Perempuan Heni Lani: Perempuan Revolusioner dari West Papua

Heni Lani: Perempuan Revolusioner dari West Papua

-

Ide menulis tentang Heni Lani terpikirkan setelah tulisan saya tentang Pengacara HAM Papua Gustaf Kawer sedang dalam proses pengeditan. Awalnya saya yang dibuat penasaran dengan sosok Heni mencoba mencari namanya di google, namun sial, tidak ada satupun tulisan yang saya rasa mampu menjelaskan perjuangan dan pemikiran Heni. Akhirnya saya berpikir untuk menulis tentang Heni lebih serius.

Satu persatu cerita tentang Heni saya dapatkan. Ada yang mengatakan dia meninggal karena HIV, ada yang mengatakan dia memiliki banyak laki-laki karena dia adalah seorang feminis. Saya kemudian menghampiri dua kawan seperjalanannya untuk mencari tahu sosok Heni. Saya bukan penulis yang baik, namun saya harus berusaha meyakinkan mereka bahwa tulisan tentang Heni menjadi penting karena tidak banyak orang yang menulis tentang aktivis gerakan dan perempuan.

Lewat bantuan mereka tulisan ini selesai. Tulisan ini saya persembahkan untuk 38 tahun kelahiran Heni Lani, tepat hari ini 30 Januari, di bumi manusia, yang telah menyiksanya, dan untuk sahabat-sahabat Heni yang memperkenalkan Heni pada saya hingga membantu saya mewujudkan keinginan menyelesaikan tulisan tentang Heni. Kam semua terima kasih.

Perempuan Kepala Batu

Banyak bicara itu memang lebih gampang dan lebih populer, tapi bergerak dalam diam itu lebih dahsyat.” ini adalah kata-kata Heni Lani yang banyak dibagikan di seantero sosial media. Salah satunya oleh Albert Mungguar, yang juga telah menyusul kepergian Heni. Kata-kata ini sering dibagikan sebagai caption dari foto-foto Heni.

Heni Lani, perempuan berambut gimbal panjang yang selalu tampil dengan memberikan senyum terbaiknya setiap kali hendak difoto. Oleh Victor Yeimo, Heni dikenang sebagai perempuan high quality dan low profile. Oleh Jefry Wenda, Heni dikenang sebagai perempuan paling maju yang pernah ditemuinya. Dua Juru Bicara Petisi Rakyat Papua (PRP) ini sama-sama memiliki pengalaman dalam kerja-kerja bersama Heni dan tak jarang juga memiliki perdebatan secara ideologis dengan sosok Heni, seperti di tahun 2015 dalam sebuah pertemuan, terjadi perdebatan antara Victor dan Heni dan kawan-kawan lain untuk membangun struktur lebih dulu, seperti yang dipikirkan oleh Victor atau membangun kesadaran untuk mendapatkan tenaga-tenaga kerja produktif terlebih dulu seperti yang dipikirkan oleh Heni dan kawan-kawan.

Ko kalau coba baru kasih tahu, itu baru ko jago, tapi kalo ko belum coba baru ko kastau itu de paling tra senang sekali”. Ini dikatakan oleh Aden Dimi, salah satu kawan Heni di AMP. Aden menceritakan pengalamannya dimarahi oleh Heni karena ia ditugaskan menghadiri salah satu pertemuan di Jakarta dan merasa membutuhkan Heni dan kawan-kawan lain untuk bersama menghadiri pertemuan tersebut, namun Heni justru berkata “Siapa suruh ko masuk gerakan kalau ko coba-coba. Ko kasih tinggal gerakan pulang ke Papua sudah”. Sekalipun telah dimarahi, pada akhirnya mereka tetap bekerja bersama mengedit tulisan yang dibutuhkan oleh Aden untuk dibacakan dalam pertemuan tersebut.

Pengalaman itu membuatnya melihat Heni sebagai orang yang menginginkan mereka untuk mencoba, saat mereka merasa bingung mereka boleh bertanya, tetapi jangan ingin untuk bersama-sama Heni dan kawan-kawan yang lain.

Heni pernah melempar sendal di kepada salah satu kawan yang ditugaskan membawa Bendera Bintang Kejora, tetapi ia justru kabur saat pertemuan, kawan tersebut datang dan bercerita tentang dirinya yang memegang bendera. “Dia itu maunya kalau ko dipercaya, ko harus bikin, jangan ko bicara tinggi. Yang de mau itu ko bicara singkat, jelas, padat tapi ko bisa lakukan. Sekecil apapun ko harus bisa lakukan, sekalipun misalnya ko hanya antar pesan atau ko disuruh buat apapun, jangan ko anggap itu hal kecil karena hal kecil itu yang membentuk hal besar itu menjadi sempurna.” ungkap seorang kawan.

I Sandyawan Sumardi dalam tulisannya Mengingat Heni Luna mengatakan bahwa Heni berkepribadian keras dan punya prinsip yang teguh. Ini juga dikatakan oleh Jek, sahabat Heni yang menjaga Heni saat sakit. Bagi Jek, Heni adalah perempuan kepala batu. “Sekarang kalau ko mau kesana trus tidak ada yang jaga ko, ko jangan pernah telvon saya lagi. Ujar Jek pada Heni. Sekalipun dengan keras dan tegas melarang Heni untuk berangkat ke Sorong, Heni tetap berangkat karena tiket telah dipegangnya dan hanya Sorong yang menjadi tujuannya bukan Wamena atau Jayapura.

Heni Harus Jadi Luna

Heni Lani adalah anak pertama dari lima bersaudara. Ia lahir pada tanggal 30 Januari 1985 di Uwelesi, Jayawijaya. Orangtuanya adalah guru di Wamena. Heni menamatkan SMP di Wamena dan melanjutkan studinya di SMA Gabungan Jayapura. Di tahun 2008 Heni melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Bandung dengan mengambil jurusan Hukum Pidana. Dalam sebuah wawancara, Heni mengatakan orangtuanya-lah yang memotivasi Heni untuk kuliah di Pulau Jawa, sekalipun ada Uncen dan Unipa di Papua, Jawa adalah tujuannya untuk melanjutkan studi.

Heni berkata demikian pada media, namun dalam tulisannya, ia sendiri tak bisa menyangkal bahwa menghabiskan waktu di negeri orang telah memberikannya kerumitan, hingga tak jarang terasa sulit baginya. Bukan pendidikan yang membawah Heni ke tanah Jawa, namun karena menjadi buronan dari kejaran polisi dan militer.

Dimulai dari tahun 2004 Heni bergabung bersama Parlemen Jalanan (Parjal). Dalam setiap aksi, Parjal selalu membawa ratusan massa yang penuh dengan tuntutan, semangat, yang disertai dengan jiwa militansi serta tekad penuh untuk bertahan dalam aksi-aksi mereka.  Tanggal 1 Desember 2004 Bintang Kejora berkibar di Lapangan Trikora, Jayapura. Aksi tersebut membuat Filep Karma dan Yusak Pakage ditetapkan sebagai tersangka karena mereka penanggung jawab, sementara Heni masih berumur 19 tahun saat terlibat dalam aksi. Peristiwa itu membuatnya menjadi salah satu korban pemukulan, kaki kanannya terluka.

Menanggapi ditangkapnya Filep Karma dan Yusak Pakage, Parjal melakukan aksi menuntut pembebasan Filep Karma dan Yusak Pagake. Aksi ketiga dilakukan pada 10 Mei 2005, sekitar 200an massa yang tergabung dalam Parjal melakukan aksi dari Uncen menuju Pengadilan Negeri Jayapura. Heni adalah Kordinator Lapangan.

Aksi tersebut keos. Seorang perempuan bernama Marice Kotouki sebagai koordinator keamanan ditikam dengan sangkur sedalam 10 cm. “Hentikan. Hentikan semua. Mundur. Mundur ke Uncen.teriak Heni menggunakan megaphone putih yang dipegangnya. Heni yang saat itu terjebak disudut pagar nyaris tertembak oleh peluru milik intel dari Polresta Jayapura. Heni selamat karena seorang kawan mendorongnya.

Heni kemudian diseret enam polisi ke dalam ruang sidang. Kepala dan tulang rusuknya ditendang. Seorang Polwan memukul Heni hingga pelipisnya berdarah. Tak terima dipukul Polwan, Heni balik menendang wajah Polwan tersebut hingga terjatuh.

Tahun berikutnya, 16 Maret 2006 Parjal dan Front Pepera PB melakukan aksi dengan tuntutan meminta PT. Freeport Indonesia ditutup. Heni adalah Juru Bicara aksinya. Aksi ini berujung dengan bentrok antara massa aksi dan aparat keamanan. Bagi Heni bentrok ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika Kapolsek Abepura dan perwakilan dari Polda Papua bisa menepati janji mereka membebaskan Selpius Bobby yang ditangkap karena melakukan aksi tersebut.

Massa yang memblokade jalan diminta menunggu Selpius dibebaskan, namun yang terjadi adalah penambahan personil sebanyak tiga pleton dan tembakan ke arah massa. Bentrok yang tidak dapat dihindarkan ini  menewaskan 4 orang aparat dan 20 masyarakat sipil  luka-luka.  Peristiwa ini dikenang sebagai Uncen Berdarah. Inilah alasan Heni harus pergi ke tempat yang disebutnya Negeri Orang.

Heni Lani masuk sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Berada dalam urutan kedua, tidak ada alasan ia bisa hidup tenang di Jayapura. Heni dibantu oleh Sandhyawan Sumardi dan kawan-kawan untuk exodus ke luar Papua. Dari hutan-hutan Pegunungan Tengah, Heni dijemput. Ia harus menyamar layaknya turis Black American. Saat itu Bandara Sentani hingga Pesawat dipenuhi oleh Brimob dan dipimpin langsung oleh Wakapolda Papua, Paulus Waterpauw.

Sampai di Jakarta Heni masih diburu. Sumardi berusaha melindungi Heni. Ia mengenang Heni “Dengan segala kerendahan hati dan sikap keras kepalanya. Dia Surivived” tulis Sumardi. Nama Heni harus menjadi Luna. Luna artinya bulan. Heni harus menjadi bulan yang bersembunyi selama dua tahun dalam gelapnya malam Ibukota kolonial, Jakarta. Di sanalah kelak Heni semakin bertumbuh menjadi perempuan pemberontak yang selalu bermimpi dan bekerja untuk revolusi.

Panggilan Jiwa Untuk Revolusi

“Selamat datang kawan. Perkenalkan saya Heni Lani. Setiap hari saya suka bermimpi. Saya selalu bermimpi sedang hidup dalam tatanan masyarakat dunia yang tanpa kelas, dimana semua manusia hidup nyaman, adil dan sejahtera serta saling menghormati satu sama lain.” sebuah kutipan mengenai Heni dari blog pribadinya.

Sejak tahun 2008 Heni terlibat bersama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Ia bersama Rinto Kogoya dan kawan-kawan lainnya. Heni juga sempat menjadi Ketua AMP Komite Kota Bandung. Selain itu Heni pernah menjadi Biro Politik Pusat AMP. “Biro politiklah yang menentukan gerakan maju atau mundur.” ujar salah satu kawannya.

Sekitar bulan Maret 2011 Heni tiba di Pekanbaru, Riau untuk menjalankan tugas organisasi. Dalam diskusi Heni berikan pemaparan tentang sejarah Papua, yang salah satu rujukannya diambil dari Buku Agus Alua karena menurut Heni, Agus satu-satunyanya bangsa Asli Papua yang bikin tulisan ilmiah tentang sejarah Papua. Dalam kesempatan sebagai pemateri, Heni ditanya “Mau dijadikan negara apa kalau Papua sudah merdeka, ia dengan tegas menjawab “Prinsip kami, bangsa Papua bukan hanya orang rambut keriting dan kulit hitam. Kulit putih, rambut lurus, dari suku mana saja, agama apa saja, bila hatinya sudah ke Papua, maka dia orang Papua. Kami juga banyak belajar dari sejarah negara lain, salah satunya Indonesia dengan kondisi sekarang. Karena itu kami tidak ingin membangun negara berdasarkan agama dan aliran kepercayaan. Sederhana saja, kami hanya ingin bangun negara yang damai, sejahtera, tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.” jawab Heni.

November 2014 dalam kondisi belum pulih dari sakit, Heni mendapat surat tugas dari Rinto untuk melaksankan Kongres AMP bersama dengan Jek dan Samuel Nawipa yang saat itu menjadi Ketua Komite Bogor. Heni ditunjuk sebagai pengarah sidang. Sementara Jek, Ice Murib, dan Roy Karoba adalah pimpinan Sidang. Setelah Kongres berlangsung, Jefry Wenda kemudian menjadi Ketua AMP Pusat menggantikan Rinto Kogoya.

Selain di AMP Heni terlibat dalam membangun National Papua Solidarity (Napas) bersama Zely Ariane dan kawan-kawan. Tugas Heni sebagai Staf Divisi Kampanye Napas. Selain itu, Heni juga terlibat dalam mendorong Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WP).

Diluar dari kerja-kerja politik, ternyata Heni adalah seorang pendaki dari Mapala Giri Wana Sekolah Tinggi Hukum Bandung. Heni pernah menjajal Sungai Cimanuk di Kabupaten Garut. Heni percaya bahwa alam akan memberikan yang terbaik jika manusia menjaganya. “Tangan manusia relatif kecil dibandingkan dengan kaki gajah, namun tanda tangan manusia membahayakan alam semesta.kata Heni.

Setelah pekerjaan di Pulau Jawa selesai, Heni kembali ke tanah air dan mulai bekerja membangun gerakan masyarakat adat dan gerakan perempuan di Sorong. Dalam kerja-kerjanya, Heni dibantu Jek untuk mendesain dan mencetak baju. Selain itu Heni bersama mama-mama di Sorong juga menjual aksesoris-aksesoris yang dibuat oleh mama-mama.

Saat sedang bekerja di Sorong, Heni diundang menghadiri KTT TPN-OPM. Ia diminta untuk menjadi Diplomat TPN yang akan ditempatkan disalah satu negara. Heni dibuat bingung, ia kemudian menyampaikannya ini pada kawannya. “Perjuangan sudah bawah kita sampai ke titik ini dan itu tidak bisa untuk kita mau mundur jadi kalau ko sudah bertekad untuk jalan, ya jalan. Barang apa yang tahan ko disini? Tidak ada satupun yang bisa tahan. Itu ko punya panggilan jiwa dalam revolusi”. Ujar kawannya pada Heni. Namun Heni memutuskan untuk kembali dari tempat pelaksaan KTT dan tetap melanjutkan pekerjaannya di Sorong.

Perempuan Pelopor

Selain mendorong gerakan secara umum, Heni terlibat dalam mendorong gerakan perempuan. Di Jogja juga Heni terlibat dalam kerja-kerja Gerakan Pembebasan Perempuan Papua Barat (GP3PB). Heni juga terlibat dalam mendorong diskusi-diskusi tentang perempuan di berbagai kota hingga muncul Solidaritas Perempuan Papua. Heni adalah ketuanya.

“Tidak ada Pembebasan Nasional Tanpa Pembebasan Perempuan” adalah jargon yang dipakainya untuk bekerja. Banyak waktu dan tenaga yang dihabiskan Heni untuk mendorong gerakan perempuan. Bagi Heni dalam tubuh gerakan pembebasan nasional Papua harus memiliki perspektif pembebasan perempuan. Perjuangan pembebasan nasional harus sejalan dengan perjuangan pembebasan perempuan Papua.

Heni adalah salah satu perempuan yang menjadi pelopor gerakan kiri di Papua dan pelopor gerakan perempuan yang ideologis di Papua. Heni menjadi salah satu perempuan Papua yang berbicara tentang penindasan perempuan menggunakan pijakan marxis yang mampu menganalisa penindasan perempuan secara ilmiah.

Pikiran Heni tidak terlepas dari tokoh-tokoh perempuan kiri internasional, salah satunya adalah Rosa Luxemburg. Heni sangat senang membaca perjuangan-perjuangan perempuan kiri internasional, dengan semangat tersebut, Heni berpikir bagaimana bisa memperjuangkannya di Papua.

Sepanjang perjuangannya, ia harus berjuang melawan pandangan-pandangan seksis tentang perempuan dalam gerakan pembebasan. Ia menentang pandangan perempuan tidak bisa memimpin perang, ia juga menentang pandangan tugas perempuan adalah memasak dan bekerja di dapur karena baginya mensturasi, mengandung, melahirkan, dan menyusuilah kodrat perempuan bukan memasak atau mencuci piring, seperti yang dikatakan masyarakat pada perempuan. Ia akan marah ketika dalam pertemuan-pertemuan ada yang mencoba merendahkan dan mendiskriminasi perempuan. Dia akan melawan sikap tersebut tanpa memberikan kompromi pada siapapun yang duduk dengan pandangan seksis. Situasi Heni dalam melawan pandangan seksisme yang terjadi di tubuh gerakan pembebasan nasional saat itu jauh lebih sulit, namun Heni tetap bertahan untuk melawannya.

Heni banyak diundang sebagai pembicara dalam diskusi-diskusi tentang perempuan karena kevokalannya terhadap masalah dan hak-hak perempuan. Ia kerap kali disebut sebagai aktivis perempuan, namun perjuangannya tak terbatas pada masalah perempuan. Heni adalah pemikir, seorang kawan berkata “Dia itu bisa dikatakan ideolog”. Heni punya pemikirannya dan alternatif tentang bagaimana Marxisme itu bisa digunakan di Papua.

”Banyak kawan-kawan bingung penerapan marxisme di Papua itu modelnya harus kaya bagaimana karena persoalan marxisme di Eropa itu muncul karena perjuangan buruh, beda misalnya dengan di Tiongkok itu muncul dari Petani dan sekarang di Papua ini harus seperti apa? Dan Heny punya pikiran marxis ini hanya pisau analisis, pisau beda, kita melihat Papua dari sisi marxisnya itu apa. Kemudian kita hidupkan marxisme model Papua itu seperti apa. Dan setiap kali diskusi dia selalu menekankan ini. Buat Heni, Marxisme memiliki nilai-nilai yang penting bagi Papua, tapi harus menemukan bentuk dan model di Papua seperti apa. Dan ini yang harus didorong oleh gerakan revolusioner di Papua”. Ujar seorang kawan.

Sampai saat ini kawan-kawan Heni masih berusaha mencari tulisan-tulisan Heni karena ada banyak tulisan Heni dan Rinto yang belum terpublish hingga akhirnya mereka meninggal.

Kabar Kematiannya Datang

Banyak penderitaan yang dipikul oleh Heni sebagai seorang pejuang yang menolak kompromi pada hal-hal yang bertentangan dengan pikirannya.  Bukan hanya serangan negara yang mengancam nyawanya saja yang harus dihadapi, tetapi stigma dari orang-orang yang tidak mengenalnya juga diterima Heni.

Dijadikan DPO telah membuat Heni harus bersembunyi selama 2 tahun sampai kondisinya kembali aman, kemudian ia mulai melakukan aktifitasnya untuk melanjutkan kuliah, dan mengerjakan kerja-kerjanya dalam perjuangan. Ia telah memiliki anak dari perkawinannya dengan seorang kawan, namun setelah perpisahannya dengan mantan pasangannya, hak asuh anak jatuh pada sang ayah. Heni harus terpisah dari anaknya.

Ditahun 2014 Heni terkena tuberculosis dan gejala typus serta komplikasi lainnya sampai tubuhnya kurus sekali, hampir lumpuh”. tulis Sumardi.

Heni memang sangat kurus. Ini membuatnya dituduh menderita HIV. Tudingan lain pun datang, Heni disebut sebagai seorang feminis, yang membuatnya dengan mudah berganti laki-laki. Urusan personal Heni  juga didiskusikan.

Saya mendengar banyak hal tentang ini, kemudian saya menanyakan ini pada Jek, sahabat Heni yang selalu bersama Heni dalam penderitaannya. Dengan helaan nafas, serta muka yang setengah terkejut, namun setengah terbiasa, ia menjelaskan sakit Heni.

2014 Heni dirawat oleh kawan-kawannya di Jakarta. Heni harus menjalani hidup dengan pola makan yang diatur. Mengonsumsi kuah ayam kampung, sayur, air hangat hingga buah merah yang dibelikan oleh Sumardi dari Papua. Perubahan pola makan dan displin pada kesehatan membuat Heni hanya membutuhkan waktu selama tiga bulan untuk sembuh. Dokter yang menangani Heni pun terkejut dengan kondisi Heni yang pulih dalam waktu yang cepat. Heni dijadikan pasien yang menjadi contoh bagi pasien sakit paru-paru lainnya.

Usai Kongres dan Sidang Pleno AMP, Heni menetap di Bogor. Pola makan Heni tetap dijaga. Di Bogor, Heni mengonsumsi ikan yang selalu diberikan dari Serikat Rakyat Miskin, salah satu gerakan rakyat di Bogor. Setiap pagi Heni dibuatkan lemon tea, roti, semua pola makan diatur Jek dan kawan-kawan. Heni juga dilarang menggunakan HP. Setelah Heni sembuh, kawan-kawan Heni akhirnya sadar bahwa sering kali aktivis jatuh di kesehatan, makanya mengatur pola makan dan menjaga kesehatan menjadi hal yang sangat penting bagi aktivis.

Saat ingin kembali ke Sorong melanjutkan  pekerjaannya setelah balik dari pertemuan KTT TPN, Heni dilarang oleh Jek untuk berangkat ke Sorong karena ia sedang dalam kondisi sakit dan bagi Jek tidak ada orang di Sorong yang mengerti sakit Heni. Meski telah dilarang, keesokan harinya Heni tetap berangkat. Jek yang dibuat emosi segera mengganti kartu agar Heni tidak menghubunginya lagi.

Heni berusaha mencari nomor Jek. Untuk urusan komunikasi di AMP hanya Jefry satu-satunya yang memiliki nomor Jek karena saat itu Jefry masih Ketua Umum, maka dengan segera Heni mendapat nomor Jek dari Jefry.

“Halo Jek. Ini Lani He. Sa dapat nomor dari Jefry. Ko marah sa? Aduh sa sakit parah tidak ada yang jaga sa. Sa disini sa ingat-ingat kam semua. Sa mau makan, tidur sa ingat-ingat kam semua.” kata-kata Heni dalam telefon. Emosi telah hilang. Jek hanya bisa mendengarkan dan meminta Heni untuk menghilangkan beban pikirannya dan fokus pada kesembuhan. “Sa tidak marah ko, sa marah waktu itu supaya ko pu sikap harus jelas. Tapi karena ko punya semangat revolusi yang lewat batas itu yang ko pergi, sekarang ko yang tersesat disitu, tapi ya sudah itu waktu sudah lewat sekarang ko pikir bagaimana ko bisa sehat”.  Heni berjanji untuk sembuh dan akan datang ke Jayapura, Jek akhirnya menunggu Heni dan menunda perjalananya untuk berangkat.

“Kapal masuk di pelabuhan, tapi Heni tidak kunjung datang saja. Ternyata bukan Heni yang datang, kabar kematiannya yang datang.kata Jek.

Tanggal 15 April 2018 sekitar pukul 04.00 WPB , Heni menaruh titik pada cerita perjuangannya diusia 33 tahun karena sakit malaria tropika yang naik di otaknya. Ia meninggalkan tanah air West Papua bersama mimpi-mimpinya dan kebenaran Sang Bintang Kejora yang telah  diperjuangkan selama hidupnya.

***

Yokbeth Felle
Penulis adalah aktivis dan Pengasuh Rubrik Perempuan Lao-Lao Papua.

6 KOMENTAR

  1. Terimakasih Kawan Yokbeth. F
    Sudah menuliskan riwayat hidup kawan Henny, sa baca sambil menangis, terbayang kembali semua kisah yang kami alami. Semoga Tuhan mengirimkan Henny yang baru di West Papua.

  2. Salut untk kk Bulan/Heni..Hormat untk semangant juang dan pelajaran penting yg di tinggalakannya bagi generasi papua untk terus melanjutkan perjuangan sui ini..
    Terima kasih juga untk kwan Y.F yg dengan Bijak menulis tentang Heni..
    Salam Juang…

  3. Terimakasih, kawan yokhbet felle, sungguh terdorong dengan semua cerita riwayat hidupnya dalam menjalankan amanah panggilan Tuhan dan Alam West Papua terhadap kawan saya, adik saya Heny Lany. Heny Lani adalah hasil doktrin parjal di pinggir jalan oleh Tuan Jefry pagawak, Yusak pakage dan fillep karma dalam gerakan parjal.

    Mungkin saya hanya koreksi sedikit, soal kuliahnya, Heny bergabung dengan parjal ketika dia kuliah di Uncen jurusan fisip kah?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan