Analisa Harian Indonesia Vs Papua: Problem Kedaulatan dan Hak Asasi Manusia

Indonesia Vs Papua: Problem Kedaulatan dan Hak Asasi Manusia

-

 “Terus terang, saya bingung bagaimana mungkin suatu negara (Vanuatu) mencoba untuk mengajari orang lain sementara kehilangan inti prinsip-prinsip dasar (non-intervensi) dari piagam PBB,” tegas Silvany Pasaribu dalam sidang PBB beberapa pekan lalu.

Kasus Papua yang diangkat oleh Vanuatu di sidang Majelis Umum PBB beberapa pekan yang lalu ditanggapi dengan tegas oleh diplomat Indonesia. Sejak diplomat adalah selalu representasi negara, maka jawaban Silvany adalah juga jawaban Indonesia. Pada titik ini, posisi Indonesia sudah sangat jelas dan tegas, menolak sama sekali campur tangan negara luar terhadap masalah internal Indonesia. Dengan kata lain, meminjam perkataan Menlu Retno, persoalan kedaulatan untuk Indonesia adalah persoalan nir-negosiasi(de Haan, 2019).

Posisi demikian adalah hal yang lumrah dalam konteks negara-negara berdaulat saat ini. PBB sendiri menghormati dan mengakomodir hal tersebut dengan prinsip non-intervensi. Tidak hanya PBB, organisasi regional semacam ASEAN juga pada hakikatnya mengakomdasi persoalan yang sama. Oleh karenanya, posisi Indonesia soal mempertahankan kedaulatan kemudian mesti juga dipahami sebagai suatu kejadian yang akan sering sekali terjadi dalam dunia internasional. Itu sulit diganggu gugat.

Persis di titik ini, setiap kepala bisa mengernyit dan mengajukan pertanyaan, adakah kedaulatan negara itu segalanya? Adakah penghormatan terhadap kedaulatan ini mengabaikan sama sekali persoalan apapun di dunia ini? Atau, lebih spesifik lagi, adakah kedaulatan Indonesia lebih berharga daripada hak asasi orang Papua?

Persoalan ini kemudian akan berusaha dijawab oleh tulisan ini. Argumentasi penulis berada pada posisi untuk menjelaskan bahwa kedaulatan, pada hakikatnya, sulit berdampingan dengan hak asasi manusia. Penguatan salah satunya adalah pelemahan salah satu aspek.    Untuk membuktikan hal ter­se­but, penulis akan memaparkan konsep kedaulatan itu serta logika internal yang dimiliki olehnya. Lebih lan­jut, setelah hal tersebut, untuk lebih memperjelas, kasus Indonesia dan Papua akan penulis jadikan contoh konkrit pertentangan ini.

Problem Kedaulatan Westphalian

Konsep kedaulatan adalah konsep yang sangat penting dalam dunia maupun studi hubungan internasional (Wood, 2011). Sebab, banyak praktik kenegaraan saat ini merupakan hasil dari konsep kedaulatan negara ini. Lalu, secaa historis kedaulatan negara yang dikenal dan telah diterima secara given saaat ini merupakan kedaulatan bentukan traktat Westphalia.

Secara historis, traktat Westphalia merupakan perjanjian yang bertujuan untuk menciptakan situasi yang tanpa anarki alias intervensi dari entitas politik lain. Ini kemudian melahirkan kedaulatan yang mempunyai tiga ciri, yaitu kepemilikan teritori, kuasa atas persoalan domestik (kedaulatan ke dalam), dan negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (kedaulatan ke luar) (Polimpung, 2012).

Secara subtansial, ketiga ciri tadi menjadikan negara sebagai aktor mandiri/bebas mengurus diri sendiri, bebas intervensi, dan rasional—persis seperti gambaran ideal manusia a la rennaisance (Polimpung, 2012). Ciri yang demikian memberikan negara legitimasi, hak, serentak wewenang untuk mengatur segala sesuatu yang ada di wilayah kedaulatannya.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kedaulatan Westphalian ini tidak tanpa problem. Bahkan, secara internal, konsep ini konfliktual. Di satu sisi, kedaulatan Westphalian ini berusaha untuk menghindari penundukan dari entitas politik lain, tetapi di sisi lain, secara domestik, atas nama kedaulatan ini, penundukan—tidak jarang dengan kekerasan yang terlegitimasi—dilakukan untuk menghentikan apapun yang merongrong kekuasaan yang dimiliki olehnya. Dengan demikian, kedaulatan yang dimiliki oleh negara saat ini akan selalu mensyaratkan penolakan intervensi asing serentak juga penundukan domestik.

Kedaulatan vis a vis Hak Asasi Manusia

Pada titik ini, setelah subtansi kedaulatan Westphalian itu dibedah, maka persoalan Papua sejatinya dapat dilihat menggunakan kacamata konseptual yang sama. Persoalan Papua dengan demikian adalah persoalan penundukan domestik yang dilakukan oleh negara. Ketegasan Indonesia terhadap Vanuatu pun bisa dirujuk sebagai manifestasi dari kedaulatan ke luar Indonesia sebagai negara.

Lebih lanjut, terang pulalah bahwa, sedari konsep, kedaulatan akan menegasikan hak asasi manusia itu sendiri. Sebab itu, hak asasi manusia, jika ia menganggu eksistensi kedaulatan, akan berhadapan langsung dengan represi yang terlegitimasi. Lalu, dalam banyak konteks, legitimasi tersebut tidak saja didukung oleh domestik, tetapi lebih jauh didukung pula oleh dunia internasional yang memiliki logika yang sama. Satu-satunya tantangan berarti terhadap logika kedaulatan ini datang dari apa  yang disebut dengan masyarakat internasional (global society).

Pada titik ini, seturut dengan perkembangan masyarakat internasional tersebut kedaulatan—dengan demikian—tidak selamanya bisa berdiri dengan tegak. Dalam dunia modern dan terdampak globalisasi ini, kedaulatan juga tergerus pula kekuasaannya (Leka, 2017). Hak Asasi Manusia menjadi salah satu penantang besar kedaulatan ini. Masyarakat dan dunia internasional, dalam beberapa konteks, secara tegas sudah mulai punya kekuatan untuk melakukan intervensi. Beberapa kasus intervensi kemanusiaan yang datang dari desakan masyarakat internasional secara luas dan masif adalah bukti nyatanya. Kendati tidak menghilangkan sama sekali, kedaulatan suatu negara juga mulai bisa diintervensi sedikit demi sedikit.

Bahkan, dalam perkembangannya, sejatinya hak asasi manusia telah membuat kedaulatan absolut ini sedikit berubah. Meminjam istilah Leka, praktik kekuasaan dari kedaulatan telah diatur ulang untuk mengakomodasi hak asasi manusia itu sendiri. Ini misalnya ditandai dengan adanya corak yang humanis—meski superfisial—dalam kebijakan luar maupun dalam negeri suatu negara.

Indonesia dan Papua. Pertentangan HAM dan Kedaulatan

Indonesia sendiri sejatinya tidak pada tahap yang sangat buruk dalam akomodasi hak asasi manusia dalam kebijakan luar negerinya—dalam negeri tentu saja masih sangat buruk(Kontras, 2014). Pasca-reformasi, demokratisasi membawa perubahan terhadap kebijakan luar dan dalam negeri Indonesia. Hak asasi manusia mulai mendapatkan tempat di kebijakan luar negeri maupun undang-undang di Indonesia (P. Wiratraman, 2016).

Dalam konteks kebijakan luar negeri, Indonesia juga turut berperan aktif dalam promosi hak asasi manusia ke banyak negara di dunia (Kemlu, 2020). Usaha Indonesia ini tampak dalam suara vokal Indonesia terhadap kasus Rohingya, Uighur, atau Palestina. Indonesia selalu berusaha untuk menganjurkan dialog dan cara-cara damai dalam penyelesaian persoalan hak asasi manusia (de Haan, 2019). Usaha-usaha ini kemudian memuncak pada posisi Dewan HAM di PBB—yang selalu dibanggakan oleh banyak orang—yang diberikan terhadap Indonesia sebagai bentuk kepercayaan PBB terhadap Indonesia.

Akan tetapi, kenyataan yang sudah diajukan sebenarnya akan nampak ironis jika ditautkan dengan persoalan pelanggaran HAM di Papua—dan juga persoalan  hak asasi manusia domestik lainnya. Setelah banyaknya narasi pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, Indonesia berdiri pada posisi paling tegas untuk mengatakan bahwa itu adalah problem internal Indonesia. Alih-alih terbuka dengan dialog—seperti yang selalu dianjurkan oleh Indonesia, ruang tersebut sama sekali tidak diberikan.

Indonesia dalam banyak konteks menguatkan kedaulatan dan mengesampingkan hak asasi manusia. Ini mungkin saja berhasil mempertahankan teritori Indonesia, tetapi cepat atau lambat, seiring meruaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, Indonesia akan diperhadapkan pada  pengurangan kedaulatan ke luarnya.

Ini semakin nyata dengan semakin gencarnya penolakan terorganisir orang asli Papua. Adanya represi kultural maupun struktural yang dilakukan oleh Indonesia telah membuat penolakan ini ada pada posisi yang tidak bisa ditawar sama sekali. Untuk menghentikannya, meminjam pendapat Max Lane (Lane, 2019), Indonesia mesti membawanya ke ranah internasional. Jika itu terjadi, hak asasi manusia akan mendapat posisi yang cukup kuat untuk mengalahkan kedaulatan yang berusaha dipertahankan Indonesia. Pada keadaan yang seperti itu, dengan melepas tendensi ultra-nasionalis, maka posisi penulis tak lain mengarah pada penegakkan hak asasi manusia itu sendiri.

Dengan konteks yang demikian, sebagai penutup, penulis ingin menegaskan satu hal. Sikap Indonesia yang menertawakan ‘obsesi’ Vanuatu atas kasus Papua pada waktunya akan berbalik ke Indonesia. Masyarakat internasional—negara punya logika non-intervensi terhadap kedaulatan dan karenanya kecil kemungkinannya untuk bergerak dengan dorongan pengutan HAM—akan melihat kenyataan pelanggaran HAM di Indonesia dan balik menertawakan. Pada titik ini, maka kalimat Horatius yang dikutip oleh Marx akan menjadi relevan, “ Quid es rides (Indonesia)? Mutate nomine, de te fabula narratur!!” Mengapakah engkau tertawa (Indonesia)—terhadap Vanuatu? Hanya dengan mengganti nama, untuk engkaulah kisah ini (pelanggaran hak asasi) dikisahkan!

 

Daftar Pustaka

de Haan, J. (2019) ‘Economic Diplomacy and Human Rights in Indonesia’s Foreign Policy Focus for 2019-2024’, Future Directions, pp. 10–13. Available at: http://www.futuredirections.org.au/publication/economic-diplomacy-and-human-rights-in-indonesias-foreign-policy-focus-for-2019-2024/.

Kemlu (2020) ‘Indonesia and Human Rights Protection’, pp. 8–13.

Kontras (2014) Human Rights in Foreign Policy. Jakarta. Available at: https://kontras.org/2019/07/26/indonesian-foreign-policy-on-human-rights/.

Lane, M. (2019) ‘The Papuan Question in Indonesia : Recent Developments’, (74), pp. 1–10.

Leka, D. (2017) ‘Challenges of State Sovereignty in the Age of Globalization’, Acta Universitatis Danubius. Juridica, 13(2), pp. 61–72.

  1. Wiratraman, H. (2016) ‘Human Rights Constitutionalism in Indonesia’s Foreign Policy’, Constitutional Review, 1(1), p. 130. doi: 10.31078/consrev116.

Polimpung, H. Y. (2012) ‘Sovereign atau Suffering ? : Gegar Kedaulatan Negara Modern’.

Wood, G. S. (2011) ‘The problem of sovereignty’, William and Mary Quarterly, 68(4), pp. 573–577. doi: 10.5309/willmaryquar.68.4.0573.

Nandito Oktaviano
Penulis adalah mahasiswa Universitas Hasanuddin, Jurusan Hubungan Internasional, di Makassar.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Apabila Prabowo jadi Presiden

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya. Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan