Tidak banyak media yang memberitakan hari jadi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang ke-16 pada 19 November 2024 tahun lalu. KNPB sendiri lahir pada 19 November 2008 di Aula STT Walter Post, Sentani, West Papua oleh berbagai organisasi perlawanan, aktivis-aktivis mahasiswa, dan masyarakat. Pada pembentukan ini, Buchtar Tabuni dan Victor F. Yeimo yang sebelumnya memimpin aksi mendukung peluncuran International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London, Inggris pada 15 Oktober 2008, dipilih menjadi Ketua Umum dan Ketua 1 KNPB. Konteks pembentukan KNPB tidak bisa dilepaskan dari eksodus mahasiswa Papua dari Manado dan Jawa-Bali yang kembali ke Tanah Papua bergabung dengan aktivis mahasiswa dan masyarakat di Jayapura. Mereka kemudian menduduki lapangan makam Alm. Theys H. Eluay di Sentani dan menyerukan “Papua Zona Darurat”. [1]
Sudah 16 tahun KNPB bediri menjadi satu bagian penting dalam gerakan pembebasan Papua di kalangan generasi muda. Kehadirannya menjadi ancaman negara dan apparatusnya (TNI/Polri), sehingga tindakan kekerasan, adu domba, bahkan hingga penghilangan nyawa aktivis KNPB terus dilakukan. Pada sisi lain, kekuatan dan perjuangannya tumbuh dari ancaman tersebut. Warpo Wetipo, Ketua I KNPB Pusat mengatakan, KNPB lahir karena ancaman, tumbuh mekar dalam ancaman, mati sekalipun dalam ancaman, maka ancaman adalah milik KNPB. Menurutnya, sejak KNPB ada, ancaman itu ada dan datang bertubi-tubi.
Kesadaran ancaman dan ketertindasan inilah yang menyemaikan gerakan resistensi KNPB. Seakan semakin memperkuat dan mendewasakan gerakan, pada sisi yang lain, mereka dengan jujur membuka diri untuk otokritik, kritik, saran, dan nasehat dalam melanjutkan perjuangan pembebasan bangsa Papua ke depannya. Mereka bertitik tolak dari keadaan penindasan yang terjadi di tanah dan terhadap orang Papua yang sedang tidak baik-baik saja. Situasi itulah yang membuat jiwa berontak dan kegelisahan terus membara. Warpo menyaksikan dan merasakan kondisi ketertindasan tersebut kemudian mengungkapkan, “Maka apakah kau hanya tinggal duduk diam, tunduk, dan merenung? Kantor rakyat ada di lorong-lorong, jalan raya, disanalah kita berkantor. Bawa diri, memberi hati dan terima isi hati mereka bila kau pemimpin yang berjuang. Itulah people power.” tegasnya. [2]
Penanda Resistensi
Kelahiran dan pergerakan KNPB dalam pandangan saya adalah salah satu penanda penting resistensi terhadap yang mereka anggap sebagai penjajahan negara Indonesia sekaligus menyemaikan perlawanan terhadapnya. Salah satu kesadaran penting yang diwariskan oleh gerakan sosial generasi muda Papua seperti KNPB saya kira adalah melawan kolonialisme yang dipraktikkan oleh negara (Indonesia) dan apparatusnya (baca: lembaga dan aparat) kekuasaannya. Itulah cikal bakal tersemainya gerakan dekolonisasi.
Kesadaran ini tentu saja tidak tumbuh begitu saja, tapi terbentuk dan bersemai seiring dengan praktik diskriminasi, rasisme, dan tatapan menjajah (colonial gaze) dalam pengalaman rakyat Papua berinteraksi dengan negara dan kekuasaannya. Pengalaman ini bersumberkan dari ingatan kekerasan dan penderitaan rakyat Papua selama berinteraksi dengan simbol dan perwujudan negara. Relasi tersebut berlangsung penuh dengan jejak kekerasan sekaligus resistensi yang seperti dua sisi mata uang.
Hal ihwalnya dimulai dari cara pandang negara terhadap orang Papua tidak bisa lepas dari corak rezim kolonial yang merancang serta menentukan realitas Papua. Pada sisi lain, orang Papua sendiri tidak memiliki daya dan kuasa untuk merepresentasikan dirinya. Orang Papua dikonstruksikan tidak memiliki sejarah dan pengetahuan, tidak dianggap ada. Hal itulah yang menjadi agenda terburuk rezim kolonial yaitu dehumanisasi subyek yang dijajah dan pemisahannya dengan sejarah, identitas, pengetahuan, dan kedaulatan atau kendali atas diri dan masa depannya.
Hal ini semakin menunjukkan bahwa rezim kolonial mengontrol dan mengeksploitasi segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dan sumber daya alam bangsa yang dijajahnya. Cara inilah yang oleh Franz Fanon dalam bukunya Black Skin, White Masks (2008) disebutkan bahwa penjajahan tercipta dari kerangka penciptaan, pemeliharaan, kekacauan dan “kegelapan” yang dibangun oleh para penjajah terhadap realitas bangsa yang dijajahnya.
Tentu ini tidak mudah karena secara diam-diam, bangsa yang dijajah akan menginternalisasi (menyerap) cara dan pola pikir kolonialistik tersebut untuk kemudian dipraktikkannya kepada komunitasnya sendiri. Cara berpikir penjajah itulah yang kemudian diserap dari proses penjajahan tersebut. Situasi ini tercipta dari konteks (menara) pengawasan (panopticon) seperti dalam penjara yang selalu diciptakan oleh rezim penjajah untuk mengintai gerak-gerik para “tahanan jajahannya” (Nielsen, 2011).
Saya menyambut undangan yang disampaikan oleh KNPB sebagai kawan perjuangan. Saya mungkin menamainya penguatan dan kesadaran untuk saling mengingatkan dan menguatkan. Satu hal penting yang membuat saya tergerak menulis esai sederhana ini adalah undangan yang disampaikan dengan hati dan pikiran terbuka untuk menyampaikan kritik, saran, dan analisis terhadap kerja-kerja perjuangan yang telah, sedang, dan akan dijalankan oleh KNPB. Gerakan ini adalah milik rakyat, bukan hanya kelompok atau elit tertentu. Sebagai representasi dari rakyat tertindas, kami menyadari bahwa perjuangan tanpa evaluasi akan kehilangan arah. [3]
Undangan itu jujur membuat saya tergerak untuk menuliskan catatan sederhana ini. Saya memiliki keyakinan, saat kekerasan dan penindasan berlangsung, sifat alamiah manusia adalah “tunduk atau bangkit melawan”. Persoalannya, jika kita ingin melampaui hanya sekadar melawan, kita perlu mempersiapkan diri untuk memproduksi pengetahuan (pembebasan) dan sudah tentu mengorganisir gerakan pembebasan itu hingga massif dan menjadi kesadaran rakyat Papua, tidak terkecuali generasi muda. Ini persoalannya.
Bagaimana (Melawan) Penjajahan Terjadi?
Baik, mari kita mulai dengan pertanyaan, bagaimana penjajahan itu bisa terjadi dan bagaimana cara melawannya? Saya kira ini adalah kesadaran penting gerakan pembebasan Papua bahwa telah terjadi penjajahan yang dilakukan oleh negara (kolonial) Indonesia dalam berbagai aspek, khususnya berkaitan dengan rasisme, diskriminasi, dan penghilangan nyawa orang asli Papua yang sering disebut dengan slow-motion genocide (penghancuran/pemusnahan secara perlahan-lahan). Meski terkandung makna simplifikasi (penyederhanaan), sekaligus generalisasi berkaitan dengan institusi negara yang menjadi pelaku, yang utamanya merujuk kepada aparat keamanan.
Tapi kondisinya menjadi semakin terfragmentasi (terpecah-belah) berlapis-lapis menjadi kompleks karena banyak kaki tangan (baca: tim sukses) negara merasuk dalam diri orang asli Papua, yang akhirnya melakukan politik pecah belah bahkan pelaksana slow-motion genocide itu sendiri. Ruang-ruang politik dibuka, pemekaran daerah salah satu contohnya, memberikan kesempatan orang asli Papua “menjadi tuan” di daerah sendiri pada satu sisi, namun pada sisi yang lain diikat gerakan dan pikirannya untuk menyuburkan slow-motion genocide itu sendiri. Para elit kemudian menjadi (seolah-olah) perwakilan rakyat Papua yang justru mengkhianati isi hati rakyat Papua sejatinya. Implikasinya, rakyat meniru perilaku elit untuk mengkhianati isi hati mereka sendiri.
Saya melihat bahwa cara awal melakukan penjajahan adalah menghilangkan pengetahuan rakyat Papua untuk berdaulat, mandiri, dan merdeka sebagai manusia. Pengetahuan itu dianggap kuno dan ketinggalan zaman dan oleh karena itu orientasi harus diganti dengan kemajuan (modernitas). Saat kehilangan pengetahuan itu, rakyat Papua sebenarnya telah kehilangan identitas dan “senjata”-nya untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan.
Langkah yang bisa dilakukan oleh KNPB dan organisasi pembebasan Papua lainnya adalah menyemaikan pengetahuan bangsa pribumi Papua yang kaya, kuat, sekaligus “menjejak bumi”. Meski tidak gampang dan sudah tentu ada perubahan yang terjadi, gerakan ini mutlak untuk dilakukan. Saya berargumen bahwa pengetahuan rakyat Papua dalam berbagai bidang itu harus dinamai dan di-claim (diakui) kembali setelah disingkirkan dan diporak-porandakan oleh pengetahuan modern yang menganggap diri mereka lebih unggul.
Cara satu-satunya adalah melakukan penelitian dan mentransmisikannya dalam pendidikan politik pengetahuan bangsa pribumi. Dan ingat, penelitian bukan hanya didominasi oleh orang yang mengaku dirinya akademisi atau cendekiawan, aktivis pembebasan Papua, dan rakyat Papua sendiri juga bisa melakukan ini (Smith, 1999; 2005). Gerakan pembebasan pascakolonial mendorong rakyat bangsa pribumi mengakumulasi pengetahuannya sendiri dengan “menjadi peneliti” yang terlibat dan berperan menggunakan pengetahuannya sebagai senjata melawan penjajahan.
Nah, bagaimana cara melawan penjajahan itu? Salah satu intelektual Papua, Benny Giay dalam sebuah bukunya yang menggugah, Menuju Papua Baru, Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua (2000) mengungkapkan bahwa proyek intelektual dan aktivisme harus bertemu dengan kondisi sosial politik masyarakat yang mengalami “budaya bisu”. Pada momen inilah titik sentral tumbuhya gerakan pembebasan rakyat. Memecah pembisuan itulah yang menjadi tantangan bagi kerja intelektual dan aktivisme dari gerakan kaum muda Papua.
Pembisuan dan juga pembungkaman pada rakyat Papua terjadi karena teror kekerasan dan penyingkiran terus-menerus. Oleh sebab itulah sangat diperlukan solidaritas sosial rakyat Papua sendiri. Solidaritas dan ikatan sosial yang telah ada dalam masyarakat Papua dapat dibangun kembali sebagai modal dalam memperjuangkan kebebasan dan keadilan menuju Papua Baru. Perjuangan untuk terlepas dari penderitaan dan kungkungan ideologi pembangunan yang mengekang kebebasan dalam segala bidang kehidupan ini, menjadi perjuangan seluruh orang Papua. Artinya perjuangan pembebasan Papua tidak lagi menjadi kepedulian dan beban segelintir orang.
Refleksi
Akhirnya, saya menawarkan dua gagasan: pertama, secara co-creation, KNPB beraliansi bersama-sama dengan kekuatan rakyat sipil lainnya dari berbagai kalangan dan jenis gerakan—mengacu kepada konsep gerakan sosial baru—seperti masyarakat adat, perempuan, buruh, mahasiswa, pemuda, gereja, cendekiwan dan akademisi, serta kelompok-kelompok marginal, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya untuk mendorong epistemologi pengetahuan pribumi Papua dan strategi praksisnya dalam gerakan pembebasan Papua. Hal ini sangat penting agar gerakan memiliki basis pengetahuan yang mengakar pada rakyat pribumi Papua sendiri. Aliansi yang berlangsung organik ini sangatlah penting dilakukan untuk membumi gerakan pembebasan kepada rakyat Papua sendiri.
Gagasan kedua berkaitan dengan yang pertama adalah pentingnya pendidikan politik pengetahuan pribumi Papua. Hal ini harus dipikirkan dalam kerangka menguatkan gerakan pembebasan pascakolonial Papua, dimana gerakan organik ini memiliki pengetahuan yang memadai untuk berdebat, berargumen, dan menyuarakan pembebasan itu sendiri. Selain pendidikan politik yang bersifat strategis—yang telah terbukti selalu terpecah-belah dan friksi tanpa henti—hal yang tidak kalah pentingnya adalah megalihkan perhatian lebih besar terhadap kekuatan utama gerakan pembebasan tersebut: pengetahuan pribumi Papua. Pendidikan politik ini akan lebih menantang sekaligus inspiratif jika berisi perbandingan gerakan pembebasan di wilayah lainnya di bumi ini. Hal ini untuk membuka tempurung bahwa penjajahan dan dekolonisasi (resistensinya) tidak hanya terjadi di Papua, tapi juga di belahan bumi lainnya yang perlu kita pelajari dan resapi perjuangannya.
***
Daftar Pustaka
Giay, B. (2000). Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua. Jayapura: Deiyai/Elsham Papua.
Fanon, F. (2008). Black Skin, White Masks. New York: Grove Press.
Nielsen, C.R. (2011). “Resistance through re-narration: Fanon on deconstructing racialized subjectivities.” African Identities, 9:4, 363-385. DOI: http://dx.doi.org/10.1080/14725843.2011.614410.
Smith, L.T. (1999). Decolonizing Methodologies Research and Indigenous Peoples. London: Zed Books.
Smith, L.T. (2005). Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: Insist Press.
Referensi
[1] Lihat: https://suarapapua.com/2019/08/12/knpb-dari-mana-ke-mana/ (diakses 15 Desember 2024). Artikel ini merupakan saduran dari “KNPB Dari Mana Sedang ke Mana?”, Majalah KNPB News, Volume 3 Tahun II, Juni – Agustus 2016, h. 34 – 37.
[2] Liputan mengenai HUT ke-16 KNPB bisa dilihat di tautan ini: https://suarapapua.com/2024/11/20/rayakan-hut-ke-16-knpb-tetap-bersatu-dan-konsisten-perjuangkan-kemerdekaan/#google_vignette (diakses 20 Desember 2024).
[3] Mengenai undangan untuk memberikan kritik terhadap KNPB lihat tautan berikut: https://www.facebook.com/profile.php?id=100067136827011&mibextid=kFxxJD (diakses 25 November 2024).