Ditulis oleh Renie Aryandani dan Rio Kogoya
Suku Awyu merupakan masyarakat adat dari Boven Digoel, Papua Selatan. Sementara suku Moi berasal dari Sorong, Papua Barat Daya. Tanah adat memiliki arti yang sangat penting bagi Suku Awyu dan Moi di Papua. Sebagai sumber kehidupan, identitas budaya, dan warisan leluhur, tanah adat tidak hanya memberikan kebutuhan fisik, tetapi juga spiritual. Kedaulatan Suku Awyu dan Moi atas tanah adatnya berada dalam ancaman serius akibat ekspansi perusahaan kelapa sawit. Masalah ini mencerminkan konflik yang lebih luas antara kepentingan ekonomi dan hak-hak masyarakat adat.
Tanah adat bagi Suku Awyu tidak sekadar lahan fisik, melainkan ruang kehidupan yang mengandung nilai-nilai budaya, sejarah, dan spiritual. Melalui hutan, mereka mendapatkan pangan, obat-obatan, dan bahan bangunan. Lebih dari itu, tanah adat adalah tempat upacara adat dan ritual keagamaan yang memperkuat jati diri dan solidaritas komunitas. Suku Awyu dan Moi telah memanfaatkan hutan dan tanah adat sebagai ruang penghidupan bersama sekaligus keperluan berburu, berkebun, pangan, obat-obatan, budaya, ekonomi, dan pengembangan pengetahuan. Dari segi pengetahuan, suku Awyu dan Moi membuat alat berburu seperti panah dari pohon yang ada di hutan. Kemudian alat aksesoris seperti kalung, penutup tubuh, dan lain-lain berasal dari alam. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit akan menghilangkan fungsi dan daya dukung lingkungan alam.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai perusahaan kelapa sawit telah melihat potensi ekonomi dari tanah adat kedua suku tersebut. Dengan janji pembangunan dan peningkatan ekonomi, perusahaan-perusahaan ini memasuki wilayah adat dan mulai membuka lahan untuk perkebunan sawit. Namun, proses ini sering kali dilakukan tanpa persetujuan penuh dari masyarakat adat dan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan serta sosial yang ditimbulkan. Hasil kajian dan investigasi The Gecko Project, Tempo, Mongabay, dan Malaysiakini menunjukkan, operasi Proyek Tanah Merah berpotensi menghancurkan hutan Papua karena mempunyai banyak permasalahan. Mulai dari tidak memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), ada pemalsuan tanda tangan pejabat, hingga tidak ada negosiasi dan persetujuan dari masyarakat lokal.
Ekspansi perusahaan sawit membawa sejumlah dampak negatif bagi suku Awyu dan Moi. Mulai dari kehilangan tanah adat, dimana tanah yang telah diwariskan selama beberapa generasi terancam hilang, mengakibatkan hilangnya identitas budaya dan spiritual. Kemudian dampak kerusakan lingkungan, pembukaan lahan untuk sawit menyebabkan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan yang berdampak pada sumber mata pencaharian masyarakat adat. Hal berikutnya adalah potensi konflik sosial. Masuknya perusahaan seringkali memicu konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan atau bahkan antar sesama anggota komunitas yang berbeda pendapat tentang kehadiran perusahaan.
Pada Senin, 27 Mei 2024 suku Awyu dan Moi bersama dengan perwakilan dari organisasi masyarakat sipil mengadakan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung (MA) di Jakarta. Mereka mendesak MA untuk menjatuhkan putusan hukum yang membatalkan izin perusahaan kelapa sawit yang mereka lawan. Pembatalan izin tersebut tidak hanya akan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas, tetapi juga berpotensi menyelamatkan hutan di Papua.
Tanah surga yang menjadi ruang hidup suku Awyu dan suku Moi seharusnya tidak terkikis bengis oleh izin yang diperoleh perusahaan sawit. Pengakuan dan perlindungan hak-hak adat bukan hanya tentang keadilan bagi suku Awyu dan suku Moi, tetapi juga tentang pelestarian lingkungan dan keberlanjutan sosial. Tanah adat yang dikelola dengan bijak oleh masyarakat adat dapat menjadi benteng pertahanan terhadap perubahan iklim dan kehancuran ekologis. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat luas untuk menghormati dan mendukung kedaulatan masyarakat adat atas tanah mereka.
Rasisme Struktural dan Perlawanan Rakyat Papua dari Eksploitasi
Masuknya industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit, penebangan kayu dan lain sebagainya telah merusak relasi masyarakat adat Papua dengan tanah yang telah terjalin lama dan sakral. Rusaknya relasi tersebut didukung dengan rasisme struktural yang tumbuh subur dan menjelma menjadi kebijakan yang memarginalkan masyarakat adat. Rasisme yang terlembagakan dalam institusi negara melahirkan cara pandang diskriminatif terhadap masyarakat adat Papua. Rasisme struktural juga dapat dikatakan kejahatan yang tidak terlihat atau invisible evil. Sebab telah tertanam dalam sistem pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga politik. Ketika negara hanya memandang tanah sebagai komoditas untuk dijual dan dikeruk demi peningkatan ekonomi, kemudian negara merasa lebih memahami kebutuhan orang Papua ketimbang mereka memahami dirinya sendiri. Negara menanam sawit, beras, dan tebu untuk menggantikan sagu dan ubi dengan alasan ketahanan pangan nasional.
Jika menelusuri jauh ke sejarah konflik di Papua tidak terlepas dari perampasan sumber daya alam dan kekerasan. Misalnya ketika PT. Freeport mulai beroperasi di tanah Papua, suku Amungme dan Kamoro menanggung beban yang luar biasa. Mereka dibunuh, dicap separatis, dan dirusak relasinya dengan tanah. Pada 1967 masyarakat Amungme dipimpin oleh kepala suku Tuarek Natkime untuk pertama kali melakukan protes pada saat kontraktor PT. Freeport Bachel Pomeroy dibawah pimpinan John Curry tanpa meminta persetujuan menerobos masuk di wilayah Waa dan Banti ketika PT. Freeport mulai masuk dan hendak membangun Helipad dan Base-Camp.
Salah satu tokoh suku Amungme, Bapak Simon Aim yang saat ini sedang menetap di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG) berkisah tentang penderitaan dan pengungsian pada 1977. Akibat aksi kekejaman dan operasi militer Indonesia di areal PT. Freeport pada 1977 mengakibatkan ia bersama 500 orang laki-laki Amungme mengungsi jalan kaki selama 3 tahun (1977-1980). Di tahun yang sama, orang Amungme juga melakukan perlawanan dan protes dengan cara memotong pipa milik PT. Freeport McMoran Copper and Gold atas eksploitasi sumber daya alam. Dimana tempat itu oleh suku Amungme diakui dand ijadikan sebagai sebagai tempat suci dan sakral tapi dihancurkan oleh perusahaan asing ini. Menanggapi aksi rakyat tersebut, PT. Freeport melalui militer Indonesia melakukan operasi militer terhadap suku Amungme. Akibatnya ribuan warga Amungme mengungsi ke hutan. Banyak orang meninggal dunia karena ditembak oleh militer Indonesia, kekurangan bahan makanan, dan obat-obatan. Sejak tahun 1977 pemerintah Indonesia memperlakukan wilayah teritori West Papua dan khususnya di suku Amungme sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan baru dicabut sebagai dari DOM pasca reformasi 5 Oktober 1998 oleh Presiden Indonesia B. J. Habibie.
Perlawanan rakyat Papua atas perampasan ruang hidup oleh negara yang berlanjut hingga saat ini merupakan upaya untuk masyarakat bertahan. Perlawanan juga menjadi konsekuensi logis dari kontradiksi yang terjadi. Dimana masyarakat adat Papua bergantung hidup pada alam baik ekonomi, sosial, budaya, politik, hingga spiritual tapi terancam hilang karena masuknya berbagai perusahaan. Perlawanan suku Awyu dan Moi menjadi sesuatu yang wajib agar eksistensi mereka terus terjaga.
***
Catatan: Renie Aryandani adalah alumni Jurusan Ilmu Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dan Rio Kogoya adalah alumni Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia (UKI).