Analisa Harian Sebuah Cara Hadapi Siasat Pecah Belah di Papua

Sebuah Cara Hadapi Siasat Pecah Belah di Papua

-

Latar Belakang

Hari-hari ini sentimen perpecahan berdasarkan wilayah dan suku kian memuncak. Hal itu tidak terjadi begitu saja. Tetapi, didukung oleh bangunan sistem pemerintah pusat. Berawal dari kebijakan pemekaran kabupaten yang mendorong mulai mengkotak-kotakkan berdasarkan wilayah suku. Hal itu bisa dianggap sebagai konsekuensi kebijakan yang berdampak melebar dan meluas saat ini.

Lebih dalam lagi paling terlihat adalah pemekaran desa ditambah dengan pemberian uang yang besar hingga membuat perpecahan itu tumbuh subur. Dengan uang tersebut mendorong tumbuhnya saling curiga di dalammnya karena sering bersifat nepotis. Bahkan di beberapa daerah yang minim penduduk dipecah hingga dalam wilayah marga. Di sini, bisa dilihat bahwa pemekaran sedang menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perjuangan pembebasan.

Akibat dari itu, mulai menggeliat ketidakterimaan terhadap kenyataan dalam hal pemekaran provinsi saat ini. Hal itu terlihat sengaja pemerintah pusat membangun benih-benih konflik baru dengan menempatkan karateker yang berasal dari wilayah yang berbeda. Oleh karena, melalui media sosial mulai beredar informasi ketidakterimaan atas pemekaran dengan salah satunya bukan dari daerah setempat. Pemerintah tahu akan hal ini tetapi mereka menetapkan hal itu terjadi.

Namun, hal ini bisa dilihat juga sebagai peluang perubahan baru dengan membangun sistem kepemimpinan yang baru. Penulis ingin memberikan semacam rekomendasi untuk menyambut dengan cara berpikir mereka untuk membangun tembok bertahan atas politik pecah belah yang sedang dibangun hingga di akar-akar marga.

Tidak dengan cara menjadikan perbedaan sebagai benih konflik. Tetapi, sebaliknya dengan menjadikan perbedaan sebagai cara untuk membangun persatuan hingga di dalam struktur pemerintahan. Agar kemudian siap untuk menghadapi ancaman-ancaman lain seperti migrasi, investasi, kemajuan infrastruktur yang tidak memihak yang dibawa oleh pemerintah pusat dengan cara yang baru.

Bagian awal akan membicarakan masa lalu yang mau mengatakan bahwa pernah terjadi di masa lalu dan itu telah melahirkan orang-orang hebat yang telah dan sedang memimpin. Kemudian membicarakan bagaimana cara mereka meruntuhkan itu semua. Pada bagian akhir akan menutup itu dengan memberikan sebuah jalan alternatif untuk menghadapi pecah belah ini.

Cara Belanda

Pada awal Belanda masuk (1912) di utara Papua satu-satunya jalan yang mereka pilih adalah segera mempersiapkan orang Papua bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang ini menjadi prioritas utama mereka menempa orang-orang setempat. Yapen saat itu menjadi pusat pendidikan dengan mereka menyebut kota pendidikan (onderwys-centrum) . Pemerintahan saat itu membuka banyak sekolah berpola asrama dari tingkat SD hingga sekolah kejuruan. Misalnya Jongens Vervolgs School untuk putra, Meisjes Vervolgs School untuk putri setara kelas 4 sampai 6 SD.

Sekolah berpola asrama ini sangat membentuk keterbukaan antar marga, suku, hingga wilayah. Mereka menghancurkan benih-benih perbedaan itu hingga mereka siap dikirim ke manapun di seluruh wilayah Papua. Mereka dipertemukan dengan orang yang berasal dari Biak, Serui, Numfor, Sorong, Jayapura dan Nabire. Pada saat itu, pengakuan akan perbedaan itu membentuk kesatuan orang Papua. Perbedaan-perbedaan itu dihancurkan agar selalu siap berhadapan dengan orang-orang baru di suku-suku yang berbeda juga. Hal ini menunjukan pada saat itu tidak ada masalah dengan perbedaaan. Orang Papua semakin menyatu.

Kemudian orang-orang yang telah dipersiapkan ini dikirim ke wilayah-wilayah yang baru untuk membuka ruang belajar baru. Mereka disebar ke berbagai wilayah di Papua untuk menjalankan pengajaran dan dalam kesehatan untuk mengabdi pada masyarakat. Hal yang menarik adalah mereka menempatkan orang tidak berdasarkan wilayah adat ataupun kampung asal. Tetapi, mereka lakukan sistem yang acak. Hal itu justru memberikan penghargaan yang besar oleh masyarakat setempat kepada mereka (pengajar). Mereka menjadikan sosok yang baru itu sebagai dorongan untuk belajar hal-hal baru. Hal itu tampak dalam bangunan motivasi untuk mengarahkan anak-anaknya agar bisa sama dengan mereka. Mengenai pengabdian tidak diragukan lagi itu terasa hingga saat ini. Bahkan mereka meninggal dunia di tempat pengabdian tersebut. Guru-guru zaman itu masih pegang kendali atas berjalannya pendidikan saat ini. Hal itu mulai berubah dan mulai berakhir setelah masuk cara baru cara Indonesia.

Cara Indonesia

Beralihnya kekuasaan ke Indonesia memutar balik keadaan itu. Sentimen kemargaan, kekeluargaan, kesukuan, bahkan antarwilayah itu diberi “bumbu” oleh kekuasaan untuk menumbuhkan perpecahan. Mereka memberi bumbu pada kebijakan yang namanya pemekaran. Hal itu dimulai dengan membubarkan sekolah-sekolah berasrama yang kemudian mendominasi wilayah papua hingga saat ini. Semua sistem yang rapi oleh Belanda dihancurkan secara tidak langsung oleh Indonesia.

Kenyataan itu berubah sejak mengikuti cara Indonesia. Misalnya dahulu yang disebut kota pendidikan itu malah menjadi kekurangan guru. Bahkan diakui bahwa berkekurangan hingga 500 guru. Hal ini merupakan salah satu kenyataan buruk yang sedang mengancam orang Papua secara keseluruhan hingga saat ini. Tidak heran pembahasan mengenai pendidikan menjadi primadona refleksi hingga saat ini.

Cara Indonesia yang su minim penggalian antropologis, hantam sebarang lagi. Secara mendasar cara seperti yang sedang ditempuh oleh Indonesia. Hasilnya sembarang-sembarang dalam membuat kebijakan untuk Papua. Tidak hanya sembarang tetapi itu dibangun secara sengaja sistematis. Masih ingat to kebijakan yang diawali dengan mengusir orang Belanda serta buku-buku penting di jaman Belanda dibumihanguskan kata Victor Wenda dan Soleman Itlay dalam tulisan mereka berjudul Penjajahan Lewat Pendidikan di Papua. Sekolah berpola asrama dimusnahkan. Bukan hanya itu sistem bangunan pendidikan Belanda diratakan dengan tanah. Padahal justru dengan cara seperti itu yang membuat kesadaran kesukuan itu diberi ruang pengakuan untuk menumbuhkan persatuan. Dan Indonesia tidak mau itu. Itu Jelas.

Mengenai pembedaan tersebut ditegaskan dalam tulisan-tulisan refleksi karena melihat kenyataannya pengkotak-kotakan itu terjadi di berbagai bidang kehidupan orang Papua. Sentimen primordial (suku, agama, dan marga) dan mereka tambahkan wilayah adat bertumbuh subur. Demikian juga yang ditegaskan juga oleh Johannes Supriyono bahwa Papua mudah digambarkan sebagai tanah yang terbagi-bagi dalam kelompok dengan kesadaran primordial yang kuat. Artinya bahwa kenyataan pecah belah itu sangat nyata dikonstruksikan melalui banyak aspek. Supriyono melihat pecah belah di dalam pendidikan yang alpa tentang mengenalkan Papua yang luas dapat membuka cara melihat orang Papua tanpa membeda-bedakan. Dalam kebijakan pemekaran juga itu tumbuh subur dan mengental. Apalagi di zaman Otonomi khusus periode ke-dua. Mereka memperkosa peraturan yang mereka bangun dengan menerobos aturan dengan mengiris-iris UU Otsus pasal 76 yang bahkan memberi rekomendasi PECAH BELAH berdasarkan wilayah adat.

Artinya bahwa pecah belah itu secara sengaja dibangun untuk membuat orang Papua tercerai berai berdasarkan kampung, marga, dusun, suku, dan saat ini wilayah adat. Hal itu virus yang harus dibasmi oleh Orang Papua. Virus itu sengaja disuntikkan ke dalam sistem kebijakan. Baik di dalam sistem pemerintahan hingga di dalam bangunan kurikulum wacana publik di Papua. Mereka menghamburkan virus perpecahan itu di media sosial. Baik melalui media-media resmi hingga media abal-abal. Melalui kebijakan peraturan hingga dalam tata kelola pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Papua.

Cara Keluar dengan Cara Orang Papua

Penulis ingin menamakan tawaran ini dengan nama cara orang Papua. Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang Papua untuk keluar dari masalah ini. Agar bisa menyingkirkan virus perbedaan, virus pecah-belah yang dibangun secara tersistematis ini? Bagaimana cara orang Papua?

Telah di ketahui bersama bahwa pecah-belah dibangun secara tersistematis melalui kebijakan langsung dan tidak langsung. Oleh karena perbedaan itu telah tumbuh mengakar, maka sentimen perbedaan itu mengawali cara melihat kebijakan pemerintah pusat. Hal itu terlihat dalam menanggapi kebijakan penempatan pejabat sementara dengan lidah yang ringan bahwa, “padahal dia tidak berasal dari wilayah adat, bukan dari suku ini-itu”, dsb. Itu tanda bahwa hal itu telah menjadi reaksi spontan karena virus pecah belah itu telah berhasil dibangun dalam kesadaran orang Papua. Bahkan sudah menjadi spontanitas menjadi reaksi tak sadar karena sudah terbiasa melihat dengan cara membeda-bedakan.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Menjawab pertanyaan ini tidak memberikan jawaban yang pasti karena masalah ini telah menjadi darah dan daging orang Papua. Apalagi dengan benih-benih pembedaan antar kampung, marga, wilayah, suku, wilayah adat itu telah subur dan tersistem. Tetapi, tidak ada salahnya jika cara ini dicoba cara baru untuk berusaha keluar dengan cara orang Papua. Cara yang bisa dibangun oleh orang Papua sendiri yang mengarah pada penghancuran perbedaan agar membuat pemerintahan yang menyatukan satu dengan yang lain. Tanpa membedakan satu sama lain dari marga hingga gunung-pantai yang mereka sedang bangun.

Orang Papua perlu membicarakan ini secara baik. Salah satu yang ingin ditawarkan oleh penulis ada penempatan kepemimpinan secara acak. Caranya adalah dengan membuat sistem kepemimpinan yang penempatannya diacak untuk daerah yang berbeda. Misalnya melalui perdasus ataupun perda-perda yang memunginkan. Jelas saat ini masih memberikan peluang itu. Maka dengan memanfaatkan itu ada jalan. Mengapa perlu dilakukan? Telah diketahui bahwa dalam perpolitikan yang terbangun saat ini semuanya berdasarkan sentimen primordial. Hal itu sering terlihat melalui bangunan sistem politik di Papua mulai dari sistem noken yang dilegalkan di Papua hingga pembiaran sistem nepotisme tumbuh subur di Papua. Bahkan itu sering berakhir hingga korban nyawa karena mendukung pihak tertentu yang terbangun karena sentimen primordial tersebut. Untuk memutus itu, salah satu cara yang baik adalah membuat sistem kepemimpinan secara acak sebagai mana pernah dilakukan oleh Belanda dalam kasus pendidikan dan kesehatan tadi dalam penjelasan awal.

Hal ini sekaligus “menyambut” pola kepemimpinan yang baru saja muncul melalui pemekaran baru ini. Mengalahkan sentimen primordial dengan cara menerima pemimpin dari suku yang berbeda. Sebab, dengan cara ini akan meruntuhkan segala struktur bangunan pecah belah yang sedang dibangun oleh pemerintah Indonesia saat ini. Kesempatan seperti ini adalah cara emas yang orang Papua bisa dilakukan. Hanya perlu membicarakan mau membentuk jadi seperti apa. Untuk membentuk cara orang Papua salah satunya adalah rekomendasi penulis. Pilihan itu ada pada orang Papua untuk membawa masa depan orang papua ke manapun. Pemerintah pusat boleh buat apapun sistem pecah belah dan tumbuhkan benih-benih konflik tetapi itu bisa dibuat dengan mempraktikkan dengan cara yang lebih bijak yakni dengan meruntuhkan rumah sistem pecah belah yang telah dibangun kokoh dengan membangun cara baru yaitu cara orang Papua. Mari menemukan cara mematikan virus pecah belah itu dengan Cara Orang Papua. Sekian!

***

Yonatan Rumkabu
Penulis adalah pemuda Papua yang berdomisili di Kota Jayapura

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan