Analisa Harian Indonesia, Natalius Pigai, dan Gerakan Perlawanan di Papua

Indonesia, Natalius Pigai, dan Gerakan Perlawanan di Papua

-

Siapa yang tidak kenal Natalius Pigai, mantan komisioner Komis Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2012-2017 tersebut? Tentu rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke tahu siapa, pria kelahiran Paniai, Papua 25 Desember 1975 itu. Natalius dikenal sebagai aktivis Pro Demokrasi (ProDem) asal Papua yang sangat kritis dan berani dalam membela hak asasi manusia di Indonesia, dan baru-baru ini, dia mendapat perlakuan rasis dari politisi partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), Drs. Ambroncius I. M Nababan, MM.

Drs Ambroncius I. M Nababan, MM yang pada pemelihan legislative 2018 maju dari dapil Papua membuat postingan yang sangat rasis kepada Natalius Pigai. Postingan rasis tersebut dibuat Abroconsius Nababan dengan menduelkan foto Natalis sapaan akrab Natalisu Pigai dengan foto Gorila lalu diberi caption “Mohon maaf yang sebesar-besar nya. Vaksin sinovac itu dibuat untuk manusia bukan untuk Gorila apa lagi kadal gurun. Karena menurut UU Gorila dan Kadal Gurun tidak perlu di Vaksin. Faham?” Hina Nababan kepada Natalis melalui akun Facebook Ambroconsius Nababan, 12 Januari 2021.

Perlakuan rasis dari Drs Ambroconsius Nababan, MM yang telah diangkat menjadi anak Papua oleh “masyarakat adat” Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura dengan prosesi adat Lompat Piring dan Bakar Batu mendapat protes dari berbagai tokoh di Papua hingga para politisi nasional Indonesia, pula Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.

“Kalau Anda tak suka dengan statment atau tudingan seseorang yang Anda anggap ngaco, tak usalah menghinanya dengan cacian atau gambar hewan. Diamkan saja,” tulis Mahfud di akun twitternya pada, 24 Januari 2021. Tempo,co.Senin (21 Januari 2021)

Kecaman kepada Nababan juga datang dari Ketua Umum Pemuda Batak Bersatu, Lambok Fernando Sihombing. Lambok Sihombing mengutuk keras pernyataan Ambroconsius Nababan dan meminta Nababan segera memintaa maaf secara terbuka atas sikapnya yang tentu menciderai hati Natalis Pigai dan rakyat Papua.

“Kami meminta kepada Ambroncius Nababan untuk segera melakukan permohonan maaf secara terbuka karena statmen Saudara tersebut bisa menciderai kerukunan orang Batak dan Papua,” cetus Lambok Sihombing melalui video yang ditautkan di akun Facebook Pemuda Batak Bersatu. Tempo.co. Senin (21 Januari 2021)

Selain protes dari Ketua Umum Pemuda Batak Bersatu. Aktivis Pro Demokrasi yang juga berdarah batak, Nico Silalahi pun angkat suara. Dengan sangat marah Nico mengutuk keras perbuatan Nababan dan meminta dibuatkan ring tinju agar dirinya bisa meninju Ambroncius Nababan.

“Tolong berikan ring agar saya bisa mengajarkan bangsat ini untuk tidak berlaku rasis dengan kepalan tangan” desak Nico.

Nico Silalahi juga mendesak Presiden Jokowi untuk menindak lanjuti kasus rasisme Nababan yang menurutnya terlalu jahanam itu, dan apa bila Jokowi tidak mengambil langka untuk menindak lanjut kasus tersebut maka, dirinya menganggap Jokowi secara tidak langsung melindungi Nababan yang adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Projamin (pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin).

“Jika Ambroncius Nababan sang pelaku Rasis Jahanam ini tidak ditindak maka sama artinya dengan Presiden Jokowi sengaja memelihara pendukungnya agar berbuat rasis” bilang Nico dengan sangat marah. Suara.com. Minggu (24 Januari/2021)

Selain aktivis Pro Demokrasi dan seorang Menteri di Kabinet Jokowi Jilid II yang mengecam perbuatan rasis yang dilakukan Abroncius Nababan kepada Natalis Pigai. Ada juga Sentor asal Papua, Filep Wamafma yang meminta negara segera menindak tegas sikap Nababan dan negara jangan main-main dengan rasisme ini apa lagi mencoba membuat bara api di Papua.

“saya minta negara segera menindak tegas sikap rasis. Ini tidak main-main. Jangan coba-coba membuat bara api,” Filep Wamafma. Jakarta-Kompas. TV (25 Januari 2021)

Bagaimana sikap aktivis di Papua?

Dalam hemat saya melalui pembacaan postingan teman-teman di Facebook, ada perbedaan sikap. Ada yang protes dan mengajak rakyat kembali melakukan aksi besar-besaran di seluruh kota di tanah Papua hingga mereka mengkonsulidasikan diri dalam aksi spontan teken petisi dengan judul tangkap dan adili Ambroncius Nababan atas sikap rasis dan penghinaan bagi Natalis Pigai. Dan sudah hampir 500an orang dari berbagai kalangan termaksud keluarga Natalis Pigai serta kelompok yang menamakan diri mereka kelompok intelektual Papua, memberi pernyataan mendukung petisi tersebut. Sebagaimana yang termuat dalam berita Cepos online (25/01/2021) dengan judul pemberitaan “Masyarakat dan Tokoh di Papua Bikin, Petisi, kecam Rasisme Terhadap Natalis Pigai.

Sedangkan bagi sebagian aktivis yang memiliki organisasi gerakan yang solid dan kritis dalam tindakan melawan Indonesia yang dipandang sebagai colonial (penjajah) di tanah Papua masih sebatas mendiskusi ujuran rasisme dari Nababan yang telah meminta maaf dengan membuat video dan sudah viral di dunia maya.

Contoh, aktivis serta organisasi gerakan yang masih sebatas mendiskusikan ujaran rasisme tersebut adalah 102 organisasi gerakan rakyat yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otonomi Khusus Jilid II. Hal ini bisa dilihat dari belum keluarnya pernyataan sikap dari PRP, bahkan ada upaya untuk mengklarifikasi sebuah foto poster digital yang beredar mengajak rakyat turun jalan memprotes ujaran rasisme Nababan kepada Natalius Pigai. Didalam poster tersebut didalamnya termuat 104 Organisasi (PRP) tanpa diketahui oleh kepengurusan pusat Sekretariatan Bersama PRP atau Biro Agitasi dan Propaganda PRP.

Kenapa PRP yang belakangan ini menjadi gerakan yang mengacam eksistensi kolonialisme Indonesia di Bumi Cendrawasih belum mengambil sikap yang sama seperti Paskalis Kosay dkk, yang menggalang petisi tangkap dan adili Ambroncius Nababan? Itu urusan kolektif PRP yang memiliki prinsip organisasi dan stratak politik. Namun salah satu prinsip dalam PRP adalah bebas berpendapat bagi individu dan organisasi yang tergabung dalam PRP. Maka berikut ini saya sebagai aktivis dari SONAMAPPA yang juga secara organisasi menjadi bagian dari 102 Organisasi penggalang Petisi Rakyat Papua Tolak Otonomi Khusus Jilid II akan berpendapat secara pribadi.

Bagi saya. Rasisme terhadap siapa pun dia orang Papua yang dilakukan oleh individu-individu atau pun kelompok orang non Papua yang dengan sengaja mau pun tidak sengaja melakukannya (rasisme) kepada orang Papua didalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu disikapi (lawan) secara kolektif oleh orang Papua. Bahkan yang dilakukan oleh pejabat negara Indonesia asal Papua terhadap orang Papua sendiri pun harus dilawan sebagai perjuangan melawan mentalis budak pejabat Papua kepada sesamanya sendiri. Apa lagi pejabat non Papua yang melakukan hal itu (rasisme) kepada orang Papua dengan mengatasnamakan kepentingan negara Indonesia yang adalah penjajah bagi tanah dan manusia Papua, wajib hukumnya untuk dilawan oleh rakyat bangsa Papua.

Tapi ada pengecualian kali ini dalam ujuran rasisme yang dialami salah satu orang “pintar” asal Papua, tuan Natalius Pigai yang kepintaran dan tenaganya selama ini dominan dicurahkan bagi kolonialisme Indonesia yang mengkoloni rakyat dan tanahnya sendiri. Dan ini bukan soal pilih kasih, tapi soal memprioritaskan keberpihakan nurani serta mendisiplinkan diri terhadap agenda kolektif yang sedang diperjuangkan guna melawan negara Indonesia yang jauh sebelum menganeksasikan Papua ke dalam wilayah NKRI telah berbuat rasis terhadap rakyat Papua.

Untuk mengingatkan saja bahwa, aneksasi Papua kedalam NKRI terjadi pada 1 Mei 1962. Satu tahun sebelumnya, 19 Desember 1961, Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno menghina negara Papua yang adalah hasil intelektual orang Papua pada saat itu sebagai Negara Boneka bikinan Belanda, di hadapan ribuan masyarakat Indonesia di Alun-alun Jogjakarta. Kata boneka yang dialamatkan kepada negara Papua hasil pikiran kolektif dari intelektual maju orang Papua saat itu, secara tidak langusng sama artinya juga dengan Soekarno mengatakan bahwa orang Papua bukan manusia ciptaan Tuhan, tapi boneka buatan Belanda. Jadi negara yang dibuatnya dengan persetujuan Ratu Yuliana adalah boneka. Ini adalah rasisme terhadap orang Papua.

Sebagaimana yang dikatakan Jenny Munro, lecturer, School of Social Science, The University of Queensland dalam artikel berjudul “Isu rasisme perlu lebih banyak dibahas di Indonesa,” bahwa, ketika orang menganggap bahwa isu kemerdekaan Papua itu asalnya dari provokator asing, bukan orang Papua sendiri, ini adalah bentuk rasisme karena menganggap orang Papua tidak mampu mengenali dan menyatakan keinginan mereka sendiri.

Dari fakta rasisme yang diingatkan diatas sampai dengan rasisme belakangan ini yang dilakukan baik oleh oknum-oknum orang Indonesia Melayu, juga kelompok nasionalis nasi bungkus Indonesia. Pula yang dilakukan oleh negara sendiri secara langsung kepada kitong orang asli Papua. Menggambarkan bahwa rasisme kepada orang Papua dalam bingkai NKRI sudah mendaradaging dalam mayoritas rakyat Indonesia serta Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai budaya kolonialisme Indonesia di Papua. Karena sudah terjadi sejak 60an tahun lalu dan terus berulang hingga sekarang ini, bahkan masih akan terus terjadi.

Mengapa rasisme masih akan terus tejadi bagi orang Papua dalam bingkai NKRI? Jawabnya, karena sudah mendaradaging dalam diri mayoritas orang Indonesia dan dipeliharan oleh negara untuk menjajah orang Papua dan mengeksploitasi sumber daya alam di Bumi Cendrawasih. Juga tidak banyak dilakukan diskusi seputar rasisme di Indonesia sebagaimana dikatakan antropolog dari Universitas Queensland, Jenny Munro bahwa rasisme banyak terjadi di Indonesia tapi tapi sangat jarang dibahas sehingga berakar dan menjadi budaya.

Hal yang disampaikan Jenny Munro itu tak dapat dipungkiri kebenarannya. Rasisme di Indonesia terhadap kaum minoritas terutama orang Papua yang dijajah karena rasisme tidak pernah selesai karena tidak ramai didiskusikan dan tidak ada niat untuk diselesaikan. Bahkan dipelihara oleh negara sebagaimana yang dikatakan Natalis Pigai korban rasisme.

Natalis mengatakan bahwa, dirinya tahu kalua rasisme di Indonesia terhadap orang Papua dipelihara oleh negara sebagai alat pukul orang Papua yang berjuang menegakan keadilan bagi dirinya, rakyat dan bangsanya serta tanah arinya.

“Seluruh kejahatan di Papua (termaksud rasisme) didasari oleh kebencial rasial. Orang Papua tidak akan pernah bisa hidup nyaman dengan bangsa rasialis. Jakarta harus buka kran demokrasi bagi rakyat Papua. Kalau tidak maka saya khawatir instabilitas bisa terjadi karena konflik rasial di Papua. Saya orang pembela kemanusian berkewajiban moral untuk mengingatka,” Pigai. CNN Indonesia.com, Senin (25 Januari 2021).

Lalu apa yang belum diketahui oleh kebanyakan orang Papua bahkan aktivis gerakan Papua merdeka sendiri, baik yang ada di Papua mau pun luar Papua, yang membuat rasisme masih terus terjadi bagi orang Papua dalam bingkai NKRI? Hal yang belum diketahui adalah sikap disiplin terhadap prinsip politik dan stratak perjuangan serta mengalisa munculnya kasus rasisme yang telah membudaya di Indonesia sebelum mengambil keputusan dan langka politik untuk mengakhiri rasisme di Indonesia kepada orang Papua.

Sikap tidak disiplin terhadap agenda perjuangan kolektif yang lagi dikerjakan. Juga tanpa perhitungan yang matang ketika hendak merespon isu di tengah jalan. Bagi saya adalah penyebab langgengnya kekuasan colonialisme serta praktek-prakteknya di tanah Papua, salah satunya adalah rasisme.

Aktivis serta organisasi perjuangan dalam memainkan taktik jangka pendek, juga mengerjakan pekerjaan strategi jangka panjang yang telah menjadi keputusan bersama bisa dibilang kadang tidak disiplin dalam tindakan dan disiplin dalam menjaga tindakan. Bilang saja kami, SONAMAPPA. Secara organisasi kami masih jauh dari displin dalam menjalankan keputusan organisasi sehingga hasil yang ingin kami capai pun tak selalu maksimal atau tidak terlalu mengungtungkan bagi perjuangan pembebasan nasional.

Cotohnya dalam rapat pimpinan, kami sepakat untuk memprioritaskan kerja-kerja konsolidasi basis dan struktur. Tapi didalam perjalanan pekerjaan konsolidasi muncul kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Tanpa persiapan yang matang (pembacaan kekuatan organisasi serta diskusi dan analisa dampak) kami turut bersolidaritas dalam aksi protes rasisme di Surabaya. Ketika aksi massa yang melumpuhkan beberapa kota di Papua tidak bisa disiplinkan oleh perangkat aksi sehingga disusupi oleh pihak ketiga dan memprovokasi massa yang jelas-jelas tidak terdidik secara organisasi, terjadilah hal-hal yang dalam perjuangan damai atau perjuangan tanpa kekerasan yang diadopsi SONAMAPPA sebagai pilihan perjuangan pun pecah. Pembakaran di beberapa kota terjadi. Pembakaran menjadi legitimasi negara mengirim ribuan militer ke Papua.

Pengiriman ribuan militer ke Papua membuat rakyat menjadi takut secara psikologis dan ruang gerak kami untuk melakukan konsulidasi pun menjadi tidak leluasa karena kitong tidak siap juga mempersiapkan diri untuk mengalami hal buruk. Itu terjadi karena kitong tidak melakukan pembacaan kekuatan organisasi serta diskusi dan analisa dampak yang akan terjadi. Hal ini tentu dialami oleh semua organisasi gerakan perjuangan politik Papua merdeka, bahkan gerakan mahasiswa. Dan itu bagi saya adalah akibat tidak disiplin dalam prinsip dan stratak perjuangan serta tidak siap dalam persiapan pembacaan kekuatan organisasi serta diskusi dan analisa dampak sebelum mengambil keputusan.

Tidak sampai disitu saja kekelahan telak kami dan gerakan politik Papua merdeka. Tanpa persiapan yang matang (pembacaan kekuatan organisasi serta diskusi dan analisa dampak) sebelum mengambil keputusan membuat muncul 61 orang pahlawan kesiangan yang dipimpin Abisay Rollo, “Raja Kecil” dari kampung Skouw Yambe. Juga Papua Muda Inspiratif (PMI) pesuruh Istana Presiden, Billy Mambrasar serta pahlawan-pahlawan kesiangan lainnya.

Untuk itu, lewat tulisan ini. Tanpa mengurangi semangat kawan-kawan yang mengobarkan api perjuangan rasisme terhadap kawan-kawan mahasiswa di Surbaya dua tahun silam. Serta pengorbanan yang telah didekasihkan dalam perjuangan melawan rasisme di Surabaya, hormat untuk semua semangat juang itu. Hormat juga buat solidaritas yang digalakan buat Natalis Pigai yang mendapatkan ujuran rasisme dari Abroncius Nababan serta Luhut Sitompul. Dua oknum berdarah Batak. Boleh saya berpendapat sebagai saran untuk kitong hari ini.

Pendapat saya. Jangan sampai kitong memasang jerat bagi ruang gerak kita sendiri dalam kerja penggalangan petisis tolak otsus jilid II, dan konsulidasi menujuh pembangkangan sipil yang luas di Papua. untuk itu kitong harus tetap focus dan disiplin dalam agenda yang sudah disepakati secara kolektif dalam PRP. Langka ini diambil bukan karena kami tidak peduli terhadap rasisme yang dialami sesama kita orang Papua. Tapi bagi saya, Natalis bukan masyarakat awam hukum di Indonesia.

Natalis Pigai adalah mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI. Ia sangat paham betul tetang hukum di Indonesia dan sangat professional dalam melakukan investigasi dan advokasi hukum terhadap kasus pelanggaran HAM di Indonesia hingga internasional. Jadi dia bisa mengadvokasi dirinya sendiri secara hukum bahkan secara politik, Natalis Pigai bisa mengadvokasi dirinnya sendiri. Seperti yang sudah dilakukannya dengan membuat ciutan di twitternya sebagaimana yang kutip Warta Ekonomi.co.id dari viva.co.id (Senin, 25 Januari 2021) dengan berita berjudul “Dihina Mirip Gorila, Natalis Pigai Ngetwitt Ini ke Jendral Kulit Hitam Terkuat di Dunia.”

“Saya bangga pada Anda, mr @LlyodAustin orang kulit hitam Afrika-Amerika terkuat di dunia. Kami telah melawan rasisme kolektif (negara) Indonesia terhadap orang kulit hitam Melanesia Afrika (Papua) lebih dari 50 tahun. Penyiksaan, pembunuhan dan genosida gerakan lambat. Kami butuh perhatian” tulis natalis di Warta Ekonomi.co.id, Senin (25 Januari 2021).

Jadi jangan lagi kitong bikin sibuk diri lagi dengan mengadvokasi kasusnya, bukan kitong tidak peduli. Tapi seperti yang saya singgung di atas bahwa, Natalis bisa membela dirinya sendiri, baik secara hukum mau pun politik. Dan sudah ada pejabat di Republik ini yang mengencam tindakan rasisme tersebut, bahkan Menteri Mahmud MD pun sudah angkat bicara.  Jadi kitong yang memilih tidak tunduk pada kolonialisme Indonesia di Papua, tetap focus saja pada apa yang lagi kitong sepakati secara kolektif dan lagi dikerjakan. Karena bisa jadi juga, rasisme terhadap Natalis Pigai di manfaatkan oleh negara untuk mengalikan fokus kita hari ini demi memuluskan otonomi khsusu jilid II di Papua. Serta memuluskan salah satu agenda strategis negara untuk mempertahankan kolonialismenya di Papua yakni pemekaran wilayah.

Hal tersebut bisa saja terjadi mengingat pernah terjadi sehingga bisa di ulangi lagi. Kitong masih ingat bahkan ada disinggung di atas. Bahwa ketika perlawanan melawanan rasisme di Surabaya pecah di Papua. Kelompok elit Papua dan kelompok muda yang loyal terhadap negara yang diundang Jokowi ke Istana. Hasilnya kitong semua tahu. Tidak mengakomodir aspirasi rakyat Papua yakni penentuan nasib sendiri. Tapi yang diakomodir adalah kepentingan para elit Papua dan pemuda Papua oportunis. Otsus jilid II lanjut dan pemekaran wilayah disetuji Jakarta. Sebelum para pahlawan kesiangan itu di undang Jokowi ke Istana. Kota Manokwari, Sorong, Jayapura, Nabire dan beberapa kota lainnya di Papua terpanggang api rasialisme. Militerisme dikirim ke Papua. kitong dapat pukul mundur berlangka-langka.

Dan saya yakin bahwa ketika ujuran rasisme kepada Natalis Pigai hendak disikapi oleh aktivis Papua seperti ketika rasisme terjadi kepada mahasiswa Papua di Surabaya dan asil akhirnya adalah konflik horizontal antara orang Papua dan suku Batak di Papua, yang secara politik memiliki kekuatan politik etnis yang kuat di Papua, ditengah keadaan organisasi perjuagan yang belum disiplin pada prinsip dan strak politik serta belum solid. Ditambah ULMWP yang masih menyimpan kontroversi dengan UUDS dan Pemerintahan sementaranya itu. Maka kitong akan menyapu muka dengan sapu tangan kesahalan yang ke dua kali.

Jadi sa sarankan. Kitong tetap focus saja pada agenda kerja yang telah disepakati dan biarkan kelompok loyalis pada colonial yang melakukan perlawanan terhadap rasisme dengan menempuh jalur hukum yang sudah mereka buat. Jangan kitong mau terseret dalam arus yang belum kitong tahu kedalam airnya. Peluang yang sama tidak bisa datang ke dua kali kecuali disengaja atau ada mau maunya. Dan Rasisme masih terus terjadi sama kitong orang Papua kecuali kitong merdeka keluar dari NKRI.

 

Referensi:

 

Philipus Robaha
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan