Analisa Harian Catatan Panjang Pelanggaran HAM di Papua

Catatan Panjang Pelanggaran HAM di Papua

-

Berakhirnya Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua atau secara khusus aliran anggaran dua persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kita kenal sebagai Dana Otonomi Khusus (Otsus) pada 2020 mulai dirasakan. “Perang” informasi dan propaganda kegagalan serta keberhasilan Otsus mulai dilakukan. Baik oleh kelompok masyarkaat sipil yang menamakan diri Petisi Rakyat Papua (PRP) maupun oleh pemerintah Indonesia, ditingkat instansi dan kementrian terkait, dan juga dukungan para buzzer yang melakukan kampanye ilegal mereka di media sosial. Namun kegagalan maupun keberhasilan yang harus di lihat dari latarbelakang lahirnya UU tersebut dan tujuan besarnya bagi Papua.

Pertama kelahiran Otsus Papua bertujuan untuk mereduksi aksi-aksi kemerdekaan di awal reformasi, selanjutnya Otsus Papua menawarkan rekonsiliasi konflik berkepanjangan di Papua, dan berikut adalah kesejahteraan. Ukuran itulah yang harus dilihat setelah 20 tahun implementasinya. Paling utama inisiatif lahirnya Otsus Papua oleh karena adanya kejahatan negara dengan aneksasi dan pembunuhan, pembantaian massal (pelangaran HAM) yang tidak pernah berhenti Sejak 1961-2000. Bahkan jika kita telusuri Kejahatan atas kemanusian oleh negara itu tidak pernah berhenti hingga detik-detik berakhirnya Otsus Papua di 2021.

Orde Lama

Pada 1 desember 1961 rakyat Papua mengibarkan bendera bintang kejora dan mendeklarasikan kemerdekaan. Mendengar itu muncul reaksi Soekarno lalu mencetuskan operasi trikora 19 desember 1961 di Alun-alun Yogyakarta. Bahwasanya, bubarkan negara boneka Papua barat bikinan belanda, kibarkan sang merah putih diseluruh dataran Irian Barat, dan mobilisasi umum merebut irian barat.

Setelah dicetuskan Trikora Soekarno, membentuk operasi komando mandala 1962, dipimpin jendral soeharto dan sukses dijalankan. pada 15 agustus 1962 diadakan perundingan di markas PBB, New York Inggris. Dalam perundingan itu status wilayah Papua diserahkan kepada PBB (UNTEA). Kemudian pada 1 mei 1963 wilayah Papua secara resmi di serahkan kepada Indonesia. Bagi Indonesia ini adalah kemenangan namun bagi rakyat Papua, merupakan awal pemusnahan bagi tanah dan rakyat Papua.

Pada tahun yang sama (1963) terjadi gerakan perlawanan rakyat Papua, di Jayapura dibawah pimpinan Aser demotokay. Namun semangat perlawanan yang paling kuat terjadi di Kebar pada 26 juli 1965 dibawah pimpinan Yohanes Jambuari dan Benyamin Anari, serta di Manokwari dan pedalaman arfak pada 28 juli 1965 dibawah pimpinan Permenas Ferry Awom, Lodwick Mandacan, Barren Mandacan dan Irogi Meidodga, dari Pertempuran ini banyak menimbulkan korban berjatuhan dari Rakyat Papua.

Orde Baru

Setelah melengserkan soekarno pada 1966, soeharto melanjutkan operasi militer di Papua. Pada 1967, dua tahun menjelang Pepera, tercatat tentara mengeksekusi banyak orang Papua dan membakar kampung di Ayamaru, Teminabuan dan Inawatan (sorong), diperkirakan 1500 orang tewas. Kampung-kampung lain di kepala burung (istilah untuk Pulau Papua Barat) juga dilempari granat dan bom. Dua tahun kemudian Pepera digelar, tercatat dari 800.000 penduduk rakyat Papua, hanya 1025 orang yang disertakan untuk memilih bergabung bersama Indonesia, karena ancaman militer dengan todongan senjata.

Setelah Pepera digelar, Soeharto menetapkan Papua menjadi daerah operasi militer, seperti Operasi Sadar , Operasi Wibawa, dan Operasi Galang. Dalam operasi ini banyak rakyat Papua di intimidasi, disiksa, diteror bahkan dibunuh setiap harinya karena menolak hasil pepera yang tidak sesuai dengan mekanisme PBB. Sehingga Operasi ini bertujuan untuk memaksa rakyat Papua untuk menerima, hadirnya pemerintah Indonesia di Papua.
Operasi militer kian masif diera orde baru. peristiwa paling pahit dirasakan rakyat Papua terjadi ditahun 1974-1975 yakni pembunuhan massal di Biak, dengan jumlah korban yang diketahui sebanyak 207 orang dan masih banyak lagi yang belum sempat didata secara mendetail. kemudian di tahun 1977 di Wilayah Wamena, terutama lembah balim dengan korban di perkirakan hampir 3000 jiwa dari suku Dani. Tak hanya itu, ada banyak Rakyat Wamena dibom ditembak dan bahkan diperkosa secara biadap oleh militer indonesia. masih di tahun yang sama menjelang pemilu 1977-1978, TNI AD dan TNI AU membombardir daerah selatan Jayapura (perbatasan) diperkirakan 1.605 orang dari OPM dan penduduk wilayah itu tewas.

Operasi militer terus berlanjut ketika Operasi Sapu Bersih 1980-1984 dijalankan pasukan Baret Merah (istilah untuk Komando Pasukan Khusus/Kopasus) yang dipindahkan dari Timur leste ke Papua. mereka melakukan penyisiran, penangkapan, penyiksaan serta pembunuhan yang kemudian membuat rakyat Papua takut dan melarikan diri ke PNG. Diperkirakan 10.000 orang, namun 7.500 orang yang berhasil dan 1.900 orang berdiam diri dihutan-hutan sekitar perbatasan. Selain itu tokoh budayawan Papua, asal biak Arnold Clemens Ap. Pun Ditangkap lalu dibunuh oleh Kopasus 1984.

Negara terus melancarkan Operasi militer dan menempatkannya disemua daerah Papua diantaranya Operasi Gagak, Operasi Kasuari, dan Operasi Rajawali (1885-1995). Operasi ini bertujuan mengejar pimpinan OPM, diantaranya Daniel Kogoya, Tadius Yogi dan Simon Kogoya. Ada juga Viktus Wamang, Kelly kwalik dan Yudas Kogoya, Zeth romkorem dan lain-lain. Namun dalam operasi tersebut masyarakat sipil turut menjadi objek penembakan militer, terutama Tembagapura desa Wea serta penduduk di Mapenduma dan pembunuhan masal di daerah Arso sampai Waris diperkirakan 1000 orang tewas sebagian kecil anggota gerilyawan. Selama soeharto berkuasa diPapua 1966-1980 sekitar 500.000 sampai 600.000 OAP dicap separatis dibunuh.

Era Reformasi

Sejak dilengserkannya soeharto dari tampuk kekuasaan, Rakyat Papua kembali melakukan aksi damai menuntut kemerdekaan terutama, di Biak pada 6 juli 1998, sorong 5 juli 1999, dan Timika 2 desember 1999. lagi-lagi kekerasan dan penembakan secara brutal dilakukan TNI POLRI indonesia terhadap masyarakat sipil Papua hingga merenggut nyawa. Semisal Sebagaimana peristiwa di Biak menewaskan 43 orang penduduk serta proses penangkapan dan penahanan terhadap 150 orang lalu disiksa, satu diantaranya bapak Filep Karma yang kemudian dikeluarkan dari tahanan politik pada 2015.

Kekerasan penyiksaan hingga pembunuhan oleh oknum militer tak perna surut bagi rakyat Papua. Memasuki era 2000 sampai 2001 peritiwa berdarah pecah diberbagai daerah di Papua seperti Merauke, Nabire, Fak-fak, Wamena, Jayapura-Abepura serta Wasior dan Sorong, boswesen berdarah (2001). Tidak hanya itu, Kopasus melancarkan penculikan dan pembunuhan berencana terhadap dewan presidium Papua, Theys Hiyo Eluay dan Aristoteles Masoka hingga tewas pada 10 November 2001 sebagai tumbal dari Otsus Papua.

Demonstrasi damai dan pengibaran bendera bintang kejora di Wamena pada 6 oktober 2000 membuka kekerasan. Dimana, militer indonesia menembak mati 37 orang warga sipil, 189 orang terluka, sebanyak 13.565 orang mengungsi dan 83 orang Masyarakat sipil dijadikan tahanan politik. sedangkan peristiwa abepura berdarah dijayapura pada 7 desember tahun 2000 menewaskan 3 orang mahasiswa dan 100 orang lainnya ditahan dan disiksa.

Pembunuhan penyiksaan pemerkosaan dan penghilangan nyawa rakyat Papua secara paksa, massif dilakukan terutama bagi penduduk wasior di tahun 2001, mengisahkan 4 orang korban pembunuhan, 39 orang korban penyiksaan, 1 orang wanita ditelanjangi dan diperkosa ditambah penghilangan nyawa 5 orang penduduk wasior tanpa diketahui. kemudian pada tahun 2003 wamena kembali berdarah, dimana 61 masyarakat sipil wamena termasuk anak-anak tak berdosa dibunuh serta beberapa gereja-geraja dibakar.

Selain itu pada tanggal 16 oktober 2004 di Pucak Jaya terjadi penangkapan dan penyiksaan terhadap pendeta Elisa Tabuni dan Dainus Kogoya yang berujung pada penembakan pendeta Elisa Tabuni hingga tewas. Peristiwa pada 16 maret 2006 (uncen berdarah) 4 anggota polisi bersama 1 anggota TNI tewas sedangkan dipihak sipil 6 orang tewas dan 16 mahasiswa diproses secara hukum. kemudian pada tahun 2009 militer menembak mati pejuang kemerdekaan Papua kelly kwalik di kabupaten mimika Papua.

Sepanjang periode 2010 hingga saat ini berbagai peristiwa berdarah terjadi dimana-mana hingga merenggut banyak nyawa rakyat Papua, baik pemuda, mahasiswa bahkan masyarakat sipil Papua diberbagai daerah, bebarapa diantaranya, Penembakan ismail lokobal pada 4 oktober 2010 (wamena), penembakan tiga pekerja PT. Freeport Indonesia saat melakukan unjuk rasa pada 2011 (timika), Pemukulan dan penangkapan terhadap rakyat Papua pada Kongres Papua tiga di Jayapura hingga menewaskan tiga orang warga sipil Papua, Penembakan aktivis KNPB Mako tabuni 14 juni 2012. Pada Tanggal 4 januari 2013, TNI menembak tujuh orang nelayan asal pulau raam, kota sorong diperairan pulau papan, distrik misool kabupaten raja ampat, dimana dari peristiwa ini menewaskan 5 orang nelayan meninggal dunia dan 2 orang mengalami luka tembak. Penembakan di Aimas Sorong 30 april 2013, kejadian ini mengakibatkan terbunuhnya tiga orang warga Sorong dan tujuh orang lainya ditangkap, ditahan dan dipenjara dengan tuduhan makar.

Penembakan di Punjak jaya 26 januari 2014, mengisahkan tiga orang warga tertembak dan meninggal dunia. Dogiyai 6 mei 2014, tiga anggota brimob menembak 3 orang warga sipil papua tewas, yakni anton edowai, yulius anouw dan jhon anouw. Berikutnya Konflik jayanti, timika papua di bulan mei 2014 dari data komnas HAM mencatat sudah ada 18 orang warga sipil tak bersalah meninggal dunia akibat dari perbuatan represif aparat keamanan.

Paniai berdarah 8 Desember 2014, menelan empat Orang korban penembakan dan tewas, sebelas Orang lain Terluka, Penembakan di Yapen pada 1 desember 2015, dengan korban meninggal empat orang, lalu delapan orang lain korban luka-luka, pada tanggal 29 januari 2015, militer menembak dua orang warga sipil di lani jaya, kampung popome. Tanggal 9 februari 2015 penembakan terjadi di Distrik Edera Bade, kabupaten mappi menewaskan dua orang warga setempat. ditanggal dan tahun yang sama penembakan juga terjadi di yahukimo hingga menelan nyawa dua orang warga sipil.

Peristiwa Tolikara pada hari jumat (17/7) 2015, menewaskan satu orang warga dan sebelas orang terluka akibat terkena peluruh yang ditembak aparat keamanan. Tak hanya itu Dua orang pemuda gereja katholik ditembak mati oleh TNI ditimika, 28 agustus 2015. Berikutnya lagi dua orang warga mimika tertembak militer hingga meninggal dunia dan empat orang lainnya terkena luka tembak (29 agustus 2015).

Manokwari berdarah 2016, dua orang warga Sanggeng korban pembunuhan kemudian Sembilan orang lainnya luka berat. Aktivis papua Robert Jitmau biasa disapa dengan sebutan Rojit ditemukan tewas sesudah ditambrak mobil oleh orang tak dikenal (diduga BIN) pada jumat 20 mei 2016 di pantai hamadi jayapura. Tinus Sondegau (16 Tahun), seorang pelajar SMP di Sugapa ditembak didepan rumahnya oleh satuan Brigade Mobil (Brimob) hingga meninggal dunia, penembakan terjadi pada 27 agustus 2016. Selain itu Penembakan di Deyai 1 Agustus 2017 sedikitnya satu orang warga tewas dan sepuluh orang warga terluka parah ditembak militer.

Di bulan Januari 2010 sampai Februari 2018 Amnesti Internasional mencatat ada 69 kasus pembunuhan diluar hukum dan memakan Sembilan puluh lima korban jiwa. Tidak termasuk peristiwa Ndugga Berdarah yang pecah dibulan desember 2018 hingga 2020 dengan menewaskan 245 orang penduduk sipil Papua dan menghasilkan 37 000 orang warga sipil mengungsi dan kelaparan meninggalkan kampung halamanya.

Kasus Rasisme 2019 diPapua, bermula dari Ujaran rasisme dengan sebutan monyet dari ormas dan pihak keamanan yang disuntukan pada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang membuat rakyat Papua sakit hati dan turun ke jalan melakukan protes melalui demonstrasi diberbagai dearah ditanah Papua diantaranya, Jayapura, Sorong, Timika, Manokwari, Wamena, Yahukimo, Fak-fak, Biak, Merauke, Deiyai dan lain-lain. Diuar Papua aksi-aksi Mahasiswa dilakukan di berbagai kota di Jawa, di Jakarta sendiri Aksi Mahasiswa dilakukan dengan pengibaran Bintang Kejora.

Dari peristiwa ini ada terjadi penangkapan dan penahanan, di manokwari ada 18 orang, Timika ada 8 orang, Jayapura ada 35 orang, Sorong ada 14 orang, Deiyai ada 16 orang, dan Fak-fak ada 2 orang, Jakarta 4 orang. Peristiwa rasisme telah menewaskan 14 orang Papua, 8 orang di deyai dan 6 orang dijayapura. Lalu pada 1 desember 2019 ada demonstrasi yang didorong di Fak-fak yang mengakibatkan 1 orang tewas dibunuh militer dan 23 orang lain ditahan dengan tuduan makar (pantauan LBH Papua, 19 agustus-6 september 2019, data LBH). Hingga penembakan dua warga Asli Boven Digoel Kampung Asiki lokasi PT. Korindo Group dalam kurun waktu Maret dan Juli 2020.
Semangat pembunuhan terhadap warga sipil papua tak pernah surut dipengujung tahun 2020. Tentara nasional indonesia (TNI) menembak mati pendeta Yeremia Zanambani, S.Th pada sabtu 19 september 2020. Pada 7 oktober 2020 sekitar jam 09 pagi, Seorang pendeta gereja katholik intan jaya, agustinus duwitau ditembak dari pinggang kiri melewati dada ketika dalam perjalanan kembali kerumah-nya.

Demonstrasi damai mahasiswa uncen dalam rangka penolakan otonomi khusus (otsus) pada 27 oktober 2020 dijayapura, aksi itu direspon secara represif oleh aparat keamanan dengan menembak salah satu mahasiswa uncen atas nama mattehw dibagian tangan kanan. Kemudian Atanius wuka dan manus murib, siswa kelas dua SMAN 1 ilaga dihadang dan ditembak, satu diantaranya meninggal dunia (Atanius murib) dan satu orang lagi melarikan diri dengan tiga luka tembakan dibadan. Menjelang Tiga hari kemudian dari peristiwa tersebut ditemukan lagi 3 mayat digunung limbaga, distrik gome diantaranya pegawai negeri sipil akis alom (34 tahun) bersama dua orang murid bernama gopenus tabuni (19 tahun) dan wenis wonda (13 tahun), 17-20 november 2020.

Berikutnya Pemerkosaan pada 29 november 2020, Dua orang ibu atas nama jondina tabuni (25 Tahun) dan sina murib (29 tahun) diperkosa oleh tentara nasional Indonesia ketika dalam perjalanan dari sinak barat ke kabupaten puncak, kampung batini.

Kesimpulan

Kejahatan kemanusian dengan penaggaran hak-hak politik, hak asasi manusia diatas adalah catatan kelam, dan telah menjadi ingatan kolektif (memoriam passionis) bagi rakyat Papua secara turun temurun. Ingatan kolektif inilah yang menjadi pemicu ketidakstabilan di Papua. Otsus Papua diharapkan dapat menyelesaiakan setiap persoalan itu satu persatu, baik melalui badan-badan rekonsiliasi HAM, seperti pengadilan HAM misalnya, atau Proteksi Orang Asli Papua melalui Majelis Rakyat Papua (MRP), atau Politik melalui kehadiran Partai Politik Lokal sebagai representasi OAP dibidang legislasi. Semua itu bertujuan untuk kesejahteraan rakyat asli Papua. Faktanya semua itu tidak pernah terjadi selama 20 tahun terakhir.

Negara melalui pemerintahannya, presiden berganti presidennya, secara terus menerus mengabaikan hak-hak orang asli Papua, sebaliknya melakukan pelangaran HAM secara terus menerus. Selama 20 tahun impelementasi Otsus ini nihil pencapaian, selain dua persen anggaran Otsus berhasil memperkaya borjuis dan oligarki di Papua.

Sehingga penolakan rakyat Papua yang dibangun melalui Petisi Rakyat Papua (PRP) adalah wajar dan benar dilakukan diahir Otsus Papua sehingga negara harus berani mengambil Opsi lain selain Otsus yang telah menjadi aspirasi rakyat sejak awal aneksasi yaitu Penentuan Nasib sendiri melalui mekanisme Referendum atau kongkritnya dapat melalui pengaluan kedaulatan Papua melalu deklarasi 1 Desember 1961 yang dirusak Soekarno melalui Trikora.

 

Referensi:
Sockratez S. Yoman. Pemusnahan Etnis Melanesia Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Dipapua Barat, 2007
Diaz Gwijangge. Jejak Sepatu Peluru Dan Darah (Catatan Pelanggaran Ham Di Papua), 2014
Laporan Elsham Papua, LBH Papua, LP3BH Papua Barat Tentang Pelanggaran Ham
SKPC Fransiscan Papua, Memoria Pasionis Papua 2013. Lintas Peristiwa Ham, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Kesehatan, Sumber Daya Alam.
SKPC Fransiscan Papua, Memoria Pasionis Papua Kronik Ham, 2014
SKPC Fransiscan Papua, Memoria Pasionis Papua Potret Ham Papua, 2015
SKPC Fransiscan Papua, Aventinus Janaru, OFM Basil Triharyanto, Dan Bernard Koten. Papua Diambang Kehancuran, Beragam Peristiwa Dan Fakta Hak Asasi Manusia Dipapua, 2016

 

Kelly Dowansiba
Penulis adalah Aktivis Pemuda Papua dan alumnus Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ)

2 KOMENTAR

  1. Kamrad, (Kelly Dowansiba). Terima kasih atas penyusunan redaksi yang luar biasa ini. Penulisan sangat bermanfaat. Teruslah berjuang. Tuhan Allah Bangsa Papua, Leluhur Papua, Alam Papua dan Rakyat Papua akan selalu menyertai dan memberkati. Salam Revolusi Pembebasan Kamrad ✊

  2. Terimakasih saudara,smoga generasi muda papua, paham akan sejarah papua yg sebenarnya seperti artikel diatas ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan