Ekopol Mengkaji Buku Ekologi Papua (Resensi Buku)

Mengkaji Buku Ekologi Papua (Resensi Buku)

-

Di dalam Mengkaji-meresensikan buku ini, penulis membagi dalam beberapa bagian agar lebih mudah untuk membedah tujuan dan maksud mengeksplorkan Alam atau Sumber Daya Alam (SDA) di Tanah Papua. Yaitu: 1, Pengantar, yang di dalamnya mengeksplor sampul dan bagian depan buku. 2, Bagian I, yang didalamnya mengeksplor bagian awal buku, seperti; Daftar Akronim dan Singkatan, Daftar Istilah, termasuk Daftar Isi. Dilanjutkan dengan Daftar Penulis Naskah Asli, Ucapan Terima Kasih, Prakata, dan Kata Pengantar. 3, Bagian II, yang mengeksplor Bab Pengantar tentang Pendahuluan dan Sejarah Kegiatan Eksplorasi Alam. 4, Bagian III, yang mengeksplor Bab Pembahasan dari 76 penulis naskah asli tentang hasil eksplorasi alam yang menjadikan bagian ini menjadi mega proyek buku ini. 5, Penutup, tentang siapa editor buku ini dan pendanaannya. 6, Kesimpulan, yang ditulis oleh penulis sendiri dari hasil mengkaji-meresensikan buku ini.¬¬

Mengkaji buku ini berdasarkan perspektif Papua guna mengingatkan bahwa dasar persoalan Papua versus Indonesia (Jakarta) yang tak ada hentinya ini mesti diselesaikan secara damai, bermartabat, dan demokratis. Sebelum, kegiatan-kegiatan seperti di dalam Buku Ekologi Papua (BEP) dilakukan.

Pengantar
Papua tengah menghadapi ancaman serius dari tekanan luar untuk mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), termasuk hutan untuk mengembangkan Kelapa Sawit dan bahan bakar Biofuel dalam skala sangat besar.Dari tampak luar tertulis bahwa Buku Ekologi Papua (selanjutnya disingkat BEP) disebut sebagai Seri Ekologi Indonesia (selanjutnya disingkat SEI) Jilid ke-VI, yang dalam bahasa Inggrisnya The Ecology Of Papua, part one and part two. Dan, dari tampak bagian awal ini, kita akan melihat bahwa Papua itu dianggap tanah (wilayah) tidak berpenghuni. Sehingga, SDA, Tanah, Air, Hutan, dan ekosistemnya yang telah dieksplorasikan di BEP, diklaim milik Negara (masuk di dalam Indonesia atau negara yang atur). Padahal, tidak bisa kita pungkiri bahwa ada persoalan mendasar antara Indonesia dan Papua. Namun, di dalam BEP, saya melihat justru mempersulit masalah dan bahkan kita akan memahami tujuan dan maksud dari klaim wilayah itu karena, kita akan melihat siapa saja yang mendukung eksplorasi besar-besaran di Tanah Papua yang kemudian negara merancang undang-undangnya agar melegalkan eksploitasi oleh investor, seperti; Undang-undang Penanaman Modal Asing untuk melegalkan Freeport, dan masih banyak lagi. Ini sebenarnya bukan solusi. Tetapi, inilah sebenarnya tujuan dan maksud dari Papua itu dijajah Indonesia dan dihisap oleh penguasa – pengusaha global, dalam hal ini Amerika Serikat dan sekutunya.

Di dalam SEI, Jilid I – ke-VIII hanya membahas tentang Ekologi. Yaitu: Ekologi Sumatra (Jilid I), Ekologi Jawa dan Bali (Jilid ke-II), Ekologi Kalimantan (Jilid ke-III), Ekologi Sulawesi (Jilid ke-IV), Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku (Jilid ke-V), dan Ekologi Papua (Jilid VI). Sementara lainnya, Jilid ke-VII dan VIII masih dalam bahasa Inggris. Yaitu: The Ecology Of The Indonesia Seas, part one (Jilid ke-VII) and part two (Jilid ke-VIII).

Jilid ke-VII dan VIII disajikan dalam Seri Bahasa Inggris termasuk Jilid ke-VI atau The Ecology Of Papua, part one and part two. Namun, diedit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga, dibuatnya BEP ini. Di bagian akhir dari Resensi Buku ini, saya akan tunjukan siapa saja yang sebagai editor dan penerjemah, termasuk profil pendidikan mereka, pekerjaan mereka dan pendanaannya.

Jilid ke-VI, BEP, diproduksi oleh proyek Environmental Management Development in Indonesia (EMDI), kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, yang didanai dari Canadian International Development Agency (CIDA). Jilid ke-II, III, dan V, dalam bahasa Indonesia diproduksi oleh CIDA.

BEP diterbitkan di Indonesia pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International. Penerbitan edisi ini terwujud atas dukungan dana dari Bank Dunia, Conservation International Indonesia dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua.

