Teologi feminis adalah suatu usaha menalar hal-hal kepercayaan kepada Tuhan dan keagamaan dalam sudut pandang feminis. Kata Feminis sendiri berkaitan erat dengan gerakan politis perempuan di akhir tahun 1960an. Suatu sikap kritis perlawanan perempuan terhadap superioritas dan dominasi gender patriarkat.
Adapun ide-ide kritis dalam pergerakan ini lahir dalam dialektika pengalaman feminis dengan ideologi-ideologi yang muncul pada masa itu, misalnya kesadaran ideologis di balik revolusi Perancis, gerakan sosialisme, falosentrisme, dan lain sebagainya.
Sesungguhnya, feminisme sebagai sebuah gerakan perempuan yang terorganisasi dengan baik telah dapat ditelaah jauh ke belakang dari pada itu. Meski demikian, terdapat dua aktivitas utama dalam sejarah pergerakan di masa-masa awal, yakni gelombang pertama di tahun 1860an hingga 1920, dengan tokoh seperti Mary Woolstonecraft dan gelombang kedua di tahun 1960an dan 1970an, yang identik pula dengan kelahiran negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan negara-negara eropa.
Pada periode dalam gelombang yang kedua inilah teologi feminis muncul sebagai sebuah upaya mengadopsi kritik feminis dan paradigma rekonstruksi gender ke dalam ranah teologi. Hadirlah tokoh seperti Elisabeth Cady Stanton bersama para kawan-kawan feminis lainnya yang menerbitkan The Woman’s Bible di tahun 1895-1896.
Hadir pula tokoh lainnya seperti Rosemary Radford Ruether, yang membangun keprihatinan feminisnya bersama dua pendekatan teologi yang juga muncul kala itu yakni, teologi pembebasan di Amerika Latin dan teologi hitam (black theology), yang menentang keras hegemoni refleksi teologi laki-laki kulit putih.
Teologi feminis lahir dalam sebuah kegelisahan akan dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan sehubungan dengan bahasa laki-laki untuk Allah yang bersifat eksklusif, pandangan bahwa laki-laki lebih seperti Allah daripada perempuan, hanya laki-laki saja yang merepresentasikan Allah sebagai pemimpin di dalam gereja dan masyarakat, atau bahwa perempuan diciptakan oleh Allah untuk tunduk kepada laki-laki, dan oleh karena itu berdosa jika menolak subordinasi tersebut.
Elisabeth Schussler Fiorenza, seorang teolog feminis lainnya menerangkan bahwa perspektif kebudayaan yang berpusat kepada laki-laki telah menentukan semua tulisan teologi dan sejarah, maka dikenal sebuah istilah his-story (cerita-nya [milik laki-laki]).
Pada konsep ini, Fiorenza berpandangan bahwa jika perempuan ingin kembali berhubungan dengan akar dan tradisinya, ia harus menulis kembali tradisi dan teologi sedemikian rupa sehingga teologi bukan lagi menjadi his-story melainkan juga her-story (cerita-nya [milik perempuan]) yang direkam dan dianalisis dari sudut pandang feminis. Dalam rangka itulah teologi feminis hadir untuk medorong upaya-upaya merekonstruksi simbol-simbol dasar teologi dalam bahasa yang lebih bersifat gender inklusif dan egaliter.
Lebih daripada itu bagi Fiorenza, teologi feminis juga bertujuan untuk mendorong suatu gerakan emansipasi di dalam gereja, bahwa teologi dan gereja harus dibebaskan dan dimanusiawikan jika ingin melayani orang-orang dan tidak menindas mereka. Sehingga ada suatu usaha untuk menggalang kesadaran para teolog perempuan agar menyadari penindasan yang terjadi pada diri mereka sendiri maupun penindasan terhadap orang lain di sekeliling mereka.
Di kemudian hari, munculah kesadaran akan keanekaragaman kebudayaan di antara perempuan. Teolog perempuan Asia, Kwok Pui-Lan misalnya, mengatakan anggapan bahwa teologi para perempuan kulit putih membuka jalan bagi kehadiran teologi para perempuan kulit hitam, Hispanik, dan teologi para perempuan dunia ketiga lainnya.
Istilah dunia ketiga di sini menunjuk kepada komunitas masyarakat dunia dimana memiliki pengalaman bersama sebagai eks-koloni dunia Barat, mengalami apa yang disebut Gayatri Spivak sebagai “subaltern” yakni kelompok bawahan yang tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan apa yang dialaminya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kepelbagaian pengalaman dalam budaya dan konteks perempuan telah menjadikan teologi feminis itu bersifat multikultural tetapi juga interkultural. Karena pengalaman-pengalaman itu sejatinya tidak saja berbeda tetapi saling kait mengait, misalnya pengalaman perempuan-perempuan dalam penindasan, perbudakan, dan hegemoni kebudayaan barat.
Musa Dube, seorang teolog perempuan hitam dari Botswana bahkan mengkritik teologi feminis barat yang baginya terlalu bersikap menyamaratakan patriarki dengan Imperialisme. Padahal bagi Dube, imperialisme adalah suatu usaha mengonstruksi yang ditundukan sedemikian rupa sehingga mereka pada akhirnya percaya bahwa mereka harus bergantung pada penguasa mereka, serta menciptakan struktur yang pada akhirnya akan membuat mereka tergantung.
Bagi Dube, imperialisme melibatkan baik kelas pemilik benda maupun kelas miskin, laki-laki maupun perempuan pada bangsa-bangsa tertentu yang bertindak bersama-sama untuk berkuasa atas bangsa-bangsa dan ras-ras yang jauh dengan cara melaksanakan sistem kekuasaan.
Maka baginya teologi feminis harus dibangun di atas keprihatinan yang mendasar pada pengalaman perempuan yang beragam supaya dapat bersifat inklusif bahkan di antara para perempuan dalam keanekaragaman ras dan bangsa untuk memahami realitas perempuan dengan situs perjuangannya masing-masing di tengah masyarakat.
Seorang teolog perempuan asal NTT, Ira Mangililo menyampaikan bahwa teologi feminis yang diproduksi dalam konteks Barat ini kemudian ditantang oleh kemunculan kesadaran akan keanekaragaman kebudayaan di antara para perempuan. Di sinilah para perempuan terutama yang berasal dari dunia ketiga mengartikulasikan teologi feminis mereka sendiri yang memberikan perhatian kepada isu-isu seperti kolonialisme, perbudakan, kemiskinan, eksploitasi, dan genosida.
Di Tanah Papua, sebagaimana telah kita ketahui bersama, ada lapisan ketidakadilan yang membelenggu rakyat Papua, termasuk para perempuan, untuk merengkuh kebahagiaan dan kesejahteraan di atas tanah dan negerinya sendiri. Rasisme yang seringkali dipandang sebagai akar dari rasa frustasi rakyat asli Papua menjadi Indonesia, ada juga masalah konflik agrarian dan perampasan tanah untuk perkebunan, eksploitasi hutan, dan tambang yang semakin akut tidak selalu dibicarakan bersamaan dengan salah satu ekspresi rasisme dari pembangunan Indonesia di Papua.
Laksmi A. Savitri mengatakan bahwa perampasan tanah di Papua seringkali dipandang sebagai suatu bentuk marginalisasi ekonomi rakyat Papua yang prosesnya baru terjadi ketika Papua ‘dinegarakan’ menjadi Indonesia. Proses ‘menegarakan’ (state-making) Indonesia di Papua melalui mekanisme homogenisasi kultur atau penyeragaman identitas budaya yang menggunakan cara-cara seperti operasi koteka, ‘berasisasi’, serta pelanggaran bahasa serta kesenian lokal berlansung bersamaan dengan pengambilalihan tanah dan alam atas nama ideologi pembangunan dan modernisasi.
Penghilangan hutan beserta keterikatan pada tanah dan alam ini telah mengakibatkan koteka, sagu, bahasa, dan seni kehilangan tempat berinduk. Cerita tentang asal-usul penciptaan alam dan manusia, lahirnya nenek moyang dan nama marga, istilah, dan bahasa, ritus dan tarian, keseluruhan hak atas hidup dan identitas telah dicabut, lalu lenyap seiring dengan gerak buldoser meratakan tanah dan gergaji mesin mematikan hutan, mengeringkan air.
Bagi Savitri, dalam masalah Papua, rasisme adalah juga persoalan tanah dan darah. Perampasan tanah dari orang asli Papua bukan sekedar tindakan berdampak material (pemiskinan secara ekonomi), tetapi sekaligus tindakan rasis, yaitu berupa pembunuhan kultural dan perusakan ikatan kekerabatan. Oleh karena itu masalah tanah di Papua bukan lagi persoalan adat versus negara, melainkan masalah rasialisme dalam proses pembentukan negara Indonesia di Papua.
Kompleksitas masalah di Tanah Papua ini ditanggung bersama oleh setiap pihak, namun bagi perempuan, situasi politik yang ada ini menjadi suatu beban berlapis bersama-sama dengan sistem patriarki yang melanggengkan akses subordinasi kepadanya. Maka seringkali pekat masalah ini membungkam perempuan untuk bersuara. Diana Binkor Jenbise menyebut situasi penindasan ganda ini dalam kalimat “suara ‘sang cenderawasih’ yang membisu.”
Bagi Jenbise, perjuangan perempuan Papua untuk menggapai keadilan harus diceritakan kembali oleh mereka sendiri, berdasarkan tubuh dan pengalaman hidup mereka. Di samping itu, kita dapat melihat bagaimana mereka terhubung satu sama lain untuk berjuang keluar dari kebisuannya. Kisah-kisah perempuan harus menjadi teks suci di dalam setiap agama tetapi juga pengalaman hidup manusia. Teks suci itu terdiri dari tubuh, kehidupan, dan pengalaman perempuan saat mereka berjuang untuk melepaskan diri dari penderitaan, diskriminasi, dan marginalisasi dalam masyarakat dan juga institusi keagamaan yang masih bersifat patriarki.
Adalah Mama Yosepha Alomang salah satu dari perempuan Papua yang menolak untuk menjadi cendrawasih yang bisu. Dalam protesnya kepada operasi tambang PT. Freeport, sebagaimana dicatat oleh Beny Giay dan Yafet kambay dalam buku Yosepha Alomang: Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, Mama Yosepha berkata: “Gunung Nemangkawi itu saya, danau Wanangong itu saya punya sum-sum, laut itu saya punya kaki, tanah di tengah ini tubuh saya. Ko sudah makan saya, mana bagian dari saya yang ko belum makan dan hancurkan? Ko sebagai pemerintah harus lihat, dan sadar bahwa ko sedang makan saya, coba ko hargai tanah dan tubuh saya!”
Bukan hanya itu rangkaian pergerakan dan protes juga digaungkannya dalam semangat untuk menulis teks suci di atas pengalaman tubuh perempuan Amungme-nya, sejak tahun 1974. Mulai dari aksi memotong sayur dan bongkar koperasi Freeport, karena kesal dengan ulah Freeport yang mendatangkan sayuran dari luar dan mengabaikan potensi perkebunan lokal, terutama ketika penolakan dilakukan dengan alasan bahwa sayuran para mama ini kotor. Terang saja sikap angkuh ini menyakitkan bagi kelompok petani perempuan yang sehari-hari kegiatan perkebunannya menghirup debu kendaraan Freeport yang lalu-lalang pada jalur-jalur berkebun mereka.
Adapun di atas pengalaman itu, Mama Yosepha dan kawan-kawannya melantunkan nyanyian satir: “debu dari trek Philiphina tutup muka kami, debu dari trek Amerika tutup hidung kami, debu dari trek Korea tutup mata kami, debu dari trek Indonesia tutup badan kami.” Sungguh ironis jika sayur hasil kebun para perempuan ini ditolak karena kotor, padahal jiwa imperialisme mereka yang menolak, bersama dengan debu kendaraan yang mereka bawa yang telah merusak murni udara ulayat tanah Amungme itu jauh lebih kotor.
Sebagai seorang “Mama” bagi suku bangsanya, Mama Yosepha juga menunjukan kepeduliannya yang besar saudara-saudara sesukunya yang lain, yang ditangkap dengan tunduhan berafiliasi dengan OPM. Ia dan kawan-kawannya, mereka mengumpulkan uang, dipisahkan sebagian uang dari hasil usaha itu sebagai persembahan di gereja, dan sebagian lagi diamplopkan bersama dengan surat-surat yang diantarkan ke pos-pos tantara tempat para saudara mereka ditahan, konon bunyi surat itu demikian: “Kami harap supaya anak-anak ini tidak dibunuh, sebab dia juga seorang manusia, dia juga buat (ikut OPM) itu karena dia ada pikiran yang bikin dia kecewa, dan juga pemerintah ada itu bukan untuk membunuh rakyat.”
Di tahun 1980 hingga seterusnya, kegiatan-kegiatan perjuangan itu menjadi lebih terorganisir melalui hadirnya kelompok doa bagi para perempuan ini yang mereka namai, kelompok doa “Kulalok” – yang kemudian pula menjadi koperasi dan badan sosial bagi komunitas “indigenous” di kemudian hari. Aksi sosial yang mereka mobilisasikan berbasis pada pelayanan gereja, tetapi tentu juga menyentuh aspek-aspek sosial dan kemanusiaan secara menyeluruh. Komunikasi dengan PT. Freeport pun kian menemukan ruang-ruang diplomasi yang memungkinkan Mama Yosepha dan para perempuan lainnya mengklaim hak-hak mereka mewakili kaum keluarga dan komunitasnya. Meskipun begitu kita tentu tidak dapat berharap banyak kepada motif-motif kapitalisme itu, karena sesungguhnya yang menjadi konsen mereka tentu saja adalah akumulasi kapital, konsentrasi kapital, dan sentralisasi kapital demi kepentingan tambang di atas bumi Amungme.
Pada titik itulah, gereja menjadi “rumah aman” yang dipilih oleh Mama Yosepha dan kawan-kawan sebagai tempat berpijak, ruang-ruang membangun narasi tubuh kritis mereka di atas negeri yang secara beringas telah dirusak oleh kapitalis. Oleh karena itu, di suatu pekan gereja, Mama Yosepha dan saudari-saudarinya membawa telur di dalam noken dan menyerahkan itu kepada Uskup Leo Labladjar. Uskup Leo bertanya kepadanya : “Apa yang saya buat dengan telur ini? Bagaimana kalau dia pecah?” jawab Mama Yosepha dengan singkat dan bijaknya: “Bapa Uskup jaga to!”
Sikap simbolis Mama Yosepha kepada gereja melalui Bapa Uskup inilah teologi feminis itu. Teologi yang berbicara dari dan melalui pengalaman ketubuhannya sebagai perempuan. Bahwa Ia memulai wacananya tentang Allah secara antropologis, pengenalan Mama Yosepha dan para saudarinya akan diri mereka sendiri telah mengantar mereka untuk memahami Allah. Telur adalah lambang kerapuhan umat di atas Tanah Papua; dan Bapa Uskup sebagai Bapa gereja adalah representasi gereja dalam kepemimpinan Allah; Noken adalah simbol rahim perempuan, keajaiban tubuh tempat pengalaman perempuan merenggang nyawa melahirkan untuk menghadirkan kehidupan.nTubuh perempuan adalah tubuh sosial, tempat berlangsungnya perpetuasi spesies. Hamil dan menyusui bukan untuk si perempuan sendiri tetapi untuk kelangsungan peradaban.
Menyerahkan noken berisi telur kepada gereja adalah sebuah gumul teologi perempuan “menitipkan” rahim kehidupan yang mereka pikul di dalam tubuh mereka, “dijaga” oleh gereja. Ketika tindakan ini kemudian menuai kritik dari salah satu Bapak kepala desa, mama Yosepha pun menjawab: “Karena gereja itu perempuan, dia melahirkan, dia bisa memelihara, dan bisa pikirkan masa depan kami. Sementara pemerintah hanya kejar uang, kedudukan dan harta dan pangkat. Sehingga dengan memberikan noken ini kami bermaksud supaya gereja bisa bekerja untuk menyelamatkan dan melindungi kami dari pemerintah Indonesia yang datang ke sini untuk membunuh dan memusnahkan kami.”
Pada akhirnya, suara kritis mama Yosepha adalah jawaban tentang relevansi teologi feminis bagi pembebasan itu. Sebab teologi feminis bukanlah epistemologi yang kaku di balik narasi teologi tembok-tembok gereja. Teologi feminis hidup dalam pengalaman diri setiap perempuan yang merengkuh Allah; membaca kitab sucinya, berdoa bagi keluarga dan bangsanya; duduk, berdiri, berlari, berjuang, berteriak, dan melawan kejahatan. Teologi feminis bukan juga identifikasi wajib dari representasi hegemonik tertentu, ia adalah representasi yang emansipatif. Melaluinya para perempuan juga laki-laki secara bebas dapat merefleksikan nilai-nilai spiritualitasnya dalam berpartisipasi secara aktif membangun dunia yang adil, setara, dan membebaskan.
Seperti saat Yesus memanggul salib ke Golgota, Yesus bersua dengan para perempuan yang berdiri di sepanjang jalan salib dan meratapi penderitaan-Nya. Yesus menghargai bela rasa para saudara perempuannya itu. Dalam penderitaan mereka sendiri mereka berdiri untuk menjadi sahabat dalam solidaritas jalan salib itu. Mereka membawa serta pula penderitaan anak-anak, suami, dan pribadi-pribadi lain yang dekat dengan kehidupan mereka. Perempuan menjadi saksi atas kriminalitas rezim yang menghukum korban tanpa kesalahan dengan memandang penyaliban Yesus.
Jalan keadilan bagi rakyat dan tanah Papua adalah jalan salib, sekiranya para perempuan turut membopong salib dan tubuh Yesus bersama-sama dengan tubuhnya sendiri, bersama dengan tubuh bangsanya, maka kisah teologis ini akan berkelanjutan, akan senantiasa lahir dari rahim kita, Maria Ibu Yesus, Maria Magdalena, Yohana, Susana, Yosepha, dan seribu perempuan tanpa rasa takut.
***
Daftar Pustaka:
Andalas M. P (2009). Lahir dari Rahim. Yogyakarta: Kanisius.
Fiorenza E. S dalam Theological Studies, Vol 37 (1975). Feminist Theology as A Critical Theology of Liberation.
Giay B, Kambai Y (2003). Yosepha Alomang: Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan. Jayapura: Elsham Papua.
Jenbise D. B dalam Jurnal Perempuan Vol.26 No.3 (2021). Suara “Sang Cenderawasih” yang Membisu: Perjuangan Para Perempuan Papua dalam Menggapai Keadilan.
Lianawati E (2022). Akhir Pejantanan Dunia. Yogayakarta: Eabooks.
Mangililo D. I dalam Dari Disabilitas ke Penebusan (2016). Teologi Feminis sebagai Teologi di Ruang Ketiga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Savitri L dalam Wacana: Jurnal Transformasi Sosial Nomor 38 (2020). ‘Menegarakan’ Tanah dan Darah Papua. Yogyakarta: Insist Press..