Analisa Harian Media Alternatif dan Wajah Oportunis Rakyat Papua Menjelang 17...

Media Alternatif dan Wajah Oportunis Rakyat Papua Menjelang 17 Agustus

-

Tanah yang rakyatnya kita klaim ingin merdeka alias memisahkan diri dari Indonesia sangat kontras setiap kali memasuki bulan Agustus. Ada ambiugitas yang diperlihatkan massa rakyat Papua dalam menyambut Dirgahayu Republik Indonesia (RI) ini. Kesadaran sebagai manusia yang ingin merdeka menjadi samar dengan semaraknya perayaan menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) RI setiap tahun. Dari kota ke kampung begitu sebaliknya nampak kemeriyaan HUT RI dari kampung ke Kota di bulan Agustus 2022 ini.

Ini mungkin kesimpulan saya yang berlebihan menurut kawan-kawan sekalian namun dari pengamatan saya baik di pusat kota maupun  kunjungan ke beberapa kampung di kota dan kabupaten di wilayah tanah Tabi sebulan ini nampak seperti itu. Saya yakin dan berani bertaruh bahwa kondisi ini tidaklah berbeda dengan wilayah adat Papua lain, seperti Anim Ha, Bomberai, Domberai, La Pago maupun Mee Pago.

Bagaimana mungkin kesadaran politik yang ditunjukan oleh massa rakyat Papua justru sebaliknya. Antusiasme rakyat dalam menancapkan merah putih di jalan-jalan, depan rumah-rumah, mengecat pagar-pagar, berpartisipasi kedalam setiap ivent-ivent menjelang 17an seperti lomba-lomba pembuatan taman, gapura, dengan atribut merah putih, mengikuti lomba berbagai olaragara dan lain sebagainya. Rakyat bahkan enggan menolak setiap kali pengibaran merah putih di tancapkan paksa oleh  Babinsa, atau RT di lingkungan rumahnya.

Padahal pembangkangan untuk tidak mengibarkan merah putih bisa saja mereka lakukan secara bersama, juga tidak melibatkan diri ke dalam ivent-ivent politik dan propaganda itu. Saya yakin mesti dapat dilakukan dengan sedikit kesadaran, sedikit keberanian dan dibekap solidaritas, media untuk memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Tidak perlu kita berbicara hukum internasional untuk klaim sikap politik ini. Secara konstitusional Indonesia membenarkan ini pada mukadimah UUD 1945 bahwa “Kemerdekaan Ialah Hak Segala Bangsa” atau artinya hak bangsa Papua untuk tidak merayakan karena merasa terjajah.

Tawaran ini tentu saja mustahil dilakukan oleh aparatur  kolonial seperti ASN, pegawai Bank, Swasta, TNI/POLRI untuk dapat melakukan pembangkangan politik damai ini. Tetapi yang relevan dilakukan oleh masyarakat adat, petani, pedagang kecil, para pemuda, mahasiswa yang sejatihnya adalah mayoritas massa rakyat dan memiliki otonomi pula. Pembangkangan politik sadar dan damai itu bisa dilakukan setiap 17an jika massa rakyat itu mau melakukannya.

Pertanyaan tiap kali datang bulan Agustus adalah apakah rakyat Papua benar-benar inginkan kemerdekaan ataukah tidak sama sekali. Apakah Indonesia telah berhasil merebut hati nurani massa rakyat Papua untuk kemerdekaan itu. Jika seperti itu artinya Indonesia berhasil mengcounter usaha-usaha revolusioner kemerdekaan oleh para aktivis kemerdekaan selama ini. Ini adalah sebuah pernyataan subjektif dan emosional atas kondisi yang kasat mata di tiap kali bulan Agustus.

Kondisi Objektif Rakyat Papua di Bulan Agustus

Namun ketika melihat secara objektif barulah dapat kita pahami bahwa melalui sumber dayanya indonesia akan selalu maju selangkah di bulan ini. Karena semua institusi sipil, militer, dan aparatur yang bisa di kontrol dan diperintah oleh negara kolonial untuk ikut memeriahkan dengan cara apapun dan biaya berapapun. Melalui Lembaga institusinya Indonesia dapat menghabiskan anggaran triliunan rupiah untuk agenda wajib tahunan ini. Poinnya adalah propaganda dalam rangka menanamkan nasionalisme massa rakyat di seluruh Indonesia bukan hanya Tanah Papua. Terbukti dengan dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang di pimpin Megawati Soekarno Putri sejak 2017 silam. Lembaga ini di bentuk sebagai bukti melemahnya semangat dan nasionalisme dari rakyat bangsa Indonesia.

Hanya saja sebagai daerah konflik dan kuat potensi “terlepas” sehingga jatah anggaran dan kekuatan lebih difokuskan disini. Bayangkan saja berapa biaya untuk karnaval, lomba-lomba, pembelian bendera, pembayaran berbagai kelompok-kelompok sipil yang ikut memeriahkan dengan motif ekonomi, seperti panitia lomba, pengecatan jalan, panitia penanaman, menghidupi media-media massa, buzzer, maupun media institusi, dan aktifitas non organik lainnya.

Massa rakyat Papua berada di tengah arus hegemoni melalui propaganda-propaganda itu dan di bulan agustus adalah puncak aksi itu. sebaliknya pergerakan Papua merdeka tidak memiliki sumber daya lebih besar dalam melawan hegemoni dan propaganda negara secara struktural dan sistematis ini. Terutama karena negara secara struktural aktif hingga pada tingkat kelurahan dan kampung. Sehingga massa rakyat Papua yang akhirnya secara sykologis terbawah dalam kondisi hedonis dan yang semarak ini. Lebih lagi ketika rakyat butuh uang, butuh hiburan maka alternatif pada lomba-lomba kebersihan, lomba bangun gapura, lomba hias kampung, hias RT, lomba mengecat poros jalan, pasar malam (hiburan rakyat), dan menanamkan merah putih menjadi sumber pendapatan menguntungkan.

Faktor lain yang sangat penting disini adalah tidak adanya kesadaran massa rakyat di basis massa terutama melalui pendidikan dan propaganda massif media massa revolusioner. Pertanyaan kita adalah berapa banyak media massa gerakan yang di konsumsi di basis-basis utama rakyat. Kampung-kampung  sebagai basis utama rakyat Papua itu hampir-hampir tidak memiliki akses kepada gerakan secara organisasional maupun media massa alternatif. Sedang gerakan kemerdekaan hanya mengandalkan media massa lokal mainstream, bahkan kebanyak adalah media online yang tidak relevan di kampung dan pedalaman karena minim jaringan internet dan telekomunikasi. Tidak ada media gerakan alternatif lainnya sehingga rakyat memang tidak terdidik dan terkondisikan untuk membangkan secara mandiri.

Sejauh ini kita meyaksikan basis-basis struktural yang dibangun gerakan politik, gerakan adat, gerakan mahasiswa lebih cair dan tidak mendidik massa rakyat. Sehingga pilihan bagi rakyat Papua justru memanfatkan peluang-peluang ekonomi di depan mata dan tidak memperdulikan konsekuensi politik yang lebih menguntungkan negara kolonial. Peluang ini dimanfatkan karena terbatasnya informasi yang dia dapat, terbatasnya metodelogi perjuangan, selain tentu saja perpecahan internal pergerakan menjadi faktor tersendiri lagi.

Membangun Kesadaran berbasis pada media massa alternatif

Dari kondisi di atas salah satu yang menjadi sorotan saya adalah minimnya media massa alternatif gerakan. Pegerakan di Papua yang telah terjadi dalam waktu yang lama, hanya bermetamorfosis kedalam berbagai berbagai gerakan politik, gerakan adat, gerakan mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa online, namun sejauh ini tidak memiliki media massa pergerakan yang aktif melakukan pendidikan dan propaganda pada tingkat basis utama massa rakyat. Sehingga arus utama rakyat dalam mengenyam informasi adalah media maintream yang dapat di kontrol oleh Indonesia sebagai kolonial. Media-media gerakan alternatif harus dibangun secara revolusioner dengan mengandalkan kader-kader media yang bekerja secara militan untuk kepentingan propaganda. Tidak terbatas pada kemampuan jurnalisme maupun menulis dan melepaskan tulisan di media massa tetapi bertanggunjawab kepada distribusi informasi sampai kepada basis massa rakyat.

Membangung media massa secara militan tidak harus terbatas kepada standar-standar media mainstream dan standar hukum kolonial. Artinya membangun kekuatan media terbuka maupun tertutup dengan tujuan pendidikan dan propaganda di basis massa rakyat. Media secara militan harus dibangun dan disebarkan hingga ke gang-gang, RT, hingga kampung-kampung. Media massa alternatiflah yang membuat rakyat terdidik dalam pemikiran-pemikiran revolusioner, bersedia bergabung dalam perlawanan-perlawanan, bersedia membangkang secara damai terhadap hegemoni dan propaganda tiap bulan Agustus tiba.

Tetapi yang nampak bagi kita adalah minimnya media pendidikan dan propaganda revolusioner membuat massa rakyat Papua menjadi oportunis dan pragmatis terhadap kebijakan pembangunan negara kolonial, seperti diam menerima Otsus Jilid II, diam pada kebijakan pemekaran, bahkan sekader menolak pengibaran merah putihpun tidak mau mereka lakukan. Faktor diamnya mayoritas massa rakyat adalah menimnya informasi, pengetahuan politik yang membuat massa rakyat kemudian melihat segalah tentang perjuangan politik itu secara oportunis dan prakmatis. Rakyat menimbang-nimbang keuntungan dan kerugian terlibat perlawanan bahkan keuntungan Ketika diam dan tidak melakukan apapun.

***

Namek Varcos
Penulis adalah aktivis pemuda Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan