Abad ke 18 partai politik mulai dikenal di negara-negara Eropa Barat seperti Inggris dan Perancis. Namun terbatas hanya untuk mengamankan kepentingan dari kaum elitis dan aristokrat di hadapan raja. Pada abad ke 19 partai politik dirikan sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. Sejak saat itu keberadaan partai politik bagi masyarakat menjadi penting karena dapat menjadi sarana aspirasi dan pengagregasian kepentingan mereka.
Sedang dalam pemerintahan modern partai politik menjadi tidak bisa lepas karena menjadi bagian dari infra struktur politik negara modern. Namun berbagai kajian untuk membahas ilmu tentang partai politik itu sendiri mulai di kenal pada abad 20-an hingga sekarang. Sarjana yang di anggap berjasa adalah M.Ostrogorsky pada tahun 1902, Robert Michels pada tahun 1911, Maurice Duverger pada tahun 1951, dan seterusnya sampai sekarang.
Perubahan partai politik ini merangsang sebuah tranformasi politik yang lebih luas. Misalnya di Eropa dan Amerika terjadi sebuah gerakan yang luas kearah politik electoral massa. Selanjutnya ketika sebuah metode pemilihan hadir selalu di organisir oleh partai. Sehingga semakin hadir banyak partai yang terlibat dianggap sebagai sebuah keunggulan tersendiri dari rezim demokrasi. Sebagaimana dikatakan oleh EE Schattschneider, bahwa partai politik menciptakan demokrasi, dan demokrasi modern tak terpikirkan tanpa partai politik (Richard S. Katz dan William Crotty, 2014: 22).
Di Eropa, larangan terhadap pengorganisasian politik dicabut sebentar setelah revolusi tahun 1848-1849 tetapi larangan itu dengan cepat diberlakukan kembali setelah revolusi ini gagal. Pembatasan tersebut masih berlaku dibeberapa negara hingga abad ke 20, misalnya sampai tahun 1899 hukum Jerman melarang semua hubungan lintas regional diantara asosiasi-asosiasi partai, dan sampai tahun 1908 asosiasi politik lokal disebagian besar negara bagian Jerman harus memberitahukan otoritas lokal setiap kali mereka mengadahkan pertemuan public: perempuan dan anak-anak secara hukum dilarang mengikuti seluruh pertemuan tersebut (Richard S. Katz dan William Crotty, 2014: 28).
Sedangkan di Perancis melarang pembentukan Partai selama abad ke 19. Hukum yang melarang kebebasan berkumupl dan berserikat adalah warisan dari reaksi terhadap revolusi Perancis pertama. Hukum ini dibawah hingga abad ke 19, yang makin lama makin ketat (Richard S. Katz dan William Crotty, 2014: 28). Bahkan hingga berbagai pertemuan yang diikuti oleh 20an warga dilarang, terlebih tujuan pertemuan tersebut demi membangun jaringan sel-sel organisasi.
Sejarah Singkat Partai Politik di Indonesia
Sedang di Indonesia asal muasal partai politik memang baru dikenal, yaitu sejak diberlakukannya politik etis oleh Pemerintah Belanda dengan membuka sekolah dasar dan menengah bagi masyarakat kalangan atas karena di anggap memiliki kontribusi bagi proses kolonialisasi Belanda di Nusantara selama tiga setengah abad. Kebijakan Pemerintah Belanda tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk mencicipi pendidikan dan ilmu pengetahuan. Puncak dari proses mengenal peradaban melalui pendidikan tersebut, kelompok moderat Indonesia mendirikan organisasi bernama Boedi Utomo pada tahun 1908.
Boedi Utomo sendiri didirikan hanya untuk mengakomodir kepentingan masyarakat golongan priyayi saat itu, namun terus berkembang hingga menjadi satu kekuatan politik masyarakat pada awal mula di Nusantara, khususnya di pulau Jawa. Kini Boedi Utomo dikenal dengan sebutan partai politik pertama di Indonesia.
Peran partai politik Indonesia sendiri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sangatlah besar dalam menuntut kemerdekaan kepada Pemerintah kolonial Belanda. Seperti halnya Boedi Utomo, setelah bubar selanjutnya hadirlah Serikat Dagang Islam (SDI) yang mentranformasikan diri menjadi Serikat Islam (SI). SI sendiri akhirnya melahirkan berbagai pemimpin bangsa Indonesia (faunding fathers). Seperti, Cokrominoto, Tan Malaka, Ir.Soekarno, M. Hatta, Syarir, dan sebagainya. Setelah SI, hadirlah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI).
Partai-partai politik saat itu digunakan sebagai alat revolusi menuju kemerdekaan Indonesia. Sehingga Partai politik adalah sarana yang paling diandalkan oleh para founding fathers Indonesia. Walaupun partai politik saat itu belum diartikan secara formal sebagai partai politik, seperti definisi menurut pandangan Mark N. Hugopian bahwa Partai Politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan idelogis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan ( Amsal dalam Abdul Mucti Fadjar, 2013:14). Sehingga partai politik tersebut di atas menjalankan fungsi faksi politik.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 oleh Ir.Soekarno dan M. Hatta selanjutnya selanjutntnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama, menjadi momentum awal bagi hadirnya Partai Politik di Indonesia. Berbagai format pemerintahan dan politik Indonesia terus dibahas oleh Presiden dan wakilnya, dibantu oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP-KNIP).
Pada 3 November 1945 atas nama Presiden Indonesia M. Hatta sebagai Wakil Presiden mengeluarkan maklumat Pemerintah atas desakan BP-KNIP untuk mendirikan sebanyak-banyaknya partai politik. Dengan demikian Indonesia menganut sistim multy party atau dengan sebutan lain adalah sistem proporsional. Harapan utama Pemerintah menjalankan sistem multy party yaitu dapat mengakomodir berbagai golongan dan ideologi masyarakat Indonesia pada awal kemerdekaan.
Rakyat Indonesia menyambut kebijaksanaan tersebut dengan antusias, terbukti dengan hadir secara resmi 10 Partai Politik Indonesia, antara lain; Partai Masyumi, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat Jelata, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Sosial Indonesia (PSI), Partai Rakyat Sosialis (PRS), Partai Khatolik Republik Indonesia (PKRI), Persatuan Rakyat Marhanaen (Permai), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Dinamika politik dan pemerintahan Indonesia terus mengalami banyak perubahan dalam rangka pencarian format Politik Pemerintahan yang ideal. Dinamika tersebut antara lain format Undang-undang Dasar (UUD) 1945 menganut sistem presidensial namun dalam pelaksanaannya adalah sistem parlementer.
Dalam sistem Liberal Parlementer mengalami tiga kali konstitusi, yaitu UUD 1945 (17 Agustus 1945- 27 Desember 1949), Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) (27 Desember 1949- 17 Agustus 1950), Dan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 (17 Agustus 1950- 5 Juli 1959), dan pada tahun 1959 Indonesia kembali menjalankan UUD 1945. Proses-proses tersebut sekilas diamati masih terus terjadi hingga hari ini, terbukti dengan diamandemennya UUD 1945 sebanyak empat kali dengan harapan dapat sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negara hari ini.
Pemilihan umum (pemilu) pertama kali di Indonesia pada tahun 1955 adalah ajang politik dalam ketatanegaraan Indonesia sebagai Negara Demokrasi Liberal dimana rakyat memilih wakil mereka untuk mewakili dalam lembaga parlemen. Dalam proses itu partai berhasil mengirim berbagai perwakilannya di parlemen dalam rangka menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia. Partai-partai yang mengikuti proses pemilihan umum tersebut bukan hanya dari kalangan partai nasional namun juga dari Partai Politik Lokal . Diketahui apabila di tinjau dari nama-nama partai politik peserta pemilu tahun 1955 diidentifikasi ada beberapa Partai Politik Lokal. Disebut “Kelompok kecil yang bercakupan daerah antara lain Gerindra-Yogyakarta, Partai Persatuan Daya- kalimanatn Barat, AKUI- Madura, Partai Rakyat Desa Merdeka (PRIM)- Jawa Barat, R.Soedjono Prawirosoedarso dkk- Madiun, Gerakan Pilihan Sunda (GPS)- Jawa Barat, Partai Tani Indonesia (PTI)- Jawa Barat, Raja Keprabonan dkk- Cirebon Jawa Barat, Gerakan Banteng- Jawa Barat, Partai Indonesia Raya (PIR) Nusa Tenggara Barat- Lombok, PPLM Idrus Effendi- Sulawesi Tenggara (Abdul Mucti Fadjar, 2013:66).
Sejak tahun 1959-1965 di Indonesia dikenal dengan sebutan masa Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Pada tahun 1963 dicetuskannya Keputusan MPR No. III/1963, yaitu, Pertama menetapkan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Kedua, Pengurangan peranan partai. Ketiga peningkatan peranan militer sebagai kekuatan sosial politik.
Dalam masa ini disebutkan periode segitiga Soekarno,TNI, dan PKI. Pengurangan peranan partai politik oleh pemerintah Soekarno pada saat itu disebabkan, melenceng jauh peran partai dalam era demokrasi liberal. Partai-partai menjadi bias perannya, bukan lagi sebagai sarana penyalur aspirasi rakyat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) namun menanamkan kebencian kepada Pemerintah dan Negara. Sehingga Keputusan itu harus diambil Soekarno sebagai langkah untuk mempertahankan status quo kepemimpinanya serta menstabilkan keamanan nasional.
Namun akhirnya pecah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) pada 30 September 1965, menjelang 1 Oktober dini hari, dengan peristiwa penculikan dan pembantaian terhadap Enam Perwira tinggi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), dan seorang ajudan Mentri Pertahanan. Peristiwa ini mengarah bahwa pelaku pembantaian adalah Partai Komunis Indonesia untuk memindahtangankan kekuasaan kepada suatu “Dewan Revolusi”. Namun dalam waktu 24 jam Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto berhasil menumpas gerakan yang di curigai adalah PKI tersebut. Serta Menumpas semua kader dan simpatisan PKI di seluruh Indonesia.
Kostrad yang dipimpin Soeharto tidak hanya menghancurkan usaha kudeta, namun juga melakukan pengambilalihan kekuasaan politik dari Presiden Soekarno. NASAKOM atau Nasionalis, Agama, dan Komunis, Politik persatuan bentukan Soekarno juga berakhir sejak saat itu.
Selanjutnya di masa kepemimpinan Soeharto hingga 32 tahun diberlakukan sistem politik multy Party atau proporsional. Masa ini dikenal dengan masa Demokrasi Pancasila. Walaupun diberlakukannya sistem politik Multy party atau sistem proporsional namun dalam pelaksanaannya di Indonesia hanya ada tiga partai nasional, hasil pengelompokan pemerintah, yaitu kelompok nasionalis, kelompok spiritual, dan Golongan Karya (Miriam Budiadjo, 2008: 444). Pengelompokan dalam tiga golongan baru terjadi pada 1973. Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Parta Persatuan Terbiyah Islamiyah (perti) bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain dari itu, lima partai, PNI, Perkindo, Partai Khatolik, Partai Murba, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian pemilihan umum tahun 1977 hanya ada tiga organisasi sosial politik. Sejak saat itu Golongan Karya di jadikan kendaraan politik Presiden Soeharto untuk memantapkan kekuasaannya selama 32 tahun di Indonesia.
Partai Politik dan Pemilu Pertama di Papua
Irian Barat atau Papua Barat (Papua) memiliki sejarah integrasi yang berbeda ke dalam Republik Indonesia, karena menjadi perebutan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda. Olehnya sejarah ini juga disebut sebagai peristiwa aneksasi untuk mengagalkan kemerdekaan Papua 1 Desember 1969.
Pada Tahun 1950 Belanda mengeluarkan Adeministrative Ordinance Nieuw Guinea (peraturan undang-undang di Papua). Dengan ini dimulai badan rencana pembangunan tingkat provinsi hingga tingkat kampung. Dewan Nieuw Guinea diharapkan dapat membantu pemerintah sebagai penesehat, dan mempunyai hak petisi dan amandenmen, inisiatif dan interpelasi. Komposisi anggota dewan terdiri dari 21 orang, yakni 10 orang Papua Asli, 9 Belanda, dan 2 non Belanda (Bernarda Meteray, 2012; 161).
Belanda gencar menyiapkan suatu bentuk pemerintahan transisi dengan memusatkan kegiatan di Pulau Biak, dengan membentuk dewan perwakilan. Selanjutnya, perwakilan dibentuk di kota-kota pedalaman. Hasil dari proses itu adalah diadakan pemilihan untuk membentuk dewan perwakilan rakyat Papua Barat (Volksraad) di Holandia. Pemilihan tersebut dilakukan dengan pemungungutan suara, dengan pemberian hak suara kepada siapa saja yang telah berumur 21 tahun keatas dan yang telah 3 Tahun tinggal di Papua atau lebih. Berdasarkan, peraturan perundang-undangan atau lebih, setiap 50 orang dapat memilih satu perwakilan (Robin Osborne, 2001: 52).
Partai-partai politik pun di Papua telah di bentuk oleh putra-putra terdidik di Papua dan siap mengikuti pesta demokrasi pertama kali dalam sejarah bangsa Papua menjelang akhir tahun 1961 itu. Partai tersebut antara lain, (1) Partai Nasional (parna) pada 10 Agustus 1960 oleh Frits Kirihio, (2) Demokratische Volkspartij, dibentuk 24 agustus 1960 oleh Arnold Runtumboy, (3) Enheidspartij Nieuw Guinea, didirikan pada 20 September 1960, didirikan oleh Gosewisch dan diketuai oleh Lodewijk Mandajan, (4) Partai Orang Nieuw Guinea (PONG), didirikan pada tanggal 23 September 1960, dan diketahui oleh Johan Ariks, (5) Partai Serikat Pemoeda Pemoedi Papoea, partai ini didirikan pada 20 Oktober 1960 di Manokwari, diketahui oleh Johan Wamer berasal dari Biak pernah menjadi kepala Penjara di Manokwari, dan Ketua Persekding cabang Manokwari, (6) Partai Kena U Umbay, didirikan pada 20 November 1960, didirikan dan diketuai oleh Esau Itaar, di Doyo Lama, Sentani, Holandia, (7) Partai Sama Sama Manusia, didirikan 5 November 1960 di Sorong, diketuai oleh Husein Warwey, (8) Persatuan Kristen Islam Raja Ampat didirikan di Sorong pada 2 Desember 1960, ketuanya adalah Moh. Nur. Majalibit, dibantu abdulah Arfan seorang Tokoh Papua yang pernah ke Belanda pada tahun 1950 untuk meminta ketegasan pemerintah Belanda terkait Papua (Bernarda Meteray, 2012;181-197).
Hal tersebut semakin memicu kebencian Pemerintah Indonesia, Bahkan diketahui Pemerintahan Soekarno, telah menghabiskan $2 Miliar untuk memperkuat militer negaranya. Sebagain besarnya peralatannya yang dibeli tersebut sudah siap ditunjuk untuk dioperasikan di Papua (Robin Osborne, 2001: 50). Bagi Pemerintah Indonesia Papua adalah bagian integral dari dekarasi kemerdekaan Tahun 1945. Tekad memperebutkan Papua Barat (Irian Barat) itu tertuang pada isi pidato Soekarno di alun-alun Kota Yogyakarta 19 Desember 1961. Ia, memberi tekanan pada istilah barunya, Trikora, kependekan dari Tri (tiga) Komando Rakyat. Ini merupakan sebuah kebulatan tekad yang isinya, Kibarkan Sang Merah Putih di Papua Barat; Gagalkan Pembentukan Negara Boneka di Papua Barat; dan Persiapkan mobilisasi, bila mana dibutuhkan untuk mempertahankan kesatuan (Robin Osborne, 2001: 51).
Hingga Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 yang di ikuti oleh 1022 orang Asli Papua dan menyatakan memilih masuk kedalam Indonesia maka sejak saat itu Pemerintah Belanda tidak memiliki kewenangan atas Papua. Penyesuaian administrasi pemerintah Indonesia atas Papua dimulai dibawah kepemimpinan Orde Baru Presiden Soeharto tahun 1969. Proses pemerintahan dan pembangunan di Papua disesuaikan dengan daerah lain di Nusantara.
****