Ekopol Sekelompok Pebisnis Sawit Menghancurkan Hutan Papua

Sekelompok Pebisnis Sawit Menghancurkan Hutan Papua

-

Sebelum saya menulis artikel ini, lebih utama saya menyampaikan beberapa hal terkait artikel ini. Yang pertama, artikan ini saya tulisan berdasarkan pengalaman saya teruatam diskusi-diskusi dan membaca yang berkaitan dengan perampasan tanah adat berkedok kesejahteraan untuk membukan akses bagi kapitalis untuk merampok kekayaan tanah Papua. yang kedua, para pembaca semua terutama pembaca artikel ini pasti memiliki data secara kualitatif maupun kuantitatif berkaitan dengan masalah perampasan tanah adat di Papua dan lebih khsus perusahan-perusahan sawit yang rakus dan haus membabat hutan Papua.

Banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok pemerhatin lingkung: ativis lingkungan, peneliti lingkungan dan kelompok-kelompok yang menaruh perhatian penuh pada soal-soal ekologi di Papua. Dari mereka kami memproleh informasi melalui riset-riset yang dilakukan dengan tujuan semua kalangan bisa ikut mengambil bagian dalam masalah ini, dan mencari tahu mengapa terjadi masalah ini. Mengapa setiap saat hutan Papua secara angka disebutkan sisa sekian dan ini terjadi setiap tahun, untuk menjawab ini saya menulis artikel ini dengan tujuan menganalisis terutama hubungan ekonomi poilitik untuk mengambil kekayaan dari tanah Papua.

Status seluruh tanah diseantero pulau Papua adalah Tanah adat. Tanah adat milik setiap marga dan suku. Jadi, “Papua bukan tanah Kosong”. Pada Mei 2016, awal MIFEE menerbitkan sebuah berita berjudul “The Salim Groups’s secret plantation in West Papua” (Perkebunan Terselubung Salim Group di Papua Barat), tentang empat konsesi yang dimiliki oleh Salim Grup di Papua Barat. Satu setengah tahun setelahnya, Salim Grup masih memperluas konsesinya, hal tersebut yang dapat mengancam  hutan Papua.

Salim Group adalah konglomerat industri yang beragam. Saling Group berkembang pesat selama kediktatoran Suharto. Sang pendirinya adalah Soedono Salim (Liem Sioe Liong), seorang mitra bisnis presiden yang paling terpercaya, dan melalui jaringan patronase dia juga membantu anggota-anggota keluarga dan kroni Suharto dalam membangun kerajaan bisnis mereka sendiri. Ketika pemerintah dan ekonomi ambruk pada tahun 1998, Salim mendapatkan pukulan yang lebih keras ketimbang para pesaingnya. Namun, anaknya, Anthony, telah membangun kembali kerajaan bisnis mereka. Merek perusahaan mereka yang paling terkenal berada di bawah label Indofood, termasuk mie instan Indomie.

Divisi perkebunan utama Salim Group, yang terdaftar di bursa efek Singapore, adalah Indofood Agri Resources. Anthony Salim adalah Presiden Direkturnya Indofood (perusahaan induknya Indo Agri Resources) dan memegang saham penting (meski bukan mayoritas saham). Namun, ada pengelompokan kelapa sawit lainnya yang belum diketahui secara luas yang juga bagian dari Salim Group. Sebelumnya perusahaan-perusahaan ini pakai nama Gunta Samba Group, khususnya ketika mereka sedang melakukan perekrutan pekerja lewat iklan-iklan dll, meski sekarang ini mereka sudah ganti nama menjadi Indogunta Group. Konsesi perkebunan yang diketahui di bawah Grup ini semuanya berlokasi di Kalimantan dan Papua. Struktur organisasi Indogunta dan bukti yang menghubungkannya dengan Salim Grup akan diperiksa secara rinci di bawah ini.

Indogunta Grup di Tanah Papua

Di Papua, Salim Group memiliki dua perkebunan kelapa sawit dan satu perkebunan jagung yang sudah membuka lahan, semua perkebunan ini hanya memulai melakukan penanaman dalam tiga tahun terakhir. Perusahaan ini juga memiliki dua konsesi lainnya yang ditenggarai memiliki sebagian besar izin yang diperlukan untuk beroperasi dan beberapa anak perusahaan lagi yang masih terhambat masalah perizinan. Konflik antara perusahaan dan masyarakat adat setempat telah muncul di beberapa konsesi ini, dan ada risiko tinggi bahwa konflik serupa akan muncul di tempat lainnya.

PT Bintuni Agro Prima Perkasa

PT Bintuni Agro Prima Perkasa telah menjadi sumber konflik di Lembah Kebar, Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat pada paruh kedua tahun 2017, saat perusahaan memperluas penanaman jagung. Penolakan warga lokal terhadap perkebunan tersebut cukup jelas: Pada 17 November 2017, 44 pemilik tanah adat setempat menandatangani sebuah pernyataan penolakan yang diorganisir melalui Gereja Kristen Injili di Tanah Papua.

Sejak kehadiran perkebunan jagung di wilayah adat Suku Mpur tepatnya di Wasabiti, Amawi, Wanimeri, Arui, Kebar, Ariks di Distrik Kebar Tiur pada Agustus 2015, yang dibawa oleh PT Bintuni Agro Prima Perkasa, banyak areal dusun sagu yang tergusur, hilangnya situs-situs dan benda bersejarah, musnahnya habitat hewan dan keanekaragaman hayati lainnya, kehadiran kebun jagung memberi peluang terjadinya konflik sosial di antara keluarga dan sub-sub marga dan bisa terjadi antara sub-sub- suku di tanah Kebar.

Sebuah pernyataan dari Front Pembela Lembah Kebar, yang dikeluarkan pada tanggal 28 November, mengklaim bahwa pemilik tanah adat tidak pernah terlibat dalam rapat atau negosiasi dengan perusahaan atau pemerintah. Mahasiswa dari Kebar juga telah mengeluarkan sebuah petisi online yang telah menarik lebih dari 130.000 pendukung sampai saat itu.

Cerita lengkap tentang bagaimana Kelompok Salim menanam jagung di Lembah Kebar masih belum dipahami oleh masyarakat dan pendampingnya. Izin lokasi awalnya diberikan kepada perusahaan ketika daerah tersebut masih merupakan bagian dari Kabupaten Manokwari dan izin prinsip pelepasan kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit telah dikeluarkan pada tahun 2009, yaitu pada tahun yang sama ketika Kabupaten Tambrauw dibuat sebagai akibat dari pemekaran. Perusahaan ini sepertinya tidak aktif selama bertahun-tahun, namun kemudian pada Juli 2014 dibeli oleh Salim Grup. Namun saat itu masih belum jelas apakah perusahaan ini masih memiliki ijin lokasi perkebunan kelapa sawit yang sah dan belum kadaluarsa.

Lahan tersebut akhirnya dilepaskan dari kawasan hutan pada 29 September 2014, salah satu izin terburu-buru yang dikeluarkan oleh mantan menteri kehutanan Zulkifli Hasan pada hari terakhirnya dalam pekerjaan tersebut. Kesamaan dengan banyak izin lainnya yang ia keluarkan, Hasan justru telah melanggar peraturan kementeriannya sendiri dengan melepaskan lahan hutan ke perusahaan yang tidak memiliki analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang disetujui oleh komisi penilai AMDAL. Namun dalam kasus PT BAPP dia melakukan kesalahan ceroboh lain dengan secara tidak sengaja melepaskan area yang lebih luas dari yang telah ditentukan. Dalam Surat Keputusan menteri Kehutanan yang menjelaskan bahwa tanah yang akan dibebaskan itu menyatakan bahwa 19.368 hektar yang akan dilepaskan, kurang dari luas lahan yang berlaku karena 13.021 hektar hutan primer tidak akan dilepaskan. Namun, peta yang menyertai keputusan tersebut berada di atas lahan seluas lebih dari 32.000 hektar, yang mana hutan primer juga termasuk di dalamnya.

Keputusan pelepasan hutan secara eksplisit menyatakan bahwa itu adalah untuk perkebunan kelapa sawit dan masih belum jelas bagaimana atau mengapa perusahaan tersebut di kemudian hari akan menggunakan izin ini untuk menanam jagung. Bupati Tambrauw mengeluarkan surat 551/296/2015 pada September 2015 yang dianggap sebagai izin lokasi baru. Permintaan oleh aktivis lokal untuk mendapatkan salinan dokumen ini ditolak (padahal ini informasi yang seharusnya dapat diakses oleh publik). Katanya Bupati hanya memberikan izin tersebut untuk masa percobaan dua tahun dan tidak akan diperpanjang karena adanya penentangan lokal, sekalipun demikian tak ada bukti tertulis yang dapat menunjang pernyataan tersebut. Sidang untuk Analisis Dampak Lingkungan diadakan di Sorong pada 29 September 2016, namun sekali lagi, ketika aktivis setempat mencoba tanya hasil dari sidang AMDAL tersebut, dari sidang Amdal tersebut, mereka tidak diberikan informasi.

Lembah Kebar merupakan wilayah kepentingan ekologis dan budaya,lebih dari itu adalah tanah adat. Pembagian wilayah berdasarkan peruntukannya,Lembah Kebar sebagai pusat peternakan,buka perkembunan. Bagian bawah lembah adalah gabungan padang rumput dan hutan, sesuatu yang unik di provinsi Papua Barat, dan spesies lokal yang dibanggakan adalah tanaman obat Biophytum Petersianum (dikenal sebagai rumput Kebar), tanaman yang hanya terdapat di Kebar dan tidak ada di bagian Papua lainnya namun dapat ditemukan di benua lainnya. Di hutan primer sebelah barat konsesi, masyarakat setempat telah melaporkan bahwa kanguru pohon masih ada, dan lereng gunung menyediakan habitat bagi Vogelkop Bowerbird (burung Namdur Polos atau burung pintar), yang dikenal dengan keunikan dan keterampilan individualnya dalam arena jantan untuk menarik pasangan.

PT Rimbun Sawit Papua.

PT Rimbun Sawit Papua telah beroperasi sejak sekitar tahun 2015, mereka telah membuka perkebunan sawit di dataran Bomberay di Kabupaten Fakfak, yang juga memiliki karakteristik padang rumput dan savana.

Pada 2017, sebuah konflik yang berpotensi serius muncul di antara dua suku yang berbeda, yang keduanya mengklaim sebagai pemilik lahan adat dari sebagian konsesi perkebunan. Perusahaan sudah membayar kompensasi kepada orang Mor dari desa Mitimbir, sebuah sub-sukunya suku Mbaham. Namun, orang Irarutu dari kecamatan Aroba di Kabupaten Teluk Bintuni juga mengklaim lahan yang sama.

Menurut kelompok Irurutu, mereka telah menyatakan klaim mereka kepada perusahaan secara tertulis, dan kemudian melakukan tindakan di lapangan beberapa kali sepanjang Maret 2017, mencoba menerapkan larangan adat untuk pembukaan lahan sampai perselisihan diselesaikan. Namun, perusahaan terus beroperasi, sebuah masalah yang menurut perwakilan orang Irarutu telah menyebabkan kemarahan yang meningkat. Menurut Irarutu, aparat keamanan negara juga telah mengintimidasi orang-orang dari kelompok mereka. Ketegangan tidak hanya ditujukan pada perusahaan – beberapa perwakilan masyarakat mengatakan bahwa mereka siap untuk memulai perang suku terkait masalah ini.

Ketika ditanya pada September 2017,seorang anggota Dewan Adat Mbaham-Matta, yang terlibat dalam usaha untuk memfasilitasi sebuah penyelesaian, mengatakan bahwa saat itu konflik tersebut masih berlanjut.

PT Subur Karunia Raya

PT Subur Karunia Raya dibeli oleh Salim Grup pada 2010, dan mulai membuat tempat pembibitan pada 2015 setelah mendapatkan izin yang diperlukan. Perkebunan tersebut berada di Distrik Meyado, sebelah utara kota Bintuni, Provinsi Papua Barat. Daerah tersebut hampir seluruhnya berhutan sebelum pembukaan lahan dimulai. Hutan di kawasan tersebut diklasifikasikan sebagai hutan sekunder.

Meski organisasi masyarakat adat dan LSM setempat mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya konflik tanah yang besar di dalam kawasan konsesi, namun tidak ada penyelidikan terperinci untuk memastikan bagaimana tanah tersebut diperoleh dari pemilik lokal, atau apakah masyarakat setempat menyetujui perkebunan tersebut atau tidak.

 PT Menara Wasior

Konsesi PT Menara Wasior merupakan campuran hutan primer dan sekunder di sebelah selatan dan barat Teluk Wondama di provinsi Papua Barat. PT tersebut dibeli oleh Indogunta Group pada Desember 2014 dari Jef Setiawan Winata, pengusaha yang juga menjual PT Rimbun Sawit Papua. Konsesi ini belum berjalan dan selangkah lagi berjalan ketika pada 20 September 2017, ketika Menteri Kehutanan Siti Nurbaya menandatangani Keputusan 16/1 / PKH / PMDN / 2017 yang telah melepaskan lebih dari 28.000 hektar kawasan hutan untuk kepentingan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Ada penolakan yang cukup kuat terhadap perusahaan dari penduduk Kecamatan Naikere, Kuriwamesa dan Rasiei, yang juga memiliki hak atas tanah adat atas konsesi tersebut. Hal ini diungkapkan dengan jelas pada April 2015 ketika perusahaan melakukan konsultasi publik untuk penilaian dampak lingkungannya.

Oleh karena itu, sangat mungkin jika perusahaan harus melakukan pengklaiman bahwa mereka telah mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah adat, meski jelas bahwa ini tidak akan mewakili keinginan seluruh masyarakat. Apalagi ekspansi agresif oleh industri yang berfokus pada eksploitasi sumber daya merupakan isu yang sangat sensitif di kawasan Teluk Wondama. Pada 2000, sebuah insiden di konsesi penebangan terdekat memicu gelombang represi militer terhadap penduduk asli Papua, sesuatu yang membuat banyak kaum adat Papua masih mengalami trauma sampai hari ini. Meskipun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjuk insiden tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat, belum ada proses yang memadai untuk menyelidiki apa yang terjadi dan menemukan sebuah resolusi yang dapat diterima oleh para korban. Dalam keadaan seperti itu, untuk memperbolehkan perusahaan baru beroperasi di wilayah tersebut, sementara konsen yang sepenuhnya belum tercapai secara eksplisit, maka perilaku ketentuan seperti itu tidak hanya tidak bertanggung jawab tapi juga kejam.

PT Tunas Agung Sejahtera

PT Tunas Agung Sejahtera dibeli oleh Indogunta Group pada Januari 2017. Perusahaan ini memiliki perkebunan seluas 40.000 hektar di bagian terpencil pantai selatan Papua, di Kabupaten Mimika. Namun terletak sekitar 180 km dari kota Timika, kota terdekat.

Sebelum dijual ke Indogunta Group, PT TAS dimiliki oleh PT Pusaka Agro Sejahtera, perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga Yasa, yang memiliki spesialisasi dalam mendapatkan izin untuk perkebunan di seluruh Tanah Papua, namun kemudian menjualnya ke pemilik baru yang pada akhirnya akan mengoperasikan perkebunan tersebut. Akta perusahaan PT TAS menunjukkan bahwa upaya sebelumnya untuk menjual konsesi kepada pembeli yang berbeda mungkin telah gagal – saham dipindahkan ke sebuah perusahaan lepas pantai pada bulan Agustus 2013 namun kembali ke PT Pusaka Agro Sejahtera pada bulan Juni 2016. Perusahaan tersebut akhirnya dijual ke Grup Indogunta pada Januari 2017

Pola pembelian konsesi dari para makelar ini setelah sebagian atau semua izin yang dibutuhkan telah diperoleh adalah praktik yang cukup umum di Papua, namun pola seperti ini juga sama sekali tidak membuat kesan bahwa izin tersebut diperoleh secara jujur dan sesuai aturan. Meskipun tidak ada indikasi penyimpangan mengenai izin yang dikeluarkan di tingkatan lokal atau provinsi, izin pembebasan hutan dari kementerian dianggap bermasalah. Seperti halnya PT Bintuni Agro Prima Perkasa di atas, izinnya dikeluarkan pada minggu terakhir masa jabatan Zulkifli Hasan sebagai Kementerian Kehutanan, tepat sebelum penilaian dampak lingkungan telah disetujui, suatu proses yang bertentangan dengan peraturan menteri. Beberapa bulan sebelumnya, areal konsesi juga telah dihapus dari peta wilayah yang tercakup dalam moratorium izin-izin baru di kawasan hutan primer. Hal ini terjadi setelah perusahaan terkait menulis surat kepada kementerian yang mengklaim bahwa hutan tersebut merupakan hutan sekunder.

Tidak ada informasi yang tersedia mengenai bagaimana perusahaan mendekati masyarakat untuk menegosiasikan akses terhadap tanah tersebut. Namun di daerah terpencil seperti itu, ada risiko tinggi bahwa dampak pembangunan perkebunan akan sangat parah bagi orang Kamoro yang tinggal dan bergantung pada hutan dan sungai di sana.

Konsensi di Kabupaten Mappi

Pada 2013, empat perusahaan Grup Indogunta mendapatkan izin lokasi untuk perkebunan di sub-distrik Assue, sebuah daerah terpencil di sebelah utara Kabupaten Mappi di sebelah tenggara Provinsi Papua. Perusahaan tersebut adalah PT Putra Palma Cemerlang, PT Remboken Sawit, PT Ekolindo Palm Nusantara dan PT Ekolindo Palm Lestari.3

Belum ada kabar tentang izin lebih lanjut yang dikeluarkan untuk perusahaan-perusahaan ini, dan oleh karena itu masih belum jelas apakah mereka akan melanjutkan rencana investasi atau tidak. Pada Juni 2015, kepemilikan keempat konsesi direorganisasi. Setelahnya, hanya PT Ekolindo Palm Lestari yang bisa dikonfirmasi masih memiliki hubungan yang kuat dengan Salim Group, danan sekarang perusahaannya masih melakukan aktifitasnya wilayah selan Papua

Sebuah Peninjauan Atas Indogunta Group

Indogunta Group bukanlah grup korporat tradisional, dalam artian perusahaan induk yang memiliki beberapa anak perusahaan. Namun ada sekitar 20 konsesi di Kalimantan dan Papua yang tampaknya memiliki kesamaan manajemen. Pengelompokan ini yang disebut Indogunta Group. Konsesi di Papua telah dijelaskan di atas. Konsesi Kalimantan yang diduga menjadi bagian dari kelompok ini meliputi PT Duta Rendra Mulia dan PT Sawit Khatulistiwa Lestari di Kalimantan Barat, PT Sawit Berkat Sejahtera di Kalimantan Utara dan PT Gunta Samba Jaya, PT Berau Sawit Sejahtera, PT Wira Inova Nusantara, PT Duta Sejahtera Utama, PT Cipta Palma Sejati, PT Wahana Tritunggal Cemerlang, Perkebunan PT Perdana Sawit, PT Sawit Golden Prima,  PT Wahana Murni Plantation, PT Sawitindo Plantation dan PT Anekareksa International di Kalimantan Timur.

Pemilik langsung dari semua perusahaan perkebunan ini adalah satu atau lebih dari perusahaan berikut: PT Andhika Wahana Putra, PT Mulia Abadi Lestari, PT Cahaya Agro Pratama, PT Bumi Surya Kencana atau PT Citra Kencana Kasita. Ini semua adalah perusahaan induk, tanpa aset lain yang diketahui selain perusahaan perkebunan. Dalam sebagian kasus ada lebih beberapa tingkatan kepemilikan perusahaan sebelum pemilik sebenarnya terungkap. Namun, pemilik tertinggi ini telah dilacak dan mereka semua adalah individu.

Anthony Salim adalah pemilik resmi PT Citra Kencana Kasita, yang memiliki saham mayoritas PT Duta Rendra Mulya. Namun, namanya tidak muncul di daftar saham perusahaan lain, juga tidak ada anggota keluarga yang diketahui. Sesuatu yang cukup jelas sebenarnya bahwa perusahaan-perusahaan tersebut merupakan bagian Salim Grup sehingga perlu dipertahankan.

Fakta bahwa saham di sebagian besar perusahaan perkebunan ini dimiliki oleh individu selain Anthony Salim atau keluarganya tidak dapat dianggap sebagai bukti bahwa perusahaan tersebut bukanlah bagian dari Salim Grup. Sangat umum di Indonesia bagi perusahaan untuk menyembunyikan beneficial owner-nya di balik pemilik legal yang telah setuju untuk menggunakan namanya di daftar saham. Dalam hal ini beneficial owner akan mengendalikan perusahaan melalui serangkaian kontrak notaris.

Kasus serupa disoroti pada Desember 2017 oleh penyelidikan yang dilakukan Associated Press yang menemukan bahwa banyak perusahaan yang memasok kayu ke pabrik pulp Sinar Mas, yang diklaim independen oleh Sinar Mas, sebenarnya terdaftar atas nama individu yang bekerja di departemen keuangan Sinar Mas. Ini menimbulkan dugaan bahwa pemilik saham (legal owner) hanya sekadar menyandang nama perusahaanya, sementara individu lain yang tidak diketahuilah yang menerima keuntungan dari bisnis mereka.

Contoh jelas lainnya dari pemilik saham tersembunyi adalah Menara Group, yang antara tahun 2007 dan 2013 menargetkan kabupaten yang diketahui korup di Papua dan Maluku untuk mendapatkan areal konsesi yang luas atas nama beberapa perusahaan induk: tujuh perusahaan dapat konsesi di Kabupaten Boven Digoel dan 28 di Kepulauan Aru. Masing-masing perusahaan memiliki dua individu sebagai pemegang saham, orang yang berbeda untuk masing-masing perusahaan lain, namun perusahaan tersebut menyebut diri mereka sebagai ‘Menara Group’ dan mengajukan izin pada saat bersamaan. Jelas tidak mungkin bahwa sebagian besar pemegang saham ini adalah pemegang kendali sebenarnya, mereka hanyalah perantara bagi pemangku kendali yang sebenarnya – dikabarkan politisi dan mantan kepala polisi nasional serta duta besar merupakan individu-individu yang terlibat di dalamnya.

Hubungan dimana pemilik legal (yaitu pemegang saham resmi) menyerahkan kontrol kepada beneficial owner dikenal sebagai perjanjian pinjam nama (nominee agreement). Hal ini, secara teknis, ilegal di Indonesia berdasarkan pasal 33 undang-undang 25 tahun 2007 tentang penanaman modal yang melarang investor membuat kesepakatan dimana saham di perusahaan dimiliki atas nama orang lain. Namun, banyak perusahaan telah menantangi undang-undang ini dengan menggunakan teknik yang dikenal sebagai perjanjian pinjam nama tidak langsung. Mereka menciptakan serangkaian kesepakatan yang masing-masingnya berurusan dalam hal pengaturan aspek hak pemegang saham yang berbeda-beda, yang bila digabungkan membentuk persamaan yang efektif dari sebuah perjanjian pinjam nama yang bersifat langsung. Strategi ini jatuh ke ranah legal yang sifatnya masih abu-abu, di mana akan sulit bagi hakim untuk membuktikan bahwa undang-undang tersebut telah dilanggar.

Lembaga Transparansi Internasional dan Komisi Pemberantasan Korupsi telah meminta transparansi lebih pada beneficial owner perseroan terbatas di Indonesia.

Salim Group memiliki lebih banyak pengalaman daripada kebanyakan perusahaan dalam menemukan cara untuk menyembunyikan beneficial owner usaha bisnisnya yang sesungguhnya. Pada 1950-an, saat Liem Sioe Liong memulai bisnis, pemerintah membuat aturan ketat pada non-WNI untuk memiliki bisnis, aturan ketat ini mempengaruhi banyak pengusaha kelahiran Cina. Akibatnya, ia terpaksa menggunakan nama warga negara Indonesia untuk mendaftarkan bisnisnya pada saat itu. Kemudian, sebagai mitra bisnis yang diinginkan Suharto, dia diharapkan dapat mengumpulkan dana dari komunitas bisnis untuk mendukung rencana Suharto dan memastikan partai pilihannya memenangkan pemilihan, dan kemudian membantu memastikan nasib anak-anak Soeharto. Kurangnya transparansi mengenai kepemilikan saham akan mempermudah membangun jaringan patronase ini.

Setelah keruntuhan tahun 1998, banyak aset Salim dipindahkan ke perusahaan bernama Holdiko Perkasa untuk membayar hutang kelompok tersebut. Anthony Salim diyakini telah mencoba untuk membeli kembali beberapa aset ini dengan menggunakan perantara, sesuatu yang pada waktu itu tidak ilegal sampai Mendagri Rizli Ramli melarang mantan konglomerat untuk memulihkan aset yang disita pada tahun 2000. Ada spekulasi yang belum terbukti bahwa Salim masih terus menggunakan perantara setelah hal tersebut menjadi ilegal, termasuk melalui taipan media Hary Tanoesoedibjo. Entah dia melakukan atau tidak, sudah barang pasti dia cukup sadar mengenai konsekuensi legal dan teknik-teknik macam apa untuk dapat menelikungnya.

Sementara bukti bahwa adanya kesepakatan pinjam nama tidak dapat dibuktikan dalam kasus ini, ada lebih dari cukup bukti untuk menghubungkan perusahaan Indogunta ke Salim Grup. Memang, kelompok tersebut tidak berusaha keras untuk menyembunyikan hubungannya: tipografi dan grafik yang digunakan pada logo Indogunta dan IndoAgri cukup identik.

Ini gambaran besar terutama bisnis sawit di Papua, ada kelompok group khusus yang mengendalikan bisnis ini dan bermain dibalik layar politik-ekonomi negara hari ini termasuk berpengaruh juga pada pengesahan Undang-undang. Kita telusiri baik soal izin terutama keterkaitan dengan kontrak politik antara elitis lokal Papua dan para pembisnis ini. Ini sebelum adanya Undang-undang Omnibus Law, sekarang Unadang-undang ini sudah ditetapkan sebagai produksi hukum, apa masa depan hutan ada masyarakat adat Papua ? pasti habis dan punah diatas tanah sendiri.

**

 

Maximus Sedik
Penulis adalah anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan sedang kuliah di Yogyakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan