Analisa Harian Pelacuran Elit Politik Papua Lewat Otsus dan Pemekaran

Pelacuran Elit Politik Papua Lewat Otsus dan Pemekaran

-

“Fisik dijajah itu karena sempat melawan, tetapi ditipu karena Otsus itu hanya karena bodoh”. Yason Ngelia, Sekjen GempaR Papua.

Skandal Pemerintah dan DPR Dibalik Pemekaran

Pelacuran politik adalah istilah yang kasar, namun pantas untuk menunjukan dan membuktikan kekacauan politik dan hukum di Indonesia saat ini. Pelacuran artinya menukarkan seks untuk uang, tetapi pelacuran politik disini merujuk pada penukaran kepentingan elit Papua yang menukarkan alam, tanah, air, manusia serta semua hewan dan tumbuhan demi mengisi pundi-pundi mereka yang haus akan uang.

Tidak hanya elit Papua, tetapi elit Indonesia dan kapitalis juga dengan begitu biadabnya menguras semua kekayaan alam Papua dan menipu rakyat Papua dengan Rp138,65 triliun selama 20 tahun kehadiran Otonomi Khusus (Otsus) di Papua sejak 21 November 2001 diberlakukan. Otsus atau uang kepala yang dibayarkan Indonesia atas kematian Theys Hiyo Eluay dan uang darah karena lewat uang itu ribuan nyawa rakyat Papua dihalalkan untuk mati demi mencapai pembangunan dan kesejahteraan di Papua atau lebih tepatnya kesejahteraan elit-elit Papua dan Indonesia, yang telah lama bersetubuh untuk melahirkan penjajahan sistematis bagi rakyat Papua.

Pada 19 Juli 2021, Otsus untuk Papua dilanjutkan dari 2021-2041 dan dengan dana yang diusulkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani sebesar Rp 234,6 triliun untuk 20 tahun ke depan. Dana Otsus Papua harusnya telah berhenti pada tahun 2021, tetapi untuk melanjutkan dana ini, maka harus dilakukan perubahan UU Otsus yang kemudian dikenal sebagai UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia begitu percaya dirinya mengatakan bahwa Papua masih butuh dana Otsus untuk mendukung pembangunan di Papua.

Tahun baru 2022 ini, rakyat Papua dibuat geram dengan usulan pemekaran Papua. Sebelumnya pemekaran Papua dan Papua Barat terjadi berdasarkan Inpres No.1 Tahun 2003. Dan kini, pemekaran Papua diusulkan menjadi enam provinsi. Ini adalah salah satu bukti pemerintah Indonesia menunjukan sikap otoriter dengan disahkannya pasal 76 ayat (2) UU Otsus terbaru dengan bunyi, “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua”. Dalam hal ini kewenangan untuk mengusulkan dan melakukan pemekaran bukan hanya milik MRP dan DPRP, tetapi juga milik pemerintah pusat dan DPR RI

Inilah jawaban mengapa Tito Karnavian mendukung perubahan UU Otonomi Khusus dengan dalil pemberian dana Otsus untuk mendukung pembangunan karena lagi-lagi, Tito adalah orang yang sama yang mengusulkan tentang pemekaran Papua dan untuk mendukung pemekaran tersebut, maka dibuatlah perubahan pada Pasal 76 UU Otsus yang sebelumnya hanya satu ayat, kini menjadi lima ayat dengan memberikan kewenangan pada pemerintah pusat untuk mengontrol Papua dengan cara yang manipulatif.

Tidak sampai disitu, ini diperparah dengan kehadiran PP No.106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua. Peraturan Pemerintah ini mempermudah pelaksanaan pemekaran di Papua. Di BAB V tentang Pemekaran Pasal 93 ayat (4) menyatakan bahwa pemekaran bisa dilakukan tanpa melalui daerah persiapan.

Sebelumnya daerah persiapan memiliki syarat sebagai berikut: luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah, cakupan wilayah, dan batas usia maksimal daerah. Persyaratan Dasar Kapasitas Daerah dinilai oleh Tim Kajian Independen yang selanjutnya menjadi bahan pertimbangan Pemerintah Pusat, dengan parameter: geografi, demografi, keamanan, sosial, politik, adat, dan tradisi, potensi ekonomi, keuangan daerah dan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan. Tetapi melalui PP No. 106 Tahun 2021, semua syarat-syarat ini dihilangkan dengan dalil percepatan dan pemerataan pembangunan di Papua.

Otsus dan Doktrin Pembangunan

Indonesia adalah negara yang mengakui perbedaan, tetapi memaksa untuk bersatu melalui ideologi pancasilanya. Lewat pola pemerintahan desentralisasi, Indonesia telah memberikan kewenangan pada semua provinsinya untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri di daerah. Desentralisasi adalah hasil dari reformasi tahun 1998 dan seperti yang ditulis oleh Cypri Jehan Paju Dale melalui bukunya tentang Study Kasus di Manggarai, NTT, bahwa desentralisasi adalah ajang bagi-bagi kekuasaan, dan desentralisasi di Indonesia telah meningkatkan angka korupsi di tengah semangat good goverment.

Selain memberikan kewenangan pada pemerintah daerah, Indonesia juga memberikan Otsus pada Aceh dan Papua dalam rangka memadamkan api tuntutan kemerdekaan yang menyala di dua daerah ini. Memberikan Otsus kepada Aceh dan Papua berarti memberikan hak dan kewenangan yang sangat luas pada Aceh dan Papua untuk mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pusat. Lex Specialis Derogat Legi Generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus atau lex specialis mengesampingkan hukum yang bersifat umum lex generalis. Otsus seharusnya menjadi produk hukum yang membebaskan rakyat Papua, tetapi justru Otsus menjadi alat pembungkaman suara dan mesin penggilingan nyawa rakyat Papua.

Tidak ada ruang demokrasi yang terbuka lebar di Papua selama masa Otsus ini. Aktivis Papua dikriminalisasi, rakyat Papua ditembaki dan alam Papua dieksploitasi. Kita perlu melihat titik tolak pemberian Otsus antara dua provinsi, yaitu Aceh dan Papua berdasarkan landasan tuntutan kemerdekaan mereka karena ini mempengaruhi tindakan dan kebijakan Indonesia.

Aceh sejak dulu menolak intervensi Jawa yang mengontrol semua urusan dan keputusan pemerintahan yang dijalankan. Mereka tau bahwa mereka telah berjuang secara terpisah untuk mengusir penjajah dari tanah mereka, tetapi akhirnya mereka harus tunduk dan patuh pada semua aturan dari pusat. Berbeda dengan Aceh, Papua telah dijanjikan merdeka oleh Belanda, kemudian janji itu dikhianati dan Papua direbut oleh Indonesia. Belanda mengakui bahwa Papua adalah wilayah jajahannya yang terpisah dari Indonesia. Perbedaan ini memunculkan pernyataan bahwa ‘Papua Bukan Indonesia’. Perbedaan dasar tuntutan antara Aceh dan Papua yang membuat Aceh bisa mendapatkan beberapa kebebasan yang tidak diperoleh oleh Papua seperti menjalankan pemerintahannya dengan menggunakan hukum Islam, memiliki partai lokal, dan sebagainya. Tetapi untuk Papua, sekalipun telah tertera dalam UU Otsus No. 21 Tahun 2001, tetapi semua itu hanya omong kosong. Bahkan belum perna terjadi dialog antara Jakarta dan TPNPB-OPM seperti saat Indonesia dan GAM.

Perbedaan yang nyata antara Indonesia dan Papua berujung pada tindakan represif Indonesia untuk menolak segala bentuk kebebasan rakyat Papua. Ruang demokrasi di Papua harus dibungkam karena ini bisa menimbulkan kesadaran rakyat dan melahirkan perlawanan rakyat untung menolak persatuan dengan Indonesia. Rakyat Papua tidak perna tau sejarahnya karena dari Sekolah Dasar (SD) mereka diajarkan tentang Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya dan pahlawan-pahlawan Indonesia, sampai SMA, mereka hanya belajar tentang bagaimana upaya Indonesia merdeka. Mereka dididik untuk tidak mengenal sejarahnya, seolah rakyat Papua tidak memiliki sejarah penaklukan bangsa asing, tidak memiliki pahlawan bahkan tidak perna berjuang untuk merdeka padahal Papua punya sejarahnya sendiri di tengah ribuan kematian rakyat Papua dan pembunuhan tokoh-tokoh pejuang Papua.

Indonesia menggunakan top down planning atau perencanaan dari atas untuk mengatur program pembangunan di Papua agar tetap dikendalikan oleh pusat. Padahal perlu digaris bawahi bahwa pembangunan dari atas menciptakan proses politik yang sederhana dan efisien. Ini membuat aturan main demokratis dikesampingkan dan aturan otoriter dikedepankan. Dan dibuktikan bahwa untuk daerah yang mendapatkan Otsus seperti Papua justru dikontrol oleh pusat. Indonesia dengan sendirinya merubah sistem demokrasi menjadi sistem otoriter. Lantas apa alasan semangat pembangunan dilakukan dengan cara-cara yang bersifat otoriter?

Dalam tulisan saya di Harian Lao-Lao Papua tentang Pembangunan dan Kuasa Hegemoni di Papua, telah saya perjelas bahwa Indonesia adalah negara dunia ketiga yang berada dalam kontrol negara imperialis. Salah satu persoalan birokrasi dan pemerintahan di negara dunia ketiga adalah terlalu dominannya konsepsi Weberian, dimana birokrasi muncul untuk melakukan pengendalian dan pendisiplinan yang berkaitan dengan perkembangan kapitalisme. Birokratisasi terjadi atas kebutuhan kapitalisme mereproduksi dirinya, maka tidak heran segala aturan yang dibuat pemerintah akan menguntungkan investor. Instrumen-instrumen kebijaksanaan negara juga digunakan untuk mencapai dua tujuan umum: yang pertama produksi dan reproduksi kapital dan kedua, reproduksi tatanan masyarakat dan politik.

Pembangunan atau development sendiri merupakan wajah baru kapitalisme dan Papua adalah target dari pembangunan di Indonesia. Papua telah dipromosikan sebagai daerah termiskin, tertinggal, dan terbelakang, yang mana semua ini merupakan doktrin pembangunan untuk mendukung kemajuan yang dicita-citakan oleh kapitalisme. Doktrin pembangunan di Papua disebarluaskan di Indonesia agar semata-mata melancarkan pemberian dana Otsus seperti yang dikatakan oleh Tito Karnavian, “Papua butuh Otsus untuk percepatan pembangunan dan Papua butuh pemekaran untuk pemerataan pembangunan”. Doktrin ini diterima oleh rakyat Indonesia yang sekalipun merasa tidak adil, tetapi harus setuju karena pada mereka ditunjukkan bahwa masalah di Papua hanya sebatas kemiskinan dan ketertinggalan. Dan sebagian rakyat Papua hanya pasrah dengan kebijakan pusat karena mereka tidak mengetahui hak mereka yang ada di dalam Otsus. Akhirnya ketidaktahuan ini membuat pemekaran dan Otsus hanya menyenangkan segelintir kelompok yang berpesta dibalik kebodohan rakyat.

Pemerataan Kekayaan Elit Papua

Di tulisan-tulisan saya sebelumnya di Harian Lao-Lao Papua, telah banyak kegagalan Otsus yang saya jelaskan. Ada tulisan tentang Apa kabar Pendidikan Kabupaten Jayapura di Era Otsus dan Nduga diantara Kegagalan Otsus dan Operasi Militer yang menjadi bukti nyata kegagalan Otsus dalam pembangunan manusia Papua serta ketidakhormatan Indonesia atas hak asasi manusia di Papua.

Harus disadari bahwa hanya judul Otsus Papua yang bisa dianggap istimewa, tetapi subtansi Otsus sendiri tidak jauh berbeda dengan APBD, yang diberikan pada Papua karena hanya menyangkut uang dan bukan pemberian hak dan kewenangan menyeluruh bagi Papua. Keistimewaan yang diberikan pada rakyat Papua hilang bersama kepentingan para elit penguasa. Hak memperoleh pendidikan gratis tidak diterima rakyat Papua, bahkan sekedar untuk mendapatkan biaya pendidikan dengan harga murah. Sama halnya dengan biaya kesehatan yang tinggi. Ini karena ekonomi neoliberal yang membuat Indonesia menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai komoditi yang diperjualbelikan dengan harga tinggi.

Basuki Cahaya Purnama atau yang dikenal dengan Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta dalam pidatonya di depan masyarakat, ia mengatakan, “Kalau bapak ibu mau hoki jangan jual tanah. Sesusah apapun jangan jual tanah. Tapi apa boleh buat kalau orang tua sakit di ICU sebulan tidak mati, jual tanah jual rumah kita. Ini saya bilang pemerintah ini tidak perlu kasih kita uang, yang penting kalau kami sakit, jangan kami dirampok. Anak saya pintar, jangan dirampok, masih kuliah”. Di Papua biaya yang mahal diperparah dengan kurangnya fasilitas dan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. 21 tahun Otsus di Papua, RSUD terbaik hanya ada di Kota Jayapura, begitu juga dengan universitas terbaik hanya ada di Kota Jayapura.

Kemegahan pembangunan tanpa dukungan kesejahteraan pada rakyat Papua telah menciptakan masalah baru. Hari ini, tindakan kriminalitas seperti pencurian dan kekerasan yang melibatkan orang Papua sebagai pelaku kejahatan adalah dampak dari kemiskinan dan ketidakmampuan orang Papua dalam sistem kolonial Indonesia. Orang Papua di cengkoki dengan miras bahkan mereka bisa mengatakan bahwa miras adalah budaya mereka. Padahal miras murni bisnis NKRI yang ingin menghancurkan orang Papua. Orang Papua menerima stigma sebagai pemabuk dan perusak. Layaknya orang kulit hitam di Amerika Serikat yang diberikan ganja dan aktor utama dalam bisnis ganja adalah borjuis kulit putih, di Papua juga bisnis miras dipegang oleh orang-orang pendatang. Dan untuk ini, tidak ada satupun elit Papua yang berani menuntaskan masalah miras, termaksud kebanggaan Walikota Jayapura tentang pelarangan miras di Jayapura, tidak membawa dampak bagi penutupan toko miras dan pengurangan konsumsi alkohol di Kota Jayapura.

Di Kabupaten Jayapura banyak elit lokal yang mendukung pemekaran provinsi Tabi. Ada tokoh adat seperti Yanto Eluay, anak dari Theys Eluay dan ondofolo-ondofolo lainnya di Sentani yang berusaha mendukung pemekaran Tabi dan Saireri. Ini di tambah dengan Matius Awoitouw dan beberapa tokoh politik yang juga mendukung pemekaran wilayah Tabi. Matius Awoitouw sendiri adalah Bupati yang menaruh masyarakat adat sebagai subjek dari program kerjanya selama hampir 10 tahun menjabat sebagai Bupati Jayapura. Tetapi siapa sangka, dibalik itu semua ternyata ada peminggiran hak masyarakat adat dalam pembangunan-pembangunan di Kabupaten Jayapura bahkan dalam bingkai Otsus yang mendewakan pembangunan infrastruktur. Ada hak masyarakat Kampung Nendali yang tidak dibayarkan dalam pembangunan Stadion Lukas Enembe. Ada hak masyarakat adat Kampung Yobe, Kampung Yahim, dan Kampung Ifar Besar, yang tidak kunjung dibayarkan dalam pembangunan Bandara Sentani. Bahkan juga pengabaian hak masyarakat adat di Depapre yang lewat Pelabuhan Petik Kemas, justru hak mereka tidak kunjung dibayarkan dan diminta bersabar oleh Bupati.

Masalah-masalah yang terjadi di tengah keramaian pembangunan di Jayapura adalah bukti kegagalan pemimpin di wilayah Tabi yang menuntut pemekaran, padahal mereka telah gagal membangun manusia di daerahnya sendiri, kemudiaan mereka memasukan pemekaran sebagai solusi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.

Pemekaran merupakan akumulasi kekayaan bagi bupati-bupati di Papua, apalagi jika masa jabatannya hampir habis, mereka ingin ada provinsi baru agar mereka bisa naik menjadi bubernur atau mereka menginginkan kabupaten baru agar mereka bisa berpindah dan menjadi Bupati di daerah baru. Ini yang perna terjadi oleh Barnabas Suebu saat ia menjadi Gubernur Provinsi Papua, bahwa di masa jabatannya yang pertama dulu ada rencana pembahasan RUU Pemekaran oleh DPR, dimana Papua akan dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya. Lagi-lagi pemekaran selalu diatur oleh DPR dan didukung oleh bupati-bupati di Papua yang gagal membangun daerahnya.

Menolak Sentuhan Berdarah dari Indonesia

Pemusatan pembangunan di Kota Jayapura memunculkan masalah baru, yaitu, tuntutan pemekaran untuk mempercepat pembangunan. Padahal pemekaran-pemekaran yang selama ini terjadi di Papua tidak menunjukan dampak perubahan apapun bagi Papua. Istilah gunung-pantai yang dibuat oleh Tito Karnavian telah merusak persatuan rakyat Papua. Ini terbukti dengan tokoh adat dan elit politik di wilayah Tabi dan Saireri yang meminta Tabi dan Saireri menjadi satu provinsi yang terpisah karena mereka memiliki sentimen gunung-pantai dan mereka menelan mentah-mentah propaganda intelijen bahwa, “Orang gunung itu jahat, orang gunung itu bikin masalah, kitong harus pisah saja biar jangan dengan dong”. Sentimen gunung-pantai harus di tolak dengan keras karena ini adalah garis pemisah yang dipakai musuh untuk menghancurkan rakyat Papua.

Kebodohan, kemiskinan, dan sikap diskriminatif serta kelakuan rakus akan kekuasaan dan jabatan oleh tokoh adat dan elit lokal di Papua sebenarnya bukan hal yang baru terjadi di daerah jajahan. Indonesia pernah merasakan itu semua saat dijajah oleh Belanda. Film Kartini yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo menunjukan bagaimana para bangsawan yang dinilai berdarah biru itu begitu mengemis kekuasaan pada kolonial dan begitu patuh pada Belanda. Dibeberapa film yang menunjukan Indonesia dimasa dulu juga menggambarkan kondisi pribumi Indonesia, yang harus merampok rumah sesama penduduk pribumi karena kemiskinan yang mencekik mereka. Jadi jika hari ini banyak orang Papua yang harus mabuk, merampok, dan melakukan tindakan kriminalitas, ini adalah dampak dari penjajahan Indonesia di Papua.

Keberadaan pemerintah daerah di Papua hanya menjadi perpanjangan tangan kolonialisme di Papua. Semua sikap toleransi berdasarkan kesukuan harus dibuang oleh aktivis pembebasan Papua. Siapa pun yang menjalankan birokrasi pemerintahan di Papua bukan kawan melainkan lawan. Siapa pun yang mendukung pemerintah daerah tetap ada di Papua di bawah payung penjajahan, maka mereka dengan sendirinya menerima Otsus sebagai uang darah karena hanya pemerintah daerah yang bertanggung jawab dengan penggunaan dana Otsus, dan sampai kapan pun mereka tidak akan menolak Otsus.

Otsus telah memberikan legitimasi untuk kolonialisme tetap bertahan di Papua sedangkan rasisme dan diskriminasi merupakan kejahatan kemanusiaan yang bersifat integral terjadi di wilayah yang sedang dijajah seperti Papua dan merupakan strategi untuk mendukung pemekaran di Papua. Lagi-lagi sikap diskriminatif digunakan sebagai solusi untuk memecah persatuan di Papua. Hal yang perlu diketahui dan disadari oleh rakyat Papua adalah kemerdekaan Papua adalah upaya untuk membebaskan diri dari kejahatan Indonesia yang biadab dan menghentikan kekuasaan Indonesia atas Papua dengan segala pembodohan yang dilakukan Indonesia selama ini.

Semua produk Jakarta mulai dari Otsus sampai dengan pemekaran harus ditolak dengan keras dan tegas. Perjuangan menuju kemerdekaan 100% seperti yang dikatakan oleh Tan Malaka harus dilakukan di Papua untuk membebaskan tubuh dan jiwa rakyat Papua dari penjajahan berlapis yang diberikan Indonesia. Hanya ada satu kata, LAWAN!

***

Yokbeth Felle
Penulis adalah aktivis dan Pengasuh Rubrik Perempuan Lao-Lao Papua.

5 KOMENTAR

  1. Hanya satu kata Lawan
    Luar biasa ,,tulisan dengan kata2 yg sederhana ,gampang dimengerti.

    Semoga kwn2 lao2 papua semakin maju .
    Tuhan Yesus memberkati kita semua.

    Wa..wa..

  2. Kata” yang sederhana namun sungguh terlalu bermanfaat sekali.

    kita satu dengan satu kata Lawan lawan dan lawan✊🏿✊🏿✊🏿🇨🇺

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan