Ekopol Muasal Bara Konflik dan Kerusakan Lingkungan di Kampung Tobati-Enggros...

Muasal Bara Konflik dan Kerusakan Lingkungan di Kampung Tobati-Enggros dan Nafri: Penelitian Awal Dampak Pembangunan Ring Road dan Jembatan Youtefa di Kota Jayapura

-

Oleh: Yason Ngelia dan Yuliana Lantipo

Sumber Tulisan, buku; Berhala-berhala Infrastruktur (Potret dan Paradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus), diterbitkan oleh ELsam Jakarta pada Desember 2020,  6 Esai dari Peneliti dan Penulis Muda Papua.

Peta Wilayah Pembangunan Ringroad dan Jembatan Youtefa

 

Rabu 18 Desember 2019.  Waktu menunjukkan pukul 13.00. Kami menunggu perahu penumpang di Pelabuhan Youtefa Jayapura, berharap akan ada perahu yang mengantarkan kami menuju kampung Enggros Kota Jayapura yang berjarak 10 menit perjalanan menggunakan speed boat. Tiga puluh menit berlalu. Tidak nampak aktivitas motoris[1] didermaga, padahal jumlah orang di sekitar dermaga mencapai puluhan—mereka adalah  pedagang pinang, perempuan ibu dan anak, dan pengunjung yang datang sekadar menikmati sejuknya dermaga pelabuhan Youtefa.

Setelah menunggu begitu lama, seorang warga kampung bernama Abas mengatakan tidak ada speed boat yang ke Kampung Enggros hingga sore, sebab seorang warga bermarga Meraudje[2] telah meninggal dan pemakaman tepat di belakang dermaga ini. Biasanya, setelah upacara pemakaman barulah motoris akan mengantar warga ke kampung kembali. Setelah mendengar itu, tim memutuskan untuk menggunakan sepeda motor menuju Pantai Ciberi, melewati jalan ring road dan Jembatan Youtefa, dengan jarak tempuh 15 menit.

Tidak lama setelah memarkir motor di Pantai Ciberi, kami langsung menumpang perahu yang baru saja bersandar di pantai. Perahu itu bukan untuk mengangkut penumpang, namun setelah diizinkan kami turut ikut ke Kampung Engros tanpa membayar. Biasanya tarif perahu dari Pantai Ciberi ke Kampung Enggros Rp5.000 per sekali jalan, sementara tarif penumpang dari dermaga Pasar Youtefa ke tempat yang sama relatif lebih tinggi mencapai Rp10.000. Ini karena jarak dari Pasar Ciberi ke Kampung Engros sangat dekat, tak sampai 3 menit menggunakan speed boat.

Kami beruntung. Ketika kami tiba di Kampung Enggros, panas terik matahari diredam oleh angin yang berhembus menuju Pelabuhan. Turun dari kapal, kami menuju ke rumah seorang perempuan berusia 60 tahun anggota Injros Tatj Merry (Ikatan Perempuan Enggros)—organisasi yang melibatkan baik perempuan dan anak-anak perempuan dari berbagai suku dan marga di Kampung Enggros. Mama, demikian perempuan itu meminta kami memanggilnya, sehari-hari melalui Injros Tatj Merry aktif dalam kegiatan pelestarian budaya dan adat istiadat melalui nyanyian dan tarian. Mereka sering mengadakan acara kumpul bersama untuk merekatkan hubungan kekerabatan antara satu dan yang lain. Kedatangan kami ke Kampung Enggros adalah untuk mendengar cerita Mama soal perubahan kehidupan orang-orang Enggros-Tobati dari waktu ke waktu, terutama pasca pembangunan Jembatan Youtefa yang berlokasi di wilayah adat mereka.

Orang-Orang Enggros-Tobati

Enggros-Tobati[3] adalah nama dari kelompok masyarakat adat yang mendiami sebagian wilayah Teluk Youtefa. Nama Enggros-Tobati juga sekaligus merujuk pada nama dua nama kampung yang letaknya bersisian, yakni Kampung Enggros dan Kampung Tobati. Kedua kampung ini merupakan bagian dari 10 kampung yang berada di sepanjang kawasan Teluk Youtefa. Kampung-kampung ini mayoritas didiami oleh 10 kelompok etnis yang merupakan penduduk asli Jayapura.

Tetangga terdekat dua kampung ini adalah Kampung Nafri. Ketiganya memiliki hubungan kekerabatan yang terbentuk melalui perkawinan antar marga selama beberapa generasi. Meskipun demikian, di antara ketiganya, Kampung Tobati dan Kampung Enggros memiliki hubungan kekerabatan paling dekat.

Oleh orang-orang di Kampung Enggros, Kampung Tobati dianggap sebagai kampung kampung induk. Sejarah tutur yang beredar di kalangan orang-orang Kampung Enggros mengatakan bahwa cerita dan sejarah Kampung Enggros terkait erat dengan cerita dan sejarah Kampung Tobati—pendeknya, Kampung Tobati adalah pendahulu Kampung Enggros. Kata “enggros” sendiri berakar dari bahasa lokal “injros” yang berarti “kedua”.

Secara budaya maupun adat, kedua kampung juga seperti tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam bahasa keseharian misalnya, orang-orang di Kampung Tobati menyebut “bapak” dengan kata “ai” dan “mama” dengan kata “anyi”. Penyebutan ini mirip, terutama dalam pelafalan, dengan kosa kata orang Enggros untuk menyebut “bapak”, yakni “ace”, dan “mama”, yakni “ame”. Banyak kata lain malah dipakai secara sama persis dalam bahasa kedua bahasa lokal mereka, misalnya untuk penyebutan kakek dan nenek, orang-orang di kedua kampung ini sama-sama menyebutnya dengan “abo tan” dan “abo monj”. Tak heran, dalam pengucapan sehari-hari, orang-orang di wilayah Teluk Youtefa dan sekitarnya menyebut orang-orang di kampung ini secara identik dengan menggabungkan dua identitas kampung: orang Enggros-Tobati.

Faktanya, memang, pembelahan wilayah dua kampung ini secara administratif yang diberlakukan pemerintahan tidak pernah benar-benar memisahkan dua kampung ini. Keberadaan kepala kampung yang mewakili pemerintah hanya berfungsi untuk urusan-urusan administrasi kependudukan belaka. Batas administratif yang membelah kedua kampung tersebut sama sekali tidak mempengaruhi wilayah kelola adat masing-masing klan (suku/marga) yang batas-batasnya diawasi oleh ondoafi, pemimpin adat tertinggi di masing-masing keret,atau marga.

Kampung Enggros-Tobati Dulu dan Kini

Mama sedang beristirahat ketika kami datang di rumahnya. Sembari menunggu, kami mengamati aktivitas warga yang mulai ramai dengan anak-anak, baik mereka yang di kampung maupun anak-anak dari luar kampung yang datang menggunakan speed boat. Sore itu, menurut keterangan seorang anak akan ada persiapan natal Persekutuan Anak dan Remaja (PAR) Jemaat GKI Abara Enggros.

Tiga puluh menit kami menunggu hingga Mama bangun dari istirahat siang. Setelah bangun, Mama datang menemui kami. Mula-mula Mama bercerita tentang moda transportasi yang dipakai oleh orang-orang Tobati-Enggros dulu. Sebelum adanya jembatan dan ojek laut[4], kata Mama, orang-orang Tobati-Enggros menggunakan perahu dayung untuk berinteraksi ke kampung atau pulau lain, begitu sebaliknya.

Perempuan-perempuan Tobati-Enggros, termasuk Mama, adalah nelayan. Selain mencari ikan di laut, mereka mencari bia, sejenis kerang laut, di hutan mangrove. Umumnya mereka menjualnya sendiri hasil laut ke Pasar Youtefa. Untuk mencapai pasar, mereka  harus mendayung dari kampung menuju ke Pantai Fim, setelah itu, mereka harus memanjat kaki gunung hingga tiba di atas, dan akhirnya menumpang angkutan umum ke Pasar Youtefa. Pantai Fim sendiri terletak persis di bawah kaki gunung Pos Polisi Lalu Lintas (Polantas) Skyline Kota Jayapura yang terjal.

Sebagian orang-orang Tobati-Enggros juga berdagang untuk memenuhi hidupnya—umumnya mereka berjualan sayur. Mereka tidak menanam sendiri sayur tersebut, melainkan berlangganan membeli hasil panen kebun sayur milik orang-orang Holtekamp.[5] Untuk sampai ke Holtekamp orang-orang Tobati-Enggros harus berjalan kaki sejauh 25 km pulang-pergi di sepanjang Teluk Youtafa. Mereka akan menjual sayur tersebut keesokan harinya ke Pasar Hamadi. Aktivitas ekonomi ini mereka lakukan tiga kali dalam seminggu. Selain ikan dan sayur, kerang juga merupakan salah satu komoditas yang dijual oleh orang-orang Tobati-Enggros. Untuk komoditas ini, para perempuan Tobati-Enggros mengusahakan sendiri dengan mencarinya di hutan mangrove milik mereka.

Hutan mangrove memang memiliki posisi khusus dalam hukum adat Tobati-Enggros. Elisabeth (Elisabeth, December 22, 2019) dalam liputannya menjelaskan bahwa hutan ini memiliki nama khusus yang merujuk pada kepemilikan kaum perempuan. Tidak hanya itu, hukum adat Tobati-Enggros mengatur penggunaan mangrove sepenuhnya berada di tangan kaum perempuan. Kaum lelaki hanya boleh memasuki wilayah ini ketika tidak dipakai sebagai tempat aktivitas kaum perempuan Karena posisinya tersebut, hutan mangrove secara sosial penting, baik sebagai ruang berbagi yang “aman” dan, yang lebih penting, sebagai sumber ekonomi bagi perempuan. Sayangnya, menurut Mama, aktivitas mencari bia kini hanya dilakukan oleh segelintir perempuan Tobati-Enggros. Mereka hanya mencari bia ketika ada permintaan dari pembeli saja. Jika tidak ada, maka mereka paling lama sebulan sekali masuk mangrove untuk mencari bahan makan berprotein tinggi itu.

Tidak hanya aktivitas mencari bia, aktivitas ekonomi lain seperti mencari ikan dan berjualan sayur memang nyaris ditinggalkan sama sekali oleh orang-orang Tobati-Enggros. Orang-orang Tobati-Enggros hari ini tidak lagi tergantung pada makanan lokal dari hasil berburu, menangkap ikan laut dan bia di mangrove sejak pangan tersedia lebih cepat dan mudah pasar tradisional dan kios-kios.[6]

Ini terjadi tak lain sejak orang-orang Tobati-Enggros menemukan sumber pendapatan lain. Orang-orang Tobati-Enggros kini lebih banyak menggantungkan hidupnya pada wisata pantai di sepanjang pesisir pantai dari Ciberi hingga Holtekam. Perubahan mata pencaharian orang-orang Tobati-Enggros ini sesungguhnya bukan hal yang baru. Sudah sejak lama pesisir Pantai Ciberi hingga Holtekam menjadi tempat wisata warga Jayapura dan sekitarnya.

Meskipun demikian, ada satu perubahan signifikan terjadi dalam beberapa waktu belakangan, tepatnya setelah Jembatan Youtefa usai dibangun dan diresmikan pada 28 Oktober 2020.  Menurut Mama, banyak dari orang Tobati-Enggros kini mampu mendapatkan uang dari Rp600 ribu – Rp1 juta.[7] Keuntungan yang besar itulah yang kemudian menarik perhatian semua warga pemilik ulayat sepanjang pesisir pantai dari Ciberi hingga Holtekam. Ketertarikan yang membawa perubahan drastis di wilayah tersebut sejak masing-masing marga mulai mematok batas-batas pantai dan mulai membangun kebutuhan wisatawan seperti tempat duduk, toilet, dan sebagainya. Upaya ini dilakukan oleh masyarakat atas inisiatif sendiri lantaran Pemerintah Kota (Pemkot) Jayapura yang sampai hari ini hanya memperhatikan pembangunan kawasan Pantai Ciberi.

Proyek Infrastruktur, Masalah Ganti Rugi, dan Sengketa Orang-Orang Enggros-Tobati dan Nafiri

Jembatan Youtefa dan Ringroad Jayapura merupakan bagian dari apa yang sering disebut oleh media arus utama sebagai “perhatian” Presiden Jokowi untuk Papua. Infrastruktur memang menjadi salah satu program utama presiden ketujuh Indonesia tersebut dan pembangunan infrastruktur Papua nyaris selalu muncul dalam pidato resminya tentang perkembangan pemerataan pembangunan.

Panjang Jembatan Youtefa  sendiri mencapai 1.328 meter—menyatukan pesisir Pantai Hamadi dan Pantai Holtekam. Jembatan yang memiliki dua jalur dengan lebar 50 meter tersebut dibangun oleh pemerintah Provinsi Papua sejak 2017 lalu dengan dukungan dana dari pemerintah pusat.[8] Tujuan dari pembangunan jembatan tersebut direncanakan untuk mengefektifkan perjalanan dari Skouw menuju Kota Jayapura. Sebelum ada Jembatan Youtefa, perjalanan dari Kampung Skouw, perbatasan Papua-Papua Nugini, di Distrik Muara Tami ke pusat Kota Jayapura memakan waktu hingga 2 jam 30 menit. Kini, jarak keduanya dapat dicapai hanya dalam sekitar 60 menit. Selain itu, jembatan ini adalah bagian dari satu program pembangunan jalan lingkar Kota Jayapura: ring road. Ia menghubungkan beberapa pusat ekonomi masyarakat Kota Jayapura dengan masyarakati di wilayah paling ujung di perbatasan Papua Nugini, Koya, Hamadi dan dermaga Kota Jayapura.

Pemilik proyek ini adalah Provinsi Papua melalui Dinas Pekerjaan Umum & Penataan Ruang. Sedang untuk kontraktor pelaksanaan PT PP Persero (Tbk) dengan konsultan perencanaan PT Portal Engennering Perkasa dan PT Maratama Cipta Mandiri dan konsultan pengawas adalah PT Genta Genta Pertiwi. Dikerjakan selama 174 hari kerja. Proyek ini menjadi salah satu proyek terbesar skala nasional karena menghabiskan biaya Rp1,6 triliun.

(Foto/Observasi 21 Agustus 2019)

Pada 28 Oktober 2019, seminggu setelah pelantikannya sebagai presiden untuk periode kedua, Presiden Joko Widodo meresmikan Jembatan Youtefa itu. Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengklaim bahwa jembatan tersebut dibangun atas kepentingan masyarakat, untuk menunjang aksesibilitas masyarakat baik di wilayah perbatasan hingga pusat kota. Joko Widodo juga menyinggung bahwa pembangunan jembatan ini dilakukan agar terjadi pemerataan jumlah penduduk Kota Jayapura dari wilayah pusat kota yang padat penduduk ke wilayah-wilayah yang minim jumlah penduduk namun memiliki daerah lebih luas—dari Distrik Abepura, Distrik Jayapura Selatan dan Jayapura Utara ke Distrik Muara Tami.

Satu yang luput disinggung oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya tersebut, yakni manfaat jembatan tersebut bagi masyarakat asli di sekitar Teluk Youtefa; orang-orang Tobati-Enggros.

*

19 Desember 2019. Kami mendapat informasi bahwa hari itu masyarakat adat Tobati-Enggros akan akan menggelar ritual adat dan ucapan syukur atas pembangunan ring road dan Jembatan Youtefa. Ritual tersebut juga digelar untuk menandai pembukaan dua proyek tersebut secara adat. Kabar yang beredar, ritual adat-istiadat Tobati-Enggros harus dilakukan petugas adat bersama ondoafi, kepala adat, dan kepala-kepala suku marga pada subuh hari sebelum matahari bersinar. Maka, sejak pukul 4.30 pagi kami sudah berada di jembatan.

Berlokasi di tanah lapang, tak jauh dari Jembatan Youtefa, sudah tampak berdiri tenda biru dihiasi umbul-umbul merah-putih, namun belum ada seorang pun di sana. Pada sisi jalan, sudah terpasang janur kelapa, khas masyarakat lokal pada setiap kegiatan adat. Lokasi itu milik salah satu keluarga dari Marga Hassor.

Tenda dan kursi terlihat mulai tersusun namun belum rapi. Setelah menunggu, sekitar pukul 07.30 pagi baru bermunculan beberapa orang warga yang memasuki lokasi tenda tersebut. Mereka menyusun kursi dan memperbaiki beberapa hiasan dari dedaunan (daun kelapa dan beberapa bunga) yang terjatuh karena angin semalam.

Pembukaan upacara itu mundur jauh dari jam yang biasanya dilakukan saat upacara adat, berbeda dengan informasi awal yang kami terima dari Ondoafi Tobati.  Menurut petugas adat Yairus Haay, keterlambatan ini dilakukan karena bersamaan dengan kegiatan syukuran bersama Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano dan jajarannya (interview with Y. Haay, 2019, December 19). Padahal, menurutnya, upacara dan bacaan ritual itu seperti ini biasa dilakukan sebelum sinar matahari terbit.

Pukul 09.00 terlihat Musyawarah  Pimpinan Daerah (Puspida) Kota Jayapura telah hadir, seperti Walikota Jayapura, Kapolres Kota Jayapura, tokoh agama, tokoh adat, dan warga Enggros Tobati. Hadir pula beberapa tokoh adat yang hadir baik ondoafi dan kepala suku.[9] Keseluruhan tamu hadirin mencapai hingga seratusan.

Upacara adat diawali dengan pemberkatan adat ring road dan di Jembatan Youtefa yang dilakukan di beberapa titik yang telah ditandai dedaunan kelapa. Ondoafi Tobati, Jhon Ireeuw, mengatakan bahwa upacara adat di beberapa titik bertujuan untuk melepaskan wilayah adat tersebut dari leluhur atau melalui turunannya sehingga wilayah yang oleh orang-orang Enggros-Tobati disebut safekey itu sah dilepaskan dan diserahkan kepada pemerintah dan didaftarkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Setelah melakukan pemberkatan adat di titik yang telah ditentukan di Jembatan ring road, dipimpin oleh Yairus Haay, para petugas adat menuju tepat di tengah Jembatan Youtefa. Yairus memimpin pembacaan doa menggunakan bahasa daerah. Upacara adat tersebut cukup khidmad, walaupun lalu lintas kendaraan dari Kota Jayapura menuju Koya dan daerah perbatasan cukup ramai. Setelah upacara tersebut usai, masyarakat dan muspida kembali ke tempat yang disiapkan untuk mendengar sambutan-sambutan sebagai prosesi acara terakhir.

Dalam sambutan penutupannya, Benhur Tomi Mano, Walikota Jayapura, menyatakan apresiasi kepada masyarakat adat Tobati-Enggros, kepada para ondoafi dan kepala suku yang telah bersama-sama dengannya memperjuangkan kehadiran jembatan hingga ke Jakarta. Ia juga berterima kasih karena telah para ondoafi dan masyarakat telah mendukung Pemerintah Kota memperjuangkan nama jembatan ini sesuai nama yang direkomendasikan masyarakat yaitu Jembatan Youtefa.[10] Dalam kesempatan yang sama Walikota Jayapura itu berjanji akan memperhatikan dan menyelesaikan hak-hak masyarakat adat pemilik tanah dengan baik jika mendapatkan komplain dari masyarakat, ungkapnya.

Tidak diketahui maksud Tomi Mano apakah ini adalah pembayaran atas seluruh kawasan pembangunan ring road dan Jembatan Youtefa yang dikeluhkan masyarakat atau bukan. Yang pasti, masyarakat merasa janji-janji Wali Kota belum benar-benar dilaksanakan. Pemerintah kota belum melakukan pembayaran ganti rugi tanah yang dipakai untuk Jembatan Youtefa.

Aksi protes oleh masyarakat bahkan dilakukan sehari sebelum peresmian Jembatan Youtefa oleh Jokowi pada 28 Oktober 2019. Mereka melakukan pemalangan lokasi menuju Jembatan Youtefa sebelum kemudian dibubarkan oleh anggota militer yang bertugas mengamankan wilayah. Menyusul protes tersebut, Walikota Jayapura menghimbau masyarakat tidak melakukan pemalangan sembari berjanji bahwa setelah peresmian jemsbatan akan dilakukan pembayaran kepada pemilik ulayat, yakni warga Kampung Enggros dan Tobati.

Pemalangan warga pada 27 Oktober 2019 sesungguhnya tidak hanya berpangkal pada soal pembayaran ganti rugi saja. Lebih dari itu, warga menuntut pemerintah Kota Jayapura untuk mengadakan upacara adat tepat pada hari peresmian jembatan oleh presiden. Orang-orang Tobati-Enggros meyakini bahwa pembayaran tanah dan upacara adat ini harus segera dilakukan agar tidak ada korban jiwa atau kecelakaan-kecelakaan yang merenggut nyawa.

Keyakinan ini muncul salah satunya karena seringnya terjadi kecelakaan di sekitar ring road maupun jembatan. Menurut orang-orang Enggros, kecelakaan-kecelakaan itu tak lain disebabkan oleh marahnya roh leluhur yang kecewa dengan tidak adanya pelepasan tanah secara sah. Dua hari setelah peresmian jembatan oleh Presiden Joko Widodo misalnya, seorang pemuda tewas terjatuh dari atas jembatan (Siagian, November 02, 2019). Selang lebih dari sebulan, pada 9 Desember, seorang wanita paruh baya ditemukan tewas terjatuh di bawah jembatan (Redaksi, December 09, 2019).

Desakan warga untuk mengakhiri serangkaian kecelakaan tersebutlah yang kemudian membuat dilakukannya upacara adat pada 19 Desember 2019. Upacara ini nampaknya tidak menghentikan jumlah kecelakaan yang terjadi di sekitar ring road dan jembatan karena kasus-kasus kecelakaan warga Kota Jayapura di sekitar ring road dan jembatan tercatat terus terjadi  bahkan hingga tahun 2020 (Syaiful, October 14, 2019; Rumagit, January 21, 2020). Dalam pandangan orang-orang Tobati-Enggros, semua kejadian buruk ini tak lain pemerintah belum sepenuhnya memenuhi janjinya pada orang-orang Tobati-Enggros: mereka belum menerima pembayaran ganti rugi tanah adat.

*

Selain masalah ganti rugi yang memantik protes warga ke pemerintah, pembangunan ring road dan Jembatan Youtefa ini juga menyulut konflik antar penduduk asli, yakni antara orang-orang Tobati-Enggros dan orang-orang dari Marga Sibri di Kampung Nafiri. Konflik ini berawal dari saling klaim wilayah adat yang menjadi tempat pembangunan ring road dan Jembatan Youtefa. Orang-orang Sibri menganggap batas tanah adat orang-orang Tobati-Enggros hanya berakhir di Hamadi, sementara seluruh pesisir Teluk Youtefa dari Ciberi hingga Kali Buaya di Holtekam adalah milik Marga Sibri. Mereka mengatakan bahwa kedua kampung tersebut (Tobati-Enggros) adalah kampung terapung sehingga mereka tidak memiliki wilayah adat di sana. Bahwa kemudian orang-orang Tobati-Enggros diizinkan berkebun dan mencari nafkah di kawasan tersebut karena secara secara turun temurun leluhur Marga Sibri mengizinkan aktiviyas tersebut.

Tidak mau kalah, orang-orang Tobati-Enggros membantah semua tuduhan orang- orang Nafri. Menurut orang-orang Tobati-Enggros, klaim orang-orang Nafiri tidak benar karena mereka ini telah sejak dahulu menjadikan kawasan Teluk Youtefa, dari Ciberi hingga Kali Buaya (Wilayah Holtekam) sebagai dusun mereka; sebagai tempat berkebun dan mencari makan. Sehingga, setiap kawasan tersebut telah dibagi oleh masyarakat Tobati-Enggros kepada setiap marga yang berada di kampung tanpa terkecuali.

Adanya saling klaim tersebut membuat Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Port Numbay, lembaga adat yang menaungi 11 kampung di Kota Jayapura, berupaya memfasilitasi kedua belah pihak. Namun upaya-upaya LMA tersebut tidak pernah menemukan jalan penyelesaian. Malahan, upaya ini menyebabkan miskomunikasi di antara masyarakat, khususnya masyarakat Tobati-Enggros. Mereka mencurigai Ketua LMA Port Numbay, George Awi.

Menurut penuturan George Awi, kecurigaan tersebut muncul karena dirinya berasal dari Kampung Nafri. Dengan latar belakang tersebut, orang-orang Tobati-Enggros mengkhawatirkan dirinya akan berlaku tidak adil dengan mendukung orang-orang Sibri. Ini yang kemudian membuat proses mediasi gagal dilakukan oleh LMA Port Numbay. Setelah mengalami kegagalan, LMA menawarkan agar pertemuan difasilitasi oleh pemerintah kota dan pihak kepolisian dan TNI. George Awi mengingat itu terjadi pada 2016. Namun proses ini juga gagal menyelesaikan sengketa antara warga (interview with F. Wanda, 2020, January 29; interview with G. Awi, 2020, March 14).

Sengketa ini kemudian dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Kota Jayapura. Orang-orang Tobati-Enggros membentuk Tim Tujuh yang diketuai oleh Pendeta Willem Itaar untuk menggugat klaim orang-orang Sibri. Sayangnya, putusan pengadilan kelas I A Kota Jayapura memenangkan orang-orang Sibri. Meskipun demikian, orang-orang Tobati Enggros melakukan banding terhadap keputusan tersebut (Priyadi, February 26, 2019), karena bagaimanapun keputusan pengadilan tersebut telah membuat orang-orang Tobati-Enggros kehilangan hak atas tanah adat mereka.[11]

Meski telah diputus kalah oleh pengadilan, klaim kepemilikan dari orang-orang Tobati-Enggros atas kepemilikan tanah di wilayah Teluk Youtefa bukannya tanpa bukti historis yang kuat. Hanggua Rudi Mebri (Hanggua 2010)  menyebutkan bahwa orang-orang Tobati-Enggros sudah menempati Kampung Enggros dan Kampung Tobati selama empat generasi.

Penelitian Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa 1990) juga menerangkan soal aktivitas menokok sagu yang dilakukan oleh orang-orang Tobati-Enggros. Menurut penelitian tersebut, orang Injros (Enggros) menokok sagu di daerah sekitar Pantai Holtekam di antara wilayah Abepura dan Kota Raja, sedangkan orang Tobatji (Tobati) menguasai sebagian besar daerah Kota Raja sampai ke Entrop sebagai hak ulayatnya. Pembagian wilayah ini demikian ketat karena penyerobotan wilayah ulayah akan memicu konflik, bahkan hingga konflik fisik.

Kerusakan Lingkungan Hidup di Teluk Youtefa

Selain menyulut bara konflik antara orang-orang Tobati-Enggros dan Sibri, pembangunan ring road dan Jembatan Youtefa secara drastis telah mengubah bentang ekologis di wilayah sekitar Teluk Youtefa. Perubahan paling kentara bisa dilihat dari beberapa titik hutan mangrove yang hilang pasca pembanguan dua proyek infrastruktur tersebut, terutama sepanjang 36 km dari Hamadi Distrik Jayapura Selatan atau tepatnya dari Jembatan Youtefa hingga Holtekam Koya, Distrik Muara Tami. Pada bagian kanan jalan reboisasi baru selesai dilakukan di atas lahan mangrove seluas 5 hektare.[12]

Lahan reboisasi tersebut dulunya adalah hutan mangrove yang ditebang menunjukkan bagaimana pembangunan jembatan dan ring road berlangsung tidak seperti yang sudah direncanakan. Lahan yang kemudian direboisasi oleh masyarakat dengan bantuan pemerintah Kota Jayapura ini bukan satu-satunya. Dari lokasi lahan reboisasi, dua lahan lain teronggok kering dan tidak terurus walaupun berada tepat di garis pantai. Padahal, fungsi mangrove di lahan tersebut krusial sebagai penahan air laut sehingga memerlukan segara upaya reboisasi.

Rusak dan hilangnya mangrove tidak hanya berdampak pada lingkungan melainkan juga pada mata pencaharian warga sekitar. Sebagaimana sudah disebutkan di bab awal, mangrove merupakan sumber habitat bia yang biasa dikonsumsi oleh warga kampung di sekitar Teluk Youtefa. Kerusakan lingkungan di sekitar Teluk Youtefa akibat pembangunan Jembatan dan ringroad dibenarkan oleh Walikota Jayapura.[13]

Jika ditelusuri lebih jauh, kerusakan lingkungan di Teluk Youtefa ini sudah diantisipasi oleh para aktivis dan pegiat lingkungan di sekitar Jayapura. Jauh sebelum adanya pembangunan Jembatan Youtefa dan ring road, para aktivis dan pegiat lingkungan, gencar melakukan bakti sosial, kampanye, terhadap pelestarian hutan mangrove, salah satunya dengan mengkampanyekan pembuangan sampah plastik di Teluk Youtefa yang jumlahnya kian mengkuatirkan. Frederik Wanda, koordinator dan pendiri Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG) mengatakan bahwa upaya advokasi yang telah mereka lakukan telah berlangsung sejak 2009. Tidak hanya melakukan kampanye dan bakti sosial, FPPNG juga beberapa kali melakukan penanaman kembali pohon mangrove pada lima titik kerusakan mangrove di Teluk Youtefa. Penanaman biasanya dilakukan sendiri oleh FPPNG, tetapi pada beberapa kesempatan dilakukan dengan berbagai komunitas dan mahasiswa. Aktivitas itu telah dilakukan FPPNG sejak berdirinya sampai sekarang(interview with F. Wanda, 2020, January 29) .

Pada saat tanda-tanda pembangunan ring road mulai terlihat, FPPNG juga melakukan aksi demonstrasi meminta pemerintah untuk menghentikan rencana pembangunannya demi kelestarian lingkungan di Kota Jayapura. FPPNG bahkan telah dua kali bersurat kepada Presiden Republik Indonesia. Pertama kepada Susilo Bambang Yodhoyono, dan kedua, Presiden saat ini Joko Widodo. Surat kepada Joko Widodo diberikan kepada staf khusus Presiden Putra Nababan di salah satu cafe di Kota Jayapura. Namun sampai saat ini FPPNG belum mendapatkan jawaban (interview with F. Wanda, 2020, January 29) .

(Sedang melakukan pembersihan sekitar wilayah hutan mangrove yang telah digusur/doc FPPNG.)

Selain perubahan ruang hidup, pembangunan ringroad dan Jembatan Youtefa membawa satu dampak yang berpengaruh langsung pada kehidupan orang-orang Tobati-Enggros: persediaan air.

Persoalan  air bersih bagi orang-orang Enggros sesungguhnya adalah masalah klasik. Penelitian Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa pada akhir dekade 80an (Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa 1990) telah menuliskan soal aktivitas mengambil air menggunakan perahu di kaki gunung oleh perempuan dan anak-anak Tobati-Enggros. Kondisi ini membuat orang-orang Tobati-Enggros sejak lama memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan harian.

Perubahan kualitas air bersih di Kampung Enggros dan Kampung Tobati pun bukan hal baru. Orang-orang Tobati-Enggros sejak lama menyadari bahwa sejak lama air laut di sekitar kaki gunung yang berubah warna dari sebelumnya biru kehijauan menjadi kecoklatan oleh lumpur. Ini terjadi karena memang sudah sejak lama ekosistem Teluk Youtefa, tempat Kampung Enggros dan Kampung Tobati berdiri, yang menjadi muara Kali Acai dan Kali Entrop, tercemar oleh limbah domestik maupun perkantoran dan industri, terutama dari Distrik Abepura dan Jayapura Selatan (Entrop). Dengan kesulitan seperti itu, untuk memenuhi kebutuhan hariannya, sejak lama orang-orang Tobati-Enggros harus mengambil air bersih di beberapa titik sumur air—dikenal sebagai Resuk dalam Bahasa Enggros. Salah satu sumber tersebut berada di Pantai Hamadi. Resuk-resuk tersebut kini, sayangnya, tidak bisa lagi mencukupi semua kebutuhan mereka.

Pembangunan ringroad dan Jembatan Youtefa ditenggarai menjadi sebab dari makin buruknya kualias hidup orang-orang Tobati-Enggros. Penelitian Tim Assemen Yayasan Anak Dusun Papua (Tim Assesmen Yayasan Anak Dusun Papua 2018) menemukan bahwa pembangunan Jembatan Youtefa turut memperparah proses pencemaran teluk Youtefa dalam beberapa tahun terakhir. Proyek yang diresmikan pada 28 Oktober 2019 itu telah menggusur beberapa titik hutan dan gunung yang berdampak kepada tidak berfungsingnya beberapa sumber air minum yang biasa dimanfaatkan oleh warga Kampung Tobati-Enggros.

Salah satu sumber air bersih warga Kampung Enggros-Tobati (dokumentasi peneliti)

Orang-orang Tobati-Enggros yang penulis temui menjelaskan bahwa sumber air bersih yang masih berfungsi di Kampung Enggros hanya tersisa dua dari sebelumnya 5 sumur. Situasi ini memaksa orang-orang Enggros uang lebih untuk menambal kekurangan tersebut, salah satunya dengan berlangganan layanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Ironisnya, layanan dari PDAM seringkali tidak bisa mengatasi problem kekurangan air bersih karena air sering tidak mengalir lancar dan bahkan mati dalam waktu lama. Alhasil, orang-orang Kampung Enggros masih harus membeli air pada pengusaha air bersih. Per tangki ukuran ukuran 1100 liter, mereka harus merogoh kantong sebanyak Rp. 120.000, ini belum termasuk ongkos speed boat sebesar Rp. 100.000 untuk mengangkut air ke Enggros sekali jalan.

Kesimpulan

Sebagian besar orang-orang Tobati-Enggros dan sebelas kampung lain di Kota Jayapura mungkin tidak pernah setuju dengan proyek pembangunan ringroad dan Jembatan Youtefa masuk ke wilayah adat mereka. Kalau boleh memilih, barangkali, mereka akan memilih menolak proyek pembangunan itu dari kampung mereka. Sayangnya, sebagaimana banyak cerita mengenai proyek pembangunan di Indonesia, masyarakat adat seperti dibuat tidak memiliki pilihan atas rancangan pembangunan yang diputuskan di level nasional.

Kisah orang-orang Tobati-Enggros ini menunjukkan bagaimana proyek pembanguan yang dilakukan oleh pemerintah telah menciptakan konflik; memposisikan rakyat dalam posisi yang dilematis dan berhadap-hadapan dengan rakyat yang lain. Dalam kasus orang-orang Tobati-Enggros dan Sibri, konflik tersebut potensial terjadi dalam waktu lama. Pada 9 Oktober 2020, orang-orang Enggros-Tobati dan Nafri terlibat bentrok keras: 7 orang terluka dan 2 unit mobil rusak (Topikpapua.com, 9 Oktober 2020). Dari sini terang terlihat, proses penyelesaian kasus di level hukum saja tidak mampu mengatasi konflik yang sebenarnya.

Dalam kasus orang-orang Tobati-Enggros ini, proses penyelesaian hukum malah bermuara pada hilangnya hak-hak orang-orang Tobati-Enggros atas tanahnya. Kenyataan ini mesti ditelan sebagai pil pahit karena proses ganti rugi yang dijanjikan pemerintah pun tidak kunjung ditunaikan. Hal lain yang tak kalah penting: pembangunan dua infrastruktur ini telah membawa pada makin merosotnya kualitas hidup orang-orang Tobati-Enggros dan masyarakat dari sebelas kampung lain.

Pemerintah, tak bisa tidak, pada akhirnya merupakan aktor utama dari semua ekses negatif yang diterima oleh orang-orang Enggros akibat pembangunan ringroad dan Jembatan Youtefa. Sehingga, pemerintahlah yang mesti bertanggung jawab, baik memenuhi semua janji maupun merehabilitasi semua dampak negatif pembangunan dua infrastruktur tersebut, termasuk mendamaikan sengketa tanah nan tidak kunjung selesai yang telah mereka sulut melalui pembangunan proyek ini. Bukan tidak mungkin, konflik berkepanjangan itu akan bermuara pada perang di Teluk Youtefa antara antara Kampung Tobati-Enggros dan Kampung Nafri.

 

Esai-Esai dapat di donwload dalam link: https://elsam.or.id/berhala-berhala-infrastruktur-potret-dan-paradigma-pembangunan-papua-di-masa-otsus/

 

Daftar Pustaka

Awi, George. 2020. Interview by Y. Ngelia, and Y. Lantipo. March 14, 2020.

Elisabeth, Asrida. 2019. “Nasib Hutan Perempuan Kampung Enggros.” Mongabay: Situs Berita Lingkungan, December 22. Accessed September 11, 2020. https://www.mongabay.co.id/2019/12/22/nasib-hutan-perempuan-kampung-enggros/.

Haay, Yairus. 2019. Interview by Y. Ngelia, and Y. Lantipo. December 19, 2019. Jayapura.

Hamdani, Trio. 2019. “Diresmikan Jokowi, Ini Sumber Pembiayaan Jembatan Youtefa.” detikcom, October 28. Accessed September 11, 2020. https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4762624/diresmikan-jokowi-ini-sumber-pembiayaan-jembatan-youtefa.

Hanggua, Rudy M. 2010. Injil Di Tanah Tabi 100 Tahun Baptisan Di Metu Debi. Jayapura: Yayasan Emereuw Sentani Papua.

Priyadi. 2019. “Masyarakat Adat Enggros Lakukan Banding Sengketa Lokasi Jembatan Holtekamp.” Cenderawasih Pos, February 26. Accessed September 11, 2020. https://www.ceposonline.com/2019/02/26/masyarakat-adat-enggros-lakukan-banding-sengketa-lokasi-jembatan-holtekamp/.

Ramah. 2019. “Pantai C’beery Menjadi Berkah Bagi Warga Kampung.” Jubi.co.id, November 18. Accessed September 11, 2020. https://jubi.co.id/pantai-cbeery-menjadi-berkah-bagi-warga-kampung/.

Redaksi. 2019. “Kaki Dan Pinggul Patah, Seorang Warga Heram Diduga Terjatuh Dari Jembatan Youtefa.” KabarPapua.co, December 9. Accessed September 11, 2020. https://kabarpapua.co/kaki-dan-pinggul-patah-seorang-warga-heram-diduga-terjatuh-dari-jembatan-youtefa/.

Rumagit, Alfian. 2020. “Seorang Pelajar Ditemukan Tewas Diduga Korban Tabrak Lari.” ANTARA News Aceh, January 21. Accessed September 11, 2020. https://aceh.antaranews.com/berita/117084/seorang-pelajar-ditemukan-tewas-diduga-korban-tabrak-lari.

Ruth Miserikodiasdomini Ohoiwutun. 2015. “Kisah Ciptaan Manusia Tabati Dan Penyebaran Suku Itaar Di Tanah Tabi.” In Dongeng Negeri Kita : Antologi Cerita Rakyat Nusantara, edited by Joko Pinurbo, Dhenok Kristianti, and Iman B. Santosa, 1–20. Bekasi: Padasan.

Siagian, Wilpret. 2019. “Selfie Di Jembatan Youtefa, Respi Jatuh Ke Laut Dan Belum Ditemukan.” detikcom, November 2. Accessed September 11, 2020. https://news.detik.com/berita/d-4769465/selfie-di-jembatan-youtefa-respi-jatuh-ke-laut-dan-belum-ditemukan.

Syaiful, Achmad. 2019. “1 Pelajar Tewas, 2 Koma Dalam Kecelakaan Maut Di Jalan Ring Road Jayapura – Pospapua.Com.” Pos Papua, October 14. Accessed September 11, 2020. https://pospapua.com/1-pelajar-tewas-2-koma-dalam-kecelakaan-maut-di-jalan-ring-road-jayapura/.

Tim Assesmen Yayasan Anak Dusun Papua. 2018. “Dampak Migrasi Terhadap Depopulasi Dan Pergeseran Budaya Masyarakat Port Numbay.”.

Topikpapua.com. 2020. “Masalah Batas Tanah Adat, Dua Kampung Di Jayapura Perang, 7 Terluka, 2 Mobil Dirusak.” topikpapua.com, October 9. Accessed September 11, 2020. https://topikpapua.com/masalah-batas-tanah-adat-dua-kampung-di-jayapura-perang-7-terluka-2-mobil-dirusak/.

Wanda, Frederik. 2020. Interview by Y. Ngelia, and Y. Lantipo. January 29, 2020. Jayapura.

Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa. 1990. “Teluk Youtefa Sumber Kehidupan Penduduk Kampung Injros (Enggros) Dan Tobati Di Jayapura.”.

 

[1] Motoris istilah yang digunakan warga lokal untuk menyebut juru mudi perahu.

[2] Meraudje adalah salah satu marga asli dari Kampung Enggros.

[3] Keterangan soal orang-orang Enggros-Tobati disarikan dari Ohoiwutun (Ruth Miserikodiasdomini Ohoiwutun 2015).

[4] Ojek laut merujuk pada transportasi laut, seperti perahu di Jayapura.

[5] Holtekam adalah satu kawasan daratan besar yang berada di sebelah timur Pulau Enggros dan Tobati.

[6] Kondisi ini berbeda dengan data riset yang dikeluarkan oleh Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa ((Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa 1990)) yang mendeskripsikan mata pencarian pokok Warga Tobati Enggros adalah menokok sagu, berkebun, menangkap ikan, berdagang/berjualan. Menokok sagu bahkan memilki presentasi paling tinggi dari mata pencarian lainnya yaitu 20%. Sedangkan mencari ikan laut kebanyak dilakukan oleh kaum lelaki sedangkan siput (bia) adalah perempuan, 55%. Berkebun dengan 10%, berdagang 15%.

[7] Dengan rincian penyewaan satu para-para seharga Rp100 ribu.  Jubi(Ramah, November 18, 2019)) dalam salah satu liputannya  mengisahkan hal yang sama dengan apa yang dituturkan oleh Mama. Dalam liputan tersebut, malahan disebutkan jika dua narasumber utama merasa senang dengan dibukanya akses jalan melalui Jembata Youtefa yang berdampak pada pendapatan hariannya.

[8] Menurut data yang dirangkum Detik (Hamdani, October 28, 2019)) dari kementrian PUPR, sumber keuangan jembatan tersebut adalah Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diterbitkan pemerintah dan juga dari APBD Provinsi Papua. Rinciannya sebagai berikut: pekerjaan jembatan bentang utama sepanjang 433 meter bernilai Rp946 miliar dan akses sisi Holtekam sepanjang 7.410 meter sebesar Rp200 miliar. APBD Papua mendapat porsi pembangunan jembatan bentang pendekat sepanjang 210 meter bernilai Rp400 miliar. Sementara APBD Kota Jayapura digunakan untuk pembangunan jembatan akses sisi Hamadi sepanjang 400 meter dengan nilai Rp35 miliar.

 

[9] Mereka antara lain Ondoafi besar Tobati Enggros, Ondoafi Tobati Laut. Kepala suku yang hadir antara lain Kepala Suku Itaar dari Tobati, Kepala Suku Itaar dari Enggros, Kepala Suku Meraudje, Kepala Suku Habupuk, Kepala Suku Mano, Kepala Suku Hamadi, Kepala Suku Hasor, Kepala Suku Drunyi, dan Kepala Suku Dawir.

[10] Mulanya, nama yang disiapkan untuk jembatan ini adalah Jembatan Merah Hamadi Holtekam di Teluk Youtefa, kemudian muncul usulan nama lain, yakni Jembatan Papua Bangkit di Youtefa. Sempat pula ada usulan untuk menambahkan nama Nobadich di belakang nama kedua, sebelum kemudian muncul usulan nama keempat, yakni Jembatan Merah Putih di Youtefa. Meskipun demikian, setelah melewati diskusi bahkan perdebatan dengan pemerintah provinsi, pada akhirnya, nama Jembatan Youtefa dipilih berdasarkan usulan warga asli Port Numbay itu sendiri.

[11] Alasan banding yang dilakukan oleh orang-orang Enggros-Tobati disampaikan oleh Pendeta Willem Itaar dalam audiensi antara Tim Tujuh bersama Muspida Kota Jayapura pada 25 Februari 2020. Dalam kesempatan yang sama Pendeta Wilem juga menyebutkan bahwa ketakutan akan kehilangan tanah merupakan motif terkuat dari pemalangan akses ke Jembatan Youtefa pada akhir tahun 2019.

[12] Penulis melakukan observasi dan serangkaian wawancara lapangan pada tanggal 13 & 21 Agustus 2019, dan pada tanggal 13, 18, 19 Desember 2019 untuk menuliskan bab ini.

[13] Keterangan walikota ini penulis dapat sewaktu penulis menghadiri ritual adat dan ucapan syukur atas pembangunan ring road dan Jembatan Youtefa pada 19 Desember 2019.

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Apabila Prabowo jadi Presiden

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya. Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan