Model Indonesia, Olvah Alhamid dalam acara bincang-bincang Rosi yang tayang di Kompas TV pada 8 Oktober 2021 kemarin dalam tema “Jokowi dan Politik di Papua” tampil percaya diri dan menunjukan seolah paling tau tentang Papua. Olvah berargumen “Saya tinggal di Papua. Saya tau situasi Papua”. Argumen yang sama persis seperti naraumber lain yang adalah penyembah sejati Jokowi, Ali Mochtar Ngabalin.
Dalam acara tersebut, Olvah berdebat dengan sangat subjektif, berusaha membantah, tanpa menunjukan data apapun dengan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Diketahui Asfinawati berusaha menyampaikan situasai di Papua berdasarkan data yang diterima oleh mereka melalui YLBHI yang selama ini bekerja menangani ribuan kasus ketidakadilan yang menimpa rakyat Papua.
Olvah berargumen lagi “Mba perlu tinggal di sana, supaya mba tau betul-betul kejadian di sana. Jangan dengar laporan mba!” Ini ada benarnya. Namun membantahkan laporan yang berbasiskan data seperti yang disampaikan Asfinawati adalah tindakan memalukan dan anti terhadap ilmu pengetahuan. Sebab, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengatarkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi untuk mengetahui kebenaran objektif suatu perkara tanpa perlu tinggal di suatu wilayah atau hidup di masa tertentu. Misalnya menggunakan metode kajian literatur, digital, dan lain sebagainya. [1]
Sehingga argumen Olvah bahwa perlu tinggal di Papua untuk mengetahui situasi Papua adalah argumen paling salah dan murahan. Bahkan menunjukan secara langsung bahwa Olvah sedang berusaha menutup-nutupi kejahatan rezim terhadap masyarakat Papua. Agar tidak diketahui apalagi diprotes dan dilawan rakyat.
Tindakan Olvah sangat memalukan. Namun lebih memalukan lagi adalah tindakan Rosiana Silalahi dan Kompas TV yang sengaja mengundang narasumber yang tidak berkompeten sesuai topik. Sebab, perjuangan politik atau penentuan nasib sendiri dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua adalah persoalan yang telah berlangsung lama, menelan banyak korban jiwa, dan masih eksis hingga saat ini. Sehingga berbicara soal Papua haruslah menggunakan narasumber yang berkualitas dan dari dua sisi yang sedang bertarung agar narasi yang dikeluarkan nantinya berimbang serta mendidik rakyat luas tentang situasi sebenarnya di Papua. Bukan narasumber asal bunyi seperti Olvah Alhamid.
Lalu siapa sebenarnya Olvah Alhamid? Olvah adalah salah satu anak muda yang saat ini tengah dipakai negara untuk mengkampanyekan NKRI harga mati di atas tanah Papua. Ini dibuktikan dengan perannya yang seolah menjadi “mulut” TNI dan Polri dengan mengkampanyekan persoalan di Papua sesuai keterangan militer, didukung oleh buzzer, dan selalu memojokan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Termasuk juga berupaya memojokan aktivis HAM seperti Veronica Koman.
Selain itu, tingkah-laku Olvah hari ini persis seperti perlakuan diplomat-diplomat muda yang dipakai negara di sidang umum PBB yang selalu berfungsi sebagai boneka pajangan penguasa untuk menepis perjuangan kemerdekaan Papua dan berperan sebagai “juru bicara” negara untuk menutupi pelanggaran HAM berat di Papua agar sesuai dengan kepentingan elit borjuis yang hari ini sedang mengendalikan negara.
Mengapa elit berkepentingan untuk mengaburkan situasi sebenarnya di Papua? Jelas, karena elit borjuasi yang mendapat untung dari proses penjajahan Indonesia terhadap Papua. Apabila situasi Papua disampaikan secara jujur dan bermartabat, termasuk kejahatan negara selama 50an tahun di Papua, maka akan memunculkan perlawanan dari massa rakyat. Dan dengan begitu, kepentingan akumulasi modal mereka akan terganggu. Untuk itu, dalam rangka mengelabui kesadaran rakyat, dipakailah anak-anak muda semacam Olvah untuk memutarbalikan situasi di Papua.
Narasi TV dalam laporan audio-visual mereka tentang konflik di Intan Jaya yang terbit pada September 2021 dengan jelas menunjukan secara rinci bukti-bukti kemunafikan rezim Jokowi di Papua. [2] Seperti misalnya penggunan fasilitas milik publik secara serampangan oleh militer Indonesia yang bukan hanya menyalahi Konvensi Jenewa tetapi juga telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa di pihak sipil. Selain itu, audio-visual ini juga memaparkan bukti bahwa pembangunan jalan, pendirian pos-pos militer dan perang di Papua bukan semata-mata karena urusan penumpasan gerakan pro merdeka, namun lebih kepada menjaga proses akumulasi modal yang sedang berlangsung.
Berbalut menjaga teritori agar NKRI tetap harga mati, berbagai operasi militer dilacarkan untuk mengusir dan membunuh penduduk setempat agar proses akumulasi modal dapat berlangsung. Peneliti Gemima Harvey dalam laporanya The Human Tragedy Of West Papua melaporkan bahwa setidaknya 500.000 penduduk Papua telah dibunuh sejak tahun 1961 akibat operasi militer Indonesia yang didukung oleh para pemodal untuk merebut tanah-tanah penduduk dan dikuasi secara pribadi. [3]
Laporan lain dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia yang terbit pada tahun 2021 juga menegaskan hal serupa. Dengan menggunakan kacamata ekonomi Politik, mereka secara detail mengurai relasi konsesi antara perusahan kapitalis dengan militer Indonesia di Papua. Mulai dari cara-cara kekerasan yang digunakan sebagai taktik untuk mengusir penduduk setempat agar modal secara leluasa ditanamkan, hingga pembunuhan-pembunuhan di luar hukum yang keji dan tidak manusiawi.
Sementara itu, di bidang lingkungan hidup Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua (KMSTRP) dan Koalisi Peduli Ruang Hidup Papua Barat (KPRHPB) mencatat bahwa setindaknya hingga tahun 2017, terdapat sebanyak 338 izin industri yang dikeluarkan oleh negara berbasis lahan yang terdiri dari izin usaha pertambangan dan berkebunan dengan total luas konsesi sebesar 14,85 juta ha atau 34,77% dari total luas tanah Papua. [4]
Kondisi ini akhinya membuat orang Papua hidup di bawah tekanan dan terus terancam untuk digusur di atas tanah adatnya sendiri. Orang Papua yang hidupnya bergantung sepenuhnya kepada tanah, kini tidak lagi memiliki akses terhadap tanah. Sebagai akibatnya Orang Asli Papua (OAP) terpaksa menjual tenaganya sebagai pekerja upahan, tidak memiliki prospek hidup yang layak, hidup miskin dan menjadi gelandangan di kampung-kampung hingga perkotaan.
Borjuasi yang berlindung di bawah hukum kapitalisme memang seperti itu. Mereka akan melakukan apapun, termasuk membunuh manusia dan menghancurkan alam demi memenuhi nafsu mereka, yakni keuntungan.
Kapitalisme sebagai sebuah mode produksi yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya selalu mendasarkan dirinya pada pemisahan kaum tani (masyarakat adat) dari tanahnya, mengubah mereka menjadi kaum tak berpunya (proletar) dan pada akhirnya terpaksa menjual tenaganya menjadi pekerja upahan. Dalam kasus Papua, proses ini dilakukan dalam bentuk pendudukan/penjajahan dengan menggunakan jalan kekerasan untuk menaklukan penduduk asli dan pada akhirnya hidup bergantung sepenuhnya kepada kekuatan modal. [5]
Proses penaklukan ini, di satu sisi merugikan penduduk Papua karena terus-terusan diusir dan dibunuh. Tetapi juga di sisi lain berdampak terhadap rakyat Indonesia dan dunia. Sebab, dengan proses penghisapan yang berlangsung lama di Papua akan membuat para borjuasi semakin kuat modalnya, dan dengan begitu akan mampu mengendalikan negara sebagai alat untuk melancarkan eksploitasi yang sama terhadap rakyat kecil di wilayah-wilayah lain.
Untuk itu tidak ada pilihan lain bagi rakyat kecil, kecuali bersatu dan saling bersolidaritas. Tidak bisa mengikuti ocehan boneka pajangan semacam Olvah Alhamid yang sibuk menyalahkan rakyat kecil dan selalu memuji serta membenarkan perlakuan elit semacam Jokowi.
Rakyat perlu mendengar suara-suara kritis, mendengar dari mereka yang selama ini berkerja untuk menyuarakan kaum tak bersuara agar tercipta pemahaman kritis, objektif dan ilmiah sebagai ‘pisau iris’ untuk membedah segala persoalan yang menimpa diri mereka. Barulah kemudian selanjutya menentukan arah perlawanan bersama untuk merebut keadilan sejati bagi rakyat pekerja, sosialisme!
Referensi:
[1] Rosi, “Jokowi dan Politik di Papua”, diakses pada tanggal 10 Oktober 2021 dari https://www.youtube.com/watch?v=3sPLi5SGg18.
[2] Narasi TV, “Bara Konflik di Intan Jaya Papua: Apa dan Siapa di Blok Wabu?”, diakses pada 10 Oktober 2020 dari https://m.youtube.com/watch?v=SKyXS7LaDWc.
[3] Harvey Gemima, “Tragedi Manusia Papua (2014)” diakses pada 10 Oktober 2021 dari https://thediplomat.com/2014/01/the-human-tragedy-of-west-papua/.
[4] Papua Bisnis, “162 Izin Tambang, Kebun dan Hutan di Tanah Papua Tumpang Tindih”, diakses pada 10 Oktober 2021 dari: https://papua.bisnis.com/read/20181008/415/846967/162-izin-tambang-kebun-dan-hutan-di-tanah-papua-tumpang-tindih.
[5] Aldebaran Yuri, “Mengapa Kapitalisme Membutuhkan Perampasan Tanah” diakses pada 10 Oktober 2021dari https://www.arahjuang.com/2020/09/23/mengapa-kapitalisme-membutuhkan-perampasan-lahan/
Sumber buku dan laporan:
1. Metode studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan penelitian (Zed, 2008:3)
2. Kajian cepat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), #Bersihkan Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI), PUSAKA, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, GREENPEACE, TREN ASIA, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), “Ekonomi-Politik Penempatan Milier di Papua”, diakses pada 10 Oktober 2021 dari https://t.co/AMZKpeBsGc.
Adah koreksi dalam kondisi Papua sekarang apakah baik tidak
Apakah Adah perna belajar etika paham
Papua itu sekarang duka paham itu parapuan gila
????
Susah papua untuk maju karna di hati mereka menyimpan iri hati antara satu orang papua dengan yang lain nya. Mereka lebih senang kalo orang pendatang yg mereka bantu sampai sukses dibanding membantu sodara mereka sendiri. Seharusnya kita sudah bisa saling membantu dari segi ekonomi jika ada orang papua yg punya kios bengkel warung makan ya kita makan disitu. Contoh lah orang batak yang selalu makan di lapo untuk mendukung sodaranya