Setelah deklarasi kemerdekaan Papua pada 1 Desember 1961, kehidupan rakyat Papua mengalami perubahan secara drastis. Pasalnya tanggal 19 desember 1961, Indonesia yang bernafsu ingin menguasai Papua meluncurkan operasi militer pertama yang dikenal sebagai operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) dengan tiga misi utama yaitu, bubarkan negara West Papua, kibarkan Merah Putih di Papua, dan mobilisasi umum untuk menduduki Papua.
Kemudian 2 Januari 1962, Soekarno membentuk Komando Mandala yang diketuai oleh Jenderal Soeharto sebagai panglima. Berbagai operasi-operasi militer terus dilancarkan hingga 1963. Frans Lieshout, misionaris dari Ordo Fratrum Minorum (OFM) sebagai saksi mata waktu itu mencatat, fase ini selain sebagai fase awal infiltrasi Indonesia, juga menandai awal pintu masuk kekerasan terstruktur di atas tanah Papua. “Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan seperti segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut di pinggir jalan, mungkin benar-benar demikian. Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang dirampas dan dikirim ke Jakarta,” (2020: 593).
Selanjutnya setelah peristiwa 1965, Soekarno dikudeta dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, latar poltik yang menggunakan kekerasan di Papua pun semakin tidak bisa dikendalikan. Tuntutan merdeka orang Papua di anggap hanya sebagai “bom waktu yang ditinggalkan Belanda” atau buah dari hasutan kelompok liar, bukan sebagai hak politik bangsa Papua sebagai bangsa yang beradab. Maka itu kebijakan yang diambil untuk menumpas gerakan rakyat adalah menghancurkan secara fisik (membunuh) dengan menggelar operasi militer berkesinambungan dari tahun ke tahun.
Sejak 1961 hingga 1998 tercatat 15 rangkaian operasi militer telah dilancarkan, 500 ribu orang dikabarkan meninggal di tangan militer, ribuan perempuan diperkosa, ada yang vaginanya ditusuk dengan besi panas tembus mulut, rumah warga dihancurkan seperti di Kelila dan Mapenduma, TNI memperkosa perempuan dewasa di depan suaminya, menelanjangi kepala suku di depan warganya seperti di Tiom dan berbagai kejahatan-kejahatan mengerikan di tempat lainya. Lalu berlanjut di tahun 2004, hingga sekarang di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Ilaga, dan seluruh tanah Papua.
Tidak hanya itu, berbagai konsensi-konsensi pelepasan tanah adat juga dilakukan tanpa melibatkan orang Papua, mulai dari Freeport, LNG, hingga Korindo Group yang menguasai 57 ribu hektar hutan Papua. Data Greenpeace Indonesia menunjukan sementara ini ada 211 perusahan yang menguasai sekitar 636.099.744 hektar hutan Papua. Sementara itu, sekitar 240 perusahan tambang mengeruk bumi Papua. Total luas lahan yang dirampas untuk tambang mencapai 9.110.793 hektare, dengan 5.932.071 hektar di provinsi Papua dan 3.178.722 hektare sisanya di Provinsi Papua Barat.
Laju penggundulan hutan dan perampasan hutan adat terus meningkat setiap tahunnya. Sedangkan manusianya ditembaki sehingga mati lebih cepat. Masyarakat adat, mahasiswa, dan aktivis yang mengecam ini dengan melakukan perlawanan untuk menolak dan mempertahankan haknya dicap sebagai separatis dan teroris lalu dikriminalisasi. Selain itu banyak juga yang dipenjara dan dibunuh diluar proses hukum. Pelakunya hanya satu, yakni militer yang difasilitasi langsung oleh pemilik modal.
Upaya-upaya pembungkaman, teror dan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan menunjukan bahwa aparat keamanan berusaha menutupi kejahatan kemanusiaan dan alam di Papua. Kolaborasi yang kuat antara militer dan pemodal dan disertai intimidasi terhadap rakyat merupakan praktek-praktek yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Tetapi kenyataan menunjukan masih dilakukan sampai saat ini, bahkan didukung oleh hukum, penguasa dan negara. Inilah praktik penguasa dan rezim militer yang tunduk dibawah sistem kapitalisme.
Kapitalisme selalu menggunakan berbagai cara, termasuk kekerasan demi keuntungan. Menurut Leon Trotsky dalam bukunya Revolusi Permanen mengatakan, “Kebangkitan militer di bangsa-bangsa dunia ketiga adalah ekspresi dari keterbelakangan modal dan kelemahan borjuasi nasional.” Indonesia yang sejak 1965 ekonominya didominasi oleh imprealisme global di satu sisi telah menghambat bahkan menghalangi industrialisasi nasional namun di sisi yang lain tetap mendorong pertumbuhan kelas borjuasi nasional yang sejak lahir memiliki sifat sebagai mahluk politik yang merupakan borjuasi komprador. Khusus Orde Baru, utamanya adalah kapitalis bersenjata atau militerisme yang banyak perwujudannya di kalangan keluarga dan kroni Soeharto. Sehingga dalam aktivitas-aktivitas akumulasi modal di era Orde Baru dan diwariskan hingga sekarang, khususnya di Papua utamanya menggunakan kekerasan dan penundukan sebagai senjata utama. Karl Max menyebut proses ini sebagai akumulasi primitif.
Imperialisme menurut Vladimir Lenin adalah tahapan tertinggi dari kapitalisme. Secara ekonomi hal utama dalam proses ini adalah pergeseran kapitalisme bebas oleh kapitalisme monopoli. Agar kapitalisme bisa mengeruk keuntungan-keuntungan yang jauh lebih besar daripada yang bisa dihasilkan pasar dalam negeri maka diperlukan penyatuan bank-bank dan kartel-kartel industrial untuk memproduksi kapital finansial serta ekspor kapital ke negara-negara ekonomi terbelakang. Negara-negara ekonomi terbelakang yang seringkali juga merupakan negara-negara dunia ketiga kekurangan pendanaan untuk pembangunan karenanya cenderung membuka diri pada investasi kapital global. Namun sebagai gantinya, alih-alih berhasil menciptakan pembangunan pemberdayaan dan kesejahteraan perilaku finansial kapitalisme global demikian berujung pada pembagian dunia ke dalam ranah kekuasaan perusahaan-perusahaan bisnis kapitalisme monopoli sekaligus negara-negara besar. Bahkan bisnis-bisnis kapitalisme dan pemerintahan-pemerintahan borjuis negara besar pada akhirnya akan menciptakan konflik geopolitik akibat eksploitasi ekonomi skala luas terhadap wilayah maupun penduduk dunia. Demikianlah imperialisme menjadi tahapan tertinggi kapitalisme dimana kapital finansial berperan menyokong kolonialisme yang bersifat hakiki dalam model ekonomi itu. Dengan laba super yang dihasilkan imperialisme lewat eksploitasi terhadap rakyat dan ekonomi negara yang diperasnya maka imperialis juga bisa menggunakannya untuk secara lebih masif untuk membeli barisan elit politisi, pejabat, dan petinggi militer-kepolisian bukan hanya untuk melanggengkan operasinya namun juga secara agresif menindas gerakan rakyat. Persis hal ini pula yang menimpa Papua.
Imperialisme atau kapitalisme global menghisap sumber daya alam Papua dengan perantaraan pendudukan dan militerisme Indonesia. Sejarah membuktikan banyak rakyat Papua yang menolak kehadiran Freeport atau Blok Wabu sekarang misalnya, akan diburu seperti hewan buruan, dipenjarakan lalu mati ditembak militer atas perintah pemodal. Perusahaan-perusahaan kapitalis yang dilindungi dan dilayani militerisme serta rezim borjuis di Indonesia bukan hanya mengeksploitasi kekayaan alam dan buruh di Papua namun juga penindasan terhadap pribumi Papua dan perusakan lingkungan di Papua. Oleh karena itu, perjuangan pembebasan nasional Papua untuk mewujudkan kemerdekaan politik merupakan perjuangan melepaskan diri dari belenggu imperialisme.
Pertama, karena sebagai salah satu urat nadi Imperialisme sekaligus militerisme dan rezim borjuis pelayanannya, kemerdekaan Papua tidak hanya akan memutus rantai penindasan namun juga membuka ruang demokrasi terhadap rakyat Papua untuk bebas mengekspresikan dirinya di atas tanah airnya sendiri. Kedua, karena kemerdekaan Papua akan membawa keluar rakyat Papua dari rasisme terstruktur dan militerisme Indonesia. Ketiga, karena akan melemahkan imperialis dan pemerintahan borjuis Indonesia dengan begitu mempermudah gerakan rakyat di Indonesia untuk menghancurkan dominasi borjuis nasional dan akan mempercepat revolusi sosialis, bahkan juga akan membantu rakyat Papua untuk melancarkan revolusi sosialis di Papua dan kawasan pasifik. Keempat, kemerdekaan Papua akan mempercepat pembelahan masyarakat di atas garis kelas. Dengan demikian pembentukan kelas buruh dan rakyat pekerja di Papua yang memisahkan diri dari borjuasi nasional serta kapitalis birokrat Papua akan semakin mempererat internasionalisme revolusioner dan solidaritas antar kelas buruh sedunia.
Perlu digarisbawahi bahwa kemerdekaan Papua bukanlah tahap akhir dari perjuangan rakyat tertindas. Namun sebagai tahap awal dalam upaya penggulingan militerime dan kapitalisme-imperialisme, dan selanjutnya mendirikan masyarakat sosialis atau masyarakat yang alat produksi dan hasil produksi diatur dan dijalankan secara demokratis oleh rakyat sendiri. Menurut Victor Yeimo, “Jika sejarah kolonialisasi Papua didasari oleh motivasi ekonomi politik, maka teori Marxisme ilmiah sangat perlu dalam gerakan Papua Merdeka. Sebab, Marxisme selain sebagai metode ilmiah tetapi juga praksis-kombinasi teori dan praktek, sekaligus akan membantu kita menganalisis struktur penindasan di Papua, serta menyarankan praktek revolusi. Pemahaman realitas (teori) harus diartikulasikan dalam perlawanan untuk merubah realitas.”
Dalam kasus Papua, harus ada kesadaran revolusioner dalam massa rakyat Papua itu sendiri. Ini berarti, menurut Victor Yeimo “Rakyat Papua yang mengalami penindasan struktural harus diorganisir dalam organisasi gerakan revolusioner. Harus dibangun struktur massa rakyat yang revolusioner, lalu membangun budaya perlawanan dengan metode-metode praksis, militan, progresif dan revolusioner”.
Organisasi yang dibutuhkan adalah organisasi idelogis sekaligus politis dengan keanggotaan yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk perjuangan. Sehingga tidak cukup hanya organisasi mahasiswa yang keanggotannya terbatas saat berkuliah atau organisasi kaum muda yang keanggotanya terbatas saat usia muda, namun harus melampaui itu. Organisasi itu adalah partai revolusioner.
Partai Revolusioner
Kapitalisme-imperialisme yang menggunakan aparat militer Indonesia, melakukan penghisapan serta penindasan terhadap rakyat Papua, dan telah melanggengkannya selama 50 tahun lebih dengan menggunakan berbagai cara. Bukan hanya melalui kekerasan senjata, manipulasi status hukum dan teror, melainkan juga penyebaran ideologi penindas untuk memanipulasi kesadaran rakyat. Semua penindasan itu dilakukan oleh rezim secara terorganisir. Sehingga perjuangan untuk menggulingkan tirani demikian haruslah terorganisir pula.
Sejarah revolusi-revolusi di berbagai belahan dunia telah membuktikan: bahwa kemenangan 100% rakyat tertindas dalam merebut kemerdekaan dari penindas tidak akan terwujud tanpa sebuah partai revolusioner. Dalam kasus Papua, berbagai organisasi perjuangan massa (seperti organisasi mahasiswa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Solidaritas Nasional Mahasiswa Dan Pemuda Papua (Sonamappa) terutama, tetapi tidak terbatas padanya saja) dapat menjadi tuas pengungkit yang kuat di dalam kemenangan revolusi, tetapi mereka hanya bisa memenuhi peran ini bila dipandu oleh sebuah partai revolusioner, dimana melaluinya pengaruh kaum revolusioner menjadi faktor yang menentukan di dalam organisasi-organisasi perjuangan rakyat Papua.
Vladimir Lenin mengembangkan Kepeloporan Revolusioner dengan lapisan paling maju dan sadar kelas dari proletariat harus mengorganisir diri membentuk organisasi politik demi menarik lapisan lebih luas dari kelas buruh serta memenangkanya ke poltik revolusioner sekaligus menjadi perwujudan angkatan politik proletar melawan musuh-musuh kelasnya. Dalam konteks Papua, partai revolusioner ini harus menggalang lapisan paling maju kelas proletar di Papua dan memimpin perjuangan rakyat Papua.
Terkait kepemimpinan perjuangan harus dipahami bahwa dalam gerakan sosial apapun selalu ada pelopor dan ada massa. Artikel di koran Arah juang edisi 108 bertajuk Mengapa Kita Butuh Partai Revolusioner, menjelaskan, “Para pelopor adalah mereka yang lebih tegas, lebih berkomitmen, lebih maju kesadaran-pemikiranya-penguasan teorinya, lebih terorganisir dan mampu memimpin perjuangan. Sedangkan massa, adalah sejumlah besar orang yang berpartisipasi dalam perjuangan atau semata terlibat karena posisi sosialnya namun kurang berkomitmen atau kurang tetap terlibat pergerakan serta hanya berpartisipasi dalam momen-momen menentukan sejarah. Meskipun demikian hubungan antara pelopor dan massa bersifat dinamis, pelopor bisa turun sekadar jadi massa sedangkan mereka yang dulunya sekadar massa juga bisa berkembang jadi pelopor.”
Namun sebelum beranjak lebih jauh, perlu dipahami bahwa dalam tahapan awal, ditambah kondisi non-revolusioner seperti sekarang ini, pekerjaan dasar dari partai revolusioner adalah membangun kesadaran massa yakni: meliputi mengorganisir propaganda, lewat media-media partai terutama koran revolusioner, mengorganisir edukasi atau pendidikan buruh dan massa rakyat, lewat lingkar-lingkar belajar masyarakat adat, buruh tambang, buruh tani, dan sebagainya–tentang bagaimana kita dihisap, dimiskinkan, dan disingkirkan kapitalisme, mengapa kapitalisme menindas perempuan Papua, apa kerusakan alam akibat kapitalisme, dan sebagainya–intervensi/partisipasi dalam berbagai momen perjuangan sembari menarik lapisan majunya untuk bergabung, dan bilamana sudah mencapai perkembangan kuantitatif-kualitatif, sebagai partai massa, lalu kemudian nantinya bisa memimpin perjuangan dalam momen-momen menentukan.
Dalam kasus rasisme 2019 misalnya, seluruh elemen rakyat di Papua keluar ke jalanan, melumpuhkan kota-kota, menghancurkan kantor-kantor pemerintahan kolonial, pos-pos militer, bandara udara, dan sebagainya; rakyat mengutuk rasisme dan menuntut kemerdekaan bagi Papua sebagai solusi mengakhiri penindasan. Banyak aktivis dan organisasi di luar negeri mendukung bersolidaritas. Rakyat Indonesia juga terbagi, sebagian ikut memprotes premanisme dan pelanggaran HAM, sebagian turut mendukung perjuangan anti rasisme, bahkan ada juga yang turut mendukung hak menentukan nasib sendiri. Namun karena ketiadaan kepoloporan revolusioner, aksi rakyat yang berkembang pada saat itu akhirnya mengambil karakter spontan, berkembang cepat namun diredam juga cepat. Tidak ada yang mempropagandakan hubungan serangan rasis terhadap asrama mahasiswa Kamasan di Surabaya dengan rasisme terstruktur. Tidak ada yang mempropagandakan bahwa rasisme terhadap Papua tidak bisa dituntaskan hanya dengan pengadilan terhadap preman-preman rasis-sauvinis Indonesia. Tidak ada yang memblejeti bahwa rasisme terhadap Papua terkait dengan pendudukan militerisme serta imperialisme. Tidak ada yang secara sistematis-masif mempropagandakan perjuangan melawan rasisme terhadap Papua harus dihubungkan dengan mendesaknya hak menentukan nasib sendiri, dengan strategi taktik revolusioner, dengan pemogokan massa, dengan perebutan alat produksi dan seluruh aset strategis di Papua, dan–tentu saja–dengan seruan seluruh kekuasaan untuk rakyat Papua. Demikianlah betapa tak tergantikannya kebutuhan atas kepeloporan revolusioner, kebutuhan atas organisasi partai sosialis revolusioner bagi kelas buruh dan rakyat Papua, dan ketiadaannya berpengaruh besar bagi perjuangan.
Namun mengapa harus pelopor dan bagaimana ia mempraktikkan kepeloporannya? Sebagai lapisan paling maju, partai revolusioner harus menunjukkan bahwa ia paling di depan, paling di awal, paling tanggap, paling sigap dalam merespon segala bentuk penindasan maupun kesewenangan, serta menariknya ke dalam kesimpulan perlunya perjuangan pembebasan nasional untuk menggulingkan tirani dan menghapuskan sistem penghisapan. Dengan memainkan peran kepeloporan, massa rakyat bukan hanya bisa diyakinkan akan kebenaran ideologi, analisis, dan cita-citanya namun juga akan percaya akan kepemimpinannya dan bersedia mengikuti perjuangannya.
Selain itu, dengan adanya partai revolusioner juga akan memainkan peran sebagai ingatan sejarah perjuangan rakyat Papua lintas generasi. Rakyat tertindas, secara perorangan kemampauannya terbatas. Mereka bisa menua, patah semangat dan mati. Tanpa organisasi, pengalaman berjuang, menang dan kalahnya, bisa ikut hilang bila dia mati. Namun partai revolusioner melalui kerja penulisan koran, pembuatan buku, pengarsipan, kajian teori dan sejarah, bukan hanya menarik pelajaran dari kekalahan dan kemenagan perjuangan masa lalu. Melainkan juga menarik prinsip-prinsip umum sekaligus kesimpulan, termasuk berbagai revolusi sosialis di dunia, yang bisa digunakan masa kini maupun berikutnya. Termasuk agar partai revolusioner mengambil langkah-langkah yang tepat seperti di masa lalu yang terbukti efektif mengantarkan perjuangan rakyat tertindas pada kemenangan. Maupun mengingat kekalahan perjuangan di masa lalu sebagai peringatan agar tidak diulangi apabila situasinya sama.
Dalam konteks Papua, ketiadaan kerja-kerja partai revolusioner seperti disebutkan di atas dalam perjuangan rakyat Papua telah, selain, membuat kita kehilangan sejarah-sejarah perjuangan perlawanan terdahulu, juga membuat model perjuangan Papua dari tahun ke tahun relatif mengulangi model perjuangan yang sama.
Seperti misalnya, konsep persatuan yang selalu disalahpahami bahwa “Sudah bersatu, berarti sudah siap bikin negara” sehingga selalu merubah dari front persatuan menjadi trias politika atau konsep semi negara dengan struktur negara, undang-undang, dan sebagainya. Dalam tulisan Jhon Gobay Dari New Gunea Raad Sampai ULWMP: Tentang Persatuan, menunjukan dengan jelas bahwa sejak tahun 1961 model perjuangan dengan merubah front persatuan menjadi semi negara sudah dilakukan oleh New Gunea Raad namun tidak membuahkan kemerdekaan. Belanda meninggalkan Papua dan kemudian Indonesia menduduki.
Konsep yang sama kemudian diulangi pada 1971 oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di bawah kepemimpinan Seth J Rumkorem, hasilnya kemerdekaan tidak terwujud, gerakan pecah dan Seth J. Rumkorem lari ke luar negeri. Metode yang sama kembali dilakukan pada 1988 namun hasilnya sama dan Thom Wanggai dibunuh. Memasuki reformasi ada Presidium Dewan Papua (PDP) di bawah kepemimpinan Theys H. Eluay tahun 2000 dan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) (2011) yang memakai konsep semi negara, dan lagi-lagi hasilnya menemui jalan buntu.
Sekarang konsep yang sama diulanggi Benny Wenda, Edison Waromi, Sem Karoba, dan sebagainya, dengan merubah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dari front persatuan yang sifatnya wadah koordinatif menjadi semi negara/pemerintah sementara. Hasilnya sekarang adalah gerakan perlawanan di Papua pecah. Entah nasibnya seperti apa ke depan? Kita tunggu. Namun yang pasti, perjalanan panjang dengan metode yang sama memunculkan kesadaran baru bahwa kita sekarang membutuhkan tidak hanya persatuan yang demokratik namun struktur kepemimpinan yang terorganisir, bisa memberi kepemimpinan, berdiri paling depan baik dalam ide, gagasan maupun praktik-praktik perlawanan. Sekali lagi organisasi itu adalah partai revolusioner.
Beberapa waktu lalu organisasi bernama Partai Sosialis Papua (PSP) telah didirikan, yang menurut Leon Beanal (salah satu pendiri PSP) dalam tulisanya Partai, Gerakan, dan Sosialisme mengatakan bahwa, “Rakyat Papua memiliki pelajaran berharga selama 58 tahun berjuang melawan penjajah. Dilalui dengan pasang naik dan surut, kemajuan dan kemunduruan, krisis internal hingga polemik berkepanjangan tanpa landasan perjuangan klas yang ideologis dalam perspektif perjuangan klas di Papua. Kehadiran partai sosialis Papua bagian dari tugas sejarah revolusi nasional demokratik dan revolusi sosialis. Tanpa merubah kesadaran kelas di Papua sama halnya kita mengulangi sejarah tanpa melihat makna penting dari pembebasan umat manusia. Sehingga, memajukan kesadaran kelas menjadi suatu keharusan. Pembentukan partai harus dilihat bagian dari pentingnya mendorong kesadaran kelas dengan meletakan ide, gagasan, program, metode stratak perjuangan partai sebagai tahap awal revolusi nasional demokratik dan revolusi sosialis di Papua.”
Sehingga pendirian PSP merupakan suatu kemajuan dari gerakan perjuangan pembebasan nasional Papua. Sayangnya ini mendapat penolakan, yang justru datang dari pimpinan-pimpinan gerakan politik Papua sendiri, utamanya gerakan sipil seperti Victor Yeimo. Pada 6 April 2020, Victor Yeimo menulis, “Partai Sosialis Papua dalam konteks organisasi revolusioner haruslah-nya berdiri di atas landasan ideologis yang dibangun melalui tahapan strategis, dengan terlebih dahulu mempersiapkan konsolidasi antar kader-kader revolusioner yang secara praksis aktif dalam teori dan praktek revolusioner selama ini.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Karena itu, Sosialis Papua dahulukan proses mengumpulkan, mengidentifikasi, menganalisa, membahas, dan menetapkan landasan-landasan teori Sosialis Papua yang berguna untuk membangun kader-kader yang siap menjadi tulang punggung revolusi sosialis Papua, melalui kerja revolusioner dalam orgaisasi revolusioner atau partai.” Ia lalu menyimpulkan, “Mari aktifkan kembali lingkaran belajar antar kader revolusioner yang bersepakat membangun sosialisme di Papua. Adalah konsolidasi dan pendidikan sebagai tahap paling fundamental membangun organisasi revolusioner, sebagai kendaraan menuju cita-cita pembebasan: Revolusi demokratik menuju revolusi sosialis.” Dengan begitu, Victor Yeimo berpendapat bahwa pembangunan partai haruslah dilakukan setelah terbentuknya kader-kader yang maju kesadarannya dan melihat tugas-tugas revolusi sebagai pekerjaan seumur hidup barulah partai dibangun. Sehingga tugas sekarang adalah mengaktifkan lebih dulu lingkar-lingkar belajar, diskusi, dan sebagainya.
Memang benar bahwasanya partai revolusioner baru benar-benar bisa disebut “partai”, bukan hanya sekadar nama saja, saat organ tersebut bisa memimpin perjuangan kelas. Oleh karenanya, itu tercapai saat organisasi memiliki jumlah kader yang mewakili populasi signifikan dari kelas buruh. Benar juga bahwasanya pembangunan lingkar-lingkar belajar sosialisme adalah hal penting mendasar. Namun itu jangan dipertentangkan dengan pembangunan partai, dalam hal ini maksudnya organisasi politik revolusioner.
Aktivitas belajar teori-praktik sosialisme maupun meneliti dan menganalisis situasi kondisi Papua tidak bisa hanya diemban perorangan (walaupun sesama kiri, revolusioner, sosialis tapi tidak tersatukan dalam organisasi politik). Maupun hanya diemban lingkar belajar dalam pengertian kaku (yang hanya membatasi diri pada kegiatan belajar tanpa mengorientasikan diri pada pergerakan apalagi tidak mematok target/rencana pengorganisiran politik). Justru kegiatan mempelajari sosialisme dan menganalisis situasi kondisi Papua dari awal harus jadi bagian pengorganisiran politik.
Victor Yeimo atau lainnya bisa saja keberatan dengan nama Partai Sosialis Papua dan mungkin lebih menghendaki nama “Liga”, “Perserikatan”, “Perhimpunan”, dan sebagainya, namun janganlah kita hanya berkutat meributkan soal nama, intinya tetap sama: pengorganisiran teori-praktik sosialisme di Papua haruslah merupakan pengorganisiran politik dan pengorganisiran politik menuntut keberadaan organisasi politik. Tidak bisa dibebankan ke organisasi mahasiswa, organisasi pemuda, ataupun organisasi adat.
Jadi kalau bukan lewat organisasi politik, mari kita bertanya ke Victor Yeimo, siapa yang seharusnya menyelenggarakan lingkar-lingkar belajar sosialisme tadi? Apakah Aliansi Mahasiswa Papua? Apakah Komite Nasional Papua Barat (KNPB)? AMP dan KNPB bukanlah organisasi politik Marxis meskipun banyak orang kiri dan menganut Marxisme di dalamnya. Apakah diselenggarakan oleh sesama sosialis yang belum punya organisasi sosialis (tanpa ikatan organisasional sehingga setiap orang bebas keluar/masuk, aktif/vakum, gabung/berhenti semaunya)? Mau tidak mau, suka atau tidak suka, diakui atau tidak, dibutuhkan organisasi politik untuk pengorganisiran teori-praktik gerakan sosialisme di Papua. Lingkar belajar sosialisme yang tidak diarahkan sebagai pengorganisiran politik tidak akan berhasil membangun gerakan melawan kapitalisme apalagi imperialisme.
Benar bahwa sebelum Partai Buruh Demokrat Sosial Rusia (PBDSR) berdiri tahun 1898 terdapat Liga Perjuangan Emansipasi Kelas Buruh St. Petersburg yang berdiri tahun 1895 yang menyatukan belasan lingkar belajar Marxis dengan aktivitas utamanya agitasi buruh dan distribusi selebaran sosialis ke pabrik-pabrik. Benar bahwa sebelum Liga, berdirilah Emasipasi Buruh tahun 1884 dengan aktivitas utamanya menerjemahkan karya-karya Marx ke dalam bahasa Rusia dan menyebarkannya. Namun proses metamorfosis dari lingkar studi ke grup propaganda ke partai ini bagi kaum Marxis bukan hanya semuanya kesatuan pengorganisiran politik namun juga dinamis.
Ini bisa dibandingkan misalnya dengan Liga Komunis yang didirikan tahun 1847, didahului persatuan Liga Kaum Adil (yang didirikan tahun 1836) dengan Komite Korespondensi Komunis (yang didirikan tahun 1846). Marx dan Engels meskipun mengorganisir bersama buruh namun mereka tidak memberi tembok penghalang kaku di antara fase-fase organisasional itu.
Bandingkan juga dengan pengorganisiran Marxis di Tiongkok. Gagasan Marxisme menyebar di Tiongkok dalam konteks Gerakan Budaya Baru tahun 1914 dan Gerakan Empat Mei 1919. Jurnal Xin Qin Niang atau Kaum Muda Baru diterbitkan Chen Du Xiu tahun 1915 mempromosikan sains dan demokrasi. Ini bukanlah jurnal yang sosialis sejak lahir, namun dengan meletusnya Revolusi Oktober, Xin Qin Niang semakin mempromosikan Marxisme dan tahun 1920 terang-terangan menyokongnya. Tