Seperti gumpalan asap yang lenyap terbawa angin, namun meninggalkan bekas hitam sangatlah pekat. Demikian Pekan Olaraga Nasional (PON) XX di Papua. Semaraknya sudah lenyap ditelan hari-hari yang datang dan pergi dengan meninggalkan berbagai cerita. Entah cerita yang baik atau pun menyedihkan. Intinya selalu meninggalkan bekas yang menjadi jejak yang bisa ditelusuri.
Ada beribu jejak yang ditinggalkan mulai dari persiapan hingga terlaksana dan berakhirnya pesta olaraga nasional yang dilakukan empat tahun sekali itu dengan predikat yang katanya sukses.
Predikat sukses yang diberikan oleh beberapa orang berpengaruh dalam lintasan politik Indonesia, seperti Menkopolhukham, Mahfud MD yang menyampaikan pujiannya sebagai tolak ukur situasi kamtibmas di Papua, tentu membuat BP PON XX Papua mendulang pujian tak terhingga.
“Keberhasilan PON XX di Papua melahirkan pembuktian bahwa Papua aman dan damai.” tulis Mahmud MD di akun twitter pribadinya yang sebenarnya Mahfud lupa kalau PON sukses karena adanya 25 ribu relawan.
Tapi tahu kah kita bahwa sukses yang mendulang pujian itu tak jatuh dari langit. Namun ada dedikasi kerja dan loyalitas kerja yang dilakukan dengan berbagai pengorbanan. Baik waktu, pikiran, dan tenaga hingga mungkin materi. Bahkan sesuatu yang gratis tapi tak ternilai harganya, yakni senyum manis yang menggambarkan salah satu sifat sosial masyarakat Papua sebagai manusia yang ramah kepada siapa saja tanpa memandang warna kulit, ras, dan agama. Mereka yang mendedikasihkan waktu, tenaga, pikiran, dan menebarkan senyum manis di tengah-tengah kepahitan janji Panitia BP PON, tidak lain dan tidak bukan. Mereka adalah 25 ribu tenaga relawan. Relawan yang hari ini mendapat sindiran lantaran menuntut dibayar. Mereka disindir untuk tidak menuntut dibayar dengan dalil bahwa mereka itu relawan.
Bagi para penyindir relawan adalah orang yang bekerja dengan sukarela dan iklas. Sehingga mereka tak pantas menuntut untuk dibayar dengan melakukan demonstrasi masa sebagaimana yang mereka lakukan, seperti dilansir di detiknews.com (29/10) ketika menggeruduk kantor PB PON XX yang berada di Kantor Otonom Provinsi Papua di Kota Raja, Kota Jayapura, pada Jumat, 29 Oktober 2021.
Dalil utama bagi mereka yang menyindir para relawan agar tidak menuntut pembayaran upah kerja mereka kepada BP PON, benar tak terbantahkan sebagaimana arti kata relawan itu sendiri.
Relawan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemauan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan iklas dalam upaya penanggulangan bencana alam.
Namun bagi saya, relawan dalam upaya penanggulangan bencana alam seperti ketika banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura beberapa tahun lalu, dan relawan pengungsian Nduga di Wamena berbeda dengan relawan yang terlibat mensukseskan PON XX di Papua. Relawan banjir bandang Sentani tidak direkrut oleh satu lembaga pemerintah, namun kesadaran individu atau kelompok atas nama kemanusian.
Berbeda dengan relawan PON yang harus diseleksi langsung oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Papua yang membidani bidang Sumberdaya Manusia (SDM) PB PON XX. Sebagai syarat, para relawan diwajibkan memiliki dan mengumpulkan Ijaza, E-KTP, pas photo 3×6, NPWP, SKCK, dan surat bebas narkoba sebagai persyaratan sebagai relawan. Selain adanya persyaratan yang harus dikumpulkan oleh para relawan yang tentunya mengeluarkan biaya. Para relawan dijanjikan akan dibayar upah mereka. Sebagaimana yang dikatakan Ketua Bidang SDM PB PON Mimika, Agus Hugo Kreey seperti dilansir di infopublik.com, bahwa para relawan nantinya akan diberi bayaran 300 ribu per hari. “Para relawan itu akan diberi imbalan 300 ribu per hari disesuaikan dengan jumlah hari hadir mereka bertugas di setiap arena pertandingan PON XX.” ungkap Kreey.
Jadi secara teknis dari bagaimana para relawan PON XX direkrut dan diseleksi hingga diumumkan menjadi relawan berbeda dengan relawan dalam penanggulangan bencana alam. Dari perbedaan teknis menjadi relawan hingga perbedan motivasi yang mendasari 25 ribu masyarakat pengangguran banyak berbondong-bondong menjadi relawan PON XX Papua. Kita bisa menyimpulkan tanpa terjebak dengan arti kata relawan itu sendiri.
Dan seharusnya sebagai sesama manusia yang menolak perbudakan dan penindasan manusia atas manusia lain, kita harusnya bersolidaritas dengan para relawan untuk mendemo PB PON agar segera mungkin dapat membayar para relawan. Mengingat dari 25 ribu orang yang menjadi relawan PON ada kelas masyarakat lampisan bawa yang mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk bisa mendapatkan upah. Dan motivasi ekonomi itu tak bisa menjadi alasan gerakan tak bersolidaritas bahkan mendeskreditkan perjuangan mereka untuk mendapatkan hak mereka.
Selain ada kelas masyarakat yang perlu dibelah agar mendapatkan haknya sebagai relawan. Penggunaan jasa 25 ribu orang relawan yang hingga hari ini belum dibayar dapat berujung pada eksploitasi kerja relawan. Dibayar langsung ke rekening, tapi tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sesuai dengan yang diketahui publik yaitu 300 ribu per hari.
Mengapa harus demo? Jika tidak demo, BP PON XX Papua akan lupa diri setelah mendulang pujian atas nama rakyat karena suksesnya PON XX Papua. Sementara 25 ribu relawan yang di dalamnya ada ribuan massa rakyat kelas bawa yang menjadi kunci suksesnya PON XX, hanya akan mendapatkan dalil dan janji kosong yang tak akan terealisasikan. Jika terealisasikan pun bisa jadi tak sesuai janji.
Bisa dikatakan bahwa, fakta di depan mata kita yakni, Papua yang punya gunung emas, Jawa Timur yang punya smelternya, akibat rakyat dapat tipu oleh para elit dengan emas di PON XX Papua. Sementara dong (panitia PON dan Pemprov Papua) dengan elit Jakarta berbagi hasil emas yang di bawa kabur ke Jawa Timur.
***