Dalam beberapa bulan terakhir ini, kebijakan pemerintah pusat mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi pelajar menjadi salah satu topik perdebatan yang hangat di Indonesia. Program yang bertujuan untuk meningkatkan gizi dan kesehatan siswa telah diterapkan di beberapa daerah. Namun, implementasinya jadi bermasalah, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki dinamika sosial dan politik yang kompleks, seperti Papua. Meski program ini bertujuan meningkatkan kesehatan dan konsentrasi belajar, pelajar di Papua justru menolak kebijakan ini dan lebih menginginkan pendidikan gratis. Mereka berpendapat bahwa biaya pendidikan yang tinggi masih menjadi hambatan utama bagi banyak anak Papua untuk bersekolah.
Salah satu momen yang menarik adalah dalam aksi demonstrasi para siswa dan siswi di Yahukimo, Papua Pegunungan pada Senin, 3 Februari 2025. Dalam aksi tersebut seorang pelajar membawa poster tertulis “Makan Gratis, Mati Gratis”. Menurut saya, poster ini bukan sekadar ungkapan spontan, tetapi mencerminkan kekhawatiran mendalam yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Papua terhadap kebijakan pemerintah pusat. Ungkapan ini juga tidak sekadar provokatif, tetapi juga mencerminkan keresahan mendalam terhadap kebijakan yang dinilai kontroversial. Poster tersebut menjadi simbol kritik terhadap program yang dianggap tidak transparan, serta mencerminkan kekhawatiran masyarakat terkait dampak jangka panjangnya.
Aksi demonstrasi penolakan ini mencerminkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Papua, dimana banyak keluarga mengalami kesulitan dalam membiayai sekolah anak-anak mereka. Selain itu mereka menilai bahwa program MBG tidak cukup untuk mengatasi akar permasalahan pendidikan di Papua.
Lalu mengapa pelajar Papua lebih memilih pendidikan gratis dibandingkan MBG? Apa yang melatarbelakangi penolakan terhadap program yang secara ideal bertujuan baik? Bagaimana konteks sosial, politik, dan historis memengaruhi pandangan masyarakat Papua terhadap kebijakan Negara?
Disinilah artikel ini akan membahas makna di balik poster tersebut, konteks aksinya, serta bagaimana suara pelajar Papua ini mencerminkan kegelisahan lebih luas mengenai kebijakan pangan dan kesehatan di daerah mereka, dan alasan pelajar Papua lebih memilih pendidikan gratis dari pada MBG.
Mengapa Pelajar di Papua Menolak MBG?
Setelah aksi pelajar menolak program MBG di Yahukimo pada 3 Februari 2025, berlanjut lagi aksi oleh pelajar dengan tuntutan yang sama di Dogiyai, Nabire, Mimika, Jayawijaya, Jayapura, Yalimo, dan beberapa kota lainnya pada 17 Februari 2025.
Gelombang aksi ini bukan sekedar aksi spontan. Ini terjadi berhubungan erat dengan dinamika sosial, politik, dan historis yang telah berlangsung lama di Tanah Papua. Meskipun program MBG secara umum bertujuan meningkatkan kesehatan dan gizi siswa, respons negatif yang muncul di Papua mengindikasikan adanya persoalan yang lebih dalam. Beberapa faktor utama yang melatarbelakangi gerakan ini meliputi ketidakpercayaan terhadap pemerintah, konteks politik Papua, kekhawatiran terhadap kualitas dan keamanan makanan, serta pengalaman historis yang membentuk persepsi masyarakat setempat terhadap (kebijakan) negara.
Ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat telah berlangsung selama bertahun-tahun akibat berbagai kebijakan yang dinilai tidak ada keberpihakan. Sejarah panjang ketegangan politik, konflik bersenjata, dan eksploitasi sumber daya alam membuat banyak orang Papua merasa bahwa kebijakan yang datang dari Jakarta sering kali mengandung agenda tersembunyi. Dalam konteks ini, program MBG dipandang bukan sekadar bantuan sosial, melainkan bagian dari strategi kontrol atau bahkan ancaman terhadap keberlangsungan hidup masyarakat di Papua. Dalam aksi demonstrasi pelajar yang terjadi, ketika seorang pelajar membawa poster bertuliskan “Makan Gratis, Mati Gratis”, itu menunjukkan adanya kecurigaan bahwa makanan yang diberikan dalam program ini mungkin mengandung bahaya tersembunyi, seperti zat berbahaya atau unsur lain yang dapat merugikan kesehatan pelajar Papua dalam jangka panjang.
Selain itu juga adalah isu tentang keamanan dan kualitas makanan yang didistribusikan oleh pemerintah juga menjadi alasan utama penolakan. Kasus-kasus sebelumnya mengenai makanan kedaluwarsa, rendahnya standar kebersihan, serta kurangnya transparansi dalam pengadaan bahan pangan membuat masyarakat skeptis terhadap program ini. Di beberapa daerah, muncul kekhawatiran bahwa makanan gratis ini bisa saja mengandung bahan yang merugikan kesehatan atau bahkan berpotensi meracuni anak-anak Papua. Selain itu, masyarakat Papua memiliki budaya pangan yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Program MBG yang tidak mempertimbangkan makanan lokal yang sesuai dengan kebiasaan konsumsi masyarakat Papua juga menjadi faktor penyebab ketidakpercayaan terhadap program ini.
Juga, masyarakat Papua memiliki sejarah panjang terkait marginalisasi, diskriminasi, dan perlakuan yang dianggap tidak adil dari pemerintah. Beberapa kebijakan sebelumnya telah menimbulkan trauma kolektif, terutama terkait dengan program kesehatan dan sosial yang dinilai merugikan orang Papua. Misalnya, beredarnya isu-isu tentang sterilisasi paksa, kelalaian dalam pelayanan kesehatan, serta berbagai program yang dinilai lebih menguntungkan pihak luar dari pada masyarakat asli Papua. Trauma ini membentuk pola pikir kritis dan curiga terhadap segala bentuk kebijakan yang datang dari pusat. Oleh karena itu, ketika pemerintah menawarkan MBG, sebagian masyarakat Papua langsung mempertanyakan motif di baliknya dan mempertimbangkan kemungkinan adanya dampak negatif yang tidak mereka ketahui.
Di Papua, banyak aktivis dan kelompok masyarakat sipil yang mendorong kemandirian dan ketahanan pangan berbasis lokal. Mereka berpendapat bahwa ketergantungan pada bantuan pemerintah, seperti MBG, justru dapat melemahkan kemandirian masyarakat Papua dalam mengelola sumber daya pangan mereka sendiri. Banyak pelajar yang terlibat dalam aksi penolakan program MBG merupakan bagian dari generasi muda yang sadar akan pentingnya membangun ketahanan pangan sendiri dan mempertahankan hak atas kesehatan mereka. Gerakan ini juga merupakan bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap merendahkan kedaulatan masyarakat Papua atas makanan dan kehidupan mereka sendiri.
Gerakan tolak MBG oleh pelajar Papua bukan sekadar aksi protes terhadap satu kebijakan, tetapi refleksi dari ketidakpercayaan yang lebih luas terhadap pemerintah pusat. Faktor sejarah, kekhawatiran terhadap kualitas dan keamanan makanan, serta kesadaran akan pentingnya kemandirian pangan menjadi latar belakang utama dari gerakan ini. Poster “Makan Gratis, Mati Gratis” yang muncul dalam aksi protes tersebut adalah simbol dari kecurigaan mendalam dan perlunya pendekatan yang lebih transparan, partisipatif, dan berbasis pada kebutuhan masyarakat lokal dalam setiap kebijakan yang diterapkan di Papua.
Memaknai Poster “Makan Gratis, Mati Gratis”
Kalimat singkat namun tajam ini memiliki makna simbolis yang mencerminkan ketidakpercayaan, ketakutan, serta pengalaman historis masyarakat Papua terhadap kebijakan pemerintah pusat. Masyarakat Papua memiliki sejarah yang panjang ketidakpercayaan terhadap berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah pusat. Poster ini mencerminkan kecurigaan bahwa program MBG mungkin memiliki agenda tersembunyi yang bisa merugikan masyarakat Papua. Kata “Mati Gratis” menunjukkan kekhawatiran bahwa alih-alih membawa manfaat, makanan tersebut justru bisa menjadi ancaman bagi kesehatan atau bahkan nyawa penerimanya.
Sejarah Papua penuh dengan berbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat lokal, termasuk eksploitasi sumber daya alam, konflik militer, dan diskriminasi struktural. Poster ini dapat ditafsirkan sebagai ekspresi trauma kolektif, di mana masyarakat Papua merasa bahwa setiap kebijakan yang datang dari pusat sering kali tidak membawa kebaikan bagi mereka. Dalam konteks politik, poster ini juga bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi pemerintah pusat yang sering kali dianggap memaksakan kebijakan tanpa mendengar suara masyarakat lokal. Dengan membawa poster ini, pelajar Papua tersebut menyampaikan pesan bahwa masyarakat Papua ingin memiliki kendali atas kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka, termasuk dalam hal pangan dan kesehatan.
Isu kesehatan masyarakat Papua sering kali diwarnai oleh rendahnya kualitas layanan kesehatan dan kurangnya transparansi dalam distribusi bantuan. Kekhawatiran terhadap kualitas makanan yang diberikan, kemungkinan adanya bahan berbahaya, atau ketidaksiapan pemerintah dalam menjamin keamanan pangan bisa menjadi alasan di balik tulisan “Makan Gratis, Mati Gratis”. Makanan gratis sering kali dianggap sebagai bentuk bantuan yang dapat menciptakan ketergantungan. Dalam konteks Papua, hal ini dapat dilihat sebagai strategi negara untuk semakin mengontrol masyarakat. Poster tersebut bisa dimaknai sebagai penolakan terhadap bantuan yang berpotensi mengurangi kemandirian masyarakat Papua dalam menentukan kebutuhan pangan mereka sendiri.
Oleh karena itu, memahami makna di balik poster ini tidak cukup hanya dari perspektif program pangan semata, tetapi harus dilihat dalam konteks hubungan yang lebih luas antara Papua dan pemerintah Indonesia.
Pelajar di Tanah Papua Menyikapi MBG
Perspektif pelajar Papua terhadap program MBG dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, termasuk sosial, budaya, ekonomi, dan pengalaman mereka terhadap kebijakan pemerintah sebelumnya. Jika ada penolakan terhadap program MBG, kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
Pertama: tidakcocokan dengan budaya makanan Lokal. Pelajar Papua mungkin merasa bahwa makanan yang disediakan dalam program tersebut tidak sesuai dengan kebiasaan atau budaya makan mereka. Papua memiliki makanan khas seperti sagu, ikan, dan umbi-umbian yang mungkin berbeda dengan menu yang disediakan oleh pemerintah. Jika makanan bergizi gratis lebih banyak berbasis nasi dan lauk pauk ala Jawa atau daerah lain, mereka mungkin merasa tidak nyaman atau kurang cocok dengan selera mereka. Kedua: kurangnya partisipasi dalam perencanaan program ini. Sering kali, kebijakan seperti ini dirancang tanpa melibatkan masyarakat lokal, termasuk pelajar dan orang tua mereka. Jika mereka merasa bahwa program ini dibuat tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan mereka, maka akan muncul ketidakpercayaan dan penolakan. Ketiga: kualitas dan distribusi makanan yang tidak memadai. Lihat saja di beberapa daerah di Papua, ada tantangan dalam distribusi makanan karena medan geografis yang sulit. Jika makanan bergizi gratis datang dalam kondisi tidak segar, basi, atau kurang menarik, maka pelajar bisa jadi enggan mengonsumsinya. Selain itu, jika program ini hanya mencakup sekolah tertentu dan tidak merata di seluruh Papua, bisa muncul rasa ketidakadilan yang membuat sebagian pelajar menolaknya. Keempat: trauma terhadap segala program bantuan pemerintah. Beberapa pelajar atau orang tua mereka mungkin sudah memiliki pengalaman buruk dengan program bantuan sebelumnya, seperti kualitas bantuan yang rendah, tidak berkelanjutan, atau adanya praktik korupsi. Jika mereka melihat program ini sebagai bentuk lain dari proyek yang tidak benar-benar bermanfaat bagi mereka, wajar jika ada skeptisisme dan penolakan. Kelima: kekhawatiran terhadap kemandirian lokal. Ada pandangan bahwa program seperti ini bisa membuat masyarakat menjadi terlalu bergantung pada pemerintah, sementara masyarakat Papua dikenal memiliki cara hidup yang mandiri, termasuk dalam hal pangan. Jika program ini berjalan dalam jangka panjang tanpa upaya memberdayakan masyarakat setempat untuk memproduksi sendiri makanan bergizi, maka akan muncul kekhawatiran bahwa ini hanya solusi jangka pendek yang bisa merugikan mereka dalam jangka panjang. Keenam: persepsi terhadap berbagai program sebagai bentuk ‘asimilasi’. Di beberapa kasus, kebijakan pemerintah pusat sering kali dianggap sebagai cara untuk mengubah budaya lokal menjadi lebih sesuai dengan standar nasional. Jika MBG ini dianggap sebagai upaya untuk menggantikan pola makan tradisional Papua dengan pola makan yang lebih umum di Indonesia, beberapa pelajar mungkin menolaknya sebagai bentuk mempertahankan identitas mereka.
Penolakan terhadap program makanan bergizi gratis di Papua tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai bentuk ketidakinginan untuk menerima bantuan. Ada banyak faktor yang mendasari, termasuk ketidakcocokan dengan budaya lokal, ketidakpercayaan terhadap kebijakan pemerintah, kualitas makanan yang mungkin kurang memadai, serta kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap kemandirian dan identitas mereka. Jika pemerintah ingin menjalankan program ini dengan sukses, penting untuk melibatkan masyarakat setempat dalam perencanaan, memastikan kualitas makanan yang sesuai dengan kebutuhan pelajar Papua, dan mengedepankan keberlanjutan serta pemberdayaan lokal.
Seharusnya Pendidikan Gratis, Bukan Makan Gratis
Dalam aksi demontrasi yang dilakukan oleh ribuan pelajar Papua yang menuntut dan menolak MBG dan menuntut pendidikan gratis merupakan fenomena yang kompleks. Pelajar Papua lebih memilih pendidikan gratis karena mereka melihatnya sebagai investasi untuk masa depan. Dengan pendidikan yang berkualitas, mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan meningkatkan taraf hidup, dibandingkan hanya menerima makanan gratis yang hanya memberi manfaat sementara. Pelajar Papua lebih memilih pendidikan gratis karena mereka melihatnya sebagai solusi jangka panjang untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi. Sementara itu, program makanan gratis mungkin dianggap sebagai bantuan sementara yang tidak menyentuh akar permasalahan utama. Selain itu, faktor ketidakpercayaan, kemandirian budaya, dan ketidaksesuaian program juga turut memengaruhi penolakan terhadap bantuan makanan gratis.
Masyarakat Papua memiliki ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat maupun daerah karena sejarah panjang marginalisasi dan kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada mereka. Program makanan gratis mungkin dianggap sebagai bentuk “bantuan sementara” yang tidak menyentuh masalah utama, seperti kualitas pendidikan dan kesejahteraan jangka panjang. Ada kekhawatiran bahwa makanan yang diberikan mungkin tidak sesuai dengan selera atau budaya makan mereka, atau bahkan tidak aman untuk dikonsumsi. Program makanan gratis bisa menjadi alat kontrol atau propaganda politik. Masyarakat Papua yang masih sangat bergantung pada makanan tradisional mungkin kurang tertarik dengan program makanan bergizi yang berbasis standar nasional.
Masyarakat Papua memiliki nilai budaya yang kuat terhadap kemandirian dan tidak ingin terus-menerus bergantung pada bantuan pemerintah. Mereka mungkin merasa bahwa pendidikan gratis akan memberi mereka kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih baik tanpa harus bergantung pada bantuan pangan. Jika program makanan gratis tidak berjalan dengan baik, misalnya karena keterlambatan distribusi atau buruknya kualitas logistik, maka program ini bisa dianggap gagal dan tidak efektif. Di sisi lain, pendidikan gratis lebih diinginkan karena secara langsung meningkatkan kesempatan bagi pelajar Papua untuk berkembang.
Kesimpulan
Demo pelajar Papua menolak program MBG mencerminkan ketidakpercayaan dan kekhawatiran mendalam terhadap motif di balik program tersebut. Sejarah panjang marginalisasi dan perlakuan diskriminatif akan selalu membuat masyarakat Papua meragukan semua kebijakan pemerintah pusat sebagai upaya terselubung untuk mengendalikan atau merugikan masyarakat Papua.
***