Buku Burung Pun Tak Ada Lagi adalah hasil penelitian dari Papuan Women’s Working Group (PWG) dan Asia Justice and Rights (AJAR), dimana sejak November 2019 sampai dengan Februari 2020 mereka telah melakukan penelitian partisipasi di lima daerah yang berbeda dengan 100 Perempuan Adat di Papua sebagai partisipan. Buku ini difokuskan pada perampasan tanah dan hilangnya hutan di Papua dan bagaimana perempuan adat mengatasi dan melawan ancaman terhadap sumber daya alam dan kelangsungan hidup mereka.
Cetakan pertama buku ini pada bulan Maret 2021, dan pada 3 Desember 2021 penulis dikasih kesempatan untuk menjadi penanggap dalam acara bedah buku Burung Pun Tak Ada Lagi pada kegiatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilaksanakan oleh Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua. Namun baru di tahun ini penulis berkesempatan untuk menulis resensi tentang buku ini dengan semangat dan tujuan yang sama, menjelang 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Buku setebal 213 halaman ini dibagi kedalam tiga bagian utama, yaitu Titik Awal, Mendengarkan Suara Perempuan Adat, Temuan, dan Jalan Kedepan. Dengan mewawancarai 100 Perempuan Adat yang tersebar di Jayapura, Boven Digul, Fakfak, Tambrauw, dan Sorong, buku ini telah mengungkapkan bagaimana kondisi perempuan adat di masing-masing daerah, yang harus bertahan dalam kehilangan hutan yang dialaminya.
Sungguh melihat bagaimana kontribusi para peneliti dan penulis untuk menuliskan buku ini menimbulkan rasa sedih dan haru, mewawancarai Perempuan Adat di daerah bukanlah hal yang mudah. Bagaimana hal-hal yang dianggap privat seperti kesedihan dan kemarahan, dibuka dan diutarakan dalam satu lingkaran yang penuh dengan kepercayaan dan harapan akan terjadinya sebuah perubahan. Bekerja untuk mengadvokasi masalah perempuan di tanah Papua bukan hal yang mudah. Semangat pun harus selalu diiringi dengan harapan dan rasa tidak putus asa. Begitulah para peneliti dan penulis bekerja. Ini menjadi satu apresiasi bagi mereka karena mereka telah bekerja dan memberikan satu sumbangan pengetahuan yang besar untuk melihat situasi Perempuan Adat di Papua.
Pada bagian pertama buku ini dimulai dengan kutipan Ebi nyek, ebi swor, ebi niii mangga ma yek ki efun du. Yang artinya, hutan dan tanah adalah martabat dan hidup kami, pernyataan perempuan Mpur. Bagian ini dibuka dengan proses penelitian dan tantangan yang dihadapi selama proses penelitian dan proses penulisan. Kemudian dilanjutkan dengan sejarah Otonomi Khusus (Otsus) hingga dampaknya pada perempuan Papua, yang mana implementasi Otsus dikatakan ‘buta gender’.
Ada berbagai penelitian yang dilakukan, pertama oleh Pokja Perempuan MRP dan Komnas Perempuan, dimana setidaknya telah terjadi 260 kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun 1963-2009. Ada juga penelitian yang dilakukan oleh PWG dan mencatat sekitar 249 kasus kekerasan terhadap perempuan Papua selama periode 2013-2019. PWG sendiri memakai metode partisipasif dan sensitif pada trauma. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa kekerasan negara masih menjadi kekerasan yang paling utama dirasakan oleh perempuan Papua. Ini ditambah dengan lebel sebagai istri OPM dan anak OPM yang membuat anak-anak mereka sulit menjangkau akses pendidikan.
Sekalipun akhirnya pada tahun 2011 telah ada Perdasus tentang Pemulihan Perempuan Hak Orang Asli Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM, namun nyatanya selama lebih dari satu dekade peraturan ini tidak pernah di implementasikan. Ini menunjukkan bagaimana ketidakseriusan negara dalam menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap orang Papua, terlebih khusus untuk perempuan Papua yang harus menanggung kekerasan domestik hingga kekerasan negara.
Bagian ini juga menunjukkan bagaimana dampak dari rezim Soeharto terhadap perempuan adat di Papua, dimana perempuan adat di Papua pun harus merasa beratnya persaingan dengan pedagang non Papua. Pun dengan era reformasi yang tidak membawa dampak apapun bagi orang Papua justru yang diterima adalah Otsus sebagai strategi pembangunan Papua sekaligus pembungkaman bagi rakyat Papua, dimana keduanya pun terbukti telah gagal. Pembangunan Papua yang gagal dan pembungkaman rakyat Papua yang gagal karena rakyat Papua masih terus melawan kekerasan negara.
Pada bagian kedua, buku ini mendokumentasikan suara perempuan adat di Papua. Ada cerita tentang kekerasan yang diterima oleh perempuan-perempuan adat ketika suami mereka sedang mabuk, tetapi ada juga perempuan yang mendapatkan kekerasan karena mereka tidak memiliki keturunan.
Banyak juga perempuan usia sekolah yang harus putus sekolah, akhirnya mereka bekerja di perusahaan sawit di usia sekolah. Ada anak-anak perempuan yang harus putus sekolah karena kehilangan orang tua dan ada yang putus sekolah karena dipaksa kawin oleh orang tua.
Bagian ini juga menunjukan bagaimana streotipe bodoh dan tidak mampu, yang diberikan pada perempuan adat telah membuat mereka, perempuan adat, akhirnya tidak dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan di dalam komunitas adatnya. Inilah mengapa Otsus dianggap gagal bagi perempuan karena Otsus tidak memberikan dampak apapun terhadap perempuan adat di Papua terlebih dalam memberikan hak bicara bagi perempuan dalam ruang adat.
Ini masih saling berkaitan satu sama lain, bagaimana perempuan dianggap bodoh, tidak terlepas dari akses pendidikan yang tidak diterimanya. Kemiskinan membuat perempuan tidak bisa bersekolah, dan tujuan Otsus dalam bidang pendidikan juga terbukti gagal karena Otsus tidak mampu menyelesaikan persoalan pendidikan, terlebih pendidikan bagi perempuan.
Saat pertama kali saya menerima buku ini, saya masih tidak mengerti mengapa judulnya adalah Burung Pun Tak Ada Lagi, namun saya menerima jawabannya setelah membacanya pada bagian cerita di Boven Digoel. Seorang Bapak yang menjatuhkan air matanya ketika ia melihat burung-burung jalan berkelompok, ketika mobil datang burung-burung ini hanya bergeser dan tidak terbang. Hutan mereka telah habis. Burung-burung itu hanya tidur di ranting yang telah terjatuh, namun tak jarang burung-burung ini tidur di tanah, mereka tidak menemukan pohon. Hingga akhirnya karyawan perusahaan akan masuk, mereka memburu dan memusnakan burung-burung ini. “Dong bunuh semua binatang itu kasih habis, tidak ada burung yang kasih suara lagi, sekarang hanya kelapa sawit saja” ungkap seorang perempuan adat.
Di tempat yang berbeda, di Lembah Kebar pada Februari 2020, seorang perempuan adat berkata, “Sa pu alam (tanah adat) masih ada. Tapi biasa dari keamanan ini, polisi ini masuk untuk berburu. Kita buat papan larangan, tapi Bapa dong (Polisi) buang. Dulu, biasa sore rusa masih ada. Tapi sekarang itu su tidak ada, burung pun tak ada lagi.”
Betapa menyedihkan setiap membaca bagian ini. Saya merefleksikan semua dan bertanya apakah nasib manusia Papua akan seperti binatang yang telah habis ini. Melihat kekerasan yang masif hingga penyisiran, pengusiran, dan pengungsian yang terus terjadi ini, apakah nasib kami akan seperti burung yang telah kehilangan pohon, yang memilih berjalan kaki, tetapi tetap ditembak dan dibunuh karena dianggap mengganggu perusahaan?
Tak hanya rusaknya hutan dan hilangnya binatang, tetapi buku ini juga menuliskan bagaimana diskriminasi berdasarkan agama terjadi dan ditunjukkan oleh perusahaan. Begitu juga dengan penggunaan aparat untuk menjaga perusahaan dan menjadi tameng yang melindungi kepentingan investasi dan berdiri didepan untuk melawan masyarakat.
Setidaknya ada lima kekerasan terhadap perempuan yang ditemui pada buku ini, yaitu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan yang diterima dari komunitas adat, kekerasan yang diterima dari perusahaan, pemerintah dan juga dari militer.
Disisi lain, buku ini menunjukkan ada kepercayaan masyarakat pada janji-janji perusahaan seperti janji pembangunan jalan, janji air bersih hingga bantuan pendidikan. Ini sebenarnya merupakan tugas pemerintah untuk memenuhinya, tetapi masyarakat adat pada akhirnya harus teripu dengan janji manis perusahaan dan menyerahkan tanah ulayat mereka.
Perempuan adat juga tidak menerima dengan begitu saja perampasan tanah adat mereka. Mereka juga memberikan perlawanan dengan strategi mereka, seperti Palang Sasi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Boven Digoel. Tidak hanya itu, strategi Palang Sasi menunjukkan kerja kolektif antara laki-laki dan perempuan pemilik hak ulayat.
Pada bagian ketiga, buku ini memberikan hasil temuan dan rekomendasi kedepan tentang langkah yang harus dilakukan. Bagi mereka yang menuliskan buku ini, keyakinan bahwa Papua Bukan Tanah Kosong semakin menguat saat mereka bertemu dan bersama dengan para perempuan adat di lima daerah yang berbeda.
Buku Burung Pun Tak Ada Lagi menunjukkan bahwa semua ketidakadilan gender sedang dirasakan oleh perempuan adat di Papua. Ketidakadilan gender yang dimaksud terbagi menjadi lima, yaitu marjinalisasi, streotipe, subordinasi, kekerasan, dan peran gender. Ketidakadilan gender ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Peran gender, seperti tanggung jawab yang diberikan bahwa perempuan harus memasak, perempuan harus bekerja di dapur sampai pandangan kolot bahwa perempuan harus melahirkan, telah mengantarkan perempuan pada kekerasan fisik berupa pemukulan. Streotipe bodoh, tidak mampu, dan tidak bisa karena dia adalah perempuan, telah membawa perempuan pada kondisi subordinasi, mereka harus berada dibawah laki-laki karena dipandang tidak mampu dan pandangan itu terkonstruksikan dalam pikiran perempuan dan kemudian ia meyakini bahwa sebagai perempuan dia tidak mampu, ia hanya akan mengikuti keputusan suami karena suami yang memegang kuasa dalam rumah tangga.
Semua ini membawah perempuan pada marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi. Akhirnya perempuan yang tidak dapat bersekolah, ditambah dengan kehilangan hutan sebagai tempat untuk berkebun, kemudian harus memilih bekerja menjadi buruh kasar di lokasi yang merupakan tanah adatnya, atau mejadi pedagang, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya demi menopang ekonomi keluarga. Perempuanlah yang selalu berada pada garis kemiskinan.
Perempuan yang bekerja juga masih harus menghadapi kekerasan dari suami yang mabuk. Buku ini bahkan menuliskan kisah seorang perempuan yang dikejar menggunakan senapan oleh suaminya. Kekerasan yang terjadi karena faktor keturunan memang menunjukkan bahwa pandangan perempuan sebagai penghasil anak atau pemberi keturunan tidak pernah berubah.
Buku ini bisa menjadi rujukan sebagai bahan diskusi dan dapat menjadi landasan berpikir untuk menemukan solusi bagi masalah perempuan di Papua yang kompleks. Bagaimana memetakan masalah dan melihat strategi untuk mengatasinya. Sayangnya, buku yang penting ini memang dicetak dalam jumlah yang terbatas, sehingga belum bisa dimiliki oleh banyak orang.
***