di Tanah Papua dari jemaat Efesus Thomisa mengadakan rapat di kapela santo Yohanes Yogonima, Paroki Pugima, Dekenat Jayawijaya—sekarang pegunungan Tengah, Keuskupan Jayapura.
Pada hari yang karena terlalu lama lupa tapi membicara untuk membentuk panitia pertandingan dalam rangkah menyongsong Natal—kelahiran Tuhan Yesus Kristus itu membentuk panitia. Setelah panitia dibentuk, beberapa pemuda membuat proposal untuk meminta bantuan dana kepada pemerintah daerah, DPRD Jayawijaya dan beberapa pihak lainnya. Supaya psoposalnya dianggap legal, anak-anak muda itu harus bertemu dengan kepala distrik (kadistrik) Itlayhisage.
Kadistrik pertama pada waktu itu, bupati Jayawijaya, Jhon Wempi Wetipo mengangkat Charles Hisage. Itlay kaget karena bapak Hisage bergelar sarjana pendidikan. Meski merasa aneh, setelah telepon, bapak Kadistrik suruh ke rumah, dia pergi ke rumahnya, yang terletak di jalan Papua, dekat Hom-Hom, Wamena. Tujuannya, untuk meminta tanda tangan dalam proposal tersebut.
Sambi duduk santai di rumah, Kadistrik ini mulai cerita dan menjelaskan latar belakannya hingga pengalaman dia terlibat dalam organisasi kemahasiswaan sewaktu kuliah di Jayapura. Teryata dia lulusan dari PGSD, Universitas Cenderawasih pada 1990-an. Setelah selesai dia ke kota dingin untuk ikut tes pegawai negeri. Pada awal 2000-an dia diangkat menjadi guru dan ditugaskan di kampung halaman sendiri, agar mengajar anak-anak SD Inpres Popugoba, distrik Maima, kabupaten Jayawijaya.
Sampai beberapa anak-anak yang jalan kesitu bertanya-tanya: kok bisa ya, bapak? Seorang guru bisa jadi kepala distrik? Lalu bagaimana dengan sekolah dan nasib peserta didik di kampung? Apakah selain menjadi kepala distrik bapak masih mengajar adik-adik di kampung—SD Inpres Popugoba karena bapak adalah satu-satunya guru di sekolah itu?
Beliau mengaku bahwa dia sangat sibuk. Sibuk dengan urusan pemerintahan di tingkat distrik. Dia hampir tidak punya waktu untuk mengajar anak-anak didiknya lagi. Setelah diangkat sebagai bupati dia memilih melayani dan menangani masalah masyarakat di tingkat distrik [Itlayhisage] ketimbang anak-anak sekolah yang nasibnya semakin tidak menentu di kampung sebarang sana.
SD Inpres Popugoba terakhir aktif pada 2006. Ini bersamaan dengan adik Marsel itu ujian di SD Inpres Siepkossy, yang pada waktu itu masih sempat bertemu dengan bapak guru, Charles Hisage. Setelah masuk SMP YPK Betlehem Wamena, dia masih sering bertemu Kadistrik di kampung halamnnya, Yogonima. Terakhir ketemu pada 2010 di kediaman. Itu kebetulan karena hendak meminta tanda tangan. Tetapi setelah satu dua tahun kemudian, beliau dikabarkan meninggal dunia.
Sungguh ini sangat menyedihkan sekali. Sedih tidak hanya karena merasa kehilangan seorang pemimpin masyarakat, tetapi lebih dari pada itu karena kebijakan bupati itu membuat sang mendiang harus membuat anak-anak terlantar dan kehilangan cita-cita, harapan dan masa depan akibat sekolah yang pernah dia pegang kendali harus ditutup akibat pemekaran daerah, distrik, kampung dan juga akibat jabatan, uang dan lainnya.
Sewaktu hidup, beliau pernah cerita untuk membangun daerah. Dia menyinggung kata-kata Nelson Mandela, seorang tokoh nasionalis pro kemerdekaan di Afrika Selatan. Kata dia “adik-adik harus sekolah baik-baik sampai selesai. Jangan ikut-ikutan. Bergaul bebas dab sembarangan. Fokus sampai selesai. Pulang baru bangun daerah dan kampung sendiri. Karena untuk mengubah dunia tidak bisa melalui jalan lain. Kecuali lewat pendidikan”.
Bukan main-main, ini nasihat yang sungguh-sungguh fatal. Bahakn terlalu aneh—kesesatn berpikir yang berhubungan dengan apa yang dikatakan Geinsler, seorang ahli logika tentang penalaran melingkar (cicular). Dia sendiri guru, dan dengan sadar menutup sekolah dan membuat anak-anaknya terlantar, kemudian menasihati anak-anak yang lain untuk sekolah baik-baik. Tetapi yang perlu dipahami adalah ini korban dari kebijakan pemerintah yang menyesatkan orang Papua secara sistematis.
Konsep Dasar Pendidikan Penjajahan
Sekarang kita masuk dalam konsep dasar pendidikanMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.[7] Sedangkan menurut oxford dictionary pendidikan mengatakan seperti ini: eduvation is a process of teaching, training and learning, especially in schools, colleges or universities, to improve knowledge and dvelop skills.[8]
Sementara itu, buku психология и педагогика (Bahasa Russia, yang bacanya ‘psihologiya i pedagogika). Disana dapat dipahami bahwa pendidikan sebagai proses tunggal pembentukan fisik, moralitas, mentalitas, spiritual dan psikologis seseorang, proses sosialisasi, secara sadar berfokus pada beberapa gambar ideal, pada standar sosial yang dikondisikan secara historis, yang kurang lebih jelas ditetapkan dalam kesadaran public).[10]
Berdasarkan bebarapa konsep-konsep diatas, dalam pendidikan ada beberapa elemen, diantaranya; ada institusi (sekolah, perguruan tinggi atau universitas), ada proses (pengajaran, pelatihan, pembelajaran, sosialisasi), ada konten/isi, tujuan dan sasaran. Singkatnya, pendidikan ditempatkan sebagai sarana pembentukan seseorang—memanusiakan manusia melaui proses pembelajaran, pelatihan, sosialisasi, yang berisi konten yang bertujuan dengan sasaran harus mempersiapkan manusia dengan mutu totalitas tinggi.
Pendidikan ialah sebuah institusi yang sangat penting dalam membangun peradaban suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa cepat atau lambat ditentukan oleh bagaimana Pendidikan generasi muda di dalamnya dirumuskan, dan diterapkan.[11] Kualitas sebuah bangsa diukur dari kemampuan bagaiman negara itu menerapkan sistem pendidikan yang tepat untuk menjawab ragam masalah kehidupan yang mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Melalui Pendidikan seseorang dibentuk karakternya, kepribadiannya, sudut pandang tentang dirinya dan dunia sekeliling dia, dan melalui proses pendidikan dalam bidang tertentu yang ditekuninya pula seseorang itu mempunyai kemampuan dalam melihat suatu peristiwa, menganalisis peristiwa itu, dan memberikan argumentasi-argumentasi sesuai dengan bidang kepakarannya mengenai peristiwa itu.
Mengingat peran institusi yang sangat sentral dalam pembentukan kepribadian, karakter, sudut pandang seseorang tentang dirinya dan dunia sekelilingnya itu, tidak sedikit pula institusi Pendidikan digunakan oleh orang dan atau kelompok tertentu dengan agenda-agenda tertentu.
Sementara itu penjajahan sendiri secara universal dikenal dengan kolonial atau kolonialisme, yang oleh KBBI mengartikannya sebagai paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Sementara oxford dictionary mengartikannya sebagai the practice by which a powerful country controls another country or other countries.[12]
Pendidikan di Wilayah Koloni Eropa
Pada masa penjajahan oleh negara-negara Eropa yang lebih maju terhadap wilayah-wilayah jajahan di seluruh belahan dunia manapun, institusi pendidikan digunakan sebagai instrument untuk membentuk karakter, sudut pandang penduduk di wilayah jajahannya yang didukung oleh pandangan bahwa ras Eropa lebih unggul daripada ras-ras lain, terutama ras berkulit hitam. Mereka menerapkan sistem pendidikan segala kepentingan yang menguntungkan mereka sepihak.
Pandangan bahwa cara hidup yang benar itu harus berpakaian yang sopan, tinggal dalam rumah yang ada cerobong asap, harus gunting rambut dan cukur kumis bagi pria dan lain sebagainya ialah sebuah bangunan cara berfikir yang diajarkan dan dibangun dalam sistem pendidikan di wilayah jajahan, sehingga penduduk wilayah jajahan merasa rendah diri dan menempatkan penjajah sebagai pembawa peradaban yang lebih baik yang harus diikuti, didengar, dan dilakukan.[13]
Sementara itu dalam praktek kolonialisme, aturan diasumsikan sebagai hak penjajah untuk memaksakan kehendaknya pada orang-orang di wilayah jajahan. Dengan demikian mau tidak mau mengarah pada situasi dominasi dan ketergantungan yang secara sistematis akan mensubordinasikan (menundukan) penduduk di wilayah jajahannya untuk mengimpor (secara langsung maupun tidak langsung) budaya, pandangan hidup tentang dirinya dan dunia sekitarnya dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.[14]
Di negara-negara afrika misalnya dalam upaya eksploitasi sumberdaya alam, penjajah menyadari bahwa kontrol atas penduduk pribumi tidak cukup hanya dengan kontrol fisik, tetapi juga harus dengan control mental dan kontrol ini diimplementasikan melalui institusi sekolah-sekolah. Baik dari jenjang pendidikan paing dasar hinggat di tingkat perguruan tinggi. Bahkan juga di luar pendidikan formal atau dalam pendidikan non formal.
Seperti yang oleh Nwanosike, Oba .F Onyije dan Liverpool Eboh dalam artikel yang berjudul “colonialism and education” menulis bahwa “Just as the European controlled African participation in the new economic order, they carefully structured African education, so as to perpetuate their underdevelopment and dependency. The system of education was designed to impose upon Africans, the white man’s mythical, racial superiority and African inferiority. Whatever Africans were taught about themselves was designed to enable them to internalize their inferiority and to recognize the white man as their savior.[15]
Mati Surinya Sistem Pendidikan Semi Eropa—Papua
Sebelum pemerintah Indonesia ada dan menguasai Papua, misionaris dari Eropa, terutama misionari dari GKI Di Tanah Papua dan katolik sudah membangun sistem pendidikan yang baku dan kontekstual. Ottow dan Geislles setelah menginjak kaki pertama kali dan memberkati tanah Papua serta segala isinya, termasuk manusia barang kali—pada 5 Februari 1855, mereka mulai mendirikan pendidikan formal pertama di tanah Papua di pulau yang sama, Mansinam, Manokwari, Papua Barat pada tahun 1857.[16]
“….. gedung sekolahnya hanya menggunakan sebuah bilik/kamar dalam rumah keluarga tuan pandita. Ottow pada saat itu menjadi guru pertama di samping mengemban tugas sebagai seorang pendeta. Satu-satunya guru pertama dari kalangan perempuan yang meletakan semangat dasar pendidikan adalah istri dari pendeta Ottow, nyonya Carl William Ottow, Johan G. Geisller, J. L. Van Hasselt Tua, dan Izaac S. Kijne”, tulis Sroer Asmuruf.
Adapun mata pelajaran atau pendidikan mula-mula yang diajarkan waktu itu antara lain, yaitu; agar bagaimana membuat orang Papua menyadari siapa diri mereka melalui cara berkebun/bercocok tanam, berburu, kerajinan tangan, mengatur pola hidup dan pola makan sehat, belajar membaca, menulis dan menghitun, bernyayi, berdoa dan bersyukur kepada Tuhan. Roh dasar dari pendirian sekolah itu adalah agar menjadikan semua bangsa Murid-Ku.[17]
Sedangkan dari gereja katolik, mereka membangun sekolah pertama di Fak-Fak. Kurang lebih 39 tahun setelah Ottow dan Gissler memeberkati tanah Papua dari Mansinam. Tentu saja ini tidak terlepas dari peran dari misionaris Eropa yang berasal dari tarekat Yesuit. Pastor Corneles de Cocq d’Armandville SJ yang tiba pada 22 Mei 1894 setelah Pater C. van der Heyden SJ beperan penting dalam perintisan misi katolik dan pendidikan katolik di tanah Papua.[18] [19]
Sebelum gereja katolik membuka sekolah di Kokono (Timika), Waris (Keerom) dan lainnya pada masa gereja perintisan itu, mereka pertama megirim 15 anak dari pribumi Papua kesana untuk belajar disana.[20] [21] Kemudian, memasuki masa gereja misi, dengan berjalannya waktu, misionaris yang memfokuskan perhatian kepada pelayanan kesehatan dan pendidikan dulu mulai menemukan formula pendidikan yang tepat.
Memasuki tahun 70-90-an, GKI di Tanah Papua dan katolik, setelah UNTEA menyerahkan wilayah koloni di tangan kolonial Indonesia pada 1 Mei 1963, gereja mulai mencari jalan baru untuk mengobrak-abrik kegelapan orang Papua yang penuh dengan buta aksara dan keterbatasan pendidikan serta pengetahuannya. Masing-masing gereja mulai bangun yayasan pendidikan dan mendirikan sekolah di setiap basis gereja masing-masing.
GKI Di Tanah Papua mendirikan Yasyan Pendidikan Kristen(YPK) pada 08 Maret 1962.[22].Sedangkan Yayasan PPGI didirikan pada 19 September 1963.[23] [24] Sementara itu katolik, berdasarkan Akta Notaris mendirikan Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPPK) pada tahun 1974.[25] Setelahnya, sekolah-sekolah baru dari aliran gereja Advent, pantekosta dan lainnya mulai bermunculan di tanah Papua.[26]
Memasuki tahun 70-80-an masing-masing gereja mulai mati-matian membangun gedung sekolah dimana-mana. Mereka membangun SD, SMP, SMA/SMK dan lainnya masing-masing basis gereja. Di samping itu mereka juga membangun pendidikan berpola asrama. Sistem model ini sangat luar biasa dan secara jujur perlu memberikan apresiasi. Karena sangat efektif dan telah berhasil melahirkan sejumlah tokoh-tokoh penting di sektor agama, gereja, masyarakat adat, politikus, pemudan dan perempuan di tanah Papua.
Sebagian pastor, suster, pendeta dan lainnya mulai ambil alih—mengisi keterbatasan tenaga guru pada pendidikan mula-mula di tanah Papua. Rata-rata istri dari pendeta yang tahu baca, tulis dan hitung menjadi guru relawan. Mereka juga selain melayani umat, di samping itu menjadi guru bagi orang-orang tua Papua dulu. Sangat menarik karena hampir semua misionaris dulu dan tenaga pelayan dari migran Indonesia pada mula-mula pun menjadi pembina di setiap asrama.
Bakal semua tempat-tempat strategis tersebut menjadi rahim pendidikan di Papua yang paling subur dan menjanjikan. Sistem pendidikan formal dulu lebih memperhatikan bagaimana membuat orang Papua bersahabat dengan ilmu pengetahuan dari Papua dan dari luar. Sedangkan asrama mendorong sistem pendidikan non formal yang pada intinya menekankan pada aspek pendidikan moralitas, mentalitas, spritualitas, intelektualitas dan psikologis.
Sederhannya, soal pengembangan wawasan dan peningkatan kapasitas dengan ilmu pengetahuan cenderung dipusatkan di sekolah-sekolah. Sedangkan pembentukan karakteristik, watak, perilaku, keberanian, kejujuran, kesetiaan, kesabaran, kepercayaan, pertanggung jawaban dan sejenisnya diajarkan secara khusus di asrama-asrama. Pendekatan seperti ini benar-benar menjawab kebutuhan dasar pendidikan di seluruh tanah Papua pada waktu itu.
Sistem pendidikan semi Eropa—Papua tersebut pada akhir tahun 60-an hingga 80-an nampak eksis. Artinya, semasa sistem pendidikan masih dikendalikan oleh misionaris dan oraang Belanda, Eropa, Kanda dan lainnya masih baik-baik saja. Boleh dikatakan berjalan lancar, efektif, mandiri, bebas, dan independen. Tapi kemudian, memasuki tahun 90-an dan atau 2000-an, sistem pendidikan formal dan pembinaan non formal berbasis asrama tersebut berubah arah.[27]
Salah satunya akibat pemerintah pusat menghentikan dan menteribkan bantuan luar negeri ke dalam negeri—termasuk ke sekolah-sekolah dan asrama-asrama yang dimaksud. Penertiban tersebut berakibat fatal dalam perkembangan dan kemajuana sistem pendidikan yang didorong oleh pihak agama di tanah Papua. Setelah membatasi hal itu, pemerintah kemudian menyalibkan sistem pendidikan ala misionaris Eropa di Papua ke dalam sistem pendidikan nasional.[28]
Intervensi dan Kehancuran Sistem Pendidikan Semi Eropa—Papua
Peralihan kekuasaan kolonial (lama) Belanda ke kolonial (baru) Indonesia melalui UNTEA pada 1 Mei 1963 berpengaruh besar.[29] Kekuatan dan kekuasaan Belanda semakin lemah di Papua setelah peristiwa bersejarah kontroversial yang penuh aneksasi bagi orang Papua dan integrasi bagi Indonesia itu terjadi. Sedangkan pada saat yang sama, kolonial Indoensia mulai mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menguasai, menduduki,mengendalikan dan mengeksploitasi sumber daya alam di tanah Papua.
Peristiwa itu tidak sekedar [semacam] membuka pintu bagi kolonial Indonesia untuk mengindonesiakan Papua, tetapi juga merombak segala macam yang pernah diwariskan dan ditinggalkan oleh pemerintah kolonial pertama di Papua—Belanda yang menguasai sejak 1828 setelah Sultan Todore menjual tanah Papua ke pemerintah Belanda.[[30]] Dia mulai memusnahkan segala hal yang berkaitan dengan identitas politik kolonial Belanda di Irian Jaya.
Semua tempat bersejarah, misalnya bak besar atau tengki besar di perumnas 4, Padang Bulan, Abepura mulai dibakar dan dihilangkan; arsip-arsip, dokumen dan lain sebagainnya dibakar hangus dan sebagian dibawah ke Jakarta. Semua hal-hal yang berkaitan dengan potensi yang bisa menimbulkan roh dan semangat kebangkitan nasionalisme serta perlawanan baru bagi orang Papua dibatasi, ditutup dan dihilangakan. Itu berkaitan dengan politik, sejarah dan lainnya.
Tetapi yang berkaitan dengan pendidikan lain cerita lagi. Pemerintah sudah mencium aroma bahwa misionaris telah mengancam kekuasaan, keutuhan dan kedaulatan Indonesia melalui pendidikan berpola asrama yang di dorong oleh beberapa gereja di tanah Papua. Pemerintah telah melihat dan menyadari bahwa sekolah-sekolah dan asrama milik gereja telah mendidik, membina dan mempersiapkan orang untuk menjadi orang yang sadar dan “pemberontak”.[[31]]
Asrama-asrama ini dinilai banyak mengorbitkan tokoh-tokoh yang pro kemerdekaan Papua yang hendak memisahkan diri dari Indonesia. Misalnya, jenderalKelly Kwalik, Agus Alua (mantan ketua MRP), Margaretha Mahuze (eks anggota MRP), Agustina Basik-Basik, Tom Beanal dan masih banyak lagi. Orang-orang ini rata-rata lahir, terproses dan disiapkan secara matang di asrama-asrama tersebut. Dan bagi otoritas pemerintah, itu menjadi rahim benalu bagi NKRI.
Pemerintah akhirnya membongkar jaringan bantuan luar negeri yang masuk dan kemudian menjaga eksistensi pendidikan semi Eropa—Papua. Mereka membatasi bantuan luar negeri dan menertibakan warga negara asing. Kebijakan tersebut termasuk menganggu niat baik para misionaris untuk menolong orang Papua melalui sistenm pendidikan formal dan pendidikan berpola asrama yang mereka terapkan dimana-mana.
Kolonial memberikan pilihan kepada semua orang asing yang ada di Indonesia, termasuk Papua. Mereka dikasih pilihan: mau tetap tinggal disini dengan menjadi warga negara Indonesia—naturalisasi atau meninggalkan Indonesia—Papua? Kebijakan tersebut mengakibatkan orang-orang hebat dan berjasa besar seperti Isaak S. Kijne, dan Wolfgang, mantan pembina asrama mahasiswa katolik Tauboria harus meninggalkan tanah Papua.
Dalam pengertian lain ini merupakan sebuah upaya deportasi sistematis melalui keibijakan pemerintah berwenang setempat. Tidak membutuhkan waktu terlalu lama. Semenjak misionris kehilangan kendali atas sistem pendidikan formal dan pendidikan berpola pembinaan berkelanjutan di Papua, sejak itu juga nasibnya orang Papua mulai kehilangan roh. Lebih dari pada itu, mentalitas sistem pendidikan ala Eropa mulai goyah, runtuh dan hancur luluh lantah.
Sekolah-sekolah mulai diambil alih dan dikendalikan oleh orang Indoenesia—migran. Para transmigran yang dikirim di Papua, seperti kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, dan lainnya mulai mengisi posisi ini. Juga tenaga-tenaga katekis baru yang didatangkan di masa pemerintah kolonial Indonesia dan pastor, suster dan pendeta lain yang dikirim dari Indonesia lain ke Papua mulai bekerja sama dan meneruskan misi pendidikan wilayah itu.
Dalam kendali mereka, banyak sekali terjadi perombakan. Setelah bantuan luar negeri dibatasi, pemerintah mengantungkan—menyalibkan sistem pendidikan semi Erop—Papua itu ke dalam sistem ketergantungan pemerintah kolonial berwenang. Pemerintah katakan bahwa setelah menghentikan semua bantuan luar negeri untuk Papua, mereka akan bertanggung jawab dan mendorong pendidikan di Papua ke arah yang lebih baik.
Dengan berjalannya waktu, pemerintah mulai mengirim masuk—menitip orang-orang atau pegawai negeri dalam yayasan-yayasan milik gereja-gereja di tanah Papua. Pegawai-pegawai yang ditugaskan gereja, perannya mulai perlahan bergeser mundur. Sungguh pun ada pasti selalu bertolak belakang dengan kepntingan pemerintah. Akibat lain adalah intervensi model ini membuat orang-orang titipan dari gereja dilematis dan kadang terpaksa beradaptasi dengan sistem pendidikan yang sarat dengan kepentingan.
Intervensi pemerintah dalam sistem pendidikan ala gereja-gereja di Papua sangat sistematis. Mereka membangun kerja sama duluan. Kerja sama itu menekankan pada aspek penyaiapan dan kerja sama di bidang sumber daya manusia—tenaga guru. Dalam hal ini mereka megirim masuk guru-guru yang berlatar belakang pegawai negeri ke dalam sistem pendidikan atau yayasan milik gereja-gereja. Langkah selanjutnya, mereka–pemerintah memngalokasikan dana operasional dlsb. Termasuk gaji pun ditanggulangi pemerintah.
Pada satu sisi ini sangat membantu gereja dalam keterbatasan tenaga pengajar dalam rangkah meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi di lain pihak itu sesuatu yang wajar saja setelah pemerintah sendiri merombak sisitem hingga mendeportasi para misionaris pada tempo dulu. Bahkan ini sangat menolong gereja agar menjawab kesulitas dalam rangkah menjawab masalah guru-guru yang sulit didapatkan. Namun, sekali lagi itu sebuah kosekuensi logis kalau orang melihat sejarah keruntuhan sistem pendidikan ala Eropa-Papua tadi.
Siapapun pasti sangat senang, karena itu dapat memperkuat posisi gereja yang lemah dalam hal menyiapkan sumber daya manusia secara berkelanjutan. Namun, di lain pihak intervensi seperti ini memperlemah, merusak, dan menghilangkan ciri- khas pendidikan katolik ataupun protestan yang dulu. Dimana merekrut, mendidik,membina dan mempersiapkan orang secara matang hingga pada tingkat yang dianggap layak untuk menjadi garam dan terang bagi sesama disini.
Pada suatu kesempatan Marlince Siep, seorang guru matematika di SMP YPPK Santo Thomas Wamena menggambarkan intervensi pemerintah dan keruntuhan sistem pendidikan katolik di tanah Papua. Sekarang menjadi seorang akademisi dan mengajar di sebuah kampus yang ada di kota Wamena. Kata dia, guru-guru sangat dilematis: antara mau ikut kemauan gereja yang punya yayasan atau pemerintah yang memiliki kekuasaan dan ikut membiyai gaji guru-guru semua.
“Kita kadang bingung. Mau ikut pemerintah atau pimpinan gereja punya mau. Tetapi apapun alasannya, yang membiayai kita itu pemerintah, jadi mau tidak mau kita harus ikut pemerintah. Kalau ikut gereja kita mau makan apa? Mau kasih makan anak dan keluarga di rumah dari apa?”, katanya dalam sebuah wawancara di rumahnya M. Yosefah dann Billy di perumnas 4, kota Jayapura, Papua pada 2018 lalu.
Hal ini dapat mengungkapkan bagaimana intervensi pemerintah itu bukan hanya menguntungkan pihak gereja semata, tetapi juga sekaligus memperkuat posisi negara kolonial sendiri di samping senantiasa menghancurkan basis rahim pendidikan dan basis kaderisasi bagi orang Papua. Intervensi demikian mengakibatkan sistem pendidikan katolik dan protestan di Papua terkesang kehilangan roh dan ompong semangatnya pada dewasa ini.
Intervensi membikin sistem pendidikan katolik dan protestan di Papua yang dulu seperti seorang perempuan tua yang berada pada dua masa. Dulunya melahirkan banyak generasi yang berkualitas dengan wawasan dan pengetahuan yang cukup mumpuni. Tetapi seiring dengan waktu, justru tak sedikit yang ia melahirkan generasi yang bermoral hancur, mentalitas kerupuk, spritualitasnya tercemar, intelektualitasnya boborok dan psikologisnya tak mampu hadapi situasi paling buruk sekalipun.
Keruntuhan Sistem Pendidikan Berpola Asrama
Gigi pendidikan gereja yang dulu benar-benar merekrut anak-anak yang miskin.lemah, tidak mampu dan dari daerah pedalaman mulai hilang perlahan. Warisan gerja untuk mendatangkan orang dari pedalaman ke kota untuk mendidik, membina dan mempersiapakan orang di sekolah dan asrama milik gereja mulai hilang. Peluang untuk anak-anak pedalaman sekolah di kota, terutama milik gereja-gereja semakin kecil.
Dulu, pendidikan swasta dan pendidikan bepola asrama sangat kokoh. Seolah-olah itu menjadi makanan utama dari pemuka agama untuk memutuskan dan menghancurkan kegelapan, keterbelakangan dan hambatan di tanah Papua. Gereja dulu menjadikan asrama dan pendidikan sebagai rahim pendidikan untuk menta moralitas, mentalitas, spritualitas, intelektualitas dan psikologis. Tetapi hari ini rubah seiring dengan adanya pemekaran dan Otsus Papua.
Rupanya pemerintah kolonial sudah membaca, bahwa sistem pendidikan berpola asrama yang dikendalikan oleh gereja-gereja di Papua menjadi ancaman besar bagi kekuasaan, keutuhan dan kedaulatan negara. Satu hal karena asrama-asrama tersbut cukup banyak melahirkan kaum nasionalis pro kemerdekaan Papua. Pemerintah terpaksa mencari cara untuk menghancurkan basis-basis pendidikan asrama melalui kebijaka terselubung.
Pertama, pemerintah membatasi bantuan luar negeri yang membantu gereja untuk mendorong pendidikan formal dan pendidikan berpola asrama.[[32]] Kedua, menertibkan semua pembina yang rata-rata dulu berasal dari misionaris orang Eropa yang menrapkan sistem pendidika semi Eropa di Papua. Ketiga, pendikan milik yayasan dan pendidikan berpola asrama mulai tutup, dialifungsikan dan belakangan ini melahirkan krisis kadar awam yang luar biasa.
Sebagai alternatif, pemerintah membangun asrama-asrama pemerintah dimana-mana. Misalnya, asrama Yapen Waropen, asrama Biak, asarama Yahukimo, Yalimo, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah dan lain sebagainnya. Tak hanya di Papua atau kota Jayapur dan Manokwari yang menjadi kota studi di daerah koloni modern. Tapi juga mereka bangun asramanya di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan bahkan di luar negeri.
Gedungnya mewah-mewah. Mula-mula ditawarkan dengan televisi, dan WiFi. Tempat tidur yang mewah yang setengah rumah pribadi dan setengah hotel. Bagus sekali. Karenanya air bersih lancar, listrik ditanggung dan makan minum pun pemerintah tanggung. Awalnya serasa surga kecil yang jatuh dalam kebijakan seperti ini. Tetapi satu dua tahun kemudian semua berubah dan kebenaran mulai ungkap.[[33]]
Bahwa asrama-asrama itu dibangun untuk mengahlikan perhatian atas nama keseriusan, kepedulian, keprihatinan dan masa depan pendidikan anak-anak sebagai tulang punggung bangsa dan negara juga gereja dan tanah air. Tetapi apa yang terjadi? Satu dua tahun anak-anak mulai mengeluh karena air tidak lancar, listrik dan WiFi tidak bayar dan makan minum tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah setempat.[[34]]
Yang paling para lagi adalah disana tidak ada pembina dan tidak ada pembinaan seperti yang dilakukan oleh misionaris di asrama-asrama milik gereja yang dulu mengutamakan pembinaan berkelanjutan. Moralitas tidak didik disana, Mentalitas makin hancur. Intelektualitas sangat diragukan dan psikologis anak-anak itu hancur. Ini pemerintah sengaja membiarkan untuk anak-anak Papua hancur dengan kebijakan bias kehancuran terselubung.[[35]]
Hidup dengan mengandalkan pengurus asrama dan seterusnya. Kalau ada acara atau kegiatan tertentu paling mengemis atau meminta bantuan kepada pemerintah. Tidak ada yang membuka lokasi untuk anak-anak itu untuk berkebun, beternak dan atau membuka kios. Supaya mereka bertahan hidup dari situ, kalau memang pemerintah mengabaikan aspek terpenting secara sistematis—membantu mereka untuk melengkapi/memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kita bisa lihat dari pengalaman hidup berasrama di asrama mahasiswa katolik di tanah Papua. Alberth Yatipai, Adolus Asemki, dan Melvin Waine pernah mengaku tentang bagaimana pemuka agama katolik di tanah Papua ikut bermain untuk menghancurkan sistem pendidikan berpola asrama katolik, khususnya Tauboria. Mereka adalah mantan pengurus asrama mahasiswa katolik Tauboria yang menampung dari 5 keuskupan di tanah Papua.[[36]]
Mereka ini adalah generasi Taubria yang masuk setelah asrama tersebut ditutup pada 2007 dan dibuka kembali pada 2009 dengan jaminan yang diminta oleh keuskupan Jayapura adalah sebagain gedung milik asrama itu diambil ahli oleh calom imam keuskupan Jayapura—sekarang disebut rumah studi imam projo keuskupan Jayapura.[[37]] Mereka juga adalah penghuni yang dulu diminta oleh otoritas keuskupan agar mengosongkan asrama, kemudian diarahkan untuk cari kos, kontrakan atau masuk di asrama milik pemerintah.
“Uskup bilang kami kosongkan asrama ini. Trus dia minta kami cari kos atau kontrakan atau masuk ke asrama pemerintah yang lebih bagus, indah dan lebih baru. Tapi apa bedanya tinggal disini dan asrama yang sama-sama tidak ada pembina dan proses pembinaan? Kami rasa tinggal disini lebih baik meskinpun tidak ada pembinaannya. Dia suruh kami kesana sama halnya dengan suruh kita masuk atau pindah ke bak api neraka besar”, kata Waine.[[38]]
Pada awal 2021, asrama ini mulai dilakukan renovasi. Tepat di ujung masa jabatan dan setelah atau semenjak bapak uskup Jayapura naik ditutup dan beberapa gedung penting lainnya diahlifungsikan. Pihak berwenang mempercayakan pastor Jhon Kayame, PR juga pastor moderator Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Se-Kota Jayapura menjadi pembina. Dia mengantikan posisi pater Wolfgang SJ yang pada 14 tahun meninggal asrama itu.[[39]][[40]]
Kepentingan Politik Campur Aduk Dengan Sistem Pendidikan Nasional
Masalah lain adalah pemerintah selalu memaksakan kaum minoritas kulit hitam di Indonesia untuk belajar sejarah perjuangan pemuka negara itu, tetapi mereka tidak pernah memasukan materi dalam kurikulum sejarah pendidikan politik yang berhubungan dengan pergerakan, perjuangan dan perlawanan orang Papua terhadap orang asing. Mereka tidak pernah memberikan kebebasan pendidikan kepada orang Papua untuk mempelajari sejarahnya sendiri.
Pemerintah selalu memasukan kisah perjuangan orang Papua kecuali itu berpihak dan menguntungkan kepada negara. Ada pula nilai-nilai kearifan lokal, seperti dalam mata pelajaran keteampilan atau muatan lokal. Namun, itu terkesan hanya untuk bahan yang sifatnya menguntungkan mereka dan tidak sama sekali mendorong secara sistematis dan berkelanjutan guna menghormati derajat orang Papua di Indonesia.
Misalnya, di Papua ada museum noken dan lainnya. Bertempat di expo Waena, kota Jayapura, Papua. Museum ini ataupun taman budaya di Expo, lokasi yang sama dan bersebelahan cukup luas. Belum lagi museum di tempat lain. Tempat-tempat ini diharapkan mampu mengangkat nilai-nilai khas di Papua dan memiliki kaitannya dengan sistem pendidikan di Papua, akan tetapi pola pendidikan seperti ini tidak diajarkan.
Kita belum bicara tentang bagaimana dalam sistem pendidikan nasional tidak diperkenankan untuk orang Papua mempelajari asal usulnya, sejarah agama atau masuknya gereja di tanah Papua di tingkat jenjang pendidikan semua. Pendidikan secara seperti hanya boleh diakses di luar dari pendidikan formal. Misalnya lewat internet atau orang tahu informasi mengenai sebuah sejarah tertentu. Tetapi kalau tidak ada akses internet seperti sekarang orang Papua tidak bisa harapkan untuk mempelajari sejarah falsafa kehidupan dan lainnya.
Syukur ada kaum terpelajar tertentu yang secara konsisten selalu mendorong dan menyadarkan orang melalui pendidikan non formal, baik melalui seminar, diskusi publik, opini, artikel, skripsi, makalah dan lain sebagainnya. Hal-hal kecil seperti itulah yang bisa membuat orang Papua bisa sadar dan mempelajari siapa dirinya. Meski demikian, sebagian besar yang berhubungan dengan sejarah, jalannya ditutup rapi dan ke depan kalau akses terbatas orang Papua bisa saja kehilangan ingatan, jejak, roh dan semangat luhur pada masa lalu.
Pemerintah selalu mrngajarkan orang Papua tentang kereta api yang di Jawa dan sungguh tidak ada di tanah Papua. Juga nama-nama jalan, tempat dan lainnya. Misalnnya, jalan Soekarno, Hatta, Patimura, Ahmad Yanni, Irian, Trikora dlsb; lapangan Trikora, Mandala, pegunungan Jayawijaya, Cartenz, Jawa, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan lain sebagainnya. Semua nama-nama ini baru dan asing.
Mereka selalu kasih masukan dalam pelajaran, surat-surat di kantor dan lain sebagainnya. Padahal tempat-tempat tersebut memiliki nama, filosofi dan sejarahnya. Otoritas setempat selalu menghilangkan segala sesuatu yang asli, baik dan benar dengan berbagai cara, termasuk melalui pendidikan dsejak usia dini. Sungguh kesemuanya ini membentuk watak anak-anak budak agar lupa akan nama tempat, totem, filosofi dan kebenaran sejarahnya.
Selain itu, semua tempat yang bersejarah atau yang berhubungan dengan jejak-jejak orang Eropa, misalnya Belanda yang lama di Papua, setelah pemerintah Indonesia kuasai, semuanya dibumihanguskan. Mereka menyita, membakar, menguburkan dan sebagian lagi bawah ke Jakarta. Segala bentuk peninggalkan Belanda diasingkan dari jarak dan lingkup kehidupan orang Papua, dari yang kecil hingga dewasa.
Dari sini kita bisa melihat benar merah dari sistem pendidikan Indonesia di Papua. Sistem pendidikan di Indonesia bukan mendidikan, membina dan mempersiapkan orang dengan baik; tidak lagi memanusiakan manusia; tidak menyadarkan orang dan lainnya. Tetapi justru melalui sistem pendidikan yang bagus diatas kertas itu menghasilkan orang yang bermoral hancur, mentalitas tidak benar dan setrusnya.
Sekolah seolah-olah diarahkan untuk menjadi pegawai negeri, politikus dan negarwan yang koruptor. Tapi juga sekaligus bukan menjawab persoalan atau mengisi lapangan kerja. Justru pendidikan melahirkan angka kemiskinan, pengangguran dan kejahatan luar biasa. Kalau tanah Papua disebut surga kecil yang jatuh ke bumi, orang Papua tidak harus hidup miskin, melarat dan mati sana sini seperti binatang dengan berbagai cara.
Kalau pendidikan Indonesia benar-benar berhasil membuat orang Papua sadar dan menjadi orang yang betul-betul berharga di Indonesia, tidak perlu ada kabar sekolah-sekolah di pedalaman Papua tutup, tidak ada guru dan seterusnya. Kalau pendidikan bukan menindas orang Papua, maka sudah berhasil selama 59 tahun bersama Indonesia. Tidak perlu lagi datangkan guru-guru dari luar Papua, kotrak orang dari luar (bukan pakai jasa orang Papua).
Kalau pendidikan Indonesia di Papua berhasil menjawab persoalan di Papua, maka tidak perlu aparat keamanan dan militer menjadi guru-guru di pedalaman atau pinggiran kota. Tetapi kalau sistem pendidikan masih di intervensi oleh pihak yang bukan berkompeten dan professional, maka ini juga mengambarkan kegagalan dan melakukan penjajahan terselubung—membangun nasionalisme yang tidak penting dari kebutuhan dasar pendidikan di Papua.
Eksploitasi Sumber Daya Alam Lewat Pendidikan
Bagi kolonial, kapitalis dan imperialis, pendidikan adalah senjata yang paling mematikan, terutama untuk menipu orang, merekayasa keadaan, memutabalikan fakta, data, kebenaran dan sejarah yang berhubungan dengan benduan yang identik tak berdaya, terbelakang, tidak mampu bersaing dan melawan mereka. Mereka akan membangun sistem ketergantungan pendidikan yang pada awalnya membuka akses dengan beragam dalil yang baik-baik dan seolah-olah akan menguntung kaum yang tak berpendidikan.
Misalanya ini. Pada 1990-an sebelum perusahaan sawit, PT. Rajawali di Keerom membuka perkebunan sawit, dia pernah menawarkan kepda masyarakat adat, bahwa kalau mereka membukan perusahaan kayu di daerah itu akan menyekolahkan anak-anak pemilik ulayat dan menjamin segala kebutuhan rumah tanggan serta kesehatan dari masyarakat adat setempat.[[41]] Kita tidak tahu dinamika pada tahun 1990-an di daerah itu atau wilayah lain di Papua.
Tetapi hari ini, melalui pengalaman seperti itu kita bisa sadar bahawa pendidikan juga menjadi alat tawar dalam kepentingan sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme di Papua. Pendidikan bagi kolonial menjadi senjata ampuh untuk membuka akses sebelum melakukan eksploitasi alam dan ilegaloging juga perkebunan sawit di Papua, agar dari sana mereka bisa mendapatkan mencipatkan lapangan kerja, dan mendatangkan penghasilan berkepanjangan.
Sedangkan bagi kaum budak dan orang yang hidup dalam kegelapan, keterbatasan, kekurangan dan hambatan, pendidikan merupakan seperti apa yang diakatakan oleh Mandela pada masa perbudakan di benua hitam, yaitu untuk mengubah dunia. Singkatnya, melalui pendidikan mengubah keadaan yang dulunya orang tidak tahu abjad dan angka mulai tahu baca, tulis, dan hitung. Bahkan mampu memahami siapa diri kita, sesama dan segala sesuatu yang ada di dunia sektarnya.
Orang-orang yang sadar dengan keterbatasan pada titik nol, atau setelah melihat orang lain—dunia luar, mereka meyakini bahwa memang pendidikan itu merupakan sebuah jalan menuju terang kehidupan dan keselamatan; jalan kebenaran, kebebasan dan pengetahuan kekal. Mereka tahu bahwa hanya dengan itu mereka bisa tahu baca, tulis, hitung dan mengenal segala sesuatu yang mereka tidak tahu dari luar. Tanpa mereka berpendidikan justru orang yang berpendidikan dengan mudah menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh bagi mereka itu untuk menindas dan memusnahkan mereka yang lain.
Barangkali pendidikan boleh diartikan sebagai rahim yang melahirkan segala sesuatu, baik keadaan yang baik atau buruk; mengubah keadaan dunia yang buruk ke yang baik atau sebaliknya dari yang buruk ke dalam dunia yang paling buruk sekali. Bakalan sebagai obat. Tak hanya untuk membersikan luka, menyembuhkan luka, menghilangkan rasa sakit dan memulihakan keadaan tubuh—dunia.
Tetapi juga sesuatu yang bertentangan, seperti yang dikatakan Anaximenes, seorang Filsuf yang menentang Thales dengan pandangan segala sesuatu berasal dari udara pasca Thales mendorong sumber dan akhir segala sesuatu berasal dari air. Sesuatu yang bertentang itu, dalam hal pendidikan ini merupakan obat atau racun yang mampu membius orang lain yang dianggap menajdi ancaman dan bahasa bagi kelompok tertentu.
Mereka akan menggunakan racun—pendidikan supaya orang-orang yang menghambat mereka kehilangan kesadaran, mudah ditipu, direkayasa, dan melakukan sesuatu sesuka hati oleh seorang bidan, petugas medis, dan atau penguasa. Supaya mudah membeda, operasi dan melakukan apa saja dengan bebas tanpa ada perdebatan dan perlawanan. Itulah yang bukan tidak mungkin kalau bisa saja pendidikan bisa menjadi senjata paling ampuh—mematikan bagi penguasa untuk menjajah kaum budaknya dengan dalil segala kebaikan.
Ada kasus lain yang kita boleh pahami dari permaianan kolonial Indonesia di Papua. Misalnya, pada 2019 lalu pemerintah hendak memasang sebuah tower telkomsel di distrik Kurulu, Yiwika, Wamena, Papua. Disana pemerintah tidk panggil semua masyarakat adat, tetapi mereka hanya oanggil kepala distrik juga anak daerah setempat. Kemudian mereka—pemerintah memberikan uang kurang lebih 200-300 juta kepada masyarakat adat sebagai simbol penyerahan tanah adat.
Atau di Papua dikenal dengan istilah “uang pintu, uang adat dan uang permisi”. Anda bisa melihat bagaimana pemerintah, terutama orang-orang birokrat yang terpelajar, berpendidikan dan memiliki gelar itu menipu dan membodohi masyarakat adat setempat. Mereka memanfaatkan pendidikan yang mereka capai seakan-akan untuk mencaplok hak-hak masyarakat adat sesuka hati, sepihak, semaunya dan ini penuh manipulasi.
Benny Mawel adalah seorang intelektual asal distrik itu. Setelah mendengar itu, dari Jayapura menuju ke Wamena. Tidak tunggu-tunggu. Di pergi mencari kepala distri yang sedang memimpin rapat di Kurulu dan lompat dari pagar langsung melempar helm. Dia menentang kepala distrik dan pemerintah yang memasuki ranah tanah adat dan tempat-tempat sakral tanpa mekanisme yang etis, melain dengan kemampuan intelektual yang dimiliki secara tidak langsung mengancam eksistensi masyarakat adatnya sendiri.[[42]]
Kasus di Keerom dan pembangunan menorah Telkom di Wamena ini hanya contoh kasus saja. Tetapi yang jelas hampir semua perusahaan apa saja yang beroperasi di Papua pasti dan selalu menggunakan pendekatan yang sama. Artinya, mereka akan masuk melalui pintu keluarga, agama, kemanusiaan, pendidikan dan kesehatan. Sederhannya dengan menawarkan bahan makanan, minuman, uang, perempuan, menjanjikan jaminan kesehatan dan pendidikan pula.
Sistem Pendidikan Inkontekstual di Papua
Sekarang kita coba masuk atau ingat kembali pada pelajaran pendidikan di sekolah dasar pada tahun 80-90-an di Indonesia, termasuk Papua pada waktu itu. Frasa “ini budi” yang diprakarsai dan diperkenalkan oleh ibu Siti Rahmani Rauf menjalar kemana-mana—dari Sabang hingga Merauke. Wanita kelahiran Sumatera Barat, 5 Juni 1919 itu telah mewariskan bahan dasar pendidikan Indonesia yang luar biasa.
Kalimat itu sangat singkat dan asing di Papua. Memasuki 2000-an, “ini budi” semakin hilang. Ini tenting seiring dengan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia pada 2010-2013. Nama Rauf perlahan hilang di sekolah-sekolah dasar, terutama kelas satu dua. Sekarang hampir tidak ada dan nampak di Papua. Barangkali pemerintah sudah melakukan evaluasi dan perombakan.
Masih mengenai “ini budi, ini Tomi, ini tete, ini nene dlsb”. Pada 9 Maret 2019, Aleks Giay [[43]] menulis demikian:
Itu Budi
Budi yang tak tahu budi daya manusia
Ini Budi
Budi yang tak punya budi pekerti
Dia Budi
Budi yang diajarkan menghianati bangsanya
Mereka Budi
Budi anak borjuis yang mengadai rakyatnya
Kalian Budi
Budi yang bermanis bicara pemekaran
Giyai mengkritisi konsep pendidikan yang tidak relevan di Papua, bahkan menciptakan manusia yang bermental borjuis, haus uang dan jabatan, pemekaran—Daerah Otonom Baru (DOB) tanpa memahami budi perkerti sesunggunyah; bahkanmemaksakan kebijakan seakan-akan tanpa akal budi yang tak manusiawi dan yang hanya terkesan menghianati bangsanya melalui pendidikan.
- Keaktifan dan Penilaian
Sistem pendidikan disini sangat kental dengan praktik yang cukup menarik tapi aneh. Dimana kehadiran di sekolah/kampus menjadi lebih penting dari kemampuan orang walaupun jarang hadir lebih memahami dan mampu memecahkan persoalannya; kerja tugas lebih penting dari kemampuan orang untuk menjawab persoalan dan; niliai—IPK lebih utama ketimbang dari moralitas (etika, komunikasi, kejujuran, tanggung jawab dll), mentalitas (pantang menyerah, sabar, setia, tekun dll) dan kemampuan intelektual yang lebih luas lagi.
Jadinya apa yang terjadi? Pendidikan terkesan bak sampah yang melahirkan pengangguran, kemiskinan, dan menjadi alat untuk menindas kaum masyarakat yang lemah, buta aksara, miskin, sakit, menderita, terpinggirkan, tersingkirkan, teraniaya dan tertindas. Tuhan, orang yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotesi bukan masyarakat adat biasa di kampung-kampung yang tidak berpendidikan dan tidak bergelar. Tetapi rata-rata adalah orang-orang yang terpelajar, berpendidikan tinggi. memiliki jawabatan tinggir dan uang banyak.
Lihat Novanto, dan semua pejabat di Jakarta yang menduduki jabatan sebagai menteri, DPR, pengusaha dan lainnya. Tak hanya mereka, di Papua sini juga banyak. Misalnya, Barnabas Suabu, Jhon Ibu, Mikael Kambuaya, Thomas Ondy dan lainnya. Mereka disebut-sebut menyelewenagkan uang negara dan rakyat. Bahkan ada yang menghubung-hubungan, terutama elit politik lokal Ppaua itu dengan dukungannya dengan isu Papua merdeka.
Tetapi benar atau tidak bisa dipastikan. Lagian karena peradilan hukum di Indonesia itu sangat diskriminatif. Tajam kebawah, tetapi tumpul ke atas. Orang-orang yang memiliki hubungan dan jaraingan komunikasi dengan pemerintah dan pihak berwenang bisa saja mendapatkan hukuman ringan. Tetapi kalau pelakuknya berasal dari kalangan yang berseberangan dengan mereka diperberat hukumannnya. Hukum seakan bisa diperjualbelikan.
Mereka punya jabatan di tempat lain tetapi merangkap sana sini. Tidak mau membuka lapangan kerja apalagi memberikan kesempatan kepada orang lain yang tidak memiliki pekerjaan. Semua egois dan penuh ambiguisitas. Pendidikan dasar mereka dan strata satu rata-rata ambil di Indonesia dan mereka merupakan murni produk pendidikan Indonesia. Seakan sistem pendidikan dijadikan sebagai rahim untuk melahirkan pejabat-pejabat yang korup dan amoral.
penegakan hukum pun terasa aneh. coba baca pengalaman penegakan hukum terhadap pelaku rasisme di Surabya pada 15-17 Agustus 2019. Pelakunya dihukum ringan, tidak sampai 5 tahun. Tetapi korban rasisme, orang Papua yang menjadi tahanan politik rasisme Indonesia dijatuhkan hukuman lebih dari 10 tahun. Ini hanya contoh penerapan hukum yang dihasilakan oleh pendidikan di Indonesia dan dikendalikan oleh orang-orang yang katanya hakim, pahami hukum, pakar, jaksa dan seterusnya.
Mereka yang menjadi penegak hukum, jaksa, pakar, analisator dan lain katnya memiliki latar belakang pendidikan yang bagus. Nilainnya sangat bagus dan mereka disebut-sebut layak duduki di tempat-tempat yang strategis di dalam sistem birokrasi dan nirbala Indonesia. Tetapi moralitas, mentalitas, intelektualitas dan lainnya hancur sekali. Barangkali ini untuk memahami bagaimana sistem pendidikan Indonesia yang mengutamakan kehadiran dan nilai melahirkan, dan menyiapkan seperti apa.
- Logica Fallacy: Membaca, menulis dan menghitung
Pemerintah selalu melakukan sosialisasi dimana-mana, baik sekolah-sekolah. Juga pasang poster, dan iklan di jalan-jalan raya, pasar dan lainnya hingga terus menerus menyadarkan orang melalui media masa—cetak maupun eletronik guna mengutamakan bahasa Indonesia dan melestarikan bahasa daerah. Bahasa Indonesia mereka terus dorong dalam kehidupan sehari-hari, mulai di sekolah, kantor dan lainnya. Tetapi tidak dengan bahasa daerah.
Bahasa daerah di Papua tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus dilindungi dan dilestarikan. Mereka menerapkan aturan secara sistematis supaya orang Papua lupa bahsanya, budayanya, agamanya dan lain sebagainnya. Hingga beberapa suku di Papua, terutama daerah atau suku-suku asli di pesisir pantai dan daerah transmigran seperti kota Jayapura, Kerom, Merauke, Nabire, Manokwari, Fak-Fak dan lainnya nyaris puna.
Hampir kota-kota besar, seperti kota/kabupaten Jayapura, Wamena, Nabire, Merauke, Timika, Biak, Manokwari, Sorong, dan Fak-Fak sekarang berada dalam tahap ancaman dan kepunahan bahasa, budaya dan lain sebagainnya. Sebagain besar penutur sudah meninggal dunia akibat kawin paksa dan juga akibat dari tidak pernah memproteksi masyarakat adat pribumi setempat.
- Bahasa Indonesia dan Gerakan Literasi di Papua
Bahasa Indonesia menjadi pelajaran atau mata kuliah wajib di semua jenjang pendidikan. Dari SD hingga perguruan tinggi (S1), semua pelajar dan mahasiswa diwajibakan untuk belajar itu. Tetapi apa yang dipelajari disana? Palingan hanya itu-itu saja. Setiap guru dan dosen selalu mengarahkan pendidiknya untuk membaca yang baik dan benar. Juga menulis yang indah dengan huruf atau dalam bentuk [….].
Terkesan jarang menekankan supaya orang mampu membaca dan memahami isi buku dengan baik serta dapat mempertanggungjawabkan kepada siapa saja. membaca dimana saja dan bisa mengimbangi dengan handphone yang setiap detik ingin lihat, main dan membuat status yang tidak-tidak pula. Juga sama, bahwa mereka jarang mendorong motivasi anak-anak didik untuk menjadi seorang penulis yang baik dan kelak memiliki karya berbeda dengan karakter yang lain.
Tidak pernah memikirkan untuk menyiapkan konsep pendidikan yang bisa diandalkan dan mampu membuat orang merasa bahwa kita tidak sekedar mengarakan anak didik untuk membaca dan menulis. Tetapi bagaiman membuat mereka sadar bahwa membaca dan menulis itu sangat penting sebagai bagian dari peningkatan kapasitas diri serta pengembangan gerekan literasi di Indonesia yang berputar begitu-begitu saja.
Tidak heran apabila statistis gemar membaca di dunia memperlihatkan Indonesia jauh dari 10 besar. Hingga saat ini Indonesia berada di bawah urutan 160-an. Tentu ini kalau jauh dari negara-negara di benua lain, termasuk Asia. Di Asia saja Indonesia tidak mampu bersaing dengan Malaysia, Jepang, dan lainnya. Dia berada masih jauh dan ini bertahan selama bertahun-tahun. Itu dalam konteks Indonesia secara umum.
Walapun demikain, dalam konteks Indonesia sendiri, di pulau Jawa ataupun Indonesia wilayah lain masih baik, Tetapi ini berbeda denngan nasib gerakan literasi di tanah Papua. Papua selalu berada dibawah. Gerakan literasi dari tahun 1960 hingga 2000-an nyaris tidak ada. Apalagi di masa operasi militer dan jaman orde baru. Gerakan literasi disini mulai tercium setelah 10 dekade terakhir.
Namun itu bukan didorong oleh pemerintah. Rata-rata orang Papua mendorong gerekan literasi secara non formal dan membangun secara mandiri berdasarkan kesadaran. Sangat beruntun kepada orang Papua asli maupun migran Indonesia yang lama di Papua. Karena setelah mereka keluar Papua atau ke Indonesia wilayah lain, seperti di Jawa dan luar negeri, mereka datang ke Papua kembali mulai mendorong gerekan literasi yang berbasis perpusatakaan mini.
Misalnya, Para-Para Buku yang didorong oleh Elisabeth Apyaka, Astrida Elisabeth di Jayapura dan lainnya; Ruth W dan Yason Ngelia di Jayapura Buku Net di Jayapura; DKI Buku Net di Yahukimo; Buku Peduli Papua; Gerakan Papua Mengajar yang ada di Jayapura, Timika, Nabire dan lain sebagainnya. Gerakan-gerakan ini berkembang terlepas dari intervensi pemerintah berwenang dan mereka dorong setelah menyadari bahwa Papua masih jauh dari
Pemerintah terkesan hanya membangun konsep pendidikan yang sangat kering dan itu tidak mampu membuat apalagi merubah grafik peningkatan kesadaran orang Indonesia, termasuk Papua yang dari tahun ke tahun berada dalam zona degradasi. Otoritas setempat jarang menerapkan konsep pendidikan yang membuat orang berada dimana saja—taxi, bus, bandara, pesawat, rumah sakit, kebun dll biasakan untuk membaca dan menulis sesuaty.
Metode pengajarnnya sama dengan bagaimana semua atasan selalu saja mengarakah bawahan untuk menghafal ilmu matematik mengenai perkalian, pembagian, pengurangan dan lainnya. Juga mengarakan orang untuk menghafal pengertian semata tanpa memhami teks, konteks dan hingga minimnya kemampuan untuk mengkontekstualisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Sungguh metode pengajaran model ini memang melatih dan mendidik orang, tetapi dengan kuyalitas yang sangat terbatas. Tidak hanya menyiksa orang, akan tetapi juga pada saaat yang sama, secara sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung membosankan, menyiksa, membodohkan dan bahkan tidak efektif. Mau bilang iku menindas tetapi harus hati-hati karena memang ini sistem yang cukup membingungkan dan memabukan.
- Otsus Papua dan Kegagalan Yang Masih Hangat
Selain itu, jika Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001—perubahan tahun 2021 ini, yang dibangga-banggakan dan dipaksan pemerintah, kalau berhasil memanusiakan atau menindonesiakan, maka tidak perlu ada lagi tuntutan Papua merdekam, referendum, pengakuan kedaulatan politik dan perundingan internasional.
Tetapi jika itu tidak mampu menekan angka pengangguran, kemiskinan dan kejahatan serta pelanggaran HAM, maka pendidikan di Papua menjadi bak neraka: pengangguran, kemiskinan dan kejahatan serta pelanggaran HAM; korupsi dan penindasan. Singkatnya, sistem pendidikan Indoensia di Papua menjadi alat atau senjata paling ampuh untuk menipu, merekayase, memutarbalikan fakta, data, kebenaran sejarah dan mendukung sistem kolonialisme, kapitaslisme dan imperialisme.
Orang yang sekolah dalam sistem pendidikan nampak tidak memiliki komitemen untuk membelah masyarakat adat dengan cara bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat daan lainnya. Mereka selalu seolah-olah diarakan untuk bekerja di dalam birokrasi, partai politik, perusahaan, kontraktor dan konsultan yang selalu mempermudah akses bagi sistem koloniaalisme, kapitalisme dan imperialisme di Papua.
Di masa Otsus sekalipun, bahkan generasi Otsus sekalipun terasa tidak mampu memberdayakan, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dengan kekuatan hukum dan kebijakan sendiri. Semua kebijakan yang sifatnya memanusiakan dan menyelesaikan masalah kemanusiaan sekalipun masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Sehingga mau harapkan perkembangan dan kemajuan pendidikan di Papua sangat susah.
Pendidikan, Pemekaran dan Otsus Papua
Salah satu faktor yang merubah tatanan sistem pendidikan semi Eropa di Papua adalah akibat penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua dan pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) provinsi dan kabupaten/kota.[[44]] [[45]] [[46]] Kebijkan pemerintah pusat ini tidak hanya berdampak positif dalam pembangunan, kemajuan, kesejahteraan dan lainnya. Pada saat yang sama juga membawah dampak buruk dalam sistem pendidikan di Papua.
Kita coba kembali pada paragraf awal. Disana cerita tentang guru-guru dari suku Mee yang membanjiri di wilayah Lapaago, pegunungan tengah Papua, seperti Karubaga, Puncak, Lanny Jaya, Mampenduma, Yahukimo, Yalimo, Pegunungan Bintang, Merauke, Genyem (Jayapura) dan lain sebagainya. Guru-guru Mee dulu sangat beta tinggal di tempat tugas. Mereka berani meninggalkan kampung halam, keluarga dan fokus mengabdi untuk orang yang lebih membutuhkan dari perhatian, kepedulian dan bimbingan di sektor pendidikan.
Apa yang mereka alami hampir sama dengan apa yang dialami oleh bapak alamrhum, Charles Hisage. Dulu mereka semua menyelesaikan sekolah keguruan untuk mengajar anak-anak. Sebelum ada pemekaran provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung mereka hari-hari sibuk di sekolah. Disana mereka sibuk kasih ajar anak-anak didik sampai harus membuat mereka tahu baca, tulis dan hitung. Membimbing puluhan sampai ratusan anak-anak dari titik nol.
Kebijakan-kebijakan ini merombak tatanan sistem pendidikan di Papua yang dulu dikenal sangat ramah lingkungan dan memanusiakan manusia, menyaiapkan orang untuk menjadi garam dan terang bagi sesama. Setelah DOB muncul fokus guru-guru ini pecah disana sini. Mereka tidak lagi beta tinggal di pedalaman dan daerah orang. Memasuki tahun 2003-sekarang, banyak yang tidak memikirkan nasin dan masa depan anak-anak Papua yang butuh bantaun untuk capai cita-cita.
Pemekaran tersebut terkesan disetujui tanpa mempertimbangkan sumber daya manusia. Akibatnya, keterbatasan orang untuk mengisi sistem birokrasi, maka pemerintah daerah mulai memanggil guru-guru untuk mengisi kekuarangan. Guru-guru yang dulu bekerja di sekolah-sekolah mulai tertarik untuk bekerja dalam birokrasi ketimbang di sekolah. Banyak yang memilih untuk menjadi kepala dinas ini dan itu daripada mempersiapkan generasi penerus.
Akhirnya, sekolah-sekolah di pedalaman dan pinggiran kota rata-rata mulai kekuarangan guru dan sampai hingga saat ini tak sedikit yang ditutup. Soal ini kita bisa belajar dari SD Inpres Popugoba. Pada 90-an, almarhum Charles Hisage menjadi kepala sekolah dan satu-satunya guru di sekolah itu. Tetapi setelah kabupaten Jayawijaya mekarkan 9 kabupaten di wilayah Meepago, banyak pegawai lari ke daerah pemekaran baru.
Sementara disana mengalami kekurangan sumber daya manusia untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu, terutama distrik-distrik yang banyak sekali dimekarkan pada waktu itu. Bupati Jhon Wempi Wetipo pada waktu itu tak segan-segan memanggil Hisage untuk menjadi kepala distrik Itlay-Hisage. Semenjak dia menjadi kepala distrik Itlayhisage, sejak itu juga SD Inpres Popugoba tidak menjalankan aktivitas belajar mengajar seperti biasa.
Anak-anak kehilangan guru dan sekolah terpaksa tutup. Kemudian banyak yang nanggur, kawin, masuk ke kota—Wamena—Jayapura dan lainnya, bergaul bebas, sakit,menderita dan meninggal dunia. Kesempatan mereka untuk belajar beerhenti dan masa depan mereka sudah diluluhlantakan dengan pemekaran, ambisi, jabatan dan uang.
Ada lagi orang tua dari Albert Yatipai. Bapak guru ini dulu mengajar di SD YPPK Santo Yusuf Pugima. Tetapi di kampungnya banyak memekarkan kabupaten baru, seperti Dogiyai, Deyai dan lainnya, dia meninggalkan Wamena. Seperti halnya dengan bapak Vincent Kudiai, mantan kepala sekolah SMA YPPK Santo Thomas Wamena, yang marah pater Frans Lieshout hanya untuk mendirikan sekolah katolik di Lembah Baliem di masa uskup Jaypura, Herman Munninghof OFM.
Hari ini kedua bapa ini menetap di daerah mereka. Bapa Yatipai menetap di Paniai dan bapak Kudiai waktu itu sempat mencalonkan diri sebagai bupati di Paniai, tetapi tidak jadi. Semenjak mereka pindah bersamaan dengan masa aktif sebagai pegawai negeri dan yayasan, hingga hari ini mereka tidak lagi mengajar dan melakukan apa-apa. Mereka hanya sibuk gabung dan urus politik di daerah yang sarat dengan iri hati, ambisi, kebenciand an tidak sehat.
Sementara di sekolah-sekolah yang mereka pernah ajar kehilangan mereka, guru dan masih banyak masalah lain. Sekolah sekarang makin sunyi dan banyak anak-anak kehilangan harapan dan masa depan. Tak sedikit pula yang putus sekolah, kawin di usia muda dan tidak mampu bersaing dengan dunia luar. Semua menjadi mental instan, ingin bergantung dengan uang dan bantuan beras dari pemerintah. Tidak mau lagi berkebun, beternak dan lainnya.
Setelah kehilangan guru-guru senior, pemerintah mulai masuk—melakukan intervensi secara sistematis. Pemerintah membuka hati dan gereja pun melakukan hal yang sama. Kerja sama dan kesepakatan harus dibuat untuk mengisi kekurangan dan masalah guru di sekolah tersebut. pemerinath mulai kucurkan dana, baik dari APBN, DAK dan termasuk Otsus Papua—menutup mulut pemuka agama dan membunuh watak netral dan independensi gereja di Papua yang lama berhasil menciptakan orang—tokoh-tokoh yang hebat.
Selain itu mereka mengirim masuk guru-guru ke dalam yayasan milik gereja di samping tetap mengajar di sekolah milik gereja. Sistem pendidikan milik gereja mulai goyang dan hancur dengan pendekatan ini. Karena sistem pendidikan mulai diintervensi dan dikendalikan oleh pemerintah dengan sistematis, terstruktur, masif fan berkelanjutan. Yaysaan tidak bisa berkutik karena telah menyalibkan diri dalam sistem pendidikan milik pemerintah berwenang.
Kapur Tulis Di Tangan Aparat TNI/Polri
Pada 1960-an bersamaan dengan perebutaan wilayah di Papua, aparat milter Indonesia berperan penting. Banyak sekali dari mereka memebuka sekolah dan mengajarkan orang-orang tua dualu, seperti tentara-tentara Belanda pun melakukan seperti para misionaris gereja yang pada waktu itu memusatkan perhatian di bidang pendidikan dan kesehatan. Mereka mengajarkan anak-anak—orang-orang tua dulua abjad, angka dan lain sebagainnya.[[47]]
Pada satu sisi mereka lakukan karena kepedulian terhadap nasib dan masa depan generasi muda di Papua. Sebenarnya tidak harus demikian, tetapi ini keadaan yang menuntut—keterbatasan guru-guru di tanah Papua. Sejak 1960-an hingga 1970-an kondisi pendidikan di Papua masih sama dan sebagian besar masih dikendalikan oleh aparat militer yang menguasai di sejumlah basis di tanah Papua. Tetapi setelah memasuki 1980-an hingga akhir 1990 perlahan berubah dan semakin baik.
Tetapi memasuki 2000, terutama setelah Papua mendapat perhatian khusus untuk dimekarkan dua provinsi dan hampir 50 kabupaten/kota, tak hanya maju. Tetapi secaratidak langsung banyak sektor yang dulunya dianggap maju dan baik-baik saja mulai hancur, runtu dan mundur ke belakang. Pendidikan itu mengalami dampak yang luar biasa. Misalnya, dulu karena rentan kendali pemerintahan sedikit, sektor pendidikan pun mampu dikendalikan dengan baik walaupun penuh dengan keterbatasan.
Dulu sekolah hanya dibuka di tempat-tempat strategis. Walaupun jauh, anak-anak mampu pulang pergi dan guru-guru pun fokus serta menetap di tempat tugas. Guru-guru masuk ke kota kecuali ada urusan dinas atau pada saat mendekati waktu ujian. Begitupun anak-anak, di daerah pedalaman,, terutama mereka tahunya hanya pulang pergi ke sekolah dan rumah, cari kayu, timbah air, dan bantu orang tua dan apa saja yang mereka bisa lakukan. Fokus kehidupan mereka terarah dan teratur.
Tetapi apa yang terjadi hari ini? Fokus guru-guru pecah sana sini. Pemekaran muncul membuat perhatian guru-guru tidak tenang. Dana Otsus dan lainnya berlimpah, tidak membuat mereka kerja serius. Semua seakan-akan ingin kejar jabatan, uang, harta benda, kehormatan dan lainnya. Tidak pikir untuk menyiapkan generasi emas ke depan. Karena pemekaran, Otsus Papua dan sejenisnya membuat semua orang Papua, termasuk guru-guru manja, instan, mabuk dan lainnya, akibatnya banyak sekali mengorbankan ribuan geenerasi Papua sejak kebijakan macam itu mulai diterapkan di Papua.
Gara-gara guru-guru mengejar jabatan, uang dan lainnya, sekolah ditutup dan anak-anak terlantar. Ini bukan meneyelesaikan persoalan Papua, justru pemerintah sendiri secara tidak langsung ikut meningkatkan angka kemiskinan, pengangguran, kejahatan dan lain sebagainnya. Sangat menarik karena di Jayawaijaya saja kurang lebih 12 sekolah dasar ditutup di masa Otsus Papua.[[48]] Ini tidak termasuk dengan SD Inpres Popugoba dan sebagain murid yang pindah dari SD Inpres Wurona ke Sumunikama akibat keterbatasan tenaga pengajar disana.[[49]]
Sebagian sekolah dasar di daerah lain pun memiliki indikasi yang sama. Namun, peristiwa penutupan sekolah akibat keterbatasan guru, fasilitas dan lainnya tidak dapat dijaungkau oleh semua pihak terkait, seperti jurnalis, dan pihak terkait dalam birokrasi. Beberapa sekolah yang ditutup di Wamena, Jayawijaya selama 20 tahun belakangan ini—bersamaan dengan waktu dimana Otsus Papua jilid pertama diberlakukan ini setidaknya mewakili beberapa sekolah yang nasibnya sama tetapi belum di publis.
Dalam posisi krisis seperti ini aparat keamanan dan militer kolonial Indoensia sering masuk mengisi kekosongan itu. mereka berdalih bahwa mengajar anak-anak karena tidak ada guru, peduli dan lain sebagainnya. Bagian perbatasan antara Papua New Guinea dan Indonesia, aparat disana sudah ambil bagian.[[50]] Selaian menjaga keutuhan, mereka juga menjadi tenaga pengajar disana. Ini sangat membantu pemerintah daerah dalam keterbatsan yang diakibatkan oleh pemekaran dan lainnnya di samping meningkatkan mutu pendidikan setempat.
Barang kali mmang sangat tertolong bagi anak sekolah yang membutuhkan guru di tengah krisis pendidikan di Papua di samping menanamkan nasionalisme Indonesia terhadap anak-anak sekolah di tanah Papua. Tetapi di lain sisi, sesungguhnya partisipasi dan intervensi aparat keamanan dan militer kolonial menunjukkan sebuah fakta bahwa pendidikan di Papua tidak baik-baik saja—menggambarkan bentuk lain tentang penindasan lewat pendidikan yang melibatkan TNI/Polri.
Di Papua Pendidikan Seperti Anak Panah
Perihal perkataan moral dari Mandela, dia mengatakan bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Tetapi dalam konteks perbudakan di tanah Papua hari ini seperti anak panah, yang sebelah menyebelah dan kedua-duanya sama-sama tajam serta mematikan. Kalau melihat mangsa atau musuh baik akan membunuh musuh; atau kalau membuat konsep baik akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan fundamental.
Tetapi kalau salah lihat, tidak bijak dan salah ukur bisa saja salah kenah sasarannya. Kalau salah lihat, bisa saja seorang bisa melukai, dan membunuh saudaranya sendiri; kalau salah menerapkan konsep dengan bias kepentingan terselubung bisa saja menjadi anak panah—sistem pendidikan yang hanya diterapkan untuk menananam racun—atau membius ilmu pengetahuan baru/asing untuk membunuh moralitas, mentalitas, intelektualitas/pengetahuan dan lainnya bagi orang Papua.
Pemahan Mandela hampir sama dengan Paul Freire, seorang filsuf dan konseptor yang mendorong aliran pendidikan berbasis eksitensialisme dari kampung ke kota di Brazil. Mereka sadar bahwa untuk mengubah keadaan penindasaan ke arah kemerdekaan, buta aksara menjadikan sebagai bangsa yang terpelajar, berpendidikan, berpengetahuan dan berwawasan luas harus melalui pendidikan yang kontekstual.
Siapapun dia dan di negara mana pun pasti akan sepakat dengan frasa itu. Bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Tetapi dengan berjalannya waktu dan dengan sadar kami harus katakan bahwa di lain pihak, pendidikan juga sesungguhnya senjata paling ampuh bagi kolonial, kapitalis dan imperialis untuk menindas kaum budak tertentu di daerah koloninya. Hari ini orang Papua, terutama selama hampir 10 dekade terakhir alami ini.
Seperti agama yang bermata dua. Dimana pada satu sisi membawah kabar gembira, keselamatan, misi kemanusiaan, ibah keadilan, perdamaian, kemerdekaan dan kebahagiaan. Tetapi di lain pihak ikut menindas orang lain atas nama Tuhan, agama, kemanusiaan, pembangunan, kemajuan, kesejahteraan, pemekaran, dan lain sebagainya.
Begitupun dalam hal pendidikan. Pada satu sisi memang dapat mengubah dunia. Tetapi di lain pihak ia juga turut serta menindas orang lain. Terutama mereka yang buta huruf—aksara, miskin, sakit-sakitan, menderita, terpinggirkan, tersingkirkan, teraniaya, dan tertindas; mereka yang tidak memiliki pengetahun mumpuni, tidak memiliki keterampilan dan lain sebagainya.
Semua daerah koloni lama pernah dan saat ini sangat rentan menjadikan pendidikan sebagai kunci sukses dalam rangkah melakukan negosiasi, menjalankan kongkalingkong, dan menipu kaum tertentu untuk melakukan eksploitasi di segala sektor. Tak hanya soal sumber daya alam yang melimpah, juga memanfaatkan ilmu pengetahuan lain untuk meningkatkan predikat, keuntungan, pendapatan, pujian serta kehormatan di dunia.
Negara-negara maju di Eropa seperti Rusia, Inggris dan lainnya mendorong agama, pendidikan, kesehatan dan isu kemanusiaan di depan mata di daerah yang menjadi target operasi pertambangan, pasar perekonomian bilateral dan multilateral dan dalam rangka meningkatkan kerja sama antar negara. Negara-negara yang berkuasa hari menjadikan pendidikan sebagai jalan utama hitam untuk melemahakn, melumpuhkan, dan mematik, juga untuk menolong, menyadarkan dan mendidik dengan alasan yang positif sekalipun.
Kami sadar bahwa pola perbudakan yang sama—melalui jalan pendidikan di daerah koloni rata-rat hampir sama. Dan hari ini kami dua sadar bahwa sistem pendidikan di Papua menjadi salah satu jalan yang sangat penting untuk memperlemah kesadaran, menutupi kemungkinan besar untuk orang Papua mengenal banyak akan dirinya, sejarahnya dan identitasnya yang melekat pada diri manusia dan tanah leluhurnya.
Pendidikan di Papua dari dulu higga saat ini tidak baik-baik saja. Semua ilmu pengetahuan berasal atau ditransfer dari luar Papua. Kurikulum nasional sekalipun tidak menyentuh struktur pendidikan lokal yang mampu menigkatkan kesadaran, kemampuan dan keprihatinan manusia di masa depan. Pendidikan disini hanya mengejar target jangka pendek. Seolah-olah cukup untuk tahu baca, tulis, hitung, gelar, kerja, jabatan, uang, pujian dan kehormatan belaka.
Kali ini kami dua kembali hadir dan ingin menyapa Anda dengan rendah hati dan penuh harapan agar kamu membaca sampai habis. Karena kami hendak berbagi cerita, pengalaman dan pengetahuan tentang sistem pendidikan yang menjadi senjata paling ampuh demi memperluas kekuasaan, memperkuat keutuhan, dan memperkokoh kedaualatan sebuah negara dengan dalil terselubung di hadapan kaum tertentu yang menjadi korban yang sesungguhnya.
Pemerintah berwenang sedang menerapkan pendekatan yang sama di Papua. Sebuah sistem pendidikan yang sifatnya menipu, membodokan, melumpukan, mematikan dan memusnahkan. Tanpa membangun kesadaran dan tanpa niat baik guna memanusiakan manusia, membebaskan manusia, menyembuhkan luka manusia yang sakit dan menderita serta menentukan nasib serta masa depan anak cucu kelak.
Tidak heran karena pemerintah selalu memaksakan kehendak secara sepeihak, semauanya, seenaknya, tanpa menanyakan ornag Papua yang akan merasakan dampaknya. Pemerintah kolonial , di segala bidang pembangunan di Papua, termasuk di sektor pendidikan selalu saja menerapkan di luar dari kemauan, kerinduan dan harapan orang Papua. Pendekatan seperti ini bukan justru menyelesaikan akar persoalan pendidikan di tanah Papua. Akan tetapi justru memperparah keadaan dan menindas orang Papua secara sistemik.
Apa yang pemerintah berwenang tawarkan selalu jauh dari konseks pembangunan pendidikan yang hanya selalu mengarah kesia-siaan bagi orang Papua, tetapi menguntungkan mereka sendiri. Pemerintah mestinya membuka diri, mendengarkan dan menangkap isi hati orang Papua, tanpa mengikuti isi hati mereka semata. Sekarang pemerintah sudah sahkan UU Otsus Jilid II, inipun tidak akan menjawab akar persoalan pendidikan di Papua.
Kecuali memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah daerah tanpa mencurikan, ketakutan dan jauh dari ciri khas perbudakan di daerah koloni modern itu, yaitu sistem politik aneksasi. Tetapi lebih kepada pendekatan yang mengarah pada pendidikan humanisme, eksistensialisme dan mendorong orang Papua di depan dan pemerintah back-up dari belakang.
Kalau pemerintah berwenang serius dan benar-benar punya hati yang tulus, pasti akan mendorong agar kembali membuka, mengaktifkan dan memperbanyak pendidikan berpola asrama di tanah Papua. Kalau tidak, pemerintah memaksakan kehendaknya, menerapkan sistem pendidikan nasional semata-mata disini, itu sama saja pemerintah tidak berniat baik terhadap orang Papua. Dan orang Papua akan sadar juga akan mengatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia ikut menindas mereka.
Jangan hanya bangun gedung asrama pemerintah bagus-bagus, indah, mewah dan pada mula-mula fasilitasnya lengkap. Tetapi lama kelamahan menganaktirikan anak-anak, hingga membiarkan moralitas, mentalitas, spritualitas, intelektualitas dan psikologis mereka hancur berantakan. Pemerintah tidak bisa lepas tanggung jawab. Harus bertanggung jawab. Jangan menajadikan asrama yang indah sebagai bak neraka pemerintah sendiri yang secara sistematis memabunuh karakter orang Papua.
Setelah sistem pendidikan berpola asrama milik gereja-gereja di Papua dihancurkan dan diluluhlantakan dengan dalil pemekaran, kontrakan, kos dan asrama pemerintah yang bagus. Itu tidak hanya menipu orangs ecara halus. Tetapi apa bedannya membunuh secara halus, diam-diam dengan menghilangkan nafas orang secara paksa dan di luar hukum?
Kalau Indonesia benar-benar punya hati untuk men-Indoensiakan orang Papua, memperbaiki sistem pendidikan berpola asrama milik pemerintah daerah. Pemerintah daerah wajib mengirim dan menugaskan sebagaian pegawai negeri untuk titip, tinggal dan kerja dari asrama-asrama mahasiswa/I Papua yang ada di tanah Papua maupun di luar Papua. Kemudian menjalankan pembinaan berpola asrama dan berkolaborasi dengan segala bentuk kebijakan pemerintah.
Jangan terlalu serius. Mari baca cerita bagus satu ini. Disini ada sebuah mob, cerita lucu disini. Cerita ini melibatkan seorang ibu guru asal Jawa dan anak didik asal pribumi Papua di sebuah sekolah—Papua. Pada sebuah kesempatan mereka belajar tentang “Budi dan Australo”. Adapun mob tersebut adalah sebagai berikut.
Ibu guru Jawa: anak ko (kamu) kenal budi ka tra (tidak)?
Anak Papua: sa (saya) tra tau buguru (ibu guru).
Ibu guru Jawa: kam jang (jangan) begitu. Kam harus dan wajib hafal Budi pu (punya) nama.
Anak Papua: Skarang (sekarang) sa tanya buguru e (ya?)
Ibu guru Jawa: Coba. Apa?
Anak Papua: Buguru tau (tahu) Australo Melanosoid ka tra?
Ibu Guru Jawa: Itu sapa (siapa)?
Anak Papua: itu sapu (saya punya) leluhur.
Ibu guru Jawa: oiya? Sa baru tahu ne (ini).
Anak Papua: skarang ketahuan to? Buguru… Kalo (kalau) mo (mau) kas (kasih) ajar itu yang kontekstual. Jang kas ajar kitong (kita) dengan nama orang, benda dan lainnya yang trada (tidak ada) di Papua sini. Kam ambil contoh segala itu yang kongkrit—yang ada di Papua agar kitong mudah mengerti dan tra salah memahaminya. Semoga terhibur dan bermanfaat.
****
Penulis:
[[1]] Victor Wenda adalah pemuda gereja Baptis di Papua.
[[2]] Soleman Itlay adalah pemuda katolik di Papua. Keduanya tinggal di kota Jayapura, Papua.
Reference:
[[3]] Beberapa sekolah di distrik Walelagama, kabupaten Jayawijaya yang pada tahun-tahun itu memusatkan ujian nasional di satu sekolah, supaya rentan kendali dapat dilakukan secara mudah.
[[4]] Bicara-bicara atau diskusi dengan Malvin Yobe, anak dari seorang bapak dan mamanya yang guru dan lama mengajar di Asologaima, Wamena, Papua. Sekalian wawancara dengan bapak Silvester Kudiai di kediamannya pada hari Kamis tanggal 2 September 2021 di Buper, kota Jayapura, Papua.
[[5]] Baca Tulisan Eman Petege yang berjudul Orang Mee (Paniai) Pertama Yang Memperkenalkan Peradaban Modern di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.
[[6]] Terutama di bidang pelayanan pastoral dan pendidikan. Tetapi bapa ini mengaku Otsus Papua dan pemekaran yang memecah belah dan membangun jarak antara orang Papua dan non Papua yang dulu sangat erat—bersahabat. Diskusi/wawancara di kediamannya pada 2019/2020 dan 2021.
[[7]] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nul diakses 09/08/2021
[[8]] Terjemahan bebasnya Pendidikan adalah suatu proses pengajaran, pelatihan dan pembelajaran, terutama di sekolah, perguruan tinggi atau universitas, untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan.
[[9]] Terjemahan bebasnya Pendidikan adalah suatu proses pengajaran, pelatihan dan pembelajaran, terutama di sekolah, perguruan tinggi atau universitas, untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan.
[[10]] Сластенин, В.А и Каширин, В.П. 2004. Психология и педагогика. Москво: Издательский центр. Стр. 135
[[11]] Подласый, И. П. 2005. Педагогика. Москва. Гуманитар изд. Центер ВЛАДОС. Стр. 13
[[12]] Praktik di mana negara yang kuat mengendalikan negara lain yang lemah—berkembang dengan
kepentingan eksploitasi sumber daya alam dan seterusnya.
[[13]] Artikel Christianity as a double-edge sword in colonial Africa.
[[14]] Nwanosike, Oba .F Onyije, Liverpool Eboh. Colonialism and Education. Sumber elektronik. url https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.655.9385&rep=rep1&type=pdf diakses 07/09/2021.
[[15]] Artinya, sama seperti partisipasi Afrika yang dikendalikan Eropa dalam tatanan ekonomi baru, mereka dengan hati-hati menyusun pendidikan Afrika, untuk melanggengkan keterbelakangan dan ketergantungan mereka. Sistem pendidikan dirancang untuk memaksakan pada orang Afrika, mitos orang kulit putih, superioritas rasial dan inferioritas Afrika. Apa pun yang diajarkan kepada orang Afrika tentang diri mereka dirancang untuk memungkinkan mereka menginternalisasi inferioritas dan untuk mengakui orang kulit putih sebagai penyelamat mereka.
[[16]] Baca catatan singkat dari Sro’er Louw Asmuruf Ap, seorang aktivis dari SONNAMAPA di akun Facebook tertanggal 25 Juli 2017.
[[17]] Mengutip dari Matius 28:19.
[[18]] Sejarah masuknya perintisan misi gereja katolik di Papua seharusnya diukur dari kapan Pastor Heyden masuk, injak pertama kali di Skroe, Fak-Fak dan menetap disana selama 3 minggu. Tetapi hingga saat ini gereja katolik di Papua belum memperjelas sejarah perintisan ini. Orang selalu mengukur sejarah dari kedatangan Pastor penerus Heyden, yaitu pater Corneles pada 22 Mei 1894, 39 tahun setelah Ottow dan Geisller menginjaki dan memberkati tanah Papua pada 5 Februari 1855. Per 22 Mei 2021, kalau diukur dari sejak masuknya pater Corneles sudah mencapai 217 tahun.
[[19]] Gereja katolik di Papua, terutama 5 keuskupan yang ada disini jarang memperingati dan merayakan hari misi perintisan gereja katolik di Papua. GKI Di Tanah Papua boleh setiap 5 Februari diperingati sebagai hari Perkabaran Injil di tanah Papua.
[[20]] Baca buku “Fransiskan Masuk Papua, jilid I: periode Pemerintahan Belanda 1937-1962”, karya Jan Sloot terbitan 2012 (hal.66).
[[21]] Hingga saat ini nama-nama mereka ini, gereja katolik di tanah Papua belum temukan atau mendokumentasikan sebagaimana seperlunya.
[[22]] Baca catatan singkat dari Sro’er Louw Asmuruf Ap tadi.
[[23]] Baca tulisan Yosef Rumasef berjudul “Kenapa Semua Sekolah di Wilayah ZGK Adalah YPPGI?” di group faceebook Reuni Alumni SMP YPPGI Kouh pada 18 Maret 2021.
[[24]] YPPGI diprakarsai dan didirikan oleh gereja-gereja pertobatan seperti Kingmi, Baptis, GIDI, GGRI, dan GPKAI/GKAI. Baca lagi di catatan Yosef Rumasef.
[[25]] Baca Akta Notaris YPPK Fransiskus Asisiyang berbasis di provinsi Papua.
[[26]] Soal yayasan pendidikan baru apa saja dan kapan pendiriannya kami belum dapat. Tapi ini menjadi catatan penting untuk ditelusuri lebih lanjut.
[[27]] Ini berhububngan dengan pengalihan kekuasaan dan pengendalian serta penertiban terhadap warga negara asing dari pemerintah Belanda ke Indonesia—juga dari misionaris Eropa ke migran Indonesia.
[[28]] Baca pula peraturan terbaru tentang pembatasan bantuan dari luar negeri yang berdampak buruk pada sekolah-sekolah dan penddiikan berpola asrama di tanah Papua : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55f0e0ea66e12/peraturan-terkait-rekening-di-luar-negeri.
[[29]] UNTEA merupakan perwakilan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melakukan intervensi untuk menyelesaikan ketegangan politik antara kolonial Belanda dan Indonesia. UNTEA inilah yang mengendalikan dan menyelesaikan konflik di tanah Papua, yang pada belakangan ketahuan kalau orang-orang di belakang organisasi itu penuh dengan agen intelijen Amerika Serikat—Central Inteligency Agency yang memiliki kepentingan untuk melakukan ekspolitasi sumber daya alam, terutama di Freeport Indonesia. Ini jelas-jelas memperlihatkan urusan politik ideologis dicampuradukan dengan kepentingan kapitalisme dan imperialisme dunia—Amerika Serikat.
[[30]] Baca dalam buku Pim Schoorl: Belanda di Irian Jaya, Amternar di masa penuh gejolak 1945-1962 (hal.2).
[[31]] Pemerintah tahu bahwa banyak sekali tokoh-tokoh nasionalis pro kemerdekaan Papua muncul dari sistem pendidikan semi Eropa—Papua. Juga dari asrama-asrama bepola pendidikan dan pembinaan.
[[32]] Pemerintah pernah mengeluarkan peraturan tentang penertiban Warga Negara Asing (WNA), termasuk untuk menertibkan WNI yang bekerja di wilayah kesatuan Indonesia. Tapi dokumen tersebut belum ditemukan. Tetapi isinya tidak jauh beda dengan ini—silahkan kunjungi, baca dan pahami arah pembatasan pemerintah terhadap aktivitas WNA: https://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2007/pp37-2007.pdf.
[[33]] Lamah kelamahan menjadi seperti bak neraka.
[[34]] Baca dan bandingkan dengam hasil investigasi Soleman Itlay tentang “Penutupan dan Pengalihfunsian pendidikan berpola asrama katolik di Tanah Papua.”
[[35]] Sadar atau tidak terjadi pembunuhan moralitas, mentalitas, spritualitas dan intelektualitas secara halus, tidak sadar, dan lainnya.
[[36]] Lima keuskupan tersebut antara lain, yaitu Keuskupan Agung Merauke, Kesukupan Jayapura, Manokwari-Sorong, Agats dan Timika.
[[37]] Gedung yang dialihfungsikan antara lain, Wisma II yang dikhususkan dulu untuk mahasiswa yang hendak dan sedang menyusun skripsi, kapela santo Ignatius Loyola dan rumah pembina yang dulu diisi oleh Pater Wolfgang SJ.
[[38]] Wawancara Melvin Waine pada 2017 di meja makan asrama mahasiswa katolik Tauboria.
[[39]] Juga pada 14 tahun yang sama melahirkan krisis kader kaum awam katolik di tanah Papua.
[[40]] Asrama-asrama katolik yang lain, seperti di Wamena, Oksibil, Keerom, Kokonao dan lainnya pun mengalami hal yang sama. Bahkan ini memang ada indikasi kalau ada upaya yang sengaja ingin dihancurkan sistem pendidikan berpola asrama dan membunuh kaum tertentu secara sistematis: moralitas, mentalitas, spritualitas, intelektualitas dan psikologisnya.
[[41]] Ini hasil diskusi singkat dengan Harun Rumbarar, seorang jurnalis dan investigator yang selama inimendampingi masyarakat adat di Keerom. Tetapi juga beberapa hasil investigasi mengenai pencaplokan hak-hak tanah adat dapat memperlihatkan indikasi seperti ini. Bahwa pendidikan juga dipakai sebagai alat perjanjian dalam melakukan negosiasi, menarik hati dan membuat penduduk setempat mengijinkan perusahaan untuk masuk beroperasi.
[[42]] Ini merupakan hasil diskusi dengan Benny Mawel sendiri dan disini memperlihatkan bagaimana pendidikan dan intelektualitas yang dimiliki pemerintah digunakan sebagai senjata ampuh untuk merebut hati dan mencaplok tanah-tanah adat masyarakat atas nama pembangunan yang dominan merugikan masyarakat dan menguntungkan pemerintah dengan kaum kapitalis dan imperialis yang mengendalika sistem teknologi, komunikasi dan informasi.
[[43]] Seorang yang suka menulis puisi di dinding Facebook dan buku, Di Papua lebih dikenal seorang sastrawan, penyair dan pemerhati gereja literasi di Papua. Dia juga meruapakan seorang yang secara konsisten mendorong Gerakan Papua Mengajar (GPM) dan penggerak Komunitas Sastra Papua (Kosapa).
[[44]] UU Otsus tersebut direvisi pada awal 2021 dan diperpanjang atau disahkan kembali pada Kamis, 15 Juli 2021 secara sepihak oleh pemerintah pusat bersama para elit politik lokal Papua [bukan dari kemaauan dan keinginan orang Papua yang menolaknya].
[[45]] Baca UU 2/2021 tentang Perubahan Kedua UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua disini.
[[46]] Baca juga Lembaran Negara nomor 155 tahun 2021 yang berisi UU 2/2021. UU 2/2021 dan sekaligus merupakan perubahan kedua UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
[[47]] Wawancara dengan Benyamin Yewi, seorang ondoafi yang dulu dekat dengan orang tua kandung dari Giri Wijajanto, yang dalam rangka memenangkan PEPERA 1969 dikirim ke Wamena, kemudian setelah menang menjadi relawan guru. Orang tua ini dulu menjadi tentara rakyat dari kalangan sipil. kemudian kirim ke Papua untuk memasukan wilayah Papua ke NKRI. Orang tua yang lama menghabiskan waktu mudanya bersama orang tua kandung bupati yang dulu menjadi pengusaha dagi sapi di Sentani, Jayapura ini menceriterakan soal ini semua.
[[48]] Baca di https://www.antaranews.com/berita/787230/12-sekolah-di-jayawijaya-papua-tidak-beroperasi
[[49]] Wawancara dengan Meki Hisage pada Jumat 17 September 2021 di kota Jayapura, Papua.
[[50]] Baca juga https://travel.detik.com/travel-news/d-4728421/peran-tni-dalam-mengajar-anak-anak-di-perbatasan-indonesia
Su bagus tapi kalo bisa nama” tokoh diatas bisa diperjelas kah masa pendeta yg datang bersama missionaris tu namanya Y Gobai bukannya Elisa Gobai…! Terus nama kepala sekolah SMA YPPK st.Thomas tu bukan Sylvester Kudiai tapi Viktor Kudiai 🙏🏿
Sangat bagus sekali kepada kk yang mana telah provided sejarah ini untuk generasi berikut kami juga bisa akses dan mengetahui bersama. Kesan dari saya tolong tahun dan tanggal masuknya misionaris pertama ke wamena juga mention disini please.
thank you
Terima kasih untuk tulisan ini 🙏