Analisa Harian Zuzan Griapon: Pejuang Perempuan Revolusioner dari West Papua

Zuzan Griapon: Pejuang Perempuan Revolusioner dari West Papua

-

Sebuah Obituari

Saya kenal Zuzan Chryztalia Griapon pertama kali pada tahun 2013 di Yogyakarta. Saat itu Zuzan baru saja masuk di Universitas Gadjah Mada (UGM), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), jurusan Kimia, dan saya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Fakultas Ilmu Sosial, jurusan Sosiologi. Kami sama-sama dibeasiswai melalui program Afirmasi Pendidikan Tinggi (Adik) yang dibiayai oleh UP4B yang pada akhirnya beasiswa ini dialihkan ke Kementerian Pendidikan.

Karena sering sekali kami kumpul-kumpul, beberapa bulan kemudian kami bentuk komunitas kecil. Namanya Komunitas Afirmasi UGM-UNY. Zuzan yang juga sebagai penggerak, kami sekaligus menjadikannya sebagai ketua disitu. Komunitas kecil itu dibentuk tujuannya untuk makan-sumbang, tamasya ke pantai, dan diskusi-diskusi ringan.

Sejak itu saya memahami, Zuzan punya kemampuan vokal dan mampu menyesuaikan dengan banyak kawan-kawan. Ia tak henti-henti ajak kami untuk sering kumpul-kumpul komunitas yang baru saja kami bentuk. Hampir setiap hari Sabtu kami kumpul di dekat Auditorium UGM. Sejak saat itu jugalah, saya mulai dekat dengan Zuzan.

Suatu ketika—di awal tahun 2014—Zuzan kirim pesan via facebook ke saya. Ia ajak saya makan siang di salah satu warung makan di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Sesudah kami makan, ia beri saya sebuah buku berjudul Democracy Take Of? The B.J. Habibie Period. Bukunya sangat tebal dan berbahasa Inggris.

“Kayanya ko cocok baca buku ini.”

Mungkin Zuzan merasa buku itu dekat dengan saya, dekat dengan jurusan yang sedang saya ambil di UNY.

Seminggu kemudian, saya juga beri dua buku ke dia. Buku novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan buku Guru: Mendidik itu Melawan karya Eko Prasetyo. Kami sudah sering jumpa dan berdiskusi banyak hal.

Sekitar pertengahan tahun 2015, saya lupa tanggalnya, kawan Zuzan kirim pesan lagi ke saya via facebook. Ia mengatakan bahwa ada sekelompok elit politik Papua, di antaranya Wilem Wandik, dan beberapa elit lainnya datang ke Yogyakarta untuk meminta pihak UGM dalam hal ini Kelompok Kerja (Pokja) Papua UGM untuk mengkaji potensi sumber daya alam di Kabupaten Puncak Papua dan Intan Jaya. Pada waktu itu Pokja Papua UGM diketuai oleh Bambang Purwoko (almarhum). Di lingkaran istana, kementerian, dan DPR RI, Bambang Purwoko kerap jadi pembicara atau penguji tunggal berkaitan dengan persoalan Papua, baik pembangunan, juga soal konflik di Papua.

Sesudah pertemuan antara elit Papua dengan Pokja Papua UGM, sorenya dilanjutkan dengan diskusi. Bambang Purwoko jadi salah satu pemateri disitu. Saya, kawan Zuzan dan kawan Sisko Mofu datang ke tempat diskusi itu, di kampus UGM.

Di hadapan forum, Zuzan mengkritik habis Bambang Purwoko di hadapan ratusan mahasiswa dan beberapa dosen yang hadir. Tanpa pamit, Bambang Purwoko langsung meninggalkan tempat diskusi.

Tahun 2016 kawan Zuzan sudah mulai aktif bergabung di Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) sebuah organisasi mahasiswa kiri yang berbasis sekarang di hampir beberapa kota besar di seluruh Indonesia. Ia aktif gabung dan ikut pendidikan politik di AMP pada tahun 2017.

Sejak saat itu Zuzan sudah mulai belajar menulis berbagai hal. Ia bilang ke saya ingin punya blog pribadi untuk mau menulis apa saja disitu. Pada akhirnya ia bikin sebuah blog pribadi yang diberi nama zuzangriapon.blogspot.com.

Tulisan pertama yang ia tulis dan kirim ke saya pada tahun 2016 adalah Perempuan Papua Dalam Pagar. Tulisan ini ia tulis sudah sampai 5 bagian tulisan dalam blog pribadinya. Setiap bagian tulisan ia tulis sesuai pembacaan dan analisa situasi dan dampaknya terhadap perempuan Papua. Ini tulisan ke-5 Perempuan Papua Dalam Pagar: Imperialisme dan Kolonialisme (Bagian 5) yang ditulis pada 23 Februari 2021.

Di AMP, Zuzan dilatih dan dibentuk secara ideologi dan politik. Ia dibentuk sebagai seorang demonstran. Ia juga dibentuk dari perspektif kelas dan perspektif Marxis.

Ia juga dibentuk untuk menyelesaikan persoalan Papua, solusinya tidak ada jalan tengah selain revolusi nasional demokratik atau Papua merdeka, dan wujudkan sosialisme di Papua.

Sekitar awal 2017, Zuzan bersama kawan Doly Iyowau, Maria Baru, Julia Opki, Roberta Muyapa, dan beberapa kawan perempuan lainnya membentuk sebuah kelompok belajar perempuan yang mereka beri nama Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta (KBPPY). Bersamaan dengan itu juga, mereka bentuk Serikat Pembebasan Perempuan (Siempre), sebuah organisasi perempuan dengan memiliki platform anti kapitalisme, anti kolonialisme, anti militerisme, anti patriarki dan seksisme, dan menuntut segera berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

Ruang KBPPY dan Siempre yang mereka bentuk sebagai tempat belajar untuk melatih semua perempuan Papua dan Indonesia untuk membangun perempuan revolusioner.

Pada 15 Desember 2016, bersama kawan Yohanes Giay, Zuzan bentuk organisasi yang mereka beri nama Komunitas Green Papua di Malang.

Tidak sedikit kegiatan yang Zuzan bikin bersama AMP di Yogyakarta dalam waktu dari 2015 sampai 2018 untuk kampanye Papua merdeka di Yogyakarta.

Pada Agustus 2018 saya pulang ke Papua sesudah mengikuti Kongres AMP Pusat ke IV pada 6 – 8 Februari 2018 di Yogyakarta dan sesudah berikan pendidikan politik di AMP Surabaya, Malang, dan Bali yang di pusatkan di Surabaya pada Juli 2018.

Sejak saat itu saya sudah tidak pernah jumpa dengan Zuzan walau hanya sering komunikasi lewat sosial media.

Sampai tahun 2020, Zuzan habiskan waktunya di AMP dan selesaikan studi kimianya di UGM pada 19 Februari 2020. Sesudah wisudah, ia undurkan diri dari AMP karena sudah selesai dan pulang ke Papua melanjutkan perjuangan di Papua.

Sejak di Papua, bersama kawan Yohanes Giay, Zuzan membangun Komunitas Green Papua di Jayapura yang mereka bentuk di Malang sejak tahun 2016. Sebuah gerakan lingkungan untuk melatih kader-kader untuk melawan kapitalisme, militerisme, kolonialisme, dengan tujuan perjuangan Papua merdeka dan wujudkan eko-sosialisme di Papua.

Kami bertemu lagi di sebuah forum yang kami bentuk bersama pada 4 Juli 2020, yaitu Petisi Rakyat Papua (PRP). Sebuah front aksi yang mengkonsolidasikan berbagai gerakan rakyat di Papua untuk menolak keberlangsungan Otsus Jilid II dan menuntut untuk Indonesia segera beri Papua merdeka.

Sejak 2020 juga, bersama Komunitas Green Papua, kawan Zuzan dan Yohanes selain mendorong PRP, kawan Zuzan juga turut membentuk banyak front-front aksi lintas sektoral, baik front tani, front gerakan-gerakan lingkungan, bikin banyak pelatihan-pelatihan pembuatan pupuk, sabun alami, bikin-bikin laboratorium mini dengan fasilitas yang sangat terbatas, bikin sekolah-sekolah alternatif bagi anak-anak yang mereka beri nama Sekolah Alternatif Papua (SAP), bikin lapak-lapak baca, dan sebagainya.

Singkat cerita, tahun 2022 Zuzan mendapat beasiswa Pascasarjana jurusan Kimia Lingkungan di Oslo University di Norwegia.

Hingga Desember 2023 saya dengar kabar dari kawan-kawan, Zuzan jatuh sakit dari Norwegia. Zuzan pulang ke Papua sekaligus berobat di Papua.

Hingga pada 26 Desember 2023 pukul 18:30 WP, berita duka datang. Zuzan meninggal dunia di Jayapura.

Kabar ini datang dari seorang kawan dari Jayapura sekitar satu jam sesudah dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura vonis Zuzan sudah hembus nafas terakhirnya. Saya kaget, sontak bingung, belum bisa terima kenyataan.

Sampai tulisan ini naik, masih banyak pertanyaan yang masih mengganjal di dalam diri saya atas kepergian kawan Zuzan di usia yang sangat muda, 28 tahun.

Saya begitu dekat dengan kawan Zuzan, sama seperti banyak kawan yang lain. Itulah Zuzan. Setiap orang yang bertemu dengannya, sekali kenalan, seperti sudah kenal sejak lama dan akan sangat akrab. Dan itu yang ada di dalam semangatnya Zuzan seperti sejak awal saya ketemu dia tahun 2013: berkawan kepada siapa saja dan dimana saja.

Setiap pertemuan saya dengan Zuzan, tidak ada agenda lain selain banyak-banyak diskusi serius sambil banyak tertawa-tertawa.

Tapi bagaimana pun, saya harus menerima kenyataan.

Menjadi Aktivis Papua Merdeka

Sejak bergabung di AMP dan Komunitas Green Papua, Zuzan dibentuk untuk tidak saja sekedar sepakat dengan Papua merdeka, tapi bagi Zuzan kemerdekaan itu harus ada aksi atau praktek, harus ada sikap terbuka yang harus dituntut terus-menerus.

Dalam tulisannya Petisi Rakyat Papua, Mei Bulan Perlawanan! Zuzan menulis, “Kebudayaan solidaritas, demokratis, dan kritis adalah kebudayaan yang harus disebarluaskan. Penjajahan akan terus dilakukan bila kita diam, alternatif yang dapat kita lakukan adalah mendesak semua pihak untuk terlibat dalam aksi massa, pengorganisasian masa, dan rebut kembali tanah yang dirampas.”

Zuzan kerap mengkritik kebudayaan gerakan Papua merdeka sangat patron, komando, dan anti terhadap kritik oto kritik.

“Anggota-anggota gerakan di Papua ni su patron terhadap atasan, anti kritik oto kritik, trus pecah-pecah, dan tidak tuntas di teori dan praktek”. Ini sangat keras ia sering katakan. Tidak hanya di forum PRP, tapi juga di setiap pertemuan gerakan dimana saja.

Ia pernah dengan keras dan tegas mengatakan, “Tidak ada senior junior dalam perjuangan. Tidak ada tuan puan dalam gerakan perjuangan. Kita semua kawan, menanggung beban perjuangan yang sama. Kita semua kawan, kita semua kamrad.” Begitu katanya dalam pertemuan PRP tahun 2021 di Jayapura.

Bagi Zuzan, Papua mau merdeka itu tidak bisa hanya aksi-aksi saja, tapi belajar, mengorganisasikan rakyat, membangun perspektif kelas di dalam perjuangan Papua merdeka.

Sampai ia meninggal, Ia berpegang pada perjuangan kemerdekaan West Papua.

Seorang Feminis Sosialis-Marxis

Saya sedikit ikut melihat dan memahami bagaimana pengalaman Zuzan menuntaskan banyak bacaan soal feminisme, ikut pendidikan-pendidikan perempuan, terlibat membangun beberapa kali gerakan perempuan, membuatnya punya sebuah kesimpulan soal penindasan perempuan Papua.

Zuzan juga banyak mengkritik forum-forum diskusi perempuan yang diselenggarakan di Papua. Misalnya, West Papua Feminis Forum. Baginya, itu adalah forum para feminis liberal, yang tidak mau munculkan isu hak penentuan nasib sendiri dan sosialisme dan melihat alternatif penyelesaian persoalan perempuan Papua hanya sebatas pada pembangunan kolonial, MRP Pokja Perempuan, DPR kursi perempuan, dan sebagainya.

“Itu bukan alternatif penyelesaian akar penindasan perempuan Papua”. Katanya saat berdiskusi di sekretariat SAP pada tahun 2022 di Jayapura.

Bagi Zuzan, alternatif untuk menghapus akar penindasan perempuan Papua bukan ada disitu, tapi akar masalahnya adalah sistem kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme yang menindas perempuan dan semua umat manusia.

“Untuk menghapus penindasan perempuan Papua, hak penentuan nasib sendiri atau Papua merdeka dan wujudkan sosialisme harus diutamakan dalam forum-forum diskusi perempuan.” lanjutnya.

Bagi Zuzan organisasi perempuan atau forum perempuan adalah sebagai wadah taktik saja. Bisa dibangun kapan saja dan dibubarkan kapan saja.

“Tapi yang paling terpenting adalah, laki-laki, perempuan, atau trans jender harus dilatih, dididik, dituntaskan di dalam sebuah organisasi. Laki-laki Papua itu harus dikritik habis-habis kalau lakukan kesalahan, tapi dikritik tidak boleh keluar organisasi, tapi dikritik habis-habis di dalam organisasi”. Lanjutnya dalam diskusi itu.

“Kalau dong (laki-laki Papua) sudah terlalu kelewatan, kasih pecat secara tidak terhormat saja dari organisasi. Organisasi bukan milik dorang saja”. Lanjutnya lagi.

Bagi Zuzan juga itu yang harus diutamakan. Tidak boleh melepaskan forum atau gerakan perempuan dengan organisasi yang melibatkan semua jenis kelamin. Karena perjuangan Papua merdeka dan sosialisme bisa terwujud kalau laki-laki, perempuan, trans jender, dan semua rakyat berjuang dalam satu frekuensi ideologi yang sama di dalam sebuah organisasi.

“Kalau bikin forum atau front tapi perempuan-perempuan, atau laki-laki tidak mau berada dalam satu organisasi, atau tidak mau bergabung dalam organisasi gerakan, itu jadi feminis liberal dan tetap saja kita memelihara kapitalisme menindas Papua dan perempuan Papua”.

Seperti juga yang ditulis oleh Zuzan dalam Perempuan Papua Dalam Pagar: Kolonialisme (Bagian IV), “Fenomena-fenomena ini (penindasan) terus terjadi, dan akan terus terjadi bila tidak ada kesadaran yang baik dari perempuan–perempuan Papua. Kesadaran itu tidak dibentuk dari perempuan (yang hanya) mendapat gelar Ph.D atau perempuan tidak perlu menjadi orang lain untuk melawan penindasan, perempuan perlu menyadari dirinya sebagai manusia yang merdeka, manusia yang (bisa) memerdekakan orang lain. Perempuan Papua juga perlu sadar terhadap kebebasan yang membebaskan bangsanya dan bangsa tertindas lainnya. Alternatif perjuangan harus ditawarkan oleh kaum perempuan dan kaum tertindas lainnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi penjajahan.”

Zuzan menunjukan sikap, tindakan, dan tulisan-tulisannya bahwa ia adalah seorang feminis sosialis-Marxis.

Menjadi Seorang Revolusioner

Zuzan menunjukan sikap individu yang anti dan melawan sistem kapitalisme, kolonialisme, militerisme, dan seksisme dan patriarki sejak ia bergabung, belajar, dan dibentuk AMP.

Marxisme, materialisme, dialektika, dan historis sebagai pijakan pisau analisanya juga semakin sempurna ketika ia bersama kawan-kawan membangun Green Papua di Papua. Itu dilalui dengan mengalami, dan mempraktekan langsung di lapangan, di jalan-jalan demonstrasi, di ruang-ruang diskusi, kritik oto kritik yang dibangun di dalam Green Papua dan front-front aksi yang melibatkan kawan Zuzan.

Sikap anti terhadap kapitalisme dan imperialisme ditunjukan dalam tulisannya Siapa Musuh Rakyat? Kembali Memahami Kapitalisme di Papua, bahwa “Perampasan lahan untuk eksploitasi sumber daya alam, eksploitasi sumber daya manusia terus terjadi. Kebijakan-kebijakan imperialisme yang disahkan seperti: Otsus Jilid I tahun 2001, Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia (MP3EI) tahun 2011, Undang-Undang Omnibus Law tahun 2021, Otsus Jilid II tahun 2021, beserta turunannya dengan rangka mempercepat pembangunan infrastruktur agar mempermudah akses keluar barang mentah atau raw material ini tujuannya hanya untuk mempercepat akumulasi modal.”

Selain mengkritik banyak forum-forum perempuan di Papua, Zuzan juga mengkritik kebudayaan LSM di Papua dan gerakan kiri di Indonesia.

Dalam tulisan ini, Zuzan menulis lagi, “Dominasi lembaga-lembaga yang bekerja untuk Papua dengan dalih kemanusian dan HAM, kekuatannya sangat lemah untuk meningkatkan kesadaran politik dan tenaga kerja di Papua. Menyadari kondisi rasisme, diskriminasi, pembantaian massal, konflik, isolasi ilmu pengetahuan, operasi militer oleh penjajah Indonesia, menyebabkan tenaga produktif di Papua terus berkurang. Salah satu alternatif yang dapat menolong rakyat Papua adalah partai-partai kiri di Indonesia. Partai-partai kiri di Indonesia juga mesti bersolidaritas dan meningkatkan tenaga kerja Papua adalah hal kerja konkret untuk membangun perspektif Internasionale di Papua.”

Baginya kekurangan gerakan kiri di Indonesia khususnya partai-partai kiri di Indonesia juga adalah kurangnya solidaritas selain mendukung hak penentuan nasib sendiri melalui Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), juga mestinya turut ambil bagian dalam membangun atau meningkatkan tenaga kerja Papua yang produktif untuk membangun perspektif yang internasionale di Papua.

Pendidikannya untuk Melawan

Banyak orang Papua lulusan kampus-kampus terbaik seperti UGM, UI, atau kampus-kampus ternama di Internasional seperti Melbourne University, Harvard University, dan lain-lain. Tapi tidak ada yang berani bicara Papua merdeka dan perjuangkan sosialisme untuk Papua.

Zuzan menuntaskan ilmu Kimia di UGM dan melanjutkan Kimia Lingkungan di Norwegia.

“Sa mau belajar bikin-bikin pencobaan kimia. Ada banyak bahan-bahan yang bisa dicoba untuk dibikin dalam laboratorium”. Kata Zuzan dalam cerita-cerita di kantor LBH Papua pada 2022 lalu.

Bagi Zuzan, ilmu kimia dipelajarinya adalah untuk kepentingan bangsa Papua, untuk melawan kapitalisme yang membuat ekosida di Papua.

Pelajaran

Bagi saya Zuzan itu seperti pagar bagi perempuan dalam gerakan perjuangan Papua. Ia berani kritik habis laki-laki Papua dalam organisasi Papua merdeka yang melakukan tindakan seksis. Ini membuat kawan perempuan Papua yang lain mendapatkan tempat dan keberanian di dalam gerakan-gerakan perjuangan Papua.

Zuzan mengingatkan saya pada kawan Heni Lani. Seperti yang ditulis oleh kawan Yokbeth Fele dalam Heni Lani: Perempuan Revolusioner dari West Papua bahwa, “Heni banyak diundang sebagai pembicara dalam diskusi-diskusi tentang perempuan karena kevokalannya terhadap masalah dan hak-hak perempuan. Ia kerap kali disebut sebagai aktivis perempuan, namun perjuangannya tak terbatas pada masalah perempuan. Heni adalah pemikir, seorang kawan berkata “Dia itu bisa dikatakan ideolog”.Heni punya pemikirannya dan alternatif tentang bagaimana Marxisme itu bisa digunakan di Papua.”

Heni Lani, juga Zuzan Chryztalia Griapon adalah para perempuan jenius yang mendasarkan analisa, sikap, tulisan, dan tindakannya pada Marxisme, materialisme, dialektika, dan historis yang dicetus Karl Marx dan Friedrich Engels.

Pada akhirnya, menjadi seorang revolusioner adalah ia yang menerima—dan membangun persatuan—dalam perbedaan ras, gender, golongan, agama tanpa pandang bulu. Bisa ikut menerima Islam sebagai agama di Papua, menerima trans gender sebagai manusia yang beradab seperti lainnya, menerima orang pendatang (amber) sebagai syarat membangun kebangsaan Papua.

Menjadi seorang revolusioner adalah ia yang menolak penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan di Papua dan dimana saja—tidak hanya sebatas teori, tapi juga praktek—yang meletakan musuhnya adalah sistem kapitalisme.

Menjadi seorang revolusioner adalah ia yang secara berani mengatakan kepada musuh bahwa ia menuntut kemerdekaan Papua dan memperjuangkan sosialisme.

Menjadi seorang revolusioner adalah ia yang telah menjadi anak bagi semua bangsa tertindas di muka bumi ini, dan di bumi Papua.

Menjadi seorang revolusioner adalah ia yang menolak semua tawaran kolonial dan kapitalis.

Dan Zuzan, juga Heni Lani telah memenuhi itu semua.

Kematian seorang kawan pejuang revolusioner Papua, meyakini saya tidak segan-segan kompromi terhadap kolonial dan kapitalis. Dan itu juga yang ada dalam jiwa Zuzan dan Heni.

Sa pu kawan. Sa sayang ko, Zuzan.

Selamat Jalan!

***

Mikael Kudiai
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Lao-Lao Papua

2 KOMENTAR

  1. Tulis tentang Susan saja, jangan ko tulis nama Forum Feminist West Papua dengan asumsi yang salah bahwa gerakan WPFF itu liberal. Penulis yang tak pernah hadir bersama kami, terlibat bersama kami baru tulis opini miring seperti ini memang khas gaya kamu.

    Obituari apa yg pake kritik-kritik orang dengan asumsi salah. Makanya hadir dlm kegiatan supaya pemahaman miring itu bisa terjawab. Kritik dan beri label pada gerakan lain dari jauh! Dasar manusia kurang kerjaan..

    Aktivis teoritis minim praktek itu ko, Mikael Kudiai.

  2. Kaka Ester Haluk pu maksud itu harus sama seperti yg dipikirkan kaka ester kah? Bikin gerakan feminjs tpi sabrng2, campur2, perspektifnya tra konsisten, itu berakibat dari org2 tra paham feminisme bangun gerakan feminis papua. itu yg terlihat nama naik saja.

    Tpi terlepas dari itu, apa yg dibicarakan oleh miku tentang zusan, itu benar adanya.

    Ko tunggu tulisan lain yg menegaskan siapa itu Zusan dan sikapnya terhadap WPFF.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan