Sejarah suku Nduga di warnai dengan sejumlah persolan dan konflik-konflik. Persoalan-persoalan tersebut seolah-ola memagari perkemabangan masyarakat di kabupaten Nduga secara umum. Dimana sejak dibukanya wilayah lembah Balim di tahun 1930an dilanjutkan dengan proses pembangunan wilayah tersebut baik di era kolonial Belanda maupun oleh Indonesia sendiri, berdampak pada peradaban masyarakat Nduga baik di Lembah Balim maupun hingga pengunungan secara umum.
Sejak proses pembukan wilayah Lembah Balim dan Pengunungan Tengah oleh pemerintah kolonial di tahun 1930an, sejumlah kesulitan dialami termasuk pola interaksi antara masyarakat asli dan pendatang. Interaksi awal adalah antara para Misionaris dengan suku-suku asli wilayah pedalaman. Tercatat misionaris Cristian and missionary (CAMA) dari Amerika serikat mendirikan pos pelayanan pertama di wilayah Lembah Balim bagian selatan. Selain melakukan pelayanan rohani, para misionaris ini juga melakukan sejumlah pencatatan terkait kondisi dan salah satu yang ditemukan adalah pola relasi orang kuat (kain) yang memimpin dan memenangkan peperangan antara suku, berdampak pada kuatnya pengaruh orang-orang tersebut dalam menentukan hubungan mereka dengan pendatang dari luar wilaya tersebut.
Catatan –catatan antropologi para misionaris tersebut kemudian digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam proyek pembangunan berskala besar pada tahun 1960an di wilayah Lembah Balim dan sekitarnya. Sejumlah besar tukang kayu, montir tukang listrik dan bahan –bahan diterbangkan ke Wamena sebagai daerah yang diharapkan menjadi senteral pembangunan di wilayah Pengunungan Tengah. Namun sejumlah orang dari suku –suku sekitar mulai menaruh kecurigaan terhadap proyek pembangunan tersebut. Hal ini yang membuat proses pembangunan khususnya jalan di wilayah Lembah Balim membutukan waktu yang cukup lama untuk menyakinkan publik tentang dampak positif pembangunan jalan. Kecurigaan diantara masyarakat dari suku –suku sekitar juga masih tinggi, dikarenakan persepsi keberadaan jalan akan berdampak pada mobilitas yang semakin masif dari para pendatang yang bisa meruntuhkan wibawa para pimpinan suku –suku tersebut.
Pembahasan
Sejumlah proyek infrastruktur yang di perioritaskan pemerintah pusat di Papua sejalan dengan proyek pembangunan dari era –era pemerintahan sebelumnya, dimana Papua dilihat sebagai daerah yang didominasi hutan dengan potensi sumber daya Alam (SDA) melimpah. Ketersedian SDA tersebut mendorong pemerintah pusat terus membangun mega proyek di bidang infrastruktur.pertanian,pertambangan dan kehutanan demi mengekploitasi SDA, termasuk melahap tanah –tanah masyarakat Papua. Sejumlah proyek pembagunan jalan, khsusnya Trans Papua dilihat sebagai katalisator pembangunan dan penghubung wilayah-wilayah yang terisolasi di Papua. Penelitian Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang di biayai oleh the Asian Foundation pada tahun 2018, menunjukkan peningkatan keterhubungan daerah-daerah yang terisoloasi di Papua Barat dan Papua berdampak posifif bagi peningkatan kesejahteraan dan pelayanan dasar(pendidikan dan kesehatan konektivitas menjadi alasan mendasar percepatan pembangunan Trans Papua. Konektivitas akan membantu masyarakat di Papua untuk menekan sejumlah biaya logistik barang dan jasa yang membebani masyarakat Papua dan Papua Barat selama ini. Namun demikian, penelitian yang di lakukan LIPI diatas tidak menjelaskan pola kepemilikan hak ulayat tanah masyarkat asli Papua serta pola social akibat pembagunan jalan, tanggapan dan partisipasi masyarakat lokal, potensi marginalisasi masyarakat asli akibat meningkatnya aktivitas ekonomi yang dikuasai pendatang, di wilayah-wilayah pembangunan strategis, serta keberadaan sejumlah pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang berada di wilayah-wilayah rawan, dimana besar ada berada di bagian pesisir, seperti Sorong, Manokwari, Bintuni, dan Arfak (Papua Barat) ( Jayapura,Waris dan Cuma satu wilyan lembah yakni Wamena. Wilayah pesisir adalah wilayah yang didominasi pendatang dan memiliki sarana dan pra saran public yang baik. Namun demikian logika keseimbangan manusia dan alam serta perlindungan keanekaragaman hayati di Papua seolah tidak menjadi pertimabangan utama dalam proyek pembangunan sentralistik pemerintah pusat.
Studi yang dilakukan para peneliti dari James Cook Universty, Australia dibawah pimpinan Sean Sloan menjelaskan bahwa penetrasi ke hutan –hutan Papua akibat proyek pembagunan jalan Trans Papua, berdampak pada degradasi hutan di wilayah Taman Lorenz dan sekitarnya. Sejumlah proyek Jakarta di Papua akan memudahkan aktivitas eksploitasi,seperti pertambangan dan penebangan serta pencurian kayu illegal. Hak –hak ulayat masyarakat asli Nduga secara umum Papua lansung terkena dampak dari proyek pembangunan dan eksploitasi,bahkan ritual adat yang suci di ubah telah menjadi komoditas, Ritual suci tersebut memperlihatkan pembenturan antara nilai-nilai tradisional. Bahkan menurunya nilai tradisonal membelokan praktis memicu penyimpangan social dan lingkaran kekerasan. ’’Karl Marx melihat bahwa masyarakat modern dengan masyarakat Kapitalis dan sistem ekonomi yang di hasilkan hanya membuat manusia menjadi menjadi masyarakat kelas, dan kelas terbesar adalah kaum buruh yang tertindas dan hanya di jadikan sebagai mesin ekonomi”. Modernitas menghancurkan kebersamaan menurut Ferdinand Tonnies.
Negara yang tidak menghargai hak hidup
Pernyataan tentang hak-hak penduduk asli yang ditetapkan oleh PBB pada tanggal 8 Agustus 2006,memberikan ruang bagi penduduk asli guna menentukan kemajuan mereka secara bebas berdasarkan nila inilai dan sistem kebudayaan mereka. Kurangnya penghormatan terhadap kebudayaan Papua yang unik disertai dengan ketidak adilan ekonomi dan pembagian pendapatan negara adalah masalah-masalah terbesar yang berlawanan dengan usaha-usaha untuk meraih rekonsiliasi yang sebenarnya. Paradigma modern pembangunan berfokus pada pertumbuhan dan atribut-atribut modern dipasang sebagai standar kaku dalam mengukur tingkat keberadaban masyarakat lokal di dalam pembangunan. Paradigma modern yang kaku ini adalah akibat dari penempatan penduduk asli sebagai obyek dan bukan sebagai subyek. Atribut atribut modern yang diberlakukan terhadap penduduk asli dianggap sebagai pemiskinan kebudayaan, seperti “Operasi Koteka” yang dilaksanakan di Wamena pada akhir tahun 70an yang memaksa penduduk asli untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional mereka dan mengadaptasi cara-cara hidup modern termasuk memakai pakaian ketimbang koteka. Tidak hanya budaya tetapi juga bahasa Ibu seperti “Bahasa Daerah Fakfak di Gerbang kepunahan (Anggota MRP Papua Barat) Wenand Weripang. Mengungkapkan pembangunan dan sumber daya manusia sangat penting tetapi kurang memperhatin budaya local. Terbelakang dan manusia jaman batu adalah label umum yang sering diberikan kepada penduduk asli yang hidup dengan cara tradisional. Perubahan pendekatan pembangunan dan kemajuan yang menghormati dan menampung kearifan lokal (pengetahuan dan nilai-nilai lokal) sangatlah dibutuhkan.
Rendahnya tingkat modal social
Tingkat modal sosial dipengaruhi oleh beberapa elemen pemisah yang cukup signifikan. Modal social memegang peranan penting sebagai “perekat” yang melekatkan masyarakat untuk membangun keberadaan yang penuh kedamaian. Modal sosial mencerminkan inti dari norma-norma kerja sama dalam pengelolaan interaksi, sedangkan penyimpangan sosial pada faktanya mencerminkan kurangnya modal sosial. Pada bulan Desember 2007 lokakarya para pemimpin keagamaan di Papua menyatakan beberapa argumen yang penting termasuk tidak adanya gerakan separatis di Papua; dan adanya stigma keberadaan OPM diciptakan oleh para pejabat Pemerintah, yang dipelihara dan dimanfaatkan oleh para pejabat Pemerintah demi kepentingan Pemerintah. Sebagai tambahan dari argumen di atas beberapa daera menjadi stigma dan mengganggu ketersediaannya hak-hak dasar manusia. Secara umum, penduduk asli Papua di dataran tinggi khususnya mereka yang tinggal di daerah yang dicap sebagai“zona-zona merah” (diasumsikan oleh keamanan sebagai basis di mana OPM berada) memiliki akses masuk terbatas bagi orang luar.
Pembatasan diberikan juga kepada pihak lain atau organisasi yang bekerja untuk memberikan hak-hak dasar kepada penduduk seperti layanan kesehatan untuk masyarakat lokal. Organisasi tersebut perlu melalui beberapa tahapan procedural supaya mereka dapat bekerja di lapangan. Dalam beberapa kasus, petugas-petugas keamanan lokal tidak ingin menjamin keamanan para staf organisasi tersebut di atas kecuali apabila mereka dibayar cukup sehingga dapat bernegosiasi mengenai tingkat keamanan dari “zona-zona merah” terkait. Tingkat keselamatan dan keamanan menjadi tergantung pada uang suap yang diberikan. Kenyataan di lapangan menunjukkan. Sumber daya untuk layanan-layanan dasar (misalnya kesehatan dan pendidikan) yang sangat minim (hampir tidak ada) di daerah-daerah yang disebut sebagai “zona-zona merah”. Penduduk asli Nduga secara umum yang dituduh menjadi lebih tersingkir dan terhambat dalam mendapatkan akses terhadap hak-hak dasar mereka.Stigma ini menciptakan adanya kesenjangan yang lebih luas dalam ketidak-setara horisontal dan rendahnya tingkat keamanan manusia.
Ketimpangan antara pembangunan dan konservasi sangat terlihat di Papua, dimana sebagian besar wilayanya masih di dominasi hutan dan didiami oleh penduduk yang sedikit. Logika pembangunan mengedepankan pembukaan wilaya yang terisolasi demi memudahkan investasi,arus manusia barang dan jasa. Sedangkan semangat perlindungan alam menjadi fondasi kehidupan masyarakat Papua dengan segala haknya atas tanah. Pradoks pembangunan ini sering kali tidak pertimbangan utama pemerintah pusat dalam merancang kebijakan khususnya di wilaya –wilaya konflik Investasi tetap akan jalan dan terus terjadi dan telah menjadi motor penggerak pembangunan kawasan konflik di Papua. Hal tersebut terlihat dalam berbagai upaya yang di lakukan oleh Jakarta terutama daerah – daerah yang hari ini sedang berkonflik berbasis investasi untuk tujuan-tujuan komersil.
Dengan berbagai argumentasi tersebut maka ada dugaan adanya motif lain numun demikian motif politik di balik konflik di Papua terutama di daerah yang sedang berkonflik makin kuat bahkan -mengalami penegasan-penegasan yang lansung di sampaikan oleh para petinggi TNI maupun Polri. Apalgi ketika motif ini ditunjukkan dengan sejumlah kasus.
Penutup
Apa yang sering kita lihat di media sosial sebetulnya tidak dapat mempresentasikan bagaimana sesungguhnya kehidupan warga pengungsi konflik Nduga oleh negara terutama dari kalangan NGO,LSM dan Pemerintah provinsi. Adakalanya atau mungkin seringkali di gambaran warga Nduga ini di buat seindah mungkin sebagai upaya untuk menunjukan bahwa kehidupan warga Nduga merupakan kehidupan yang bahagia. Warga pengungsi Nduga yang menetap di beberapa tempat seperti di wilaya Wamena seperti di Kampung Wosi,Kurulu dan ada satu tempat(saya lupa),tekanan akibat kondisi alam masih jelas terasa,seperti tanah longsor saat musim hujan dan tiba- tiba air mongering saat musim kemerau. Tidak jarang saat musim kemerau masyarakat Nduga tempat pengungsi harus memenuhi kebutuhan-nya dengan cara meminta bantuan pada pemerintah. Pada hari ini akan begitu sulit untuk menarima pandangan bahwa warga Papua baik- baik saja dari perusakan lingkungan,pelanggaran Ham terutama warga penggungsi Nduga.
Setelah terjadi konflik di di awal tahun 2018, dari berbagai pihak mulai dari NGO,LSM dan Gereja bahkan Solidaritas nasional dan Internasional merespont konflik Nduga namun soal Nilai kemanusia di abaikan hingga detik ini,artinya bahwa respond baik oleh beberapa lembaga yang dari Tanah papu,sebatas advokasi media,karena masyarakat Nduga masih menetap di hutan bahkan tidak mendapatkan akses kesehatan dan pemenuhan hak-hak masyarakat pengungsi di abaikan. Sebaiknya menurut saya selain melakukan kamapanye dan mengkaji NGO,LSM dan Gereja mesti melihat kebutuhan yang paling mendasar seperti obat –obatan makanan,pakaian dll. Sebatas mengaku ada konflik saja tidak cukup untuk masyarakat Nduga,Karena mereka sudah merasakan bagaimana dengan tindakan kekerasan yang di lakukan oleh negara
Refrensi
- http://repository.uki.ac.id/1095/2/BAB_I.pdf
- http://politik.lipi.go.id/in/kolom/kolom-papua/547-riset-lipi-empat-akar-masalah-konflik-papua-penyelesaian-hanya-dengan-dialog-tak-bisa-dengan-intervensi-kekerasan.
- Konflik Nduga dan tragedy Kemanusian yang di tulis oleh Markus Haluk
- Pemerintah mengabaikan konflik Nduga’’ sebuah hasil Diskusi bersama mahasiswa Uncen”