“Nsi nsot, nna nsyoh, man nrana. (Mata lihat, tangan pegang, lalu mulut bicara)” Miroro Bleskadith (1960an)
Ada sebuah mitos, atau lebih tepatnya hoax tentang pembuangan Soekarno di Ayamaru yang terus dipercaya hingga hari ini. Entah bagaimana omongan ini bisa diyakini, saya tidak punya jawaban yang pasti. Namun adalah fakta bahwa semua masyarakat di Ayamaru hingga hari ini meyakini bahwa Soekarno pernah diasingkan/dibuang di Ayamaru. Bahkan pemerintah Kabupaten Maybrat pada tahun 2023 berencana untuk membangun sebuah monumen untuk mengenangnya.
Tetapi apakah cerita ini benar? Apakah Soekarno pernah diasingkan di Ayamaru? Jika tidak, maka apa sesungguhnya terjadi? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, marilah lebih dulu kita berkenalan dengan wilayah ini, sehingga keseluruhan argumen ini nantinya dipahami dengan baik.
Ayamaru adalah nama sebuah sub-suku yang terletak di wilayah Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya. Apabila para pelaut Eropa menyebut Pulau Papua sebagai seekor unggas raksasa, maka lokasi Ayamaru berada persis di mata unggas tersebut. Luas wilayahnya kira-kira adalah seluas Kabupaten Sleman di Yogyakarta. 20-30 Km ke selatan adalah Kabupaten Sorong Selatan (Teminabuan). Sementara 170 Km ke Barat adalah Kota Sorong, jarak yang sama juga ke Bintuni di Timur dan Tambrauw serta Manokwari di sebelah Utara. Jarak yang terbilang jauh-jauh ini, membuat Ayamaru selama berabad-abad hingga pertengahan Abad ke-20 adalah wilayah yang terisolasi sama sekali.
Tidak ada kontak dengan dunia luar. Pendidikan terbatas hingga 1950an. Hingga akhir 1960an, pengguna aktif bahasa Indonesia tidak lebih dari 100 orang. Penduduknya adalah petani nomaden, pemburu, nelayan, dan peramu. Tidak ada paham politik. Bahkan ketika Revolusi Indonesia meletus tahun 1945, gemanya hanya terbatas di Manokwari dan Sorong. Di Ayamaru yang diketahui saat itu hanyalah ada sekelompok tentara Jepang (Dai Nippon) yang masuk lalu tiba-tiba menghilang begitu saja.
Saat Belanda menduduki Papua pun pengaruhnya hanya terbatas di wilayah pesisir pantai. Dan hanya ketika konflik perebutan Papua oleh kolonial Indonesia dan kolonial Belanda memuncak pada dekade 1950-1969, barulah Belanda memperluas pengaruhnya hingga daerah-daerah pedalaman. Di Ayamaru pusat pemerintahan Belanda Onder Afdeeling West New Guinea bahkan baru dibuka pada 10 Mei 1952. Sebelumnya hanya patroli biasa dan tidak ada aktivitas serius lainnya di wilayah ini.
Maka disini jelas bahwa Ayamaru adalah tempat yang terputus sama sekali, baik dengan Belanda maupun Indonesia pada Zaman Pergerakan hingga periode awal Revolusi 1945. Selain itu, tidak ada aktivitas politik sama sekali, termasuk tempat pengasinan tahan politik seperti halnya di Boven Digoel, Ende, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana cerita tentang Sukarno—sang proklamator Republik Indonesia Merdeka itu, bahwa ia pernah dibuang ke Ayamaru? Dari cerita yang diwarikan hingga hari ini, jelas bahwa cerita ini dikembangkan pertama kali oleh seorang paruh baya bernama Kalep Klewok Bless. Ia adalah seorang petani biasa yang tidak bersekolah. Bahkan untuk sekedar mengetahui A, B, C, … atau angka 1 hingga 10 pun sangat meragukan.
Dari cerita bapak ini, ia mengatakan bahwa ia pernah menemani Sukarno saat menjalani hari-hari pembuangannya di Ayamaru atau lebih tepatnya di kampung Mefkajim. Tidak jelas berapa lama Sukarno disini. Namun yang pasti bahwa Sukarno di Ayamaru-Mefkajim untuk beberapa saat, tinggal di sebuah rumah yang sekarang dinamai Dua Wisma Tua. Rumah ini sekarang dijadikan sekolah Taman Kanak-kanak Lahai-Roi dan dipercaya sebagai ‘rumahnya’ Soekarno dulu. Lokasinya berada persis di sebelah timur Puskesmas Ayamaru.
Lebih lanjut, bapak ini juga mengklaim bahwa Soekarno sering bertapa di pinggiran Danau Ayamaru (nama tempatnya adalah Lusep) dan mendapat kekuatan gaib yang membuatnya menjadi sakti. Ia juga mengklaim warna merah dan putih dalam bendera Indonesia adalah terilhami dari warna danau Ayamaru yang apabila dilihat dari kejauhan tampak berwarna merah dan putih. Sementara simbol pohon beringin dalam Pancasila juga diambil dari sini sebab Danau Ayamaru dikelilingi oleh banyak pohon beringin.
Namun, bagaimana seorang bapak yang tidak bisa baca-tulis, bahkan tidak mempunyai paham politik apa-apa, tidak pernah membaca koran, menonton TV, mendengar radio, bahkan terisolasi sama sekali dengan dengan dunia Indonesia dan Belanda ini bisa mengetahui bahwa orang yang bersamanya adalah Soekarno? Ada banyak versi soal ini, namun yang paling dipercaya luas adalah bahwa saat bapak ini menemani Soekarno, ia tidak mengetahui bahwa orang yang bersamanya adalah Soekarno. Nanti ketika tahun 1962 saat militer Indonesia masuk ke wilayah ini dan melancarkan serangkaian kejahatan brutal, foto-foto Soekarno juga disebar dalam bentuk poster-poster ke masyarakat. Dari sinilah bapak Klewok menyadari bahwa orang yang di gambar inilah yang dulunya bersama dia di Ayamaru.
Ada beberapa generasi muda yang membantahnya saat itu, tetapi bapak ini tetap pada pendirian bahwa orang yang gambarnya terpampang dalam poster itu—yakni Bung Karno, tidak lain adalah orang yang pernah bersamanya beberapa puluh tahun lalu di Ayamaru-Mefkajim. Tapi apakah cerita bapak ini benar?
Pertama-tama ingatan bapak ini muncul pada tahun 1962 ketika Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) diluncurkan oleh Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 dan peluncuran pasukannya pada tanggal 18 Mei 1962 di Teminabuan dan langsung melakukan infiltrasi ke wilayah Ayamaru. Maka, jelas menunjukkan bahwasannya kejadian pembuangan Soekarno terjadi sebelum tahun 1962.
Menurut penuturan yang dikisahkan oleh Bapak Simson Sonny Bless, S.H—salah satu tokoh di wilayah Ayamaru—bahwa kemungkinan Soekarno dibuang di Ayamaru terjadi sekitar tahun 1931 hingga 1938. Alasan untuk hal ini adalah iklim politik Indonesia saat itu sesuai dengan kebijakan kolonialisme Belanda, yaitu pembuangan politik tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia; dan kedua, fase 1940an adalah fasenya Jepang hingga Revolusi 1945 sehingga tidak mungkin ada pembuangan politik pada periode ini.
Ini argumen yang tepat, tapi dalam kerangka epos politik saat itu. Sementara dalam konteks Soekarno dibuang ke Ayamaru adalah argumentasi yang keliru. Sebab, hingga detik ini tidak ada satu pun bukti-bukti sejarah yang mendukung klaim ini. Kebijakan pengasingan atau “pemolisian-politik” sebagaimana ungkapan Takashi Shiraishi adalah kebijakan resmi kolonial Belanda dalam rangka meredam kebangkitan perlawanan rakyat Indonesia yang ditandai dengan pecahnya Pemberontakan PKI 1926-1927.
Ada sekitar 14.000 orang yang ditangkap dan sekitar 1.300 orang dijatuhi hukuman pengasingan atau pembuangan politik pasca pemberontakkan ini. Kebijakan pembuangan dimaksudkan untuk mengisolasi para pemimpin gerakan dari basis massa yang terutama berbasis di pulau Jawa maupun Sumatera. Para pemimpin gerakan seperti Sjahrir, Hatta, Aliarcam, dan lain sebagainya, semua mendapat dampak dari kebijakan ini dan dibuang ke Boven Digoel.
Sementara Soekarno karena aktivitasnya dalam Partai Nasional Indonesia (PNI), ia dibekuk dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara pada bulan Desember 1930. Namun karena desakan massa luas, ia kemudian dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931 dari penjara Sukamiskin, Bandung. Selama di penjara, PNI pecah menjadi PNI Baru dan Partai Indonesia (Partindo). Ketika bebas, Soekarno lalu bergabung dengan Partindo.
Dalam kurun waktu 1931-1932, Soekarno bekerja secara aktif untuk mendirikan front bersama untuk menyatukan dua kekuatan ini. Pada Juli 1932, Soekarno dipilih menjadi Ketua Partindo. Ia kemudian mendirikan surat kabar partai Fikiran ra’jat (Pikiran Rakyat), dan bekerja sambilan sebagai arsitektur. Pada fase ini juga, Soekarno berkeliling pulau Jawa untuk menjalin kontak dengan para nasionalis lainnya.
Tahun 1933, Soekarno menerbitkan Serangkaian tulisan berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”. Dan pada Agustus 1933, Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda. Pada bulan Desember tahun itu, atas Surat Perintah Pengasingan Gubernur Jenderal De Jonge, Soekarno akhirnya dibuang ke Ende, Nusa Tengara Timur (NTT). Di Ende, Soekarno mengorganisir teater anak-anak dan memanfaatkan waktu luangnya untuk merenungkan konsepsi Pancasila.
Soekarno menghabiskan empat tahun di Ende. Tahun 1938 karena wabah malaria yang melanda kawasan ini, Soekarno lalu dipindahkan/dibuang lagi ke Bengkulu, Sumatera. Ia masih berada di Bengkulu sampai Jepang menginfasi Indonesia tahun 1942. Dekade ini Soekarno merubah haluan politik dengan berkolaborasi bersama Jepang, sebab ia percaya kemerdekaan akan datang dari Jepang.
Bulan Juli 1942, Soekarno tiba di Jakarta. Ia disambut oleh kaum nasionalis, termasuk juga Panglima Jepang Jenderal Hitoshi Imamura. Disini Soekarno diberikan ruang terbuka untuk mengkampanyekan Indonesia merdeka, asalkan di bawah batas-batas kendali Jepang. Disini Soekarno terus bertahan di Pulau Jawa, dan berkeliling untuk mengkampanyekan Indonesia merdeka. Tiga tahun kemudian, arus politik berubah; Hirosima dan Nagasaki dibom, Jepang melemah, dan Soekarno tampil untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Pasca proklamasi, Soekarno adalah Presiden Republik Indonesia. Ia memimpin pemerintahan dalam fase transisi hingga penggulingannya pada Malapetaka 1965 yang dirancang oleh Central Inteljent Agency (CIA) buatan imperialisme Amerika Serikat dan antek-anteknya di Indonesia di bawah pimpinan Soeharto yang terkutuk dan biadap.
Maka dari uraian ini, dimanakah ruang yang tersisa bagi kita untuk mengansumsikan bahwa Soekarno dibuang di Ayamaru? Sebelum 1926, Soekarno tidak mungkin berada di Ayamaru karena belum ada kebijakan pengasingan politik. Sementara di atas tahun 1942, Belanda telah angkat kaki dan Soekarno sendiri telah bekerja secara legal. Maka ruang yang tersisa adalah dari 1926 hingga 1941. Tetapi dalam periode ini pun kita telah melihat bahwa Soekarno hanya berada di Jawa, Flores lalu Sumatera.
Bahkan Boven Digoel yang menjadi tempat pembuangan terbesar pun, Soekarno tidak pernah berada di sana. Ayamaru tidak pernah masuk dalam daftar tempat pembuangan, karena Belanda tidak mempunyai kontrol yang kuat di wilayah ini hingga 1952. Maka sudah benar kesimpulan kita bahwa cerita bapak Kalep Klewok Bless adalah tidak tepat 100%.
Sebuah Analisis
Bagaimana kita melihat cerita ini dari sudut pandang yang lain? Saya mempunyai dua asumsi terhadap mitos ini. Pertama, kemungkinan ada seorang Indonesia yang secara kebetulan berada atau bersembunyi (bukan diasigkan!) di Ayamaru selama pergolakan politik Indonesia 1926-1940 yang disangka sebagai Bung Karno. Atau, kedua, cerita bapak Kalep Klewok Bless telah dibesar-besarkan oleh generasi berikutnya.
Asumsi pertama adalah berdasarkan kesaksian bapak Kalep Klewok Bless sendiri yang dibuktikan dengan pembangunan Rumah Dua Wisma Tua yang hingga hari ini dipercaya sebagai tempat tinggalnya Soekarno. Belum ada bukti-bukti lain yang tersedia mengenai asal-usul bangunan tersebut, kecuali kepercayaan bahwa rumah ini dibangun oleh Soekarno. Maka berdasarkan kesaksian dan bukti ini (walau belum jelas), saya meyakini bahwa seseorang pernah berada di Ayamaru.
Seorang ini tentunya bukan Soekarno, tetapi seorang Indonesia yang memiliki ciri-ciri fisik seperti halnya Bung Karno dan manusia Indonesia lainnya. Kalep Klewok Bless mungkin saja menemani dia saat menjalani hari-harinya di Ayamaru. Tetapi untuk memastikan bahwa orang yang bersamanya adalah orang yang gambarnya nanti terpampang dalam poster puluhan tahun kemudian adalah hal yang meragukan.
Ingatan manusia adalah terbatas. Apalagi puluhan tahun kemudian. Apa yang Anda lihat hari ini, belum tentu persis demikian dalam ingatan Anda selama puluhan tahun kemudian. Bisa saja Anda melupakannya, maupun salah mengingatnya. Dalam kasus bapak Kalep Klewok Bless, kejadian yang diyakini sebagai Soekarno adalah di tahun 1930an, sementara gambar Soekarno dalam poster yang dilihat adalah di tahun 1962, maka rentang waktu yang ada adalah 30an tahun. Sementara bapak Kalep Klewok Bless sendiri adalah orang yang terputus sama sekali dengan dunia luar, tidak paham persoalan politik, dan bukan seorang yang terpelajar.
Sekarang coba Anda bayangkan, Anda menemui seorang asing yang benar-benar asing dan baru Anda lihat misalnya dari Norwegia. Kalian bersama dalam beberapa waktu, kemudian berpisah. Selama berpisah, Anda tidak pernah melihat seorang Norwegia lainnya; Anda tidak pernah membaca koran, menonton TV, dan berkomunikasi dengannya selama 30an tahun. Hari-hari Anda, Anda habiskan di kebun, berburu, dan meramu. Anda terputus sama sekali dengan dunia luar.
Lalu tiba-tiba di suatu waktu, puluhan tahun kemudian, ada orang-orang asing yang masuk ke wilayah Anda dan membagikan gambar seorang Eropa berkulit putih, bermata biru, dan berambut pirang yang tentunya sama dengan seorang Norwegia yang dulunya bersama Anda. Maka apa yang akan muncul dalam benak Anda saat itu? Tentunya Anda langsung mengingat kawan lamamu. Tetapi untuk memastikan bahwa wajah dalam gambar tersebut adalah kawan Anda, adalah persoalan yang berbeda. Anda membutuhkan sumber-sumber lain untuk memastikannya; tetapi Anda juga harus siap, sebab kebenaran belum tentu sesuai pikiran Anda.
Saya menduga (dalam asumsi pertama) bapak Kalep Klewok Bless berada dalam posisi ini. Ia melihat gambar Soekarno tahun 1962 lalu berpikir bahwa orang inilah yang bersama dia 30an tahun lalu. Tetapi, apakah Anda mempercayai dugaan semacam ini? Ya, bisa dipercaya apabila bukti-bukti lain mendukungnya. Namun jika sebaliknya, maka kita harus mengatakan tidak.
Kedua, cerita bapak Kalep Klewok Bless telah dibesar-besarkan. Saya mempunyai dugaan kuat bahwa cerita yang sesungguhnya adalah tidak demikian. Bapak Klewok Bless kemungkinan tidak menceritakan seperti yang kita dengar hari ini. Tetapi cerita dari mulut ke mulut telah merubah versi aslinya. Sudah menjadi pengetahuan umum bagi kita, bahwa omongan orang pertama yang kemudian diteruskan oleh pendengar ke sepuluh, 99,9 % adalah tidak sesuai.
Cerita bisa saja dikembangkan atau dikurangi, bahkan banyak yang melenceng dari versi aslinya. Cerita bapak Klewok Bless telah dituturkan puluhan tahun silam, dan ditransfer dari generasi ke generasi. Sehingga sudah pasti, telah terjadi perubahan dari versi aslinya. Saya menduga kuat, bahwa separuh dari cerita yang kita dengar hari ini bukanlah langsung dari bapak Klewok, tetapi hasil pengembangan orang kedua, ketiga, dan seterusnya. Sehingga kebenaran dari cerita Soekarno dibuang di Ayamaru adalah meragukan 100%.
Bantahan Lainnya
Letkol Mustagfirin dkk dalam tulisan mereka “Legenda Bung Karno di Ayamaru, Kabupaten Maybrat: Sikap Nasionalisme dari Pedalaman Kepala Burung (Vogelkopt) Papua Barat” yang membahas mitos tentang Soekarno dibuang di Ayamaru tahun 2022 pun telah, walau dengan sikap ragu-ragu, mencapai kesimpulan yang sama dengan kita bahwa Soekarno tidak pernah diasingkan di Ayamaru.
Ini merupakan kejujuran intelektual yang baik. Tetapi dalam uraian mereka selanjutnya, mereka menulis bahwa kisah keberadaan Soekarno di Ayamaru dengan segala tambahannya adalah bukti bahwa secara umum masyarakat di Ayamaru memiliki kecintaan terhadap NKRI. Saya menilai bahwa ini merupakan satu mitos baru yang bobotnya setara dengan mitos Soekarno di Ayamaru.
Apa dasar tesis ini dikeluarkan? Apakah sebuah cerita bohong dapat menunjukkan bahwa suatu masyarakat cinta terhadap NKRI? Inilah tidak jelasnya tesis ini. NKRI maupun Bung Karno adalah hasil paksaan dan bukan sesuatu yang muncul secara alamiah. Wajah Indonesia pertama kali yang ditampakkan di Ayamaru maupun wilayah sekitarnya adalah wajah kekerasan dan darah. Ratusan hingga ribuan orang dibantai dan diburu. Barang siapa tidak menerima NKRI maupun Bung Karno berarti ia memilih mati.
Ini dibuktikan dengan serangkaian kekerasan yang berpuncak pada Operasi Tumpas 1967-1968 yang membunuh tokoh-tokoh Papua di Ayamaru seperti Otniel Safkaur, Kristian Kareth, Yores Basna, Mteis Solossa, hingga Gebse bersaudara yang ditembak mati di Sungai Doros, Kampung Wehali.
Jadi cerita bapak Klewok Bless maupun para penerusnya yang mewarisi cerita Bung Karno bukanlah ekspresi dari kecintaan terhadap NKRI. Tetapi sebuah kesalahan luar biasa yang terus dipelihara. Karena di satu sisi ingin pengakuan sebagai wujud mental budak yang diproduksi oleh ketakutan luar biasa akibat kejahatan militer Indonesia, tetapi di sisi lain merupakan upaya pembangunan identitas palsu dalam kerangka tatanan yang sedang berkuasa. Namun ini merupakan upaya yang sia-sia. Sebab kebenaran, melalui satu dan lain cara, tetap membuktikan dirinya sendiri.
Kesimpulan
Cerita Soekarno dibuang di Ayamaru adalah cerita yang tidak benar. Maka sudah semestinya sesuatu yang tidak benar harus ditinggalkan. Tidak ada gunanya merantai diri dengan sebuah kebohongan. Sebab kebohongan terhadap diri sendiri dapat melahirkan identitas diri yang palsu. Masa lalu adalah cermin untuk masa kini. Apabila kita bercermin dalam cermin yang rusak, maka bayangan kita pun demikian. Dibutuhkan sebuah cermin yang bersih dan tidak rusak agar bayangan kita pun demikian.
Sejarah harus diluruskan! Betapa pun pahitnya kebenaran yang mungkin kita temukan, ia tetaplah fakta yang tidak bisa diingkari. Hari ini kita telah menemukan semua bukti-bukti, bahwa Soekarno tidak pernah diasingkan ke Papua, apalagi Ayamaru. Maka inilah kebenaran yang harus kita pegang hingga anak cucu kita di kemudian hari.
***
Referensi
Shiraishi Takashi. 2021. Dunia Hantu Digul: Pemolisian Sebagai Strategi Politik di Indonesia Masa Kolonial, 1926-1941. INSISTPress, Yogyakarta.
Drooglever P.J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Kanisius, Yogyakarta.
Kapitsa M.S & Maletin N.P. 2017. Soekarno Biografi Politik. Ultimus, Bandung.
Seri Buku Tempo. 2015. Sukarno. KPG, Jakarta.
Nishihara Masashi. 1976. The Japanese and Sukarno’s Indonesia. University Press of Hawai.
Puspasari Setyaningrum. 2022. 7 Lokasi Pengasingan Bung Karno, dari Bandung hingga Ende. Baca: http://regional.kompas.com/read/2022/08/01/213510478/7-lokasi-pengasingan-bung-karno-dari-bandung-hingga-ende diakses pada tanggal 3 April 2025.