Pilihan Redaksi Koalisi Penhukham Papua: Kapolda Segera Bebaskan 8 Mahasiswa Tanpa...

Koalisi Penhukham Papua: Kapolda Segera Bebaskan 8 Mahasiswa Tanpa Syarat

-

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua (Koalisi Penhukham Papua)

Kapolda Papua Segera Bebaskan Tanpa Syarat 8 Mahasiswa Pengibar Bendera Bintang Kejora untuk Menghentikan Praktek Kriminalisasi Pasal Makar di Papua

“Jangan sibuk kriminalisasikan pelaku perayaan sejarah Papua, segera bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk melakukan pelurusan sejarah Papua sesuai perintah Pasal 46, UU No 2 Tahun 2021”.

Pada prinsipnya eksistensi sejarah Papua secara hukum telah diketahui dan diakui Pemerintah Indonesia sebagaimana tercermin dalam dasar menimbang huruf e dan huruf j, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua sebagai berikut, “Bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri” dan “Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua”.

Secara khusus berkaitan penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki sejarah secara langsung mengarah pada fakta sejarah Papua. Berkaitan dengan eksistensi sejarah Papua sendiri secara hukum Negara melalui pemerintah diperintahkan untuk melakukan klarifikasi sejarah melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana terlihat pada Pasal 46 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sebagai berikut:

Pasal 46

(1) Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

(2) Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

a. Melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

b. Merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.

(3) Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas, dan pembiayaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.

Sekalipun demikian fakta hukumnya, namun sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2021, negara melalui pemerintah belum menjalankan perintah Pasal 46 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dimaksud. Pada perkembangannya, di tanggal 19 Juli 2021 pemerintah Pusat menetapkan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua namun berkaitan sesuai perintah Pasal 46 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak ada perubahan sama sekali sehingga dapat dikatakan bahwa secara hukum, perintah Negara melalui pemerintah melakukan klarifikasi sejarah melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai perintah UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua masih tetap berlaku.

Di atas fakta tersebut anehnya setelah 6  bulan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua Negara melalui pemerintah yang belum juga melakukan klarifikasi sejarah Papua melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi malah menangkap 8 mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021. Mereka ditangkap dan disangkakan dengan dugaan tindak pidana makar selanjutnya ditahan di Rutan Polda Papua sejak tanggal 2 Desember 2021 sampai dengan saat ini (Februari 2022). Padahal yang dilakukan oleh 8 mahasiswa Papua ini merupakan bagian langsung dari merayakan sejarah orang Papua yang jelas-jelas secara hukum telah diakui sebagaimana tertera pada Pasal 46 ayat (2) huruf a, UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.

Berdasarkan pada fakta hukum pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021 di depan Gedung Olahraga Kota Jayapura merupakan praktek merayakan sejarah Papua yang diakui oleh Pasal 46 ayat (2) huruf a, UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Selain itu, berkaitan dengan tindakan pengibaran bendera itu sendiri merupakan bagian langsung dari kebebasan berekspresi yang dijamin dalam ketentuan “Setiap orang berhak untuk berkumpul, rapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai” sebagaimana dijamin pada Pasal 28 E ayat (3), UUD 1945 junto pasal 24 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Atas dasar hukum tersebut sehingga sangat tidak logis secara hukum jika 8 mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran pasal makar.

Berkaitan dengan pasal makar yang dituduhkan juga dijelaskan oleh R Soesilo dalam buku KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal terkait Pasal 106 KUHP sebagai berikut, “Aanslag atau makar adalah penyerangan. Sekalipun pada Pasal 87 KUHP menyebutkan ‘Makar atau aanslag, sesuatu perbuatan dianggap ada, apabila niat si pembuat kejahatan sudah ternyata dengan dimulainya melakukan perbuatan itu'”. Namun dalam penjelasannya R. Soesilo menyebutkan bahwa perbuatan-perbuatan persiapan tidak masuk dalam pengertian makar. Yang masuk dalam pengertian ini hanyalah perbuatan-perbuatan pelaksanaan (R. Soesilo, KUHP, hal. 97).

Artinya orang harus sudah mulai dengan melakukan perbuatan pelaksana pada kejahatan itu, kalau belum dimulai atau orang baru melakukan perbuatan persiapan saja untuk memulai berbuat, kejahatan itu tidak dapat dihukum.

R Soesilo menjelaskan lagi, perbuatan itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana, jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan (R. Soesilo, KUHP, hal. 69).

Untuk diketahui bahwa berkaitan dengan Pasal 106 KUHP, objek dalam penyerangan itu adalah kedaulatan atas daerah Negara. Lebih lanjutnya beliau menjelaskan bahwa kedaulatan ini dapat dirusak dengan 2 (dua) macam cara ialah dengan jalan:

1. Menaklukan daerah Negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan Negara asing yang berarti menyerahkan daerah itu (seluruhnya) atau sebagian kepada kekuasaan Negara asing misalnya daerah Indonesia (seluruhnya) atau daerah Kalimantan (sebagian) diserahkan kepada pemerintah Inggris atau

2. Memisahkan sebagian daerah Negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi suatu Negara yang berdaulat sendiri, misalnya memisahkan daerah Aceh atau Maluku dari daerah Republik Indonesia untuk dijadikan Negara yang berdiri sendiri (R. Soesilo, KUHP, hal. 109).

Berdasarkan pada penegasan teori pidana dalam membedah Tindak Pidana Makar menurut R. Soesilo di atas, jika dihubungkan dengan fakta hukum pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021 di depan Gedung Olahraga Kota Jayapura yang merupakan bagian langsung dari praktek merayakan sejarah politik Papua yang diakui oleh Pasal 46 ayat (2) huruf a, UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua serta merupakan bagian langsung dari aktifitas kebebasan berekspresi yang dijamin pada Pasal 28 E ayat (3), UUD 1945 junto pasal 24 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak berdampak pada wilayah Papua menjadi bagian dari Negara Australia atau Inggris dan tidak berdampak pada wilayah Papua merdeka sendiri di luar indonesia. Atas dasar penegasan teori serta didukung dengan dasar hukum pengakuan sejarah politik Papua dan kebebasan berekspresi, maka sudah dapat disimpulkan bahwa penetapan tersangka atas dugaan tindakan makar terhadap 8 mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021 yang sedang di Rutan Polda Papua sejak tanggal 2 Desember 2021 sampai dengan saat ini (Februari 2022) merupakan Fakta Kriminalisasi Pasal Makar.

Fakta 3 bulan lamanya 8 mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021 di Depan GOR Kota Jayapura masih tetap ditahan di Polda Papua dengan status tersangka dan masih belum dinaikan berkas-berkasnya ke Kejaksaan, tetapi malah diperpanjang selama 30 hari lagi terhitung dari tanggal 30 Januari 2022 sampai dengan tanggal 1 Maret 2022 menggunakan kewenangan sesuai Pasal 29, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara membuktikan fakta Kriminalisasi Pasal Makar yang dimaksudkan di atas sebab ada kemungkinan pihak penyidik Polda Papua masih kesulitan alat bukti baik Surat dan Saksi yang akan digunakan untuk menguatkan dugaan Tindak Pidana Makar yang dituduhkan kepada 8 mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021 di Depan GOR Kota Jayapura.

Berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (2) huruf a, UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua yang mengakui eksistensi sejarah politik Papua serta tindakan pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021 di Depan GOR Kota Jayapura yang dilakukan oleh 8 mahasiswa Papua merupakan bagian langsung dari perayaan sejarah Papua dimana tindakan tersebut tidak berdampak pada wilayah Papua menjadi bagian dari Negara Australia atau Inggris dan tidak berdampak pada wilayah Papua merdeka sendiri diluar Indonesia sesuai unsur-unsur Tindak Pidana Makar maka semestinya Negara melalui Pemerintah khusus Polda Papua segera bebaskan tanpa syarat 8 mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021 di Depan GOR Kota Jayapura sesuai penegasan Hakim Mahkama Konstitusi terkait, “Aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar sehingga tidak jadi alat membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi semangat UUD 1945” sebagaimana dalam Putusannya Tentang Uji Materi Pasal Makar, Nomor 7/PUU-XV/2017 dan 28/PUU-XV/2017, 31 Januari 2018. Selanjutnya agar tidak terjadi lagi praktek penangkapan dalam perayaan sejarah politik Papua maka, Gubernur Provinsi Papua, Ketua DPRP, dan Ketua MRP segera mendesak Pemerintah Pusat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi selanjutnya melakukan Klarifikasi Sejarah Papua sesuai perintah Pasal 46 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.

Atas dasar uraian di atas maka kami Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua (Koalisi Penhukham Papua) sebagai kuasa hukum 8 mahasiswa Papua menegaskan:

Pertama: Presiden Republik Indonesia segera terbitkan Keputusan Presiden Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk melakukan pelurusan atau Klarifikasi Sejarah Papua sesuai perintah Pasal 46 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021;

Kedua: Kapolri segera Perintah Kapolda Papua untuk bebaskan tanpa syarat mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2021 di Depan GOR Jayapura atas dasar Pasal 46 ayat (2) huruf a Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 junto Pasal 28E ayat (3), UUD 1945 junto pasal 24 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 demi menghentikan praktek kriminalisasi Pasal Makar di Papua;

Ketiga: Gubernur Provinsi Papua, Ketua DPRP, dan Ketua MRP segera mendesak Pemerintah Pusat bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan lakukan Klarifikasi Sejarah Papua sesuai perintah Pasal 46 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jayapura, 6 Februari 2022

Hormat kami

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua

(LBH Papua, PAHAM Papua, AlDP, PBH Cenderawasi, KPKC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan Jayapura, Elsham Papua, Walhi Papua, Yadupa Papua dan lain-lain)

Emanuel Gobay, S.H., M.H.
(Kordinator Litigasi)

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan