Penggunaan bahasa mengalami perubahan terus-menerus, mungkin khususnya dalam ranah Studi Pascakolonial (Britton, 1999; Ashcroft, 2002; Ramanathan, 2005). Dari “Dunia ketiga” atau Third World menjadi “Dunia Selatan” atau Global South, “kulit berwarna” atau people of colour menjadi “orang yang dirasialisasi” atau racialized people, ada banyak contoh pergeseran linguistik, yang sekali diperkenalkan jadi terasa awet dan natural. Berkenaan dengan itu, artikel ini akan merefleksikan seberapa penting perbincangan seputar bahasa bagi perlawanan dan pembebasan dengan rujukan tertentu mengenai penggunaan istilah “pascakolonial”, “dekolonial”, dan “antikolonial”. Apakah masalah seputar istilah-istilah ini hanyalah semantik adiluhung di menara gading? Atau adakah dampak nyata dari kata-kata yang kita pakai dalam perjuangan menuju pembebasan?
Saya memposisikan istilah-istilah ini sebagai bagian dari gambaran umum yang lebih besar, di mana ketiganya dapat dipahami dan dipraktikkan dalam keselarasan alih-alih saling bertabrakan. Saya menekankan pentingnya bahasa sebagai bagian dari tindakan sosial, mengacu pada apa yang saya pahami sebagai perbedaan dan kesamaan dalam komitmen intelektual dan aktivis yang muncul dari istilah “antikolonial”, “pascakolonial”, dan “dekolonial”. Dengan menautkan beberapa kemiripan di antara ketiganya, saya mencoba mendekatkan ketiga istilah ini satu sama lain tanpa mengabaikan perbedaan yang ada. Memang, saya menyadari kompleksitas masing-masing istilah ini. Yang saya sajikan bukanlah penjelasan menyeluruh, melainkan potret impresionistik dari masing-masing konsep menurut sudut pandang saya. Secara singkat menjelaskannya satu per satu dan memahami apa yang ketiganya tawarkan.
Hubungan erat antara bahasa dan politik secara cemerlang dikupas dalam catatan mengerikan dari akademisi Yahudi-Jerman, Victor Klemperer, The Language of the Third Reich (2013 [1957]). Klemperer melacak kebangkitan fasisme Jerman pada 1930-an dalam kajian filologi, memperlihatkan cara-cara signifikan bagaimana dominasi politik kekerasan dan dukungan publik luas terhadapnya terlahir melalui dan dalam bahasa. Namun, di sisi lain dia menunjukkan kepada kita bagaimana perlawanan terhadap penindasan juga berkobar dalam medan tempur linguistik, sebagai lawan kritis yang menggugat dan melucuti cara kita menggunakan kata-kata tertentu. Perhatian terhadap bahasa sebagai medan tempur melawan dominasi dan perlawanan inilah yang melandasi tesis pokok dari tokoh besar kesusastraan Kenya, Ngũgĩ wa Thiong’o, dalam Decolonizing the Mind (2011 [1986]). Thiong’o yang kini lebih sering menulis dalam bahasa Gikuyu daripada bahasa Inggris, menjadi kunci perdebatan berkenaan dengan bahasa dalam studi pascakolonial. Studinya memaksa kita bergulat dengan banyak tantangan mengenai keterlibatan kita dengan bahasa, baik secara sadar (conscious) maupun bawah sadar (subconscious), yang membingkai cara pikir dan, maka dari itu, tindak-tanduk kita. Bahasa adalah medan penting dalam pertempuran politik. Tak pelak, urgensi Studi Pascakolonial untuk menghadapi perdebatan ini tidak dapat disangkal atau diabaikan. Perdebatan ini haruslah berakar pada masalah linguistik dalam tindakan sosial.
Seorang intelektual-aktivis kenamaan dari mazhab dekolonial Amerika Latin, Silvia Rivera Cusicanqui, mengemukakan, “Takkan ada diskursus dekolonisasi, takkan ada teori dekolonisasi, tanpa praktik dekolonisasi” (2012: 100). Cusicanqui di sini mengedepankan materialitas dekolonisasi, dan “menyembuhkannya” dari godaan metaforisasi agar kembali kepada bentuk asli radikalnya sebagai gerakan perlawanan yang nyata (Tuck dan Yang, 2012). Dari perspektif ini muncul keharusan untuk memikirkan, baik tentang bahasa maupun praktik sosial, sebagai realitas material yang tak terpisahkan, yang penting bagi satu sama lain. Sebagaimana yang diutarakan Stuart Hall, “Karena segala praktik sosial meniscayakan makna, setiap tindakan mengandung aspek diskursif. Maka, diskursus memasuki dan mempengaruhi setiap tindakan sosial” (Hall dan Gieben 1992: 14). Sebelum diskusi mengenai bahasa banting haluan ke arah yang menyesatkan, kita harus mendamaikan bahasa dengan tindakan sosial. Perbincangan yang kita lakukan haruslah memasangkan kembali bahasa dan tindakan, menghindari setiap pemisahan bagaimanapun caranya. Oleh karena itulah, saya hendak menyeimbangkan kedua pendekatan ini secara teliti: pertama, menyadari kuasa bahasa sebagai alat yang melandasi ide dan tindakan; kedua, menekankan urgensi perlawanan sebagai aksi kolaboratif yang harus berdasarkan upaya pembentukan koalisi yang bisa menerima perbedaan linguistik.
Antikolonial
Pada awalan “anti-”, kita bisa melihat sikap perlawanan yang terang-terangan. Anti (berarti bertentangan) secara tegas menampakkan nuansa politik oposisi—yang menciptakan kesan tangguh, khususnya (tapi bukan satu-satunya) gelombang gerakan sosial abad ke-20 yang dipimpin mereka yang Frantz Fanon sebut sebagai les damnés de la terre (orang-orang sengsara di muka bumi); mereka yang kehidupan dan tanah airnya dipenuhsesaki kekerasan kolonialisme. Dalam “antikolonial”, muncul gambaran gerakan sosial populer melawan imperialisme, bangkit demi menumbangkan kontrol kuasa bangsa Eropa atas Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Dari militansi gigih Mau Mau di Kenya, Front de Libération Nationale di Algeria, hingga gerakan yang dipimpin Gandhi di India.
Meski saya berpendapat bahwa antikolonial adalah sebuah istilah yang melahirkan gerakan oposisi masa lampau yang menentang kekuasaan (juga dominasi kebudayaan), ia juga relevan dengan sikap dan tindakan politik sejumlah masyarakat yang masih melakukan perlawanan hingga kini. Terutama, masyarakat adat yang hari ini hidup dalam kolonialisme pemukim, seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan Aotearoa (Selandia Baru). Sebagai contoh, berangkat dari situasi Aotearoa, Rangimarie Mahuika (2008) menulis, “Teori Kaupapa Māori itu kritis dan antikolonial. Tidak bisa tidak, mengingat konteks kolonialisme yang masih berlangsung.” Maka dari itu, “antikolonial” menyoroti kekuatan oposisi radikal nan kritis yang berjuang melawan kolonialisme yang masih terus berlangsung.
Pascakolonial
Dalam dunia akademik, istilah “pascakolonial” mungkin yang paling berkaitan dengan dunia kesusastraan dan cultural studies, juga bukan tanpa kontroversi. Sejak konsepsinya, pascakolonial telah menjadi panggung kontestasi, pertanda buruk penghancuran dirinya sendiri, yang akan mencirikan banyak teori pascakolonial untuk diikuti, terutama dari “Dunia Utara (Global North)”. Jika kita menelaah hingga paling dasar, “pasca-” pada pascakolonial menyiratkan temporalitas yang mengandung masa lampau. Kita kerap mengucapkan “pasca-” untuk menandakan akhir dari peristiwa: arkeologi pasca-Abad Pertengahan, periode pasca-Perang Dunia II, perawatan pasca-kelahiran (post-natal care). Tentunya, negara-bangsa seperti India atau Benin tidak lagi berada di bawah kontrol langsung bangsa Eropa. Maka dari itu, istilah “pascakolonial” bisa bermanfaat untuk menjelaskan periode waktu setelah kontrol langsung bangsa-bangsa tersebut. Senada dengan Frantz Fanon (1976) dan Aimé Césaire (1955), kita tetap mesti mewaspadai bahaya dari meyakini kolonialisme niscaya berakhir setelah merebut kembali kedaulatan nasional. Asumsi demikian tidak mengharuskan kita mengatasi dampak budaya dan politik jangka panjang yang diakibatkan kolonialisme, baik di bekas wilayah koloni maupun metropol, yang juga bentuk kolonialisme. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, memang benar bahwa istilah ini tidak berlaku secara universal bahkan sebagai penanda temporal. Banyak masyarakat yang masih menjalani kehidupan di bawah dominasi nyata dan langsung dari keturunan pemukim (settlers) Eropa.
Kendati temporalitas dari awalan “pasca-” pada pascakolonial menghadapi banyak rintangan, bukan berarti awalan ini tidak lagi relevan. Selain sebagai penanda penjelas temporal, “pasca-” juga dapat dipakai untuk menandakan posisi yang lebih normatif, yang secara aktif mengajak kita berangkat dari momen atau peristiwa tertentu. Contohnya, kita ambil contoh pascamodernitas, situasi yang tak hanya menggambarkan “akhir” dari modernitas tetapi secara aktif menyerukannya. Oleh sebab itulah, “pascakolonial” juga menawarkan posisi normatif, yang mempersatukan kita dalam menentang dominasi kolonialisme.
Dekolonial
Istilah “dekolonial” lazim dikaitkan dengan mazhab dekolonialitas dari dunia akademik Amerika Latin. Dekolonialitas membongkar kolonialitas yang menopang modernitas Barat (Quijano 2007). Menyajikan argumen yang sangat meyakinkan, para akademisi dekolonial menggugat bagaimana pengetahuan diproduksi, melucuti dan mengkritik bahwa pengetahuan Barat sejatinya tidaklah superior dan universal. Pada dasarnya, para akademisi dekolonial melancarkan upaya yang Walter Mignolo (2007) sebut sebagai de-linking: sebuah proses pemisahan emansipatoris dengan mengkonfrontasi dan menentang Eurosentrisme yang sedemikian mewabah. Bila kita dengan seksama memperhatikan konstruksi harfiahnya terlepas dari konteks mazhab dekolonial, istilah “dekolonial” ini sangat provokatif.
Istilah ini menawari kita awalan “de-” yang radikal, mengajukan gerak menuju pencabutan, pembuangan, dan penghapusan. Mirip “antikolonial”, dekolonial secara gamblang menyiratkan eksistensi kolonialitas/isme yang langgeng dan secara aktif berupaya mendekonstruksinya. Maka dari itu, fokus Mignolo terhadap de-linking membantu kita mengedepankan dinamika dekolonisasi yang intens dan diposisikan sebagai kata kerja yang aktif. Sementara awalan “anti-” mengekspresikan oposisi murni, saya berpendapat bahwa “de-” memposisikan dekolonisasi sebagai proses yang lebih berkelanjutan dan berulang-ulang, tak hanya hendak menumbangkan kolonialisme, namun setelah itu turut menghilangkan dan memulihkan jejak dan warisannya yang awet. Maka, ia tak hanya menentang dominasi, tetapi juga secara aktif membuka ruang perlawanan terhadap alteritas radikal.
Pentingkah?
Dalam banyak hal, penting untuk memperhatikan istilah yang kita gunakan. Ketelitian untuk secara sadar memilih penggunaan istilah “antikolonial”, “pascakolonial”, dan “dekolonial” dapat menyediakan konteks kerja spesifik yang, tidak bisa disangkal, terbukti bermanfaat. Mungkin akan produktif untuk menggarisbawahi pemahaman terhadap ketiga istilah ini, yang belum tentu saling bertentangan. Jika ada satu kesamaan di antara ketiganya, ia adalah semangat dasar perlawanan, sebuah sikap yang bertentangan dengan dominasi kolonialisme, tidak peduli bagaimana kolonialisme dipahami menurut masing-masing konsep—yang terakhir ini lain persoalan.
Kita mesti berhati-hati agar tidak menyalahgunakan bahasa dan kosakata sebagai panggung kontestasi di antara kita. Padahal, kita sama-sama memanfaatkan konsep-konsep ini demi tujuan praktis menentang dominasi kolonialisme, imperialisme, dan hantu-hantu warisannya. Perjuangan yang malah terpecah-belah saat pembentukan koalisi dan persatuan telah menjadi “wabah” tersendiri dalam sejarah dekolonisasi, terutama setelah melalui momentum kemerdekaan nasional. Namun, kita tetap dapat memetik inspirasi dari kilasan sejarah pembentukan koalisi yang menekankan perlawanan kolektif. Konferensi Asia-Afrika 1955 telah menghimpun aktor politik dari beragam pandangan untuk duduk bersama dan membangun Third Worldism yang secara kolektif mendeklarasikan bahwa “kolonialisme dalam segala wujudnya adalah kejahatan yang harus segera dihapuskan” (dikutip dalam Ampiah, 1997: 40). Berangkat dari situlah, saya menekankan pentingnya mengutamakan persamaan di antara istilah-istilah ini, meletakkan ketiganya dalam kesatuan lanskap perlawanan terhadap dominasi.
Menanggapi kritik Maria Lugones terhadap interseksionalitas, K. Bailey Thomas mendapati tawaran alternatif kritis Lugones ternyata sama sekali tidak bertentangan dengan teori yang dia kritik (2020). Meski mereka menyadari pentingya bahasa, Thomas menegaskan bahwa, “Kita seharusnya memperhatikan fungsi interseksionalitas ketimbang permainan kata” (Thomas, 2020: 516). Kendati kritik Lugones juga diperdebatkan dalam latar intelektual yang berbeda-beda, saya ingin menggunakan keinginan Thomas untuk mengidentifikasi ruang bagi kesamaan di antara berbagai kerangka kerja pembebasan. Thomas dengan tajam mempertanyakan apa tujuan yang dapat ditawarkan dari kritik di antara “akademisi dan aktivis yang berkomitmen dalam upaya pembebasan kaum yang ditindas dan dirampas” (Thomas, 2020: 521). Saat berpaling dari peluang keselarasan lintas ruang, waktu, dan bahasa, kita juga berpaling dari persatuan visi dan praksis pembebasan. Ini bukanlah penolakan terhadap setiap kemungkinan terjadinya ketidaksetujuan dan otokritik di antara kita, melainkan pengingat bersama tentang apa tujuan kritik kita dalam kerja-kerja pembebasan. Seperti halnya interseksionalitas, dekolonisasi “ditujukan untuk melaksanakan praktik, tak sekadar diteorikan ketat-ketat” (Thomas, 2020: 520).
Yang terpenting, bagi saya ketiga istilah ini saling terjalin sehingga tidak perlu sikut-menyikut. Walau keragaman linguistik memang penting, kita harus memusatkan pikiran pada bagaimana istilah-istilah ini mengandung semangat perlawanan. Ketiganya memiliki keberpihakan kepada pembebasan, meski jika alternatif radikal yang ditawarkan imaji masa depan pasca/de/antikolonial akan berbeda-beda. Toh, pada akhirnya, ketiganya sepakat tentang pentingnya melawan segala bentuk dominasi kolonial.
Pilihan saya untuk menggunakan istilah “dekolonial” dalam penelitian doktoral saya tidak lepas dari signifikansi historis dan kontemporer serta kegunaan kedua istilah yang juga saya bahas dalam tulisan ini. Saya juga sadar akan kompleksitas perdebatan ini dan tujuan saya bukanlah untuk menyangkal muatan penting yang terkandung dalam bahasa. Inilah kenapa saya meletakkan pemanfaatan istilah “dekolonial” dalam kerangka kerja yang memahami dan menerima, baik penerapan historis maupun kontemporer, dari “antikolonial” dan “pascakolonial”. Istilah-istilah ini saling sejalan dengan visi untuk menciptakan dunia yang lebih baik melampaui kolonialisme. Seperti yang Lyons, Parreñas, dan Tamarkin sampaikan, “berjuang melawan kolonialisme, imperialisme, dan supremasi heteropatriarki kulit putih membutuhkan banyak bahasa dan kosakata” (2017: 2). Pengakuan dan penerimaan berbagai bahasa dan kosakata akan dan telah menjadi sesuatu yang penting untuk pembentukan koalisi yang masif. Untuk menuju ke sana, kita harus mengakui dan menghargai watak de/pasca/antikolonial yang beragam namun saling terhubung, secara aktif mengidentifikasi rintangan bagi kesadaran berkoalisi, dan berusaha lewat dialog bersama dengan sangat mengutamakan pentingnya saling berbagi dan mendengarkan demi mengatasi rintangan tersebut (Keating, 2005). Sikap ini — dalam semangat interseksionalitas — menyadari kesamaan tanpa menghapus perbedaan di antara kita yang didedikasikan dalam proses dan ambisi dekolonisasi sebagai praksis. Sikap inilah salah satu hal yang wajib kita rangkul seiring perjuangan terus berlanjut.
***
Catatan: Tulisan ini awalnya diterbitkan dalam New Voices in Postcolonial Studies Magazine 2021 dengan judul asli “Postcolonial, Decolonial, Anti-Colonial: Does it Matter?” Atas ijin penulis, tulisan ini diterjemahkan oleh Kevin Aryatama salah satu pengasuh Lingkar Diskusi Gender.