Analisa Harian Freeport dan Kematian Michael Rockefeller

Freeport dan Kematian Michael Rockefeller

-

18 November 1961 seorang antropolog dan fotografer muda bernama Michael Rockefeller dikabarkan menghilang di Asmat, Papua. Saat itu Michael berusia 23 tahun dan baru saja menyelesaikan kuliah di Amerika Serikat. Di Papua dia berencana mengumpulkan benda-benda budaya penduduk asli setempat untuk dipamerkan di Museum milik ayahnya di Kota New York.

Namun nahas bagi dirinya, perahu yang ditumpanginya terhantam ombak dan terbalik di muara sungai Eilanden, dekat Lautan Arafura di Selatan Papua. Kabar kecelakaan itu diketahui setelah dua orang Polisi Papua yang ditugaskan menemani perjalanannya berhasil selamat setelah sebelumnya bersusah payah berenang untuk mengapai daratan.

Mendapati informasi itu, pihak Belanda dengan sigap melakukan upaya pencarian ke seluruh lokasi kecelakaan. Tidak sampai sehari sebuah perahu ditemukan.

Di atas perahu yang telah terbalik itu ditemukan seorang bernama Rene Wassing. Antropolog pendamping yang bekerja di Biro Urusan Pribumi Holandia (Kota Jayapura). Dia bertahan hidup dengan memilih tetap menunggu di atas badan perahu yang sudah terbalik itu. Sedangkan Michael Rockefeller berenang meninggalkan perahu.

Proses pencarian Michael terus dilakukan. Untuk memaksimalkan pencarian tidak hanya tim dari pemerintah Belanda tetapi juga dari Amerika. Upaya itu tidak membuahkan hasil sama sekali. Pencarian berlanjut selama hampir empat tahun. Baru pada 1964 secara resmi Michael dikabarkan meninggal dunia.

Menarik dari kejadian ini adalah proses pencarian Michael diliput oleh berbagai media internasional yang berbasis di AS.  Spekulasi tentang kronologis tewas Michael Rockefeller menjadi headline dengan waktu yang lama. Sayangnya, muatan pemberitaan itu sama sekali tidak berimbang dan sangat diskriminatif bagi orang Papua. Kanibalisme disebut-sebut sebagai penyebab utama kematian Michael walau belum dibuktikan sama sekali.

Tuduhan yang tidak mendasar dan membuat images suku-suku tradisonal di Papua buruk di mata dunia saat itu. Padahal jika benar-benar ingin memberitakan kebenaran hilanngnya Michael, sumber yang harus dimintai keterangan jelas-jelas adalah dua orang polisi Papua dan Rene Wassing itu sendiri.

Media menjadi provokatif dan merugikan bagi rakyat Papua secara umum karena disaat bersamaan, gejolak politik perebutan Papua gencar dilakukan antara Indonesia dan Belanda, yang menarik mata dunia internasional. Masa depan rakyat Papua sedang dipertaruhkan di waktu-waktu itu, antara bertintegrasi bersama Indonesia atau menjadi sebuah negara independen sesuai rancangan Belanda.

Belanda telah menyekolahkan putra-putri Papua, merekrut mereka menjadi staf adminitrasi pemerintahan, polisi, perawat, bahkan melakukan pemilihan langsung Dewan Papua atau Neuw Guinea Rad sebagai syarat utama menuju negara merdeka versi Belanda di tahun 1961.

Namun siapa sangka karena kematian pemuda berusia 23 tahun ini mampu mempengaruhi jalannya cerita politik Papua. Mungkin saja jika dirinya tidak tewas di Asmat, cerita akan lain lagi.

Siapakah Sebenarnya Michael Rockefeller?

Jika menelusuri silsilah Michael, kita akan dapati bahwa dia bukan pemuda sembarangan tetapi generasi keempat dari Jhon D. Rockefeller Sr keluarga kaya raya asal New York Amerika, yang berpengaruh sejak abad-19 sampai hari ini. Awalnya Jhon D. Rockefeller Sr mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan minyak bumi bernama Standard Oil pada 1863. Selanjutnya perusahaan mulai menguasai pasar minyak Amerika hingga ke seluruh dunia.

Dengan dibekap Pemerintah Amerika, Standar Oil terus mengembangkan usanya keberbagai pertambangan mineral lainnya dan menjangkau negara-negara dunia ketiga.Termasuk menguasai 60 persen saham Netherlands New Guinea Potreleum Company (NNGPM) yang di sangka di awal sebagai perusahan milik Belanda di Sorong, Papua (Papua dan Papua Barat disebut Papua saja), tahun 1935.

Dalam kurun waktu 1940an-1960an, keluarga Rockefelleer telah berupaya mengambil satu lagi wilayah di Papua setelah ditemukan sumber emas terbesar oleh tiga Arkeolog Belanda dan juga karyawaan pada NNGPM, yaitu Jena Jacques  Dozy, A.H Colin, dan Franz Wissel pada tahun 1936, wilayah penemuan mereka disebut “Esberg”.

Namun situasi politik antara Indonesia dan pemerintah Belanda dalam memperebutkan Papua telah menarik kedua kubu politik yang lebih besar yaitu antara Blok Barat pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur oleh Uni Soviet. Hingga terpilihnya Jhon F. Kennedy sebagai Presiden Amerika, dirinya lebih memihak upaya Soekarno di Papua untuk kepentingan geopolitik, yaitu menghindari berkembangnya komunisme di Pasifik.

Hingga akhirnya kematian sang anak membuat keluarga Rockefeler mendapat momentum tepat menggerakan sumber dayanya dalam semua bidang untuk legalkan keinginan ekonomi mereka. Pada bidang militer dan intelegen mereka memiliki loyalis setia dan berpengalaman bernama Allen Dulles yang mengendalihkan keseluruhan Director of Central Intelligence (DCI) dan Central Intellegence Agency (CAI) selama beberapa periode kepresiden Amerika.

Sedangkan bidang politik dan pemerintahan tentu saja Rockefeler memiliki andil besar terhadap pendirian lembaga seperti PBB, yaitu sebagai donatur awal berdirinya PBB dan pemberi hibah tanah bagi pendirian kantor utama PBB di New York.

Jhon F. Kennedy bahkan berbicara lantang dihadapan para negara anggota PBB tentang kematian mengenaskan Michael Rockefeller oleh “Kanibalisme” di Asmat Papua. Peran masing-masing dari setiap pendukung keluarga Rockefeller sangat mempengaruhi negara anggota dalam menentukan sikap politik bagi rakyat Papua kala itu. Yaitu dengan mendukungupaya Indonesia, ketimbang Papua menjadi negara sendiri seperti yang di agendakan Belanda. Akhirnya 1 Mei 1963, Belanda berlahan-lahan “angkat kaki” dari Papua, adminitrasi Papua diambil alih Indonesia dibawah pengawasan United NationsTemporary Executive Authority (UNTEA).

Pada 1967 Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan secara resmi menandatangani kontrak PT. Freeport Indonesia untuk pengelolahan tambang emas di Esberg, Timika. Bahkan sebelum dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Tentu saja kepemilikan saham terbesar PT. Freeport Indonesia dimiliki oleh keluarga Rockefeller. Kekuasan Rockefeller semakin besar ketika pada 1974 wakil Presiden Amerika dipegang oleh Nelson Aldrich Rockefeller, ayah pemuda “malang” itu. Sedangkan kunjungan keluarga Rockefeller ke Papua secara resmi baru pada 1982 untuk meninjau PT. Freeport Indonesia.

Sementara itu semua penemuan Michael berupa benda-benda budaya yang kebanyakan dari Asmat dikumpulkan lalu disumbangkan oleh Rockeffeler Foundation, lembaga amal milik keluarga Rockefller kepada Museum Lokal di Kota Holandia. Museum itu dikenal sekarang sebagai Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih.

Saya selalu berpikir, seandainya saja Michael Tidak datang dan mati disini. Entahlah!

Referensi:

  1. Buku berjudul Bayang-bayang Intervensi (perang siasat antara Jhon F. Kennedy dan Allen Dulles atas Soekarno)
  2. Video di Miseriko Channel Papua berjudul 3000 Artefak Orang Papua di Uncen
Yason Ngelia
Penulis adalah aktivis Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) dan Pengasuh Rubrik Analisa Harian.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan