Budaya dan Sastra Masa Depan Sagu di Tengah Pandemi Covid-19

Masa Depan Sagu di Tengah Pandemi Covid-19

-

Sagu atau dalam bahasa latin disebut Metroxylon sp dikenal sebagai makanan pokok masyarakat di kepulauan Maluku dan Papua. Hal ini tidak mengherankan, karena Papua dan Maluku adalah wilayah sebaran tumbuhan Sagu yang terbesar di kawasan Asia dan Pasifik selain Papua New Guinea.

Dahulu di Papua tanaman berjenis palem ini merupakan tanaman penting karena bukan hanya sebagai makanan pokok (staple food) bagi Orang Asli Papua (OAP). Tapi juga telah mempengaruhi sejarah dan sosio-ekonomi orang asli Papua. Kita dapat melihat dan menyaksikan jejak-jejak kebudayaan materil pada suku-suku di sepanjang pesisir pantai dan pulau-pulau, sepanjang daerah-daerah aliran sungai dan rawa-rawa di Papua.

Bahkan Sagu telah memperkaya kebudayaan materil masyarakat seperti pengembangan alat pengolah Sagu secara sederhana, pemanfaatan pelepah dan daun Sagu untuk pembuatan rumah, memperbesar format perahu bagi masyarakat pesisir dan kepulaun agar dapat memuat barang lebih banyak saat melakukan pelayaran untuk melakukan niaga antar pulau.

Sagu juga adalah komoditi unggul dalam perdagangan antar suku di sepanjang pesisir pantai, pulau dan rawa-rawa di Papua. Perdagangan ini secara tidak langsung menghubungkan berbagai daerah di tanah Papua. Misalnya perdagangan antara orang Biak dengan Yapen, Waropen, Kurudu dan penduduk teluk Wondama dikawasan teluk Cendrawasih. Biasanya orang Biak akan membarter ikan kering (asap), parang, gelang dari kerang bahkan logam dengan Sagu.

Namun dalam perkembangnnya hingga sekarang ini, Sagu sebagai makanan pokok mulai tergantikan dengan beras. Sagu tidak lagi menjadi bahan makanan utama bagi masyarakat Papua, tetapi diolah terbatas dalam skala kecil untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga saja. Atau pun hanya pada saat ada upacara-upacara adat, pesta adat, serta acara keluarga yang membutuhkan Sagu dalam jumlah banyak. Perubahan pola konsumsi dari Sagu ke beras belakangan tidak hanya menjangkiti kaum urban, seperti para kaum tenokrat, birokrat, borjuis hingga buruh perkotaan. Perubahan pola konsumsi ini juga terjadi pada kelompok masyarkat adat (pribumi) terisolir, bahkan diyakini sebagai salah satu penyebab “Tragedi Asmat” yakni bencana kelaparan pada September 2017 hinga januari 2018, yang menewaskan puluhan orang Papua di Asmat.

Berbeda dengan Papua, kepulauan Kalimantan khususnya di daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau dalam rangka mengantisipasi krisis pangan yang mungkin terjadi bagi mereka di masa depan. Pemerintah mereka telah mengembangkan budidaya Sagu sejak 1996, dan kini Sagu asal kepuluan Meranti telah menjadi primadona di Indonesia. Apalagi setelah meraih penghargaan sebagai kawasan penghasil Sagu terbesar di Indonesia, hasil Sagu dari Kabupaten Kepulauan Meranti ini di ekspor ke berbagai negara. Hal ini cukup mengejutkan sekaligus memprihatinkan jika kita mengingat hutan Sagu di Papua yang luas serta masyarakatnya yang dikenal sebagai pengolah dan pemakan Sagu.

Politik Beras

Situasi dan kondisi yang berbeda sebagaimana digambarkan di atas, mungkin saja karena ‘politik beras’. Istilah yang sering digunakan oleh berbagai kalangan untuk menyindir kebijakan bias beras yang terjadi di Indonesia selama Era Soeharto. ‘Politik Beras’ menurut saya, justru terlihat seperti kampanye bahwa beras lebih unggul dari bahan makanan pokok penduduk di luar jawa, termasuk Sagu Papua, padahal setiap tanaman memiliki keunggulannya masing-masing. Sagu memang lebih banyak karbohidrat dibandingkan protein, namun sumber protein dapat terpenuhi dengan konsumsi sumber protein lain yang mudah didapati oleh masyarakat seperti ikan, udang, kepiting, bahkan dengan kacang-kacangan.

Sebuah artikel berjudul Makan Sagu: Ciri Keterbelakangan dan Kemiskinan? yang dikeluarkan Buletin Kabar dari Kampung (KDK) Juni 1994 menggambarkan situasi dimana mengolah Sagu sebagai makanan pokok dianggap sebagai satu bentuk keterbelakangan. Dengan jelas kita dapat menangkap pesan-pesan penulis bahwa ada stigma yang kemudian dibenarkan oleh masyarakat kita akibat marginalisasi dan diskriminasi yang berlangsung lama di Papua; ada konstruksi sosial yang dibangun bahwa makan nasi atau roti adalah ciri kemajuan.

Apalagi sebagian besar orang asli Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, banyak yang mulai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebenarnya adalah hak setiap orang untuk memilih, ia hendak menjadi apa dan siapa, tidak ada yang salah dengan menjadi ASN. Namun, program atau kebijakan pemerintah untuk memberikan ‘Jatah Beras’ kepada ASN setiap bulannya melalui Badan Umum Logistik (BULOG) secara nasional dan berkala menurut hemat saya, secara tidak langsung turut menggeser pola konsumsi masyarakat dari pangan lokal ke beras; yang menjadi homogenitas pangan secara nasional.

Sedangkan, menurut salah satu jurnalis lingkungan Ahmad Arif dalam bukunya Sagu Papua untuk Dunia (2019) berpendapat bahwa kenaikan produksi beras tidak seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan berjalan bersamaan dengan beralihnya konsumsi pangan dari pangan lokal masyarakat yang beragam ke konsumsi beras. Seperti halnya yang terjadi di Papua. Hari ini banyak orang Papua yang tidak lagi mengkonsumsi Sagu sebagai makanan pokok sehari-hari. Melainkan mengkonsumsi beras.

Bahkan kedaulatan pangan lokal di Papua tidak didukung melalui kebijakan yang berarti. Presiden Jokowi malah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung perluasan sawah di Papua melalui Program Pajale (Padi, Jagung, Kedelai) di seluruh Tanah Papua dibawa program Nasional. Sementara itu, pangan lokal seperti keladi, ubi jalar, singkong, pisang, dan bahkan Sagu sebagai salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan mulai dari akar sampai daunnya. Belum menjadi perhatian pemerintah, bahkan hari ini makanan pokok itu bahkan telah dilupakan oleh generasi muda Papua.

Sagu Sebagai Solusi Makanan Pokok di Tengah Pandemi

Ketika wabah Covid-19 menyebar hingga ke Papua sejak maret lalu, banyak masyarakat khususnya yang tinggal di perkotaan mulai kembali berkebun dan memanfaatkan lahan kosong serta pekarangan rumah untuk bertahan hidup di tengah wabah Covid-19. Bahkan generasi milenial yang diperkotaan seperti, di Kota Jayapura yang biasanya hang out dan nongkrong di cafe-cafe ataupun Mall, kini betah tinggal di rumah dan bahkan ada yang nongkrongnya di kebun. Pemerintah daerah juga, selain mendistribusikan bahan makanan pokok (sembako), seperti beras, minyak goreng, gula pasir, kopi, ikan kaleng, dan lain-lain, juga mulai menginiasikan membeli pangan lokal masyarakat yang dijual di pasar-pasar sentral maupun pasar tradisional yang ada di Kabupaten/Kota di tanah Papua dan didistirbusikan kembali pada mereka yang membutuhkan.

Namun yang menjadi pertanyaan, sampai kapan pemerintah dapat terus mendistibuskan atau mensubsidi sembako? Seberapa tepat sasaran pendistribusian sembako itu bisa sampai kepada warga masyarakat yang membutuhkan? Dan bagaimana perubahan pada masyarakat? Khususnya warga kota yang bergantung pada suplai para petani lokal dan import barang dari luar Papua di tengah situasi pandemi Covid-19. Seperti apa pula fenomena di kalangan masyarakat perkotaan yang kini kembali berkebun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka?

Di tengah kecemasan dan berbagai pertanyaan yang masih harus kita temukan solusinya, laju angka pasien Covid-19 terus meningkat hingga menembus angka 621 kasus di seluruh tanah Papua (Papua dan Papua Barat) per 20 Mei 2020. Respon pemerintah Kota Jayapura, misalnya, dengan memberlakukan pembatasan sosial yang lebih ketat untuk aktivitas warga hanya sampai dengan pukul 14:00. Pembatasan sosial itu menuai pro dan kontra karena pembatasan ini akan berdampak langsung pada sektor ekonomi dan daya beli masyarakat. Apalagi, bantuan-bantuan yang dijanjikan sejauh ini belum dirasakan oleh semua kalangan yang terdampak. Padahal dalam panduan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dalam Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dengan jelas mengatur mekanisme hingga syarat PSBB. Dimana salah satunya adalah Pemerintah harus memastikan kebutuhan pokok masyarakat.

Sehingga carut marut di masa pandemi ini, menimbulkan fenomena ‘berkebun’ di kalangan urban, khususnya di Kota Jayapura. Bisa dibayangkan di tengah keterbatasan lahan di areal perkotaan masyarakat mulai berinisiatif menggunakan pekarangan rumah, lereng-lereng bukit sekitar perkotaan, tanah mereka di pinggiran kota, atau tanah milik keluarga serta kerabat dekat ataupun jauh untuk dikelola bersama menjadi kebun yang dapat memenuhi kebutuhan perut. Hasilnya pun belum tentu dapat langsung dipanen jika dibandingkan dengan mereka yang memang menggantungkan hidupnya dengan berkebun. Wajar saja, mengingat kenyataan sampai kapan pemerintah akan terus membantu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat di tengah ketidakpastian kapan pandemik ini akan berakhir. Hal yang juga perlu diwaspadai dari fenomena ini adalah konflik sumber daya, antara masyarakat pemilik tanah dengan ‘petani dadakan’ yang mungkin saja membuka lahan pada lokasi masyarakat adat setempat, atau areal perkebunan orang lain, atau pun perselisihan hasil panen.

Menurut saya, jawaban untuk semua ketidakpastian ini hanya dapat dijawab oleh kita sendiri dengan mengolah dengan baik sumber daya yang kita punya untuk sebesar-besarnya keselamatan dan kebaikan kita semua. Salah satunya dengan mengolah dan memanfaatkan Sagu sebagai sumber pangan menghadapi pandemi Covid-19. Sagu sebagai makanan pokok dapat bertahan berminggu-minggu hingga berbulan-bulan dengan pengolahan dan teknik perawatan yang benar. Sagu juga dapat diolah menjadi berbagai bahan makanan lainnya seperti mie, berbagai macam makanan basah, dan kering lainnya.

Jika dahulu Sagu dapat menjadi komoditi yang mampu menghubungkan berbagai wilayah di tanah Papua khususnya daerah pesisir pantai, pulau-pulau dan daerah dataran rendah serta rawa-rawa melalui sistem barter. Maka melalui sistem pemerintahan modern seharusnya konsep barter lebih mudah untuk diimplementasikan di tanah Papua. Pemerintah bersama dengan masyarakat adat dapat memainkan peran strategis dalam memenuhi kebutuhan penduduknya masing-masing. Sebab setiap wilayah administrasi pemerintahan dan ketujuh wilayah adat di tanah Papua, memiliki komoditi unggulan yang dapat disuplai antar wilayah dan memenuhi kebutuhan pangan masing-masing daerah.

Misalnya saja, salah satu kabupaten penghasil Sagu yang dapat dijangkau oleh kaum urban Kota Jayapura, terdapat di Sentani, Kabupaten Jayapura. Kabupaten Jayapura memang menjadi salah satu wilayah pusat pertumbuhan Sagu alami di tanah Papua, 4.000-5.000 hektar wilayah di sekitaran Danau Sentani ditumbuhi Sagu dengan produktivitas mencapai 408,6 Kilogram perpohonnya.

Sebagai masyarakat, tentu saja kedaulatan pangan berada di tangan rakyat sebagai penghasil pangan itu sendiri. Jika pemerintah dinilai lamban, kita dapat berinisiatif dalam mengupayakan berbagai hal demi kepentingan kita bersama melawan Covid-19 ini. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Departemen Perempuan GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) di Tanah Papua, mereka membeli 10 tumang/karung Sagu dari anggota Jemaat GIDI di Genyem, Kabupaten Jayapura. Sagu yang dibeli ini menjadi salah satu bahan pokok dalam Pelayanan Kasih pembagian sembako tahap ke-5 dalam massa pandemik Covid-19. Apa yang dilakukan oleh Departemen Perempuan GIDI, menunjukan bahwa selain, pisang, keladi, singkong, ubi jalar, jagung dan hasil kebun lainya. Sagu juga dapat menjadi salah satu pilihan bahan makanan pokok yang disertakan dalam paket bantuan sembako yang lagi banyak digalangkan oleh berbagai komunitas, organisasi, serikat maupun perkumpulan di Papua.

Di tengah wabah Covid-19 dan PSBB yang mulai diterapkan, mencoba resep baru berbahan dasar Sagu dapat menjadi pilihan menarik untuk dicoba. Apalagi Sagu adalah makanan pokok orang Papua, selain dibuat menjadi papeda ikan kuah, papeda bungkus, Sagu pisang, dan Sagu lempeng. Sagu sebenarnya dapat diolah menjadi beragam makanan modern seperti Sagu mutiara, ragam kue kering dan biscuit, kue basah, mie, kue beras dan kerupuk, bahkan menjadi bakso, sosis hingga nugget. Yang kita butuhkan untuk mencoba melakukan hal baru dengan Sagu adalah kreativitas dan inovasi. Niscaya kita akan mempertahankan tradisi leluhur dan menjadikan Sagu sebagai makanan lokal dengan cita rasa internasional dengan tetap mempertahankan dusun dan hutan Sagu kita.

Menutup tulisan ini saya mengutip sebuah lirik lagu yang adalah ungkapan rasa syukur sekaligus ajakan untuk terus menjaga alam Papua yang penuh rimba Sagu oleh seniman dan budayawan Papua, Arnold C. Ap (1945 – 1984). Liriknya begini “Sadarlah.. sadarlah.. manusia penghuni bumi yang penuh rimba Sagu…” 

Sebagai generasi muda, tugas utama kita adalah memastikan massa depan kita dan anak cucu kita, tidak menjadi lapar di atas negeri yang kaya.

Referensi:

1. Hasil Seminar Sagu Universitas Cenderawasih 7 Mei 1980 (Emereuw collection).

2. Buletin Kabar Dari Kampung (KDK), Juni 1994.

3. Buku Sagu Papua untuk Dunia ditulis Ahmad Arif (2019)

 

Rut Ohoiwutun
Alumnus Antropologi di Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Pengelolah YouTube Miseriko Channel Papua

1 KOMENTAR

  1. Pernah ada koleksi puluhan jenis sagu Papua di Koya Barat, Jayapura. Juga puluhan jenis pisang asli Papua dan mongka (buah merah). Sayangnya lahan kebun koleksi ex-situ tsb. kembali diklaim oleh masyarakat adat sehingga nasibnya tidak jelas.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan