Analisa Harian Esensi Buku Surat Cinta Domba Kepada Gembala Di Papua

Esensi Buku Surat Cinta Domba Kepada Gembala Di Papua

-

Judul yang pembaca simak di atas ini adalah sebuah buku yang ditulis oleh Soleman Itlay dan 84 Muda-Mudi lainya. Penulis-penulis ini merupakan perwakilan pena dari berbagai denominasi Gereja, yaitu Kristen Katolik dan Kristen Protestan di Tanah Papua. Buku ini ditulis dari tahun 2017 hingga akhirnya Sabtu 5 November 2022 dikatakanlah “boleh hadir di hadapan wajah Domba dan Gembala sebagaimana buku tersebut berasal dan dialamatkan”.

Setelah buku tersebut dilauncing di Paroki Gembala Baik Abepura (5 November) oleh para Gembala dari Gereja-Gereja di Tanah Papua dan perwakilan kaum perempauan, ‘saya’ sebagai salah satu umat yang hadir dan mengikuti peluncuran tersebut, merasa sangat aktual dengan kehadairan buku tersebut. Buku itu merupakan  doa pergumulan umat di atas Tanah Papua setelah Gereja Protestan membuka misi Pada tanggal 5 Februari 1855, oleh dua orang misionaris asal Jerman yang bernama Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler dan  Gereja Kristen Katolik oleh Pater Le Cocq yang pertama kali tiba di Sekeru, Fak-Fak pada 22 Mei 1894. Sebagaimana domba pengembalaan yang mengalami penindasan, perbudakan, ketidakadilan, penjajahan ketika Papua dintegrasi ke Indonesia pada 1962-1969 melalui pelaksaan PEPERA hingga kini 2022. Karena itu sepihak munguak hati saya untuk menulisakan beberapa pertanyaan di sini.

Pertanyaanya adalah siapa Domba dan Gembala yang hendak dimaksudan penulis-penulis dalam bukunya? Apa yang mengeruti dalam hari-hari hidup penulis buku ini sehingga dituliskan dalam bentuk buku yang judulnya “Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua”? Dan apa tujuan yang hendak dimaksudkan dari buku ini? (Digarisbawahi bahwa pertanyaan dan tulisan ini adalah  selayang padang dari sebagai salah satu umat yang hadir dan menyaksikan peluncuran buku tersebut dan sedang memberikan pandagan kepada kyalak sebagai maneuver para penulis dan tujuan buku).

Bagian Pertama : Alisis Kritis Cover Buku

Sebelum menjawab pertanyaan di atas satu persatu, baiknya di awal ini saya mencoba memberi gambaran terlebih dahulu seputar warna cover bukunya. Warna buku di bagian depan dan belakang adalah cokelat abu-abu. Di pingir bukunya terdapat bintik merah-biru. Serta gambar di antara covernya  terdapat tanda salib, peta Papua, tepelan bedera bitang fajar tanpa warna, dan telapak tangan menyokong kaki judul.

Analisa kritis tehadap muatan sentilan cover di atas adalah, pertama warna cokelat abu-abu mengambarkan warna kulit orang Papua. Kedua, bintik-bintik warna merah-biru melambangkan semangat dan keamanan kestabilan. Ketiga, salib melambangkan kemenagan Kristus di kayu salib bagi orang Kristen. Keempat, peta Papua melambangkan umat di tujuh wilayah adat Papua. Kelima, tempelan bintang fajar melambangkan identitas bangsa Papua. Dan keenam, tangan menyokong pada kaki judul melambangkan kasih Allah yang meyertai.

Dari analisa cover buku ini mendukung isi buku yang ditampilkan pada judulnya, yaitu Surat Cinta Domba kepada Gembala di Tanah Papua yang tanpak sebagai suatu refleksi para penulis buku tersebut maksudkan. Artinya,  buku ini berasal dari refleksi ungkapan doa, pergumulan, kerinduan, harapan, ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran yang dialami oleh umat di tujuh wilayah adat-suku bangsa-Gereja Tanah Papua, yang isinya bukan karang-karang atau dibuat-buat melainkan data, fakta, realitas yang sudah, dari sentilan sejarah Gereja dan sejarah Politik singkat pada abstraksi dan sedang melalui OTSUS hingga DOB, Investasi Asing dan lain-lain saat ini.

Bagian Kedua : Seputar Judul

“Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua” adalah judul. Pertanyanya, apa itu Domba dan Gembala?

Domba atau biri-biri (Ovis)) adalah salah satu jenis hewan yang paling dikenal orang adalah domba peliharaan (Ovis aries), yang diduga keturunan dari moufflon liar dari Asia Tengah bagian Selatan dan Barat Daya. Domba berbeda dengan kambing. Sedangkan Gembala adalah seseorang yang mengurus ternak, terutama di peternakan. Menurut jenis binatang yang diurus gembala dapat disebut “gembala sapi“, “gembala domba” dan lain-lain. Jadi gembala adalah orang yang mengebalakan domba sebagai ternak peliharaan.

Sementara itu, perumpamaan tetang domba dan Gembala termuat pada Kitab Suci Perjanjian Baru, pada Yohanes bab 10. Tuhan Yesus menceritakan perumpamaan tentang gembala dan kawanan domba. Perumpamaan tersebut ditujukan untuk orang Farisi dan Yahudi. Dalam perumpamaan tersebut, disebutkan perbandingan gembala asli dan palsu. Gembala asli akan masuk melalui pintu, memanggil nama, menuntun, dan melindungi kawanan domba. Gembala asli bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk melindungi domba-dombanya.  Sementara itu, gembala palsu hanya mencari keuntungan saja. Apabila ada bahaya yang mengancam, dia akan lari dan meninggalkan domba tersebut. Perumpamaan ini merujuk pada Tuhan Yesus Kristus sendiri yang merupakan gembala sejati bagi umat Kristiani. Tuhan Yesus memberikan perhatian, perlindungan, dan mengenal dekat seluruh umat-Nya layaknya gembala asli dan domba-dombanya.

Maka arti Domba  yang dimaksudkan dalam buku tersebut adalah suluruh umat yang ada di atas Tanah Papua, termasuk para penulis  yang dengan keberanian menyuarakan akan ketakutan serigala mengecamnya. Domba umat Papua yang terlibat sebagai warga Negara NKRI, Warga Masyarakat Adat tapi juga sebagai Warga Pemgembalaan Gereja di Tanah Papua. Dan, Gembala yang dimaksudakan di sini  adalah para pendeta dan pastor yang ada di Tanah Papua khususnya. Gembala yang sedang mengembalakan domba domba di Tanah Papua atas nama Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus melalui Gereja Katolik Tanah Papua dan Gereja Protestan Tanah Papua.

Tidak lupa juga arti kata Surat dan Cinta sebagai pelengkap Domba dan Gembala pada judul. Surat berarti  berupa pengantar, pemberitahuan, tugas, permintaan, perjanjian, pesanan, perintah, laporan dan putusan. Selain itu, surat juga dapat berisi peringatan, teguran, dan penghargaan. Fungsinya mencakup lima hal: sarana pemberitahuan, permintaan, buah pikiran, dan gagasan; alat bukti tertulis; alat pengingat; bukti historis; dan pedoman kerja. Hal demikian melalui buku Surat Cinta Domba kepada Kepada Gembala di Tanah Papua ini dialamatkan.

Bagian Ketiga : Posisi Suara Domba Kepada Gembala

Lalu posisi apa yang melandasi domba-domba dengan pergumulan-pergulan dalam buku itu? Atau apa posisi suara domba sebagai umat/jemaat? singkatnya apa  posisi surat cinta domba terhadap Gembalanya?

Posisi  para penulis buku “Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua” (84 orang) adalah sudah jelas, yang pertama mereka merupakan reprsentasi anak asli dari 225 suku  di tujuh Wilayah adat Papua, yaitu Mamta, Saereri, Animha, Lapago, Meepago, Domberai, Bomberai yang Gereja-Gereja Papua saat ini sedang mengembalakan suku-suku itu di atas tanahnya. Kedua, mereka merupakan penduduk asli Papua dalam pemerintahan 2 Provinsi ( 5 Provinsi belum sah untuk disebutkan), yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang juga Gereja hadir merasakan hiruk-pikuk perkembangan sosial kemasyarakatannya. Ketiga, mereka merupakan umat/jemaat yang  dibabtis dalam nama Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus atas meterai (alter crisiti, istilah Katolik) yaitu tangan Gembala-Gembala oleh Gereja-Gereja Papua, yang hendak Gembala sendiri mengakui mereka sebagai domba.

Legitimasi mereka jelas yaitu hadir sebagai pemilik Tanah wilayah adat suku-suku Papua ini, warga pemerintahan Papua dan domba pengempalaan Gereja Tanah Papua. Misalnya, ketika tanahnya dieksploitasi, dirampas, dicuri, dialih-fungsikan, dijualbelikan, dihagusbumikan hingga segala isinya menjadi rawan ekoside yang pasti mereka  menyuarakan haknya, seperti melalui tulisan buku tersebut. Karena juga sudah jelas dalam Kitab Suci pada bab 1 ayat 26, bahwa Allah memberikan hak ciptaan bumi kepada setiap orang untuk menguasai, dalam hal ini di bumi Papua diberikan kepada orang asli Papua. Adapun Posisi mereka sebagai pemilik hak ulayat tanah dan isinya diakui juga oleh Negara melalui nomor 23 tahun 2008 tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa, di Provinsi Papua dan Papua Barat. Melatarbelakangi itu ketika mereka meminta Gembalanya di Tanah Papua untuk membela hak mereka itu mutlak, karena Gembala adalah Gereja, Gereja itu adalah Para Rasul dan Para Rasul adalah murid Kristus. Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia atas perintah Allah pencipta bumi, segala isinya dan manusia.

Bagian Keempat : Isi Hati Kerinduan Domba Kepada Gembala

Isi hati kerinduan domba yang termuat dalam buku “Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua” adalah meminta kepada Para Gembala di Gereja-Gereja Tanah Papua untuk  harus membela, menyuarakan, melindungi, menaunggi, mengembalakan, hingga melawan segala bentuk kejahatan demi keutuhan ciptaan Allah, nilai kemanusian, keadilan, perdamaian, hak asasi dan martabat manusia, yang sebagaimana juga dirumuskan oleh pastor Neles Tebay seorang misiolog Papua lulusan Roma, mantan Ketua Sekolah Filsafat Teologi Fajar Timur, dalam bukunya tentang dialog damai Papua, yang dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar universal, seperti compassion, freedom, justice, dan truth. Tujuannya untuk mencapai Papua Tanah Damai yang digagas dalam lokakarya “Membangun Budaya Damai Menuju Papua Tanah Damai” di Hotel Sentani Indah, pada 25-30 November 2002 oleh Ornop (Organisasi Non Pemerintah, Agama, Politisi, Masyarakat Adat, Pemerintah, Media Massa, dan Akademisi.

Atas dasar itu, apa yang harus diperbuat oleh para Gembala di Tanah Papua untuk domba-dombanya? Di sini bukan mendikte dengan pertanyaan dan antitesisinya bahwa pelayanan Gembala selama ini adalah kurang atau apa, tapi yang hendak dikatakan adalah karena manusia dan alam ciptaan Papua sudah rawan konflik, ancaman, kepunahan, hingga jiwa domba-dombanya tercerai berai, tidak tahu kemana harus berlindung. Karena itu para Gembala harus memikirkan langkah-langkahnya. Langka-langkahnya seperti apa mungkin dalam penulisan ini tidak disertakan, karena memang itu tugasnya para Gembala mempertimbangkannya, misalnya melalui wadah PGGP (Perskutuan Gereja-Gereja Tanah Papua) yang di dalamnya termuat dari berbagai denominasi Gereja Kristen Protestan dan Katolik di Tanah Papua.

Bagian Penutup : Simpul Domba Kepada Gembala

Jika menuliskan ukuran gembala yang tidak setia pada gambaran Yohanes bab 10, atau gembala yang tidak mendegarkan suara hati domba untuk Gembala-gembala di Papua maka itu kurang tepat. Para Gembala di Papua  sudah bekerja, tengah dan akan terus mengembalakan dombanya di atas tanah ini. Tapi ada sebagian sebatas di atas mimbar, ada juga gembala yang sekeras ukuran gembala agung, yaitu Kristus. Sebagaimana Yesus yang tidak pernah abu-abu alias selalu berpihak pada dombanya yang miskin, lemah, tertindas, sakit, sampai bahkan demi menyelamatkan nyawa dombanya, diri-Nya menjadi taruhan di atas salib.

Mungkin tidak relevan juga jika Gembala-gembala di Papua menjadi seperti Kristus yang dimaksud, yaitu memikul kayu salib dan menyalibkan diri di tengah-tengah dunia sehingga terjadi suatu mujisat. Dan memang dalam tulisan “Surat Cinta Domba Kepada Gembala” juga tidak mendikte sampai seradikal demikian. Yang diminta adalah hanya satu yaitu Gembala mesti berani bersuara demi dombanya secara kontekstual (bukan untuk domba yang elit) tapi demi keselamatan domba yang tertidas, terjajah, termarginal, terdiskriminasi, dirasis, diekslpoitasi hak tanah dan kekayaannya,distikmatisasi, dibungkam, dibunuh, bahkan hari-hari orang Papua yang seakan hidup bersama konflik budaya, kependudukan, sosial ekonomi, dan sosial politik berkepanjangan tanpa penyelesaian.

 

Akhir kata Santo Fransisikus dari asisi sebagai sikap Gembala, “jadikanlah daku pembawa damai di mana ada orang berperang; jadikanlah daku pembawa cinta di mana orang saling membenci, jadikanlah daku pembawa hiburan bagi orang tertindas”

***

Sumber Referensi:

Soleman Itlay,dkk, Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua, 2022

Neles Tebay, Dialog Jakarta-Papua, 2015.

Tim SKP Jayapura, Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi di Papua, 2006.

Kitab Suci, Deoterokanonika Kej 1: 36, penciptaan Manusia.

https://kumparan.com/berita-hari-ini/makna-perumpamaan-gembala-dan-domba-dalam-yohanes-10-1wtMX4cdn00

https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-7-wilayah-adat-yang-jadi-dasar-ide-pemekaran-papua-menjadi-7-provinsi.html

Mika Hipirikobor
Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggih Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan