Pagi itu, di awal Mei 2025, saya kembali teringat dengan lagu Mu Man Minggil. Irama dan lantunan syairnya sayup-sayup saya rasakan menggetarkan hati. Lagu ini pulalah yang kemudian menggugah kesadaran saya untuk menjadikannya pedoman sekaligus pelita dalam menjaga ruang-ruang hidup masyarakat di kampung-kampung yang semakin lama juga semakin massif dirongrong oleh kuasa modal bernama investasi lewat wajah-wajah perusahaan ekstraktif yang rakus.
Pencipta lagu tersebut, Willem Giryar, salah satu personel Mambesak yang juga salah satu penyanyi dalam grup Mambesak di era tahun 70an hingga 80an telah menutup usia pada 14 November 2024. Willem Giryar lahir pada 26 Juni 1956 di Nyau Arso Barat, Kabupaten Keerom dan menjadi salah saru anak Keerom yang aktif bermain musik dan menulis lagu serta bergabung dengan kelompok musik Mambesak. Willem Giryar selain menciptakan lagu Mu Man Minggil juga menghasilkan karya lagu berjudul Ma Me Ayo dan Maitusyom.
Kepergian Bapa Willem Giryar meninggalkan kenangan mendalam terhadap salah satu lagu terbaik yang diciptakannya: Mu Man Minggil (Jalan ke Tanah Leluhur). Syairnya yang singkat namun memberikan makna mendalam menjadi salah satu refleksi mendalam bagi kehidupan masyarakat Papua yang sedang berjuang melawan penindasan dan penjajahan dalam berbagai aspek kehidupan. Berikut syairnya: [1]
Mu Man Minggil (Jalan ke Tanah Leluhur)
Ciptaan: Willem Giryar dalam Bahasa Auyi (Arso, Keerom)
Muman mingil kai bekhel smetwat
Yus yata timtom fofuso
Nu manggi uwel nekwaukhu
Semfat yemse takhul yen
Nasa aya khwas
(Jalan ke tanah leluhurku tidak dirawat,
Sudah ditumbuhi oleh semak belukar,
Ibarat anak yatim piatu yang tidak punya mama bapa)
Saya mengenal lagu Mu Man Minggil ini dari tulisan pengantar Victor Yeimo untuk buku saya, Suara-Suara yang Dicampakkan: Ontran-Ontran Tak Berkesudahan di Bumi Papua (2017). Ia menulis kata pengantar di buku tersebut dengan judul “Mu Man Minggil, Jalan Menuju Tanah Leluhur Bangsa Papua.” Judul ini saya pilihkan sendiri mengutip paragraf terakhir dari kata pengantarnya yang sangat kuat: “… Buku kawan Suryawan (saya masih menyebutnya ‘kawan’ untuk mengakuinya sebagai bagian dari barisan yang sedang berjuang bagi bangsa Papua) menentang dunia pendidikan yang penuh dengan intrik-intrik hegemoni kolonial agar berubah dan menciptakan hegemoni pembebasan rakyat Papua.
Victor Yeimo dalam tulisan ini kemudian mengenang Arnold Ap, antropolog Uncen, yang seharunya memegang kapur tulis atau tuts komputer, justru memetik sinar gitar, bersama nada-nada sendu, membuat Papua kembali menemukan rohnya. Budayawan yang merefleksi teori dalam praktik perlawanan nyata melawan budaya bisu. Dalam satu syair Ia (Arnold Ap) mengiringi lagu: Mu Man Minggil (Jalan ke Tanah Leluhur), sebuah syair yang diciptakan dan dinyanyikan Willem Giryar yang menggambarkan gejolak politik tahun 1980-an, di mana rakyat Keerom mati dibunuh dalam berbagai operasi militer Indonesia. Kiranya tulisan-tulisan kawan Suryawan, yang memenuhi berbagai koran, juga melalui buku ini menjadi Mu Man Minggil (Jalan Menuju Tanah Leluhur) bangsa Papua.
Tulisan syair lagu dengan tangan oleh Willem Giryar. Foto: West Papua Updates (2017).Dokumentasi tentang Willem Giryar dan lagu Mu Man Minggil-nya salah satunya didapatkan dari film singkat oleh West Papua Updates yang diupload di kanal Youtube mereka tahun 2017. Pada dokumentasi tersebut, Bapa Willem Giryar menceritakan kisah dibalik lahirnya lagu legendaris tersebut, yang tidak bisa dilepaskan dari peristiwa politik mencekam yang terjadi di tanah Papua tahun 1980-an. Pada saat itu terjadi operasi rahasia untuk memperkuat kekuasaan negara di tanah Papua dan melenyapkan para pengkritik dan gerakan perlawanan. Ketakutan masyarakat untuk bekerja di kebun-kebun mereka membuat jalan-jalan menuju daerah penghidupan mereka menjadi penuh dengan semak-semak. Mereka lebih baik mencari selamat dan berlindung di rumah dari pada harus berurusan dengan aparat keamanan.[2]
Menguatkan Kampung
Bagi saya, salah satu metode perjuangan melalui gerakan sosial yang masih sangat relevan disemaikan untuk kemudian dikuatkan adalah pengutan kampung. Zaman sebelumnya sering disebut dengan Turkam (Turun Kampung). Mambesak melalui kesaksian anggota atau yang mengamati dan mengikuti perjalanan kelompok ini mengungkapkan metode Turkam dilakukan para anggota Mambesak untuk menggali lagu daerah, tarian, dan cerita-cerita rakyat dari berbagai komunitas budaya yang kaya di tanah Papua.
Gerakan untuk menginventarisasi serta menggali kebudayaan Papua yang beragam, dalam hal ini lagu, tarian, dan cerita rakyat pada saat itu sangatlah penting di tahun 1970-1980an. Pengenalan kebudayaan Papua kepada publik luas dan “melihat wajah” mereka dalam lagu-lagu dan tari-tarian yang dilantunkan serta dipentaskan menjadi metode yang sangat kuat untuk menggugah kesadaran ke-Papua-an. Selain itu, kesadaran keberagaman dan kekayaan khazanah budaya muncul sebagai benih identitas budaya di masing-masing komunitas.
Gerakan inventarisasi budaya Papua tersebut awal mulanya dilakukan dengan menugaskan, tapi lebih kepada kesukarelawanan atau keinginan kuat dari para anggota Mambaesak untuk turun ke kampung-kampung menginventarisasi lagu-lagu daerah dan gerak-gerak tariannya. Pada saat liburan semester, beberapa anggota Mambesak di kampungnya masing-masing mencatat lagu-lagu daerah dan juga menggali data tentang budaya dan kesenian lain yang ada di daerah mereka. Kembali ke Jayapura mereka akan membawa tulisan lagu-lagu tersebut dan data-data seni dan budaya lainnya. Jika tidak kembali dalam waktu yang lama, ada orang yang dititipkan untuk membawa catatan lagu tersebut agar sampai di Jayapura.
Fokus para anggota Mambesak ini adalah mencatat lagu tersebut dan merekam bagaimana suara masyarakat yang memainkannya pada sebuah tape perekam sederhana. Energi suara dari lagu-lagu daerah inilah yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengaransemen ulang lagu tersebut ketika sudah sampai di Jayapura. Tidak hanya sampai di sana. Mereka yang kembali ke Jayapura untuk melanjutkan kuliah akan langsung mempraktikkan pengetahuan yang mereka dapatkan di kampung. Mereka akan menyanyi, menari, dan berbagi pengalaman mereka selama di kampung kepada teman-teman yang lain di Museum Loka Budaya atau di tempat lain.
Mambesak saya pikir menyadari dengan penuh urgensi menunjukkan identitas budaya Papua melalui lagu, musik, tarian, dan juga cerita-cerita rakyat berupa mop (cerita-cerita lucu) kepada publik. Usaha untuk menggali, mementaskan, dan mempopulerkan ke publik berbagai ekspresi budaya tersebut bisa ditempatkan dalam konteks menunjukkan karakteristik dan identitas budaya Papua. Pada saat itu, di tahun 1980-an, gerakan kebudaya nasional sebagai puncak budaya-budaya daerah sebenarnya menemukan konteksnya. Momen ini juga yang dimanfaatkan Mambesak untuk mengenalkan Papua ke nasional dengan mengikuti berbagai pentas tari dan teater.
Kembali mengingat Mu Man Minggil dan berpulangnya Bapa Willem Giryar, saya dibawa untuk merenunggi kembali jalan-jalan ke tanah leluhur orang Papua yang kian terancam dibumi-hanguskan perusahaan yang rakus serta pongah dan aparat keamanan yang membabi-buta. Lagu Mu Man Minggil akan selalu saya kenang sebagai pengingat jalan ke tanah leluhur. Lagu yang terus mengganggu kita untuk terus memikirkan, menjaga, dan memperjuangkan tanah leluhur demi kedaulatan kehidupan kita dan anak cucu di masa depan. Terimakasih Bapa Willem Giryar atas lagunya. Beristirahatlah dengan damai.
***
Referensi
[1] Berita tentang kematian Bapa Willem Giryar untuk pertama kalinya saya temukan di link berikut: https://www.paraparatv.id/2024/11/willem-giryar-personil-mambesak-tutup-usia/ (diakses 21 November 2024).
[2] Mengenai film tentang Willem Giryar dari West Papua Update (2017) lihat: https://www.youtube.com/watch?v=3MDNxU-l5p4 (diakses 10 November 2024).