Analisa Harian Korupsi Lukas Enembe, Mutilasi 4 Warga Sipil, dan Kepentingan...

Korupsi Lukas Enembe, Mutilasi 4 Warga Sipil, dan Kepentingan Investasi

-

Hari-hari ini pasca Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe (LE) ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 5 September 2022 terkait dugaan suap dan gratifikasi Rp 1 miliar, terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat elite, intelektual, dan aktivis hukum dan HAM di Papua. Banyak orang yang selama ini melihat LE sebagai Big Man tidak terima dengan penetapan LE sebagai koruptor. Menurut mereka ini tidak melalui jalur mekanisme hukum yang jelas. Mungkin oknum dan pihak-pihak itu sudah terhipnotis dan tersugesti pandangan-pandangan dari Elpius Hugi, Mantan Sekpri LE (2015-2020), dan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Umum dan Protokol dalam buku Jatuh Bangun Lukas Enembe: Merakit Kisah Ancaman Kriminalisasi, Membongkar Fakta Gubernur Papua.

Sebagian lagi menilai bahwa nilai kemanusiaan lebih tinggi ketimbang nilai hukum itu sendiri, sehingga agak tidak etis dan humanis juga jika LE diadili atau dalam bahasa mereka “dikriminalisasi” secara sepihak oleh KPK.

Ada juga pihak lainnya yang mensankut-pautkan perkara LE ini dengan wacana Pilgub 2024 di Papua. Bahwa pihak ini menyangsikan LE sengaja dijebak dan dikriminalisasi oleh lawan politiknya demi kepentingan Gubernur Provinsi Papua.

Salah satu tokoh Papua yang semacam berdiri di garda terdepan di sini adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC), Aggota Alliansi Baptis Dunia (BWA), yakni Pendeta Dr. Socratez Sofyan Yoman, dengan sikapnya yang diunggah pada halaman facebooknya pada 15 September 2022 yang bertajuk Ada apa KPK, Kepala Bin Budi Gunawan, Partai PDID, dengan Gubernur Papua, Lukas Enembe?

Tulisan Socratez Yoman ini sempat viral. Hadir sebagai pahlawan cum juru selamat bagi LE. Belakangan bergelimpangan dan bersimpangsiuran spanduk dan pamflet online yang semacam mengheroisasi sosok LE sebagai pejuang yang dikriminalisasi. Ada beberapa pamflet yang menulis kata-kata LE yang terbuat dalam artikel Pendeta Socratez Yoman.

Secara ringkas Pendeta Socratez Yoman menaruh kecurigaan bahwa ada semacam konspirasi yang dibangun oleh KPK, Kepala BIN Budi Gunawan, dan Partai PDI dalam kerangka kepentingan Pilgub 2024 di Papua. Bahwa LE sengaja dijebak dan dikriminalisasi oleh lawan-lawan politiknya yang demi kursi 01 Provinsi Papua.

“Pak Yoman, masalah sekarang sudah jelas. Ini bukan masalah hukum, tapi ini masalah politik. Pak Budi Gunawan Kepala, BIN dan PDIP menggunakan KPK kriminalisasi saya. Pak Yoman harus tulis artikel supaya semua orang harus tahu kejahatan ini. Lembaga Negara kok bisa menjadi alat partai politik tertentu.”

Lebih jauh, LE mengutarakan kepada Pendeta Socratez bahwa dirinya sama sekali tidak ada kaitan dengan 1 miliar yang dituduhkan oleh KPK. Bahwa itu bukan uang hasil suap dan gratifikasi.

“Pada bulan Maret 2019, kami berangkat ke Jakarta pada malam hari karena kesehatan saya semakin buruk. Pada waktu itu lockdown karena covid-19. Waktu saya berangkat, saya simpan uang di kamar saya jumlah 1 milyar. Setelah tiga bulan di Jakarta, pada bulan Mei 2019, saya telepon Tono yang biasa menata rumah dan halaman. Saya minta Tono ke kamar saya dan ambil uang di kamar nilai 1 milyar. Saya minta Tono kirim lewat rekening BCA. Itu uang saya, bukan uang hasil korupsi. KPK ini sembarang saja.”

Mengapa Pendeta Socratez Yoman tampil sebagai juru selamat bagi LE? Yang jelas Pendeta Yoman punya beban moral kepada LE yang selalu tampil sebagai penyokong dana di balik karya-karya Pendeta Yoman, sebut saja buku-buku yang senantiasa ia lahirkan hampir semuanya didanai oleh LE dan Yulce W. Wenda. Sumbangsih terakhir LE dan ibu Enembe adalah terbitnya buku Perempuan Bukan Budak Laki-Laki dan jilid keduanya Perempuan Bukan Tulang Rusuk dan Penolong yang sempat trending dan kontroversial. Sebenarnya ini relasi gembala dan hamba yang biasa-biasa saja, namun agak menjadi luar biasa sebab akibat kedekatan ini suara kenabian, juga jiwa kritisme dari Pendeta Socratez Yoman yang khas itu terancam ditenggelamkan oleh “beban moral” dan “utang material”. Sehingga secara tidak langsung Pendeta Yoman bisa membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Inilah petakanya jika pemimpin agama berselingkuh dengan pemimpin negara, dari sinilah sakralitas berubah menjadi profanitas.

Sementara dikubuh pihak yang kontra, mereka menuding bahwa LE adalah penghianat bagi rakyat Papua, dan sikap ini adalah sebagian aktivis Papua yang tidak terikat dengan politik-politik kolonial Indonesia. Mereka berpendapat bahwa apa yang dialami oleh LE saat ini semuanya tidak terlepas dari tumpukan bobrok politiknya yang selama ini tersembunyi rapih.

Bahkan karma ini bukan saja dialami oleh Gubernur LE sendiri tapi juga dialami oleh beberapa elite korup lainnya, sebut saja Romanus Mbaraka (RM), Ricky HAM Pagawak (RHP), Eltinus Omaleng (EO). Dari sinilah terbongkar kedok bobrok di balik perjuangan Otonomi Khusus (Otsus), Daerah Otonomi Baru (DOB) dan kebijakan pling-plangan lainnya. Mengapa bisa demikian?

Dari semua jawaban yang ada, penulis hendak mengetengahkan di sini bahwa semua pembongkaran konspirasi kepentingan ekonomi-politik di Papua ini terjadi dilatarbelakangi oleh dua hal besar.

LE Dibantai Hukum Ilahi

Bangsa Papua, terutama semua elite politik baik yang bersikap pro, kontra, dan abu-abu terhadap penguasa mesti sadar dan insaf bahwa bangsa Papua melalui Jaringan Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2) yang berkerja sama dengan Aliansi Women Group Esther sudah menyukseskan “Agenda Doa-Puasa Serentak Sorong-Samarai” pada 21 Mei sampai 31 Juli 2022.

Atensi mereka adalah untuk memulihkan bangsa Papua bermula dari diri sendiri. Pendeta Dr. Socratez Yoman saat itu tidak hadir, entah apa kendalanya, sehingga mungkin beliau belum mengikuti proses ini sehingga beliau mati-matian mendukung LE yang sedang dibantai karmanya, hukum alam, hukum sebab-akibat, dan hukum tabur-tuai yang adalah manifestasi konkrit hukum ilahi itu sendiri.

Kita harus ingat bahwa LE adalah dalang yang mengeluarkan ijin eksploitasi di Blok Wabu, Intan Jaya dengan mengeluarkan rekomendasi tentang Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK) Blok B Wabu dengan nomor surat 540/11625/SET yang terbit pada 24 Juli 2020.

Bahwa LE dan sekutunya di daerah, pusat, dan global bertanggung jawab penuh atas semua darah orang-orang kecil yang tertumpah di Intan Jaya, sebut saja Nopelius Sondegau (2 tahun), Yoakim Majau (7 tahun), Pendeta Yeremia Zanambani, Pewarta Katolik/Katekis Rufinus Tigau, Mama Agustina Onodu (23 tahun), dan ribuan pengungsi.

Sehingga tidak heran jika hukum alam, hukum karma, dan hukum ilahi itu membantai LE dan sekutunya. TNI dan Polri mengalami hukuman karma melalui tercorengnya nama baiknya di muka internasional melalui kasus Ferdy Sambo, mutilasi, kasus Luhut Binsar Panjaitan, dan lainnya. Intinya semua pihak yang sudah bersukacita atas dukacita bangsa dan alam Papua akan dibantai pula oleh “otoritas langit” yang adil, benar, dan jujur.

Yang penulis hendak pertegas di sini adalah bahwa semua kedok yang terbongkar secara maraton di Papua belakangan ini jika kita tilik, bidik, dan kritik dengan menggunakan mata rohani berdasarkan buah-buah “Aksi Doa-Puasa Massal Bangsa Papua”, maka kita akan menemukan jawaban bahwa semua adalah jawaban Tuhan bagi bangsa Papua yang selama ini diperdayakan oleh “kuasa gelap” melalui elite-elitenya yang penuh tipu muslihat dan korup.

Kedua, kita jangan mentok dan mandek pada kasus LE, kenaikan BBM, kasus mutilasi, dan desa-desus kasus lainnya, sebab itu adalah dan hanyalah “asap”, bukan “tungku dan bara api” persoalan Papua-Jakarta atau Jakarta-Papua yang sesungguhnya. Kita bisa mengklaim riang dan bangga bahwa PBB sudah mengungkit dan mengangkat kasus mutilasi, tapi apa efeknya? Bukan cerita dongeng baru jika PBB sangat ompong atas kasus pelanggaran HAM di Papua? Sudah berapa banyak kasus pelanggaran HAM Papua yang diselesaikan oleh PBB?

Hemat penulis, apa yang dilakukan oleh PBB itu tidak lebih dari sebuah lipservis seperti biasanya, yang bak merebus batu jika mau terealisasi dan terimplementasi di Papua. PBB hanya mau mencuci nama baiknya, melakukan pencitraan, atau apa yang dilakukan PBB itu lantaran efek “mati viral “ dan efek “mati naik daun”.

Padahal PBB melalui Amerika Serikat sedang berusaha mengamankan sahamnya yang ada di Freeport. Bahkan bukan saja PBB, semua elite neo-kolonialis, neo-feodalis, neo-kapitalis dan atau neo-oligarki kartelis baik lokal, nasional, maupun global juga turut serta memainkan peran yang persik dimainkan oleh PBB hari ini.

Bahwa mereka berbondong-bondong mengamankan saham mereka di PT Freeport yang sedang dilakoni oleh Jokowi sebagai “dalang wayang golek” pada kunjungan ke Timika yang disambut kasus mutilasi itu. Apa substansi konfliknya?

LE dan Elit Koruptor Sebagai “Tumbal Utang” NKRI

Kita harus insaf masal bahwa Indonesia sedang dikejar depkolektor global lantaran utang luar negeri yang mencapai 7.163,12 triliun.

Pertama, publik Papua baru dikagetkan dengan adanya korban mutilasi 4 orang warga sipil di Timika. Pelaku mutilasi sudah diketahui, adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Beberapa pelaku lainnya sudah ditangkap, sedangkan lainnya masih dalam pengejaran (DPO).

Kedua, peristiwa mutilasi oleh TNI ini telah dan sedang menjadi pembicaraan hangat di media sosial (sekurang-kurangnya) dan telah menutupi drama Ferdy Sambo secara lokal di Papua. Kita tidak dapat memastikan secara pasti, apa drama selanjutnya yang akan dimainkan.

Ketiga, terlepas dari drama Ferdy Sambo, mutilasi 4 orang warga sipil Papua di Timika telah dan sedang mengawali rencana kedatangan Presiden Jokowi ke Papua. Presiden Jokowi rencana akan ke Papua, pada hari ini, Selasa, 30 Agustus 2022. Presiden Jokowi dari Jakarta, tiba di Papua pada Selasa, 30 Agustus 2022. Ia akan tiba di Bandara Udara Sentani, rencana pada pukul 20.00 Waktu Papua. Dari Sentani, beliau akan segera berangkat ke Timika. Rencana kunjungan presiden Jokowi adalah bertemu dengan para petinggi PT. Freeport di Timika. Kemungkinan, mereka akan membicarakan agenda: pertama, divestasi saham Freeport, 51.23%, kedua, perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), ketiga, nasib karyawan (buruh) PHK Freeport, keempat, kemungkinan penjajakan tambang bawa tanah baru.

Mungkinkah Romanus Mbaraka, Eltinus Omaleng, Ricky HAM Pagawak, Lukas Enembe, Penganiyaan Warga Sipil di Mappi, dan yang lagi hangat-hangatnya mutilasi 4 orang warga sipil Papua oleh TNI adalah suatu pra kondisi untuk mengelabui rencana kedatangan Jokowi ke Timika yang akan membicarakan tentang perampokan kekayaan alam Papua.

Mari kita pastikan bersama, sebab, semua kekuatan militer sudah dan sedang disiagakan. Kemungkinan besar jajaran TNI sedang mengupayakan agar dana keamanan di areal Freeport ditambah.

Dengan demikian, mari kita saksikan bagaimana hukum karma, hukum alam yang adalah hukum ilahi itu membantai semua bidak-bidak dan kronik-kronik kekuasaan gelap yang selama ini melilit dan menyelimuti bangsa dan tanah Papua dari 1960-an hingga detik ini. Bertobatlah, bersatulah, dan dalam rencana dan kehendak Tuhan. Ini waktu Tuhan untuk memulihkan Bangsa dan Tanah Papua.

***

Siorus Degei
Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi-Filsafat Fajar Timur Abepura-Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan