Analisa Harian Sistem Kepemimpinan Ondofolo, Kolonialisme, dan Kapitalisme

Sistem Kepemimpinan Ondofolo, Kolonialisme, dan Kapitalisme

-

Kembali bahwa dalam kapitalisme hari ini, kekuasaan Ondofolo dan semua pandangan mistis yang melegitimasinya, mulai kehilangan eksistensinya, tetapi di lain hal, kaum aristokrat ini harus dipertahankan oleh penjajah untuk mendukung penjajahan di Papua.

Ondofolo dan Kepemimpinan Adat di Papua

Ketika berbicara tentang kepemimpinan adat di Papua, Mansoben (1995) mengklasifikasikan sistem politik tradisional di Papua menjadi empat bagian, yaitu: sistem politik pria berwibawa (big man), sistem politik kerajaan, sistem politik ondoafi, dan sistem politik campuran.[1] Artinya ada empat sistem kepemimpinan adat yang berada di Papua. Berbicara tentang Ondoafi, ciri utama dari sistem ini adalah pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional. Sistem politik Ondoafi memiliki persamaan dengan sistem politik kerajaan, namun yang membedakan kedua sistem ini adalah faktor-faktor teritorial dan orientasi politik. Wilayah atau teritorial Ondoafi hanya meliputi satu kampung dan satu golongan atau sub golongan etnik saja, berbeda dengan sistem kerajaan yang tidak terbatas pada satu kampung dan satu golongan. Selain itu, perbedaan lain juga adalah pusat orientasi kekuasaan pada sistem politik kerajaan adalah perdagangan, berbeda dengan sistem politik Ondoafi yang orientasi politiknya adalah religi.

Di Papua ada sembilan suku-bangsa yang mengenal sistem politik Ondoafi, yaitu: orang Skouw, orang Arso-Waris, orang Tobati, orang Ormu, orang Sentani, orang Moi, orang Tabla (Tanah Merah), orang Nimboran, dan orang Muris (Demta). Masing-masing suku-bangsa tersebut menggunakan istilah yang berbeda untuk menamakan pemimpinnya. Orang Waris menyebut pemimpinnya Mendir, dan orang Tobati menyebutnya Harsori. Orang Sentani menamakan pemimpinnya Ondohoro (Sentani barat) atau Ondofolo (Sentani tengah dan timur). Disini jelas bahwa penggunaan kata Ondofolo dalam tulisan ini hanya akan merujuk pada kepemimpinan adat yang berada di suku Sentani.

Mengapa kepemimpinan adat di Papua perlu dipahami? Hal ini tentunya akan berkaitan dengan bagaimana adat digunakan untuk tujuan penjajahan. Veronika Kusumaryanti dalam jurnalnya Pelembagaan Adat, Negara, dan Perjuangan bagi Penentuan Nasib Sendiri di Tanah Papua (2020) menulis, “Belanda membangun Pos Pemerintahan permanen pertama di Tanah Papua pada 1898, namun sampai dengan Perang Dunia II (1942-1945) mereka hanya menguasai kurang dari 50% keseluruhan dari wilayah Papua, sementara masih ada suku-suku di Papua yang hidup secara merdeka”.[2]

Kusumaryanti mengatakan bahwa ini terjadi karena pertama Belanda belum dapat melembagakan adat di Papua, yang mana ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan antropologi Belanda akan Papua beserta adat dan kebudayaannya.

Belanda baru melembagakan adat di Papua dengan mendirikan dewan daerah pertama di Byak bernama Kankain Karkara Biak pada 1948 dengan fungsi menasehati administrasi kolonial Belanda, tetapi ini dengan otoritas yang terbatas. Belanda juga memberikan laporan pada United Nation (UN) bahwa mereka memiliki keterbatasan dalam memahami kepemilikan tanah di Papua.

Barulah dalam penjajahan Indonesia, sekitar tahun 1970-1980an berbagai penelitian dilakukan oleh Indonesia untuk melakukan pembangunan di Papua dengan tujuan mengindonesiakan orang Papua. Adat menjadi hal yang harus diketahui oleh penjajah Indonesia. Dua topik utama yang diteliti oleh Indonesia adalah kepemilikan tanah dan kepemimpinan adat di Papua. Kusumaryanti menulis juga, “Perhatian khusus diberikan pada kepemimpinan orang asli mengindikasikan agenda orde baru untuk memanfaatkan kekuatan politik pemimpin-pemimpin ini bagi program-program pemerintah.”

Ketika Soeharto menjadi Presiden dan masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia telah merubah banyak hal. Komodifikasi yang merupakan ciri ekonomi kapitalis telah berhasil mengubah tanah, yang merupakan milik komunal menjadi milik pribadi melalui program sertifikasi tanah. Selepas tahun 1980an, tanah menjadi salah satu aset properti yang sangat diminati di Asia Tenggara. Ini yang diungkapkan oleh Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li, bahwa kuasa ekslusi merupakan dilema pertahanan di Asia Tenggara dan membagi ekslusi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah ekslusi yang diresmikan, seperti program transmigrasi yang merupakan program kerja Soeharto melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Semua itu mendorong konversi sejumlah besar lahan dan hutan untuk kegiatan komersial, industri, perumahan, tempat-tempat wisata dan pembangunan infrastruktur.

Program-program pembangunan ini tidak akan berjalan begitu saja tanpa adanya campur tangan dari pemimpin adat karena ini berkaitan dengan penguasaan akan tanah adat, tetapi di satu sisi, ini adalah keberhasilan dari penjajahan Indonesia yang mampu melakukan penelitian tentang adat dan kebudayaan orang Papua.

Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Kusumaryanti dalam tulisannya bahwa kekuatan negara, yaitu, Belanda dan Indonesia tidak dapat berdiri dengan kokoh tanpa keberadaan pemimpin adat dan kelembagaan adat. Hal penting lainnya yang dikemukakan oleh Kusumaryanti adalah kepemimpinan yang bersifat hierakis lebih mudah dikuasai dibanding kepemimpinan yang bersifat egaliter, seperti Big Man. Kepemimpinan Ondofolo bersifat hierakis karena ada struktur kepemimpinan, yang dengan sendirinya membentuk pemisahan antara pemimpin dan rakyatnya. Ada lapisan kepemimpinan dari Ondofolo sebagai pemimpin adat yang disebut sebagai penguasa, dibawah Ondofolo terdapat Yo Ondofolo (Ondofolo di dalam kampung) yang bertugas sebagai pelindung, dibawah Yo Ondofolo terdapat Abu Afhayang bertugas sebagai penasehat, dibawahnya terdapat kepala suku atau dalam bahasa sentani disebut Khoselo (biasanya satu kampung/golongan memiliki 5 kepala suku), di bawahnya lagi terdapat Akhona atau kepala keluarga (satu kepala suku akan membawai beberapa kepala keluarga), di bawahnya terdapat Abu akho yang bertugas sebagai pesuruh atau juru bicara, dan dibawah mereka yang memiliki tugas politik, terdapat rakyat.

Ondofolo dan Feodalisme di Sentani

Kepemimpinan Ondofolo sebelum tersentuh dengan penjajahan Belanda menunjukkan masyarakat adat di Sentani melewati fase feodalisme sebagai bentuk dari corak produksi dan formasi sosial. Hal ini dikarenakan kepemilikan sebuah wilayah berada dalam genggaman tangan Ondofolo sebagai pemimpin satu golongan atau wilayah. Ondofolo dikatakan sebagai titisan dewa atau yang terbaru ketika sekelompok masyarakat melakukan demontrasi menuntut dihapuskan peraturan kampung adat yang dianggap tidak demokratis dan otoriter karena Ondofolo yang memegang kuasa di kampung, lalu hal ini ditanggapi oleh beberapa Ondofolo di sentani dengan melaporkan para pendemo ke Polres Jayapura. Hal menarik terlihat ketika mereka diwawancarai, dimana seorang Ondofolo berkata, “Saya ingin nama baik kami dipulihkan. Di atas tanah ini, setelah Tuhan Yang Maha Esa, kami para Ondofolo yang dipercayakan untuk memimpin masyarakat”.[3]

Dalam pengantar pada pamflet yang ditulis Lenin yang berjudul Negara, Ismantoro menulis, “Dalam masa feodal walau pun mereka bebas, mereka tetap memiliki kewajiban untuk memproduksi kebutuhan hidup yang sebagian harus disetorkan kepada majikannya dan sebagian, yang jumlahnya sangat sedikit, digunakannya untuk mempertahankan hidup.”[4]

Dalam hal ini, Ondofolo adalah kelas tuan tanah karena ada kepercayaan bahwa Ondofolo adalah seorang titisan dewa dan ia adalah pemimpin yang memiliki kuasa atas tanah, air, udara, serta manusia. Ini sama halnya dengan negara lain yang melalui tatanan feodalisme. Corak produksi feodalisme di Sentani menunjukkan hal yang sama bahwa alat produksi dikuasai oleh kelas hamba. Kelas hamba di Sentani yang dimaksudkan adalah rakyat biasa dalam komunitas yang tidak masuk di dalam struktur pemimpin dalam birokrasi tradisional di Sentani. Kelas hamba di Sentani memiliki akses terhadap perkakas kerja, seperti perahu, jubi, dan alat-alat lainnya untuk menangkap ikan karena objek produksi yang berada di danau Sentani. Ketika mereka menemukan ikan, ada ikan yang dikhususkan sebagai ikan milik Ondofolo, yaitu ikan gabus hitam. Kelas hamba ini memiliki tanggung jawab untuk memberi persembahan dari hasil pertama yang ditanamnya. Hasil-hasil yang terbaik dari hasil panen pertama harus diserahkan pada Ondofolo.

Sama halnya dengan ukiran, ada ukiran tertentu yang dipercaya sebagai ukiran milik Ondofolo yang tidak boleh dipakai oleh mereka yang bukan berasal dari keturunan bangsawan atau keturunan Ondofolo, seperti misalnya ketika mereka membuat sempe (piring kayu dari sentani). Sempe yang telah diukir dengan motif tertentu hanya boleh dipakai oleh Ondofolo. Ada juga pandangan bahwa mereka yang berasal dari keturunan Ondofolo hanya boleh kawin dengan keturunan yang berasal dari struktur birokrasi tradisional. Keturunan Ondofolo tidak bisa kawin dengan keturunan dari rakyat biasa.

Kelas hamba di Sentani memiliki akses terhadap hutan, dusun sagu, kebun, dan danau sebagai objek produksi yang dimiliki secara kolektif. Aktivitas berburu-meramu yang dilakukan secara kolektif terlihat dalam masa feodalisme, tetapi tetap saja terjadi pemisahan kelas dan ketimpangan sosial di dalamnya. Untuk menjaga kepentingan kelas tuan tanah, maka ada sistem pewarisan kekuasaan, makanya disebutkan di atas bahwa sistem kepemimpinan Ondofolo adalah sistem pewarisan kekuasaan dan birokrasi tradisional.

Ketika berbicara tentang sistem kepemimpinan Ondofolo, Mansoben menyebutkan bahwa yang membedakan sistem Ondoafi dengan sistem kerajaan adalah orientasi politiknya. Sistem Ondofolo melekat dengan sistem kepercayaan atau religi.

Lenin mengatakan bahwa tidak boleh mengaitkan negara dan agama, seperti pandangan masyarakat bahwa, “Negara itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang sakti, bahwa negara adalah suatu kekuatan tertentu yang menyebabkan umat manusia hidup. Negara adalah suatu kekuatan yang bersumber dari sesuatu yang suci dan gaib”. Hal ini berdampak pada pandangan bahwa manusia hidup membutuhkan negara, padahal ada fase dimana manusia pernah hidup tanpa negara.

Marx benar, bahwa keberadaan manusia ditentukan oleh reproduksi sosial dan menjadi manusia.[5] Artinya, karena manusia mereproduksi diri mereka sendiri. Dalam mereproduksi, hubungan yang telah terbagi menjadi dua kelas yang saling bertentangan, maka perlu tautan antara basis ekonomi dan suprastruktur dalam sistem sosial. Agama mula-mula di Sentani dengan kepercayaan tradisional terhadap Dewa Matahari telah mengantarkan pandangan bahwa Ondofolo adalah keturunan dari Dewa Matahari atau Hu Ondofolo. Hal ini menjadikan kepemimpinan Ondofolo sebagai sesuatu yang mistis dan gaib, namun masuknya agama Kristen membuat Ondofolo merasa otoritas kepemimpinan mereka berada dibawah Tuhan. Artinya terjadi perubahan dalam melihat siapa sesungguhnya Tuhan mereka atau siapa sesungguhnya yang berada diatas Ondofolo? Hal ini sekali lagi berdampak fatal pada pertanyaan berikut, apakah sistem keondofoloan itu bersifat statis atau dinamis? Faktanya sistem keondofoloan bersifat dinamis. Ia mengalami pergerakan dari masa ke masa. Sistem keondofoloan, aturan atau hukum, dan agama hadir sebagai suprastruktur yang memperkuat fondasinya, yaitu basis. Sebuah kepercayaan diciptakan untuk menjaga kepentingan kelas dengan cara mereproduksi ketundukan dan kepatuhan terhadap kelas tuan tanah.

Inilah yang dikatakan oleh Marx bahwa, “Manusia menjadikan agama, agama tidak menjadikan manusia. Agama adalah kesadaran diri dan harga diri manusia yang belum menemukan dirinya atau sudah kehilangan dirinya. Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, jantung dari dunia yang tidak berperasaan, sama seperti agama adalah semangat dari kondisi yang tidak memiliki semangat. Itu adalah candu masyarakat.”

Sejarah kemunculan masyarakat Sentani yang dituliskan oleh salah satu antropolog asal Sentani bernama Andreas Deda, membuat saya telah sampai pada kesimpulan bahwa Ondofolo bukanlah titisan Dewa dan kepemimpinan Ondofolo ditemukan atau dibentuk di satu masa tertentu, sama halnya dengan penomorduaan perempuan dalam masyarakat Sentani. Artinya Masyarakat Sentani pernah melalui satu tatanan yang disebut sebagai komunal primitif sewaktu mereka belum menemukan satu wilayah sebagai milik mereka dan ketika mereka masih hidup berpindah-pindah. Mereka pernah berada dalam satu masa, dimana tidak ada pemimpin yang menguasai mereka. Dalam masa ini, kelas-kelas belum terbentuk. Sementara agama atau kepercayaan spiritual mengenai Dewa Matahari adalah hasil dari ketidaktahuan masyarakat, yang mempercayai hal-hal mistis dan gaib sebagai akibat dari belum adanya pengetahuan yang mampu menjelaskan tentang fenomena-fenomena alam yang terjadi. Pada akhirnya agama hadir untuk menjaga kepentingan kelas, dimana Ondofolo dikatakan sebagai titisan Dewa atau wakil Tuhan di bumi agar ada penghormatan dan kepatuhan terhadap kepemimpinan Ondofolo.

Telah terjadi transisi dari komunal primitif ke feodalisme pada suku Sentani yang ditandai dengan kemunculan kelas. Terbentuknya tatanan feodal adalah proses yang panjang karena manusia yang terbentur oleh kondisi objektif saat itu, membentuk atau menciptakan dirinya berdasarkan pengetahuannya. Manusia Sentani mulai mengenal pemimpin dan mulai melihat bahwa haruslah laki-laki yang menjadi pemimpin karena mereka meyakini bahwa dewa matahari atau Tuhan adalah laki-laki. Manusia mulai berpikir bagaimana mereka menjaga eksistensi kehidupan mereka adalah ketika mereka berhasil menduduki satu wilayah. Mereka mulai mengatur diri mereka dengan aturan dan hukum yang diciptakan, dimana mereka mulai meyakini bahwa mereka tidak boleh mencuri, mereka tidak boleh bersetubuh dengan perempuan yang bukan istri mereka, mereka harus menghormati pemimpin mereka, kepemilikan terhadap tanah adalah milik laki-laki. Mereka juga mulai mengenal seni ukir ketika mereka berhasil menempati satu wilayah karena disini mereka mendapatkan kesempatan untuk berimajinasi, yang berarti setiap perjalanan mereka dilukiskan dalam bentuk ukiran agar mereka dapat mengingat sejarah mereka. Proses berpikir untuk mendapatkan media dan menuliskan perjalanan mereka dengan cara mengukir pada kayu adalah sebuah pengetahuan yang didapatkan ketika manusia hidup bersama dengan alam. Menurut Marx aspek paling penting dari corak produksi feodalisme adalah sistem agraria. Pengenalan manusia dengan alam hingga berhasil memproduksi hasil-hasil dari alam untuk dimakan, dibagi dan diserahkan sebagai persembahan pada Ondofolo adalah proses panjang dalam sejarah manusia Sentani.

Marx mengatakan, “Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak bisa membuatnya tepat, seperti yang mereka sukai; mereka tidak membuatnya dalam situasi-situasi yang dipilih oleh mereka sendiri, melainkan dalam situasi-situasi yang langsung dihadapi, ditentukan dan ditransmisikan dari masa lalu.”

Pada pokoknya sistem Ondofolo terbentuk dan menemukan bentuknya yang sempurna dalam feodalisme. Sementara itu, runtuhnya feodalisme di Sentani terjadi sebagai akibat dari masuknya penjajahan Belanda di Sentani. Danau Sentani sendiri baru ditemukan oleh Pendeta GL Bink pada tahun 1896, sebab barulah di akhir Abad ke-19, penjajahan Belanda mulai memasuki wilayah Sentani, dimana ini ditandai juga dengan masuknya tim ekspedisi Belanda dan masuknya agama, lalu disusul oleh pendidikan dan pemerintahan Belanda. Barulah setelah bersentuhan dengan Belanda di awal Abad ke-20, masyarakat Sentani mulai mengenal penggunaan pakaian modern dan mulai membuka perkebunan dengan komoditi, seperti kapas, cokelat, dan lainnya. Selain itu juga sistem pemerintahan Korano yang berada pada level kampung mulai diperkenalkan.

Masuknya penjajahan bukan sekedar mengambil kekayaaan dari Papua Barat yang ditaklukkan, tetapi juga mengubah struktur perekonomian dan membawa rakyat dalam hubungan yang kompleks.

Babak Penjajahan dan Penjarahan

Mengapa saya perlu repot-repot menjelaskan tentang feodalisme di Papua, khususnya di Sentani? Karena untuk menunjukkan bahwa pendekatan materialisme historis sangat relevan untuk mengupas sejarah masyarakat di Papua yang penuh dengan mistifikasi, serta untuk menganalisa bentuk-bentuk corak produksi dan formasi sosial yang ada di Sentani. Ketika kita terjatuh pada mistifikasi tentang sejarah suku dan kepemimpinan kita, kita pula akan secara sukarela menerima penindasan, penguasaan, serta bentuk-bentuk ketimpangan dan ketidakadilan yang direduksi dalam bentuk kepercayaan bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini adalah takdir.

Dalam situasi penjajahan hari ini, kelompok Ondofolo di Sentani menjadi kelompok aristokrat yang harus dipertahankan eksistensinya oleh penjajah untuk memberikan legitimasi pada penjajahan dan produk penjajah, seperti halnya pemekaran. Ketika pemekaran terjadi, yang muncul di Sentani adalah Ondofolo sebagai tokoh adat yang digunakan untuk mendukung pemekaran.[6] Kelompok ini sama halnya dengan kelompok priyayi pribumi di masa penjajahan Belanda di Jawa yang diberikan kekuasaan oleh penjajah Belanda pada masa itu.

Sistem kepemimpinan adat yang hirarkis mempermudah proses penjajahan karena penjajah cukup memegang pemimpin-pemimpin adat, yang memiliki pengaruh dan kuasa, maka dengan begitu, mereka tidak perlu repot-repot menguasai seluruh rakyat karena secara adat dan kebudayaan, rakyat patuh pada pimpinan adatnya, terlebih rakyat Papua yang menjunjung tinggi adat dan kebudayaannya. Inilah alasannya saya selalu menolak pemikiran yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang statis, maka kebudayaan tidak bisa dirubah. Dalam pandangan dialetika, perubahan adalah hal yang tidak dapat terhindarkan, dimana perubahan dan pergerakan selalu melibatkan kontradiksi di dalamnya.

Dalam skripsi saya Eksistensi Ondofolo Sebagai Pemimpin Adat Dalam Sistem Pemerintahan Modern (2023), saya menjelaskan tentang dualisme kepemimpinan dalam lingkup organisasi yang disebut sebagai kampung di Sentani, yang memiliki dampak terhadap eksistensi Ondofolo sendiri. Ketika Belanda menjajah Papua dan sampai Indonesia menjajah Papua, mereka sama-sama membawah pemerintahan di lingkup kampung, yang dengan sendirinya akan menemukan berbagai kontradiksi.[7]

Inilah yang dimaksud Antonio Gramsci, bahwa hegemoni berada pada ranah suprastruktur, dimana faktor politik dan ideologi pada derajat tertentu tidak hanya ditentukan oleh basis, melainkan mempengaruhi basis.[8] Hegemoni sebagai wujud dari kapitalisme berhasil masuk melalui agama, pemerintahan dan pendidikan kemudian menggeser apa yang ada pada satu komunitas, atau yang modern menyingkirkan apa yang dianggap tradisional dan suprastruktur tersebut memperkuat basis sebagai fondasi. Keruntuhan feodalisme di Sentani tidak terlepas dari bagaimana prakondisi itu diciptakan melalui peran agama dan pendidikan yang merubah pola pikir hingga kebudayaan-kebudayaan Eropa yang masuk merubah pola berpakaian dan pola makan. Untuk berkuasa, maka hegemoni penguasa itu disebarluaskan melalui berbagai konsesus dengan tujuan penaklukan.

Kembali bahwa dalam kapitalisme hari ini, kekuasaan Ondofolo dan semua pandangan mistis yang melegitimasinya mulai kehilangan eksistensinya, tetapi di lain hal, kaum aristokrat ini harus dipertahankan oleh penjajah untuk mendukung penjajahan di Papua.[9]

***

Referensi

[1] Mansoben. 1994. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

[2]. Kusumaryanti, V. 2020. Pelembagaan Adat, Negara dan Perjuangan bagi Penentuan Nasib Sendiri di Tanah Papua. Wacana: Jurnal Transformasi Sosial, 38:13-34.

[3] Baca: https://jubi.id/jayapura-membangun/2023/sejumlah-ondofolo-tuntut-denda-adat-dan-proses-hukum-atas-pencemaran-nama-baik/ (diakses pada 29 Desember 2023)

[4] Lenin. 2021. Negara. Yogyakarta: Red Book.

[5] Baca: https://www.marxists.org/reference/archive/smith-cyril/works/alteration/ch06.htm (diakses pada 28 Desember 2023).

[6] Baca: https://laolao-papua.com/2022/02/02/pelacuran-elit-politik-papua-lewat-otsus-dan-pemekaran/ (diakses pada 27 Desember 2023)

[7] Felle, Y. 2023. Eksistensi Ondofolo Sebagai Pemimpin Adat Dalam Sistem Pemerintahan Modern. Jayapura.

[8] Baca:  https://indoprogress.com/2014/11/rekonstruksi-determinisme-basis-suprastruktur-hegemoni-dalam-kerangka-dialektika-basis-suprastruktur/ (diakses pada 27 Desember 2023)

[9] Baca: https://laolao-papua.com/2022/12/08/paniai-berdarah-dan-wajah-kolonialisme-di-papua/ (diakses pada 27 Desember 2023).

Yokbeth Felle
Penulis adalah aktivis dan Pengasuh Rubrik Perempuan Lao-Lao Papua.

3 KOMENTAR

  1. Menarik untuk semua kawan kawan gerakan di suku masing di papua untuk coba merefleksikan kembali sistem adat, pelembagaan adat dan perkembangannya.
    Pelru ada satu diskusi yg melibatakan kwan kwan gerakan untk melihat kembali fenomena ini..

  2. Pada dasarnya, semua struktur organisasi yang dibuat oleh manusia mempuyai tujuan; diantaranya, untuk melegalkan kepentingan pribadi ataupun kepentingan komunitas. Luar biasa dan salut!. Hal seperti ini yang harus terus di gaungkan oleh teman² gerakan sehingga dapat membangun kesadaran sosial masyarakat.

  3. Memajukan akal, budi, dan daya; tiada lain tempat dari pada menuliskannya (meliterasi dan mendokumentasi hingga mem-pustakakannya). Kebiasaan massa hidup yg torang sebut sebagai budaya atawa kultur bukannya begitu saja ada, tetapi kita (nenek-moyang) ciptakan; entah dalam bentuk invension baru, perombakan, percampuran, atau akibat desakan bencana, serangan sampai perang. Dalam proses itu semua kitong temukan berbagai konflik yang bukan saja membuat gelora reaksi, juga penolakan-total. Dalam pengalaman akhir-akhir ini, adalah bentuk pemerintahan (organisasi resmi yang didukung alat-alat penindasan seperti militer & polisi) yang sangat terasa membuat hal-hal lain dan baru; Ada juga Non-pemerintahan yang bergeraknya seperti oposisi nan malu-malu kucing, karena semua upaya tergantung dana dan sapa yang beri itu. Hal lama, usang, tidak harus dibantai lenyap, ia bisa saja tetap menjadi satu badan kemasyarakat biasa tetapi dengan rambu-rambu (aturan, hukum, undang-undang) baru dan terbarukan. Kitong toh melihat bagaimana bentuk-betuk kerajaan di lain dunia seperti banyak kingdom yang meleleh [konon jado modern] tetapi itu keluarga royal tetap dijaga deng hormat, tapi tra punya kuasa memerintah, karena udah ada lembaga lain yang urus. Di kepulaan Nusantara dan Melanesia, sisa-sisa dan reruntuhan kerajaan-kerajaan, kesultanan, bandar ada baru dianggap kembali setelah adanya asosiasi mantan-kerajaan Asia. Karena UNESCO melebarkan sayap deng beri dana World Heritage. Maksudnya, bukan menghidupkan kembali kerjaan-kerajaan tersebut, tetapi mempertahankan sekaligus memajang sisa-sisa (benda) peninggalan yang dalam kenyataannya toh menjadi cagar budaya dan objek perturisan. Alih-alih memberi pendidikan, ini beri modal agar kita dijadikan benda/mahluk objek turis semata. Sa tra mo bilang apa ini salah atau tidak, sa hanya ingin kitong baku telisik dan berbicara dengan lapang, terbuka, terus menulis seperti ini —- salam pembebasan Papua, salam literasi Papua, salam universitas Kakiabu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan