Pernyataan Sikap
Solidaritas Rakyat Papua Tolak Kekerasan Negara (Sorakpatok)
Papua Darurat Militer dan Kemanusiaan
Sejak Trikora dikeluarkan oleh Soekarno pada 19 Desember 1961, target dan niat Indonesia dalam rangka mencaplok dan menganeksasi wilayah Papua Barat mulai dari Sorong sampai Merauke adalah untuk kepentingan investasi akan kekayaan alam Papua dibungkus dengan pendekatan kekerasan militer yang bertujuan untuk melindungi segala bentuk pembangunan dan perbaikan ekonomi dan politik Indonesia.
Papua dijadikan lahan bisnis militer, sambil melindungi kaum kapital dan imperialis global yang memiliki modal agar terus mengesploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Papua. Kongkalingkong antara kapitalis global dan kolonial Indonesia mendorong terlaksanakanya persetujuan New York Egreement pada 15 Agustus 1962, perjanian Roma Agreement 30 September 1962 yang melegitimasi proses ilegal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sejak saat itu, berbagai operasi kejahatan militer terlaksana di Papua mulai dari operasi Wisnu Murti I dan II, operasi Brathayudha, operasi Gagak, operasi Kasuari, hingga operasi Rajawali. Selain itu, berganti nama pada periode waktu tertentu Barata Yuda sampai dengan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Papua, dan Yahukimo sedang berlangsung saat ini akibat proses dominasi militer sejak masa lalu.
Operasi militer di Papua saat ini tidak terlepas dari kepentingan investasi kapitalis dan imperalis global. Pembangunan insfrastruktur rezim Jokowi, pembukaan jalan trans Papua, yang sepenuhnya dikerjakan oleh militer adalah untuk membuka akses bagai imperalis global yang selama terkendala akibat wilayah Papua yang saling terisolisasi satu sama lain.
Pembangunan pos-pos militer sepanjang jalan Trans Papua, Pangkalan Militer di pulau Mapia, pembangunan Pangkowilhan III di Timika, serta rencana pembangunan bandara Antariksa di Byak dengan 800 hektar yang tentu juga bertujuan untuk mengawal pemetaan, eksplorasi, dan investasi besar-besaran di Papua. Seperti Blok Wabu di Intan Jaya, Perusahaan Kelapa Sawit di Sorong Raya, Perusahaan Batu Bara di Maybrat, dan Ilegal Loging dan Illegal Mining, pengawalan LNG di Bintuni, Blok C PT Antam di Pegunungan Bintang, Ekonomi Makro (Food State) di Yahukimo, Blok D PT Antam di Yahukimo, yang merupakan target dan wilayah konflik di Papua akhir-akhir ini. Dan sudah tentu merupakan grand desain konflik sehingga mempermudah arus kontrol aparat militer dan akses imperialis global terhadap wilayah Papua yang kaya akan sumber daya alam tersebut.
Selain itu rencana pemakaran 4 Provinsi dan 30 daerah otonomi baru yang dimekarkan di Tanah Papua, tentu membuka peluang bagi kaum migran dan peluang pemakaran kapolres dan kodim baru, seperti halnya yang terjadi di Yahukimo, Biak Utama dengan adanya wacana pembangunan Mako Brimob, serta Maybrat dan Puncak Papua dengan rencana pembangunan Kodim. Dan sudah tentu juga akan merampas tanah masyarakat adat atas nama pembangunan dan kesejahteraan. Sedangkan faktanya selama ini, akibat dari pembangunan dan pemekaran yang dipaksakan justru membuat rakyat Papua semakin termarginal menuju kepunahan karena operasi militer dan rendahnya indeks pembangunan manusia.
Darurat Kemanusiaan
Selama tahun 2021, dari bulan Januari hingga November 2021, perang pembebasan TPN-PB melawan TNI dan Polri telah mengakibatkan operasi militer di Puncak Papua, Ilaga, paska penembakan Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya oleh TPN-PB pada 24 April 2021. Akibat insiden tersebut, 4000 pasukan didrop untuk melakukan operasi pengamanan yang membuat rakyat sipil asal Kabupaten Puncak, mengungsi ke Timika sebanyak 319 orang, serta 16 orang warga sipil meninggal sejak saat itu hingga sekarang.
Sementara itu, akibat perang TPN-PB melawan TNI dan Polri, pada 22 Januari 2021 hingga sekarang dan puncaknya paska penyerangan di Sugapa, Intan Jaya pada 27 Oktober 2021 lalu, telah membuat 5.859 jiwa mengungsi, 32 jiwa meninggal dan 5 orang dinyatakan hilang dan diduga diculik oleh apparat TNI dan Polri. Serta sebagai tambahan, ada juga penembakan terhadap dua anak umur 2 tahun meninggal dan 6 tahun dirawat di Timika. Serta seorang pengungsi yang di tembak dalam area pengungsi di Gereja St. Michael Bilogai yang sementara ditangani oleh Polsek Sugapa, Intan Jaya.
Kemudian operasi militer di Maybrat pada 2 September 2021 akibat perang TPN-PB melawan TNI dan Polri telah membuat 2321 jiwa mengungsi dan 6 orang dinyatakan meninggal dunia. Dan sebagai tambahkan bahwa akibat penyisiran oleh TNI dan Polri di Maybrat, seorang Wanita (22 tahun) dinyatakan meninggal meninggal setelah berusaha melarikan diri, sedangkan satu lainnya diciduk oleh aparat Indonesia dan belum mengetahui keberadaannya hingga sekarang.
Selain itu, akibat perang TPN-PB melawan TNI dan Polri di Pengunungan Bintang, 188 orang mengungsi ke Papua New Guinea (PNG), serta ke Oksibil kota dan di hutan dari 2 distrik yang berkisar 3.000an jiwa.
Sedangkan dalam politik adu domba yang terjadi pada 3 Oktober 2021 di Yahukimo, menewaskan 6 orang, serta sebagian warga mengungsi di Polres Yahukimo dan ke luar kota.
Darurat Kemanusiaan dan Militer
Selama tahun 2021, 5 kabupaten yang terjadi perang antara TPN-PB melawan TNI dan Polri sejak Januari hingga November 2021 jumlah pengungsi sampai saat ini (masih dalam pengungsian) adalah 13.687 jiwa, sementara yang 64 orang dinyatakan meninggal (baik Sipil, TPN-PB, dan TNI), serta 6 orang hilang hingga sekarang. Jika ditambah lagi dengan data dari Nduga sejak 2018-2021 jumlah pengungsi dari 5 kabupaten total 50.687 jiwa yang masih dalam pengungsian saat ini, sedangkan jumlah yang meninggal 307 jiwa.
Selain itu, jumlah militer yang sejak melakukan pengamanan untuk wilayah perang TPN-PB melawan TNI/POLRI baik di Nduga, Puncak Papua, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Maybrat, dan Yahukimo adalah 24.000, di tambah lagi dengan pengamanan PON XX Papua sebanyak 23.261 personil gabungan, dan jika ditotal secara keseluruhan, jumlah militer di Papua saat ini mencapai 47.261 aparat yang sedang beroperasi atas nama keamanan nasional Indonesia.
Melihat dinamika yang terjadi selama tahun 2021, sejak Januari hingga November 2021, maka kami Sorakpatok menyatakan sikap:
Pertama: Segera hentikan semua operasi militer di wilayah perang dan seluruh Tanah Papua yang hanya menguntungkan investor, oligarki, kaum pemodal dan imperialis global. Sedangkan di saat bersamaan telah membuat 50.687 jiwa rakyat Papua mengungsi keluar dari tanah air mereka, menderita, lapar, hidup dalam trauma dan ketakutan bahkan hingga meninggal dunia.
Kedua: Mendesak pemerintah Indonesia segera mencabut semua ijin eksplorasi, rencana pembangunan dan eksploitasi di wilayah Blok A Timika, Blok B Intan Jaya, Blok C Pegunungan Bintan, dan Blok D Yahukimo. Serta segala bentuk invetasi baik perijinan perkebunan sawit, Food Estate di Merauke dan Yahukimo, Ilegal Logging di Maybrat, serta illegal mining dan fishing, Bandara Antarika di Byak, yang merupakan dalang Krisis kemanusiaan di Tanah Papua selama ini.
Ketiga: Buka akses bagi jurnalis independen baik nasional maupun internasional untuk datang dan menginvestigasi situasi kemanusiaan di Papua.
Keempat: Mendesak Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga HAM Independen nasional dan internasional untuk datang ke Papua dan secara khusus ke wilayah yang terkena dampak operasi militer seperti, Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua, Maybrat dan Pegunungan Bintang.
Kelima: Mengajak seluruh pihak di Tanah Papua, baik gereja, adat, mahasiswa, pemuda, LSM,, serta seluruh masyarakat Papua dari Sorong sampai Merauke untuk bersama-sama mengawal krisis kemanusiaan yang terjadi di wilayah perang, Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua, Maybrat dan Pegunungan Bintang karena masalah mereka adalah masalah kita bersama di Papua.
Keenam: Tolak Otonomi Khusus (Otsus) dan bebaskan Victor Yeimo serta seluruh tahanan Politik di Papua tanpa syarat!
Ketujuh: Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua untuk mengakhiri krisis kemanusian dan darurat militer, sekaligus ancaman perubahan iklim akibat pola eksploitasi kapitalisme dan imperialisme global atas sumber daya alam Papua.
Port Numbay, 08 November 2021