Penulisan Ekologi Papua melibatkan 76 penulis yang merupakan pakar, diakui secara global dibidangnya masing-masing. 76 penulis ini adalah penulis naskah asli The Ecology Of Papua, part one and part two. BEP memiliki xlii halaman romawi ditambah 982 halaman, diterjemahkan dan diedit oleh Sri Nurani Kartikasari, Andrew J. Marshall, dan Bruce Beehler. Penjelasan tentang mereka akan diulas di bagian akhir. Ekologi Papua di naskah aslinya setebal 1500 halaman. Namun, dipindah-satukan menjadi BEP, sehingga terkurang halaman setelah melewati editor dan terjemahan.

Bagian I
Bagian ini merupakan awal, seperti; Daftar Akronim dan Singkatan, Daftar Istilah, termasuk Daftar Isi. Dilanjutkan dengan Daftar Penulis Naskah Asli, Ucapan Terima Kasih, Prakata, dan Kata Pengantar. Di Daftar Penulis Naskah Asli, ada 76 penulis (peng-eksplor) SDA, Hutan, Air, dan Tanah Papua yang dimulai dari Ekologi Papua – mengarah ke Eksploitasi. Bacaan-bacaannya ilmiah dan merangsang para investor atau para peneliti lainnya agar mudah untuk meneropong Papua guna untuk aktivitas eksploitasi meskipun isi penulisannya dibilang universal.

76 penulis ini merupakan pakar di masing-masing bidang. Mereka seperti satu paket dari satu misi. Saya membaca penulisan mereka, seakan seperti menonton permainan “Sepak Bola”. Dimana, di segala lini, masing-masing memainkan perannya. “Sepak Bola” yang manajemennya telah terstruktur sampai pada sponsor-sponsornya berhasil mempekerjakan 76 penulis. Ending dari 76 penulis ini seakan menjadikan hasil penulisan-risetnya sebagai aset negara (Indonesia) yang kemudian sedang parkir di pos Bank Dunia untuk diupayakan kepada Negara-negara pemodal agar melihat peluang-peluang guna menanam saham-modal.

Sejumlah 76 penulis yang mestinya paham terhadap Sejarah Papua dan persoalan mendasar oleh karena klaim wilayah ini, seharusnya tidak menerima dukungan dana untuk karya-karya seperti penulisan ini. Apalagi ada pihak United Nation (UN) dan Bank Dunia yang ikut berkontribusi. 76 penulis itu berasal dari berbagai negara di masing-masing benua, termasuk dari Pasifik Selatan. Mereka bekerja di masing-masing bidang, seperti; ada Uskup (Religion), ada di Pemerintahan bagian Ekologi, ada dari Akademisi, ada dari Perusahaan bagian Penelitian, dari WWF, dan juga dari Lembaga-lembaga Internasional terkait. Dalam penulisan mereka merupakan tulisan-tulisan yang merujuk pada suatu kebutuhan (kepentingan) untuk suatu pekerjaan tertentu dalam skala besar.
Pokok bahasan hasil karya dari para penulis di atas akan di kupas pada Bagian II.

Berikutnya, Ucapan Terima Kasih, di tulis oleh Editor dan Penerjemah dari Penulis Naskah Asli di atas yang kemudian menjadi satu Buku ini. Yaitu: BEP. Di sini, kita akan melihat betapa kejihnya dunia ini. Papua yang darurat sipil, wilayah yang sejarahnya mesti di dongkrak oleh PBB untuk suatu penyelesaian demi keadilan dunia dan kemanusiaan. Namun, terlihat bahwa Papua itu “indah, Kaya, dan tidak berpenghuni”, atau surga bagi negara-negara maju (para investornya).

Dalam buku ini, halaman xxviii – xxxiii atau bagian ucapan terima kasih, sangat banyak pihak-pihak yang membantu. Yaitu: Dari individu yang bekerja di bidang terkait, peneliti – peneliti, perusahaan, akademisi, pemerintah, negara, dan internasional, termasuk United Nation Development Program (INS/78/056) dalam bidang Education and Training Environment and Resources, yang di biayai oleh Bank Dunia dan dilaksanakan oleh Dalhousie University di Kanada. Kemudian, proyek besar ini dilanjutkan oleh EMDI yang di danai oleh CIDA.

Konsep penulisan SEI yang mencakup Ekologi Papua, berkembang di awal tahun 1990-an di bawah proyek EMDI yang bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Indonesia. Namun, penulisan BEP menghadapi berbagai masalah dan hambatan. Proyek buku ini baru mulai dikerjakan tahun 2004. Ketika itu, BP (British Petroleum), melalui proyek Tangguh, memberikan hibah untuk mendukung proyek ini. BP dan rekan-rekannya mendapatkan ucapan terima kasih, seperti; KG Berau Petroleum Ltd., Nippon Oil Exploration (Berau) Ltd., MI Berau BV, BP Berau Ltd., BP Wiriagar Ltd., BP Muturi Holding BV, KG Wiriagar Petroleum Ltd., CNOOC Wiriagar Overseas Ltd., Indonesia Natural Gas Resources Muturi, Inc., dan CNOOC Muturi Ltd.

Hibah dari BP dan CI kepada Harvard University, memungkinkan kontrak dengan Andrew J. Marshall sebagai salah satu editor pelaksanaan BEP tahun 2004 -2006 dalam bahasa Inggris. Edisi buku berbahasa Inggris akhirnya terbit tahun 2006, sekitar 10 tahun setelah VII Jilid lainnya dalam SEI diterbitkan.

Penerbitan BEP ini juga di danai oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua.
Di sinilah, akhirnya saya berpikir bahwa proyek besar ini terletak di Tahap Risetnya sebagai bagian penting untuk meng-eksplor-kan apa yang dipandang tentang Papua. Yaitu: “Indah, Kaya, dan Tidak Berpenghuni.” Sehingga, semua pihak yang memunyai kepentingan, ikut serta menyukseskan buku ini sebagai bahan dasar (pertimbangan) antara keadilan dunia atau kepentingan dunia (penguasa-pengusaha).

Pada bagian Prakata ditulis oleh akademisi Harvard University, Edward O. Wilson, Seorang Profesor Entomologi, ada beberapa kalimat yang mengandung Rasis. Ketika itu berhadapan dengan masyarakat Papua. Namun, pulau Papuanya justru dibilang Pesona yang memikat penjelajah. Saya menulis ulang isi bagian kalimat yang Rasis bagi penghuni, dan pesona bagi pulaunya.

Sampai abad ke-21 Papua masih merupakan ruang kosong yang luas di peta sehingga kita patut menghargainya. Sepanjang sejarah dengan berkembangnya modernitas manusia yang telah mengubah rupa bumi, pulai ini masih merupakan wilayah yang masih belum disentuh oleh manusia. Di pulau ini masih terasa pesona yang memikat penjelajah beberapa abad lalu dan menarik mereka keluar dari kehidupan yang mapan.

Kita dapat melihat bahwa unsur Rasis terdapat pada paragraf di atas. Oleh karena itu, dikatakan bahwa Papua merupakan ruang kosong atau mungkin tidak terhuni oleh manusia. Sebaliknya, pulau Papua terlihat mempesona, bagai artis-artis wanita seksi, bagi para penjelajah (pengeksplor).

Terakhir di Bagian I, pada bagian ini, Kata Pengantar ada tiga penulis. Yaitu: Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA., Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH., dan Direktur Eksekutif Conservation International – Indonesia, Ketut Sarjana Putra.

Ketiga di atas masing – masing dengan cara pandang dan berbahasa di dalam tulisan berbeda-beda.

Balthasar Kambuaya lebih kepada flora dan fauna endemik, kekayaan alam di dalam Hutan, Pesisir, dan Laut. Potensi Papua ini semakin besar dengan disetujuinya Protokol Nagoya yang akan memberikan perlindungan keanekaragaman hayati dan menjamin pembagian keuntungan bagi Indonesia terutama bagi masyarakat adat setempat. Protokol Nagoya ini juga sangat penting dalam mengakomodasi Pengetahuan Tradisional yang dimiliki masyarakat Hutan Adat.

Di sisi lain Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA., mengatakan bahwa kekayaan alam yang menakjubkan ini menghadapi tekanan yang serius akibat kemerosotan kualitas lingkungan dan kepunahan keanekaragaman hayati. Ancaman ini mencakup deforestasi, konversi hutan menjadi lahan pertanian sawah, sawit, dan penyebaran jenis binatang – tanaman asing yang bersaing dan mengalahkan jenis-jenis asli Pulau ini. Selain itu juga, ada ancaman pencemaran air karena, kegiatan pertambangan mineral, batu bara, dan minyak.

Barnabas Suebu lebih kepada bergairah tinggi karena, hasil eksplorasi dari 76 penulis itu. Di dalamnya, Barnabas selalu memuja-muja hasil karya (kajian) ilmiah mereka sebagai aset Negara yang kemudian Sumber Daya Alam (SDA) itu dikelolah oleh Daerah. Namun, Barnabas mengatakan bahwa perlu adanya Sumber Daya Manusia (SDM) untuk bertindak-lanjut mengolah SDA sendiri.

Di sisi lain Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH., mengkhawatirkan SDA dan pesona Pulau Papua ini tidak dikelolah oleh orang Papua sesuai dengan SDM yang dimaksud. Artinya bahwa SDM Papua dibidang Akademisi, Peneliti, dr., dkk, yang dilengkapi dengan Laboratorium Besar itu negara tidak bisa siapkan. Apalagi, dibidang pengusaha – konsultan untuk mengolah SDA Papua yang besar.

Papua merupakan daerah Otonomi Khusus (Otsus) tetapi, untuk SDA Papua semua harus ikuti protokol NKRI Harga Mati. Parahnya, Pencemaran Lingkungan akibat eksploitasi SDA diberikan untuk masyarakat adat setempat. Tetapi, SDM untuk masyarakat adat setempat agar dapat mengelolah SDA (Tanah Adat) sama sekali tidak ada. Justru yang ada itu dihadapi dengan kekerasan ketika masyarakat adat setempat menuntut pertanggung-jawaban dan keadilan.
Ketut Sarjana Putra jelas bahwa sebagai representatif dari sebuah daftar yang isinya investor-investor milik penguasa negara dan asing.

Direktur Eksekutif Conservation International – Indonesia, Ketut Sarjana Putra mengatakan bahwa CI percaya SDA yang dimiliki Papua adalah aset alam utama yang menjadi andalan untuk wilayah ini mencapai enam pilar pembangunan ekonomi hijau yang diusung oleh Ketahanan Pangan, Keanekaragaman Hayati, Air Bersih, Perubahan Iklim, Kesehatan, dan Ketahanan Budaya.

Bagian II
BEP mendeskripsikan pulau Papua dan Isi Ekologinya, termasuk sejarah keterlibatan bangsa-bangsa Eropa dan politik.

Jika dibaca bagian ini, kita tersentuh dengan keaslian Papua sebelum dampak kapitalisasi di dalam kolonisasi Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan kehidupan saat ini mulai dari Trikora (Tiga Komando Rakyat), Aneksasi (1 Mei 1963), Pepera yang cacat hukum dan moral (penuh manipulatif dan tekanan), hingga sampai pada saat ini, suatu sistem yang membawa Pulau Papua (Tanah Papua) pada kepentingan Penguasa Kolonial Indonesia dan Eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing tanpa ada perubahan yang baik bagi rakyat Papua (masyarakat adat). Meskipun, diberlakukan daerah otonomi khusus. Di sinilah terlihat jelas bahwa Daerah Otonomi Baru (DOB) atau Otsus justru mempermudah arus kapitalisasi dan mempermudah kontrol kolonisasi melalui sistem pemerintahannya (termasuk produk-hegemoninya) dan militerismenya (organik – non organik).

BEP pada bagian ini, masuk di dalam pendahuluan yang di dalamnya dikaji banyak hal tentang Tanah Papua. Yaitu: Alam Papua disebut ajaib (misteri). Tatanama Geografis dan Politik. Fisiografi, Geografi dan Geologi. Danau. Rawa, Mangrove dan Padang Rumput. Pesisir. Kepulauan. Kondisi Lingkungan. Tipe-tipe Hutan. Fauna Vertebrata. Avertebrata Darat. Biota Laut dan Terumbu Karang. Budaya, Kondisi Budaya. Hingga sampai pada Sejarah Keterlibatan Bangsa-bangsa Eropa dan Politik.

Di akhir bagian ini, membahas tentang sejarah kegiatan eksplorasi alam yang diambil dan dirangkum dari tulisan David G. Frodin tentang Biological Exploration of New Guinea.

Eksplorasi alam di Nugini dan pulau-pulau di sekitarnya sampai tahun 1760-an hasilnya dikatakan masih terbatas. Dari tahun ke tahun hingga berganti abad pun masih dilakukannya kegiatan eksplorasi alam. Hal ini dikarenakan, dalam pembahasan ini dikatakan bahwa sampai abad ke-18 Nugini merupakan wilayah yang masih “belum dijelajahi”, padahal pulau-pulau ini terus merangsang para penjelajah.

Dari abad ke-18, Perang Dunia I, Ekspedisi Archbold I,II,III – Periode eksplorasi primer, selama Perang Dunia II panggung eksplorasi sekunder menjadi terbuka di tiga dekade berikutnya, hingga selama tahun 1960-an banyak sumber daya dialokasikan bagi penelitian-penelitian tanah, pertanian, kehutanan dan kelautan, baik di wilayah timur maupun barat. Misalnya, tahun 1959 Belanda menyiapkan ekspedisi “besar” yang terakhir untuk menjangkau wilayah terakhir yang disebut masih kosong di peta, yaitu; Puncak G. Mandala.

Banyak juga eksplorasi lain yang berlangsung selama tahun 1960-an, termasuk pendirian stasiun penelitian biologi, yang kini bernama Wau Ecology Institute (Institut Ekologi Wau), yang didirikan tahun 1961 oleh J.L. Gressitt.

Tidak ada pembahasan tentang sejarah Papua yang merujuk pada berimbang. Sejarah tentang Papua hanya disebut bahwa beralih kepada Indonesia (1963/1969). Mungkin maksudnya, Yaitu; 1 Mei 1963 penyerahan Papua ke Indonesia melalui UNTEA untuk mempersiapkan pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969 yang kemudian dianggap finish (selesai).

Padahal, jika kita membaca kajian Makalah oleh Melinda Janki, tahun 2010, berjudul; “West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional”. Isinya tentang West Papua di rana hukum internasional dan menawarkan solusi demokratis, serta, PEPERA 1969 bahwa UN tidak mengesahkan hasil PEPERA itu. Melainkan, mengucapkan terima kasih karena, telah melakukan PEPERA. Dan, selanjutnya di dalam muatan pelaksanaannya terdapat cacat hukum internasional dan melanggar hukum HAM (Hak Asasi Manusia). Hal ini dikarenakan, sebelum tahun 1963/1969 bahwa Indonesia telah menganeksasi West Papua. Gejolak ini yang hingga sampai saat ini, masih belum terselasikan.

Bahwa klaim Indonesia atas teritori West Papua, PEPERA 1969 adalah sah, dan NKRI Harga Mati. Sementera itu, bagi rakyat Papua, West Papua di rana hukum internasional, pelaksanaan PEPERA 1969 terdapat cacat hukum internasional dan melanggar hukum HAM sehingga, Indonesia mesti tunduk pada Hukum Internasional dan segera mengambil langkah (solusi) demokratis dengan cara memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Narasi Historis tentang Papua tidak dibahas untuk keperluan umum. Justru di dalam BEP Papua dan Pesonanya dieksplor serinci-rinci, dan pada bagian ini, mengkaji sedalam-dalamnya tentang Narasi Historis dari para penjelajah (Eksplorasi Alam).

Dibahas juga, sebelum kedatangan bangsa Eropa ada lebih dulu dari melayu (mungkin Cina) sehingga Papua disebut Papuasia, hingga penjelajah dari Eropa pada tahun 1500 – 1875 datang, Perjuangan untuk mendapatkan Spesimen dan Spesies tahun 1875 – 1914 yang pada saat itu dijuluki “Emas Nugini”, Antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II tahun 1918 – 1942, Ekspedisi Umum, dan masih banyak lagi. Kebanyakan tempat diberinama sesuai nama dari penjelajah (peneliti), seperti; Lorentz dari nama H.A. Lorentz pakar zoologi, Habbema dari nama Habbema pakar koleksi tumbuhan, Gunung Wilhelmina yang diganti menjadi Gunung Trikora, Carstensz, dan masih banyak lagi.

Penyebutan nama-nama, dilanjutkan oleh Indonesia di Tanah Papua, seperti; nama-nama tempat, dan nama-nama di mata pelajaran sekolah yang masih belum ada di Papua. Hal ini terjadi karena, ada program transmigrasi dari Indonesia ke Tanah Papua yang didanai Bank Dunia untuk kepentingan tenaga buruh, memaksakan menjadi Indonesianisasi, dan kependudukan bagi Indonesia (sebagai status penjajah).

Ada banyak nama penjelajah, peneliti, dari berbagai Negara dan latar belakang profesi yang beda-beda. Yang jika dilihat dari kaca mata ekspedisi ekonomi eksplorasi-eksplorasi ini merupakan tahapan awal menuju eksploitasi SDA. Ekspedisi ekonomi inilah yang hingga sampai saat ini sebagai pemicu agar konflik Indonesia Versus Papua masih gejolak, Narasi Historis tentang Papua tidak dibahas demi suatu upaya penyelesaian yang tentunya menempatkan Indonesia sebagai negara contoh penjunjung Demokrasi. Dan juga, soal ekonomi negara pasti ada kerja samanya guna memangkas negara-negara penguasa yang memperbudak bangsa lain.

Bagian III
Di bagian ini merupakan pembahasan yang dirangkum-diringkas dalam BEP dari apa yang dieksplorkan oleh 76 penulis naskah asli. Yaitu: Lingkungan Fisik dan Biogeografi, yang di dalamnya ada Geologi Tektonik, Tanah, Iklim, Biogeografi Daratan, Biogeografi Perairan Tawar, Kehidupan dan Lingkungan Purba. Flora, yang di dalamnya ada Flora Papua: Pengantar, Liken, Lumut, Pakis dan Gymnosprema, Angiosperma. Fauna, yang di dalamnya ada Fauna: Pengantar, Avertebrata Laut, Serangga,Herpetofauna, Ikan, Burung, Mamalia. Ekosistem Alami, di dalamnya ada Keanekaragaman Ekosistem dan Konservasi, Ekosistem dan Vegetasi Pesisir, Ekosistem Perairan Tawar, Ekosistem dan Vegetasi Dataran Rendah, Ekosistem Dataran Rendah Lainnya, Ekosistem Gua, Ekosistem dan Vegetasi Pegunungan. Interaksi Manusia dan Ekosistem, yang di dalamnya ada Kehadiran Manusia dan Dampaknya, Kemajemukan Sosial Budaya Masyarakat, Kondisi Sosial dan Politik, Sistem Pertanian, Pola Pemanfaatan Komersial Sumber Daya Alam, Aspek Ekonomi Sumber Daya Alam. Konservasi Sumber Daya Alam Papua, yang di dalamnya ada Perencanaan dan Penetapan Prioritas Konservasi di Papua, Undang-undang dan Peraturan Konservasi di Indonesia-khususnya di Papua, Kawasan Konservasi dan Pengelolaannya, Berbagai Ancaman bagi Keanekaragaman Hayati, Konservasi Berbasis Masyarakat.

Jika dilihat sepertinya masih kurang, itu karena ada beberapa yang memunyai latar belakang penelitian dianggap sama. Seperti; Dessy Anggraeni dan Yance de Fretes adalah sama-sama memunyai hasil penelitian berbeda tapi, sama-sama dari Conservation International Indonesia, Jl. Pejaten Barat 16 A Kemang, Jakarta 12550, Indonesia.

Kajian penelitian dari 76 peneliti ini memang sangat ilmiah. Perhitungan, pengambilan sampel, foto, dan bukti-bukti lainnya sangat rinci. Meskipun tidak semua hutan di Papua yang dijelajah namun, mereka dapat mengklaim dari membuat sketsanya, dan jenis tanah, air, hutan yang sama. Seperti, dilihat dari: Tatanama Geografis dan Politik. Fisiografi, Geografi dan Geologi. Danau. Rawa, Mangrove dan Padang Rumput. Pesisir. Kepulauan. Kondisi Lingkungan. Tipe-tipe Hutan. Fauna Vertebrata. Avertebrata Darat. Biota Laut dan Terumbu Karang. Budaya, Kondisi Budaya. Hingga sampai pada Sejarah Keterlibatan Bangsa-bangsa Eropa dan Politik.

Oleh karena ilmiah, Sehingga, di sampul belakang BEP, dikatakan bahwa BEP dirancang untuk para Mahasiswa dan pemerhati konservasi, pegiat lingkungan dan peneliti akademisi.

Namun, jika kita lihat dari kaca mata kepentingan ekonomi negara bahwa justru penduduk asli Papua akan kehilangan Hak-hak dasarnya termasuk hidupnya.

Penutup
Ekologi Papua di naskah aslinya setebal 1500 halaman. Namun, dipindah-satukan menjadi BEP, sehingga terkurang halaman setelah melewati editor dan terjemahan. BEP memiliki xlii halaman romawi ditambah 982 halaman, diterjemahkan dan diedit oleh Sri Nurani Kartikasari, Andrew J. Marshall, dan Bruce Beehler.

Sri Nurani (Ani) Kartikasari menyelesaikan program doktornya di bidang politik-ekonomi konservasi hutan di Lincoln University New Zealand tahun 2008. Sebelumnya lulusan dari Fakultas Kehutanan IPB (1986), dan Master of Philosophy dari Cambridge University (1995) ini bekerja di berbagai lembaga penelitian dan pembangunan internasional sebagai penulis, penerjemah dan editor buku, antara lain Seri Ekologi Indonesia, Seri Panduan Lapangan Flora dan Fauna Indonesia, serta puluhan buku dan tulisan lainnya di bidang konservasi keaneragaman hayati dan pengelolaan lingkungan hidup.

Andrew J. Marshall adalah seorang peneliti dan aktivis konservasi alam di Indonesia sejak 1996. Gelar doktornya di bidang anthropologi dicapai di Universitas Harvard, dengan keahlian utamanya di bidang Ekologi Evolusi Vertebrata, Ekologi Hutan Tropis dan Biologi Konservasi. Selama enam setengah tahun, Marshall melakukan penelitian primata dan tumbuhan di hutan Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, dan aktif dalam berbagai konservasi dan penelitian di beberapa tempat lainnya di Indonesia. Selama mengerjakan buku ini, tugas utamanya adalah sebagai dosen dan staf peneliti pascadoktoral di Harvard university Herbaria, Universitas Harvard. Saat ini jabatannya adalah profesor di Departemen Anthropologi dan program pascasarjana bidang ekologi di Universitas California di Davis.

Bruce Beehler adalah seorang pakar ornitologi, ekologi dan konservasi. Saat menulis dan menyunting buku ini, ia menjabat sebagai Vice Presiden Melanesia dan Pacific Islands di Conservation International. Beehler menghabiskan banyak waktunya untuk penelitian burung di wilayah Pasifik Barat Daya dan Asia Tenggara. Penelitian doktornya dilakukan di Papua Nugini dan selanjutnya bekerja selama 10 tahun di National Museum of Natural History, Wildlife Conservation Society U.S. Department of State dan Counterpart International. Saat ini tugas utamanya adalah mengelola program-program konservasi lapangan di kawasan tropis Pasifik dan Indonesia bagian timur. Berbagai buku tentang alam yang pernah ditulisnya adalah birds of New Guinea (Princeton), The Birds of Paradise (Oxford), A Naturalist in New Guinea (Texas) dan A Biodiversity Assessment for Papua New Guinea (Biodiversity Support Program).

Dalam buku ini, halaman xxviii – xxxiii atau bagian ucapan terima kasih, sangat banyak pihak-pihak yang membantu. Yaitu: Dari individu yang bekerja di bidang terkait, peneliti – peneliti, perusahaan, akademisi, pemerintah, negara, dan internasional, termasuk United Nation Development Program (INS/78/056) dalam bidang Education and Training Environment and Resources, yang di biayai oleh Bank Dunia dan dilaksanakan oleh Dalhousie University di Kanada. Kemudian, proyek besar ini dilanjutkan oleh EMDI yang di danai oleh CIDA.

Konsep penulisan SEI yang mencakup Ekologi Papua, berkembang di awal tahun 1990-an di bawah proyek EMDI yang bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Indonesia. Namun, penulisan BEP menghadapi berbagai masalah dan hambatan. Proyek buku ini baru mulai dikerjakan tahun 2004. Ketika itu, BP (British Petroleum), melalui proyek Tangguh, memberikan hibah untuk mendukung proyek ini. BP dan rekan-rekannya mendapatkan ucapan terima kasih, seperti; KG Berau Petroleum Ltd., Nippon Oil Exploration (Berau) Ltd., MI Berau BV, BP Berau Ltd., BP Wiriagar Ltd., BP Muturi Holding BV, KG Wiriagar Petroleum Ltd., CNOOC Wiriagar Overseas Ltd., Indonesia Natural Gas Resources Muturi, Inc., dan CNOOC Muturi Ltd.

Hibah dari BP dan CI kepada Harvard University, memungkinkan kontrak dengan Andrew J. Marshall sebagai salah satu editor pelaksanaan BEP tahun 2004 -2006 dalam bahasa Inggris. Edisi buku berbahasa Inggris akhirnya terbit tahun 2006, sekitar 10 tahun setelah VII Jilid lainnya dalam SEI diterbitkan. Penerbitan BEP ini juga di danai oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua.

Kesimpulan
Kata kuncinya:
“Narasi Historis Papua – Papua Saat ini (sedang) – Papua Menentukan masa depan!” Kata kunci diambil karena, hingga sampai saat ini, orang Papua tidak tahu tentang kepentingan yang terkolaborasi seperti isi di dalam BEP ini. Atau kegiatan – kegiatan eksploitasi SDA lainnya. Walaupun ada, itu pun setelah Papua dianeksasi dan di dalam tekanan militerisme kolonial Indonesia, hingga sampai saat ini, Orang Papua dan SDA nya punah. BEP merupakan sebuah mega proyek, adalah benar, seperti disebut di dalam BEP sendiri.

BEP mendeskripsikan pulau Papua dan mengkaji-rinci Ekologi, termasuk sejarah keterlibatan bangsa-bangsa Eropa dan politik.

Jika dilihat dari tahunnya kegiatan eksplorasi ini, maka Indonesia dan Papua pada waktu itu masih di dalam penjajahan Belanda. Entah itu sebelum Belanda menjajah Indonesia dan Papua, dan pada saat Belanda menjajah.

Indonesia dijajah Belanda dengan sebutan Hindia-Belanda dan Papua dijajah Belanda dengan sebutan Netherland Niew Guinea, artinya pengurusan adminstrasi dan pola penjajahannya terpisah (beda).

Pada masa-masa itu, telah ada peneliti-peneliti yang bertugas untuk mengeksplor wilayah-wilayah baru dari hasil penjelajah-penjelajah mereka. Kegiatan ini dilakukan sesudah dihancurkannya “Manifesto Kiri” dan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai jalan menuju itu, dengan melewati tahapan yang disebut Perang Dunia I, dan Perang Dunia II, yang hasilnya pada abad ke-19 ini memisahkan Negara-negara paham Kapitalis-liberalis dan Sosialis-komunis.

Sebenarnya pada kesimpulan ini bukan membahas “kiri-kanan”. Tetapi, dimana suatu negara adihkuasa-adihdaya (dan sekutunya) mencoba untuk melakukan eksplorasi besar-besaran sebagai tahapan tertinggi menuju eksploitasi. Hal ini yang mesti kita pahami. Karena, kita akan paham untuk siapakah kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, Papua dimasukan dalam skenario Politik.

Memang bahwa sebelumnya orang Papua telah mengenal kehidupan berstruktur di dalam suku-suku di Papua sama seperti sebuah pemerintahan, dan juga orang-orang Papua yang terdidik pernah melakukan demonstrasi damai ke pemerintah penjajah Netherland Niew Guinea dengan tuntutan Self-Determination. Dan atas dasar itu, Pemerintahan Netherland Niew Guinea mempersiapkan orang-orang Papua untuk dapat mengatur dirinya sendiri. Yaitu: Pendidikan, Keamanan, Ekonomi, dan Politik. Terbukti bahwa pada saat kehadiran Netherland Niew Guinea, tidak pernah orang Papua dibunuh oleh pemerintah penjajah, justru pada saat itu, sosial-budaya orang Papua malah dilestarikan tanpa ada Rasis maupun Diskriminasi lainnya.

Di dalam BEP dibahas tentang Sejarah. Tetapi, tidak ada sumber-referensi terkait. Oleh karena itulah, penulisan tentang sejarah mesti kita pahami dasar-dasarnya, dan melihat serincinya tentang sejarah.

Kajian Makalah oleh Melinda Janki, tahun 2010, berjudul; “West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional”. Isinya tentang West Papua di rana hukum internasional dan menawarkan solusi demokratis, serta, PEPERA 1969 bahwa UN tidak mengesahkan hasil PEPERA itu. Melainkan, mengucapkan terima kasih karena, telah melakukan PEPERA. Dan, selanjutnya di dalam muatan pelaksanaannya terdapat cacat hukum internasional dan melanggar hukum HAM Hal ini dikarenakan, sebelum tahun 1963 dan 1969 bahwa Indonesia telah menganeksasi West Papua. Gejolak ini yang hingga sampai saat ini, masih belum terselasikan.

Bahwa klaim Indonesia atas teritori West Papua, PEPERA 1969 adalah sah, dan NKRI Harga Mati. Sementera itu, bagi rakyat Papua, West Papua di rana hukum internasional, pelaksanaan PEPERA 1969 terdapat cacat hukum internasional dan melanggar hukum HAM sehingga, Indonesia mesti tunduk pada Hukum Internasional dan segera mengambil langkah (solusi) demokratis dengan cara memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Narasi Historis tentang Papua tidak dibahas untuk keperluan umum. Justru di dalam BEP Papua dan Pesonanya dieksplor serinci-rinci, bahkan Papua disebut tanah tidak berpenghuni, dan pada bagian ini, mengkaji sedalam-dalamnya tentang Narasi Historis dari para penjelajah (Eksplorasi Alam), kehadiran para penjelajah disebut kehadiran manusia. Sementara orang Papua yang ada di tanahnya sendiri pada saat itu, apakah bukan manusia? Aneh.

Penulis belum membaca Buku Ekologi dari daerah lainnya, seperti; Ekologi Sumatra (Jilid I), Ekologi Jawa dan Bali (Jilid ke-II), Ekologi Kalimantan (Jilid ke-III), Ekologi Sulawesi (Jilid ke-IV), Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku (Jilid ke-V), Jilid ke-VII dan VIII masih dalam bahasa Inggris. Yaitu: The Ecology Of The Indonesia Seas, part one (Jilid ke-VII) and part two (Jilid ke-VIII). Namun, jika materi eksplorasinya sama dengan Ekologi Papua (Jilid VI) maka rakyat dari wilayah setempat segera mengambil langkah-langkah untuk melindungi SDA nya. Di Papua saja, dua orang Papua yang bekerja untuk negara mengekspresikan kekecewaan dan memberikan suatu isyarat (peringatan) bahaya terhadap SDA dan orang Papua. Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA., mengatakan bahwa kekayaan alam yang menakjubkan ini menghadapi tekanan yang serius akibat kemerosotan kualitas lingkungan dan kepunahan keanekaragaman hayati. Ancaman ini mencakup deforestasi, konversi hutan menjadi lahan pertanian sawah, sawit, dan penyebaran jenis binatang – tanaman asing yang bersaing dan mengalahkan jenis-jenis asli Pulau ini. Selain itu juga, ada ancaman pencemaran air karena, kegiatan pertambangan mineral, batu bara, dan minyak. Dan, Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH., mengkhawatirkan SDA dan pesona Pulau Papua ini tidak dikelolah oleh orang Papua sesuai dengan SDM yang dimaksud. Artinya bahwa SDM Papua dibidang Akademisi, Peneliti, dr., dkk, yang dilengkapi dengan Laboratorium Besar itu negara tidak bisa siapkan. Apalagi, dibidang pengusaha – konsultan untuk mengolah SDA Papua yang besar.

Lebih jelas lagi bahwa di dalam materi BEP bahwa UN sebagai lembaga perdamaian dunia justru ikut serta dalam proses pendanaan-pembiayaan melalui Bank Dunia.

Sejak Papua dianeksasi sampai hari ini, Tanah, Air, Hutan, Pertambangan, dan Mineral, atau SDA Papua telah dihisap oleh Perusahaan-perusahaan Raksasa hingga turunannya (penguasa negara). Kehidupan dan hak-hak dasar orang Papua (masyarakat adat Papua) menjadi penghalang bagi negara dan investor. Sehingga, regulasi-regulasi hukum dibuat berdasarkan kepentingan penguasa negara dan investor yang pada akhirnya orang Papua kehilangan hak untuk hidup dan hak-hak dasarnya.

Atas dasar inilah maka orang Papua berhak untuk menentukan masa depannya sendiri karena, di masa Otonomi Khusus (Otsus) pun tidak terbukti menyelamatkan kehidupan dan hak-hak dasar orang Papua. Justru, Otsus mengsistematiskan hal buruk (malapetaka) bagi orang Papua.

****

Tulisan ini telah dipublikasihkan di www.buletingerak.com. Selanjutnya dipakai untuk memperjelas pandangan-pandangan, dan pendidikan Politik di Papua.

Sonny Dogopia
Penulis adalah Aktivis Masyarakat Adat Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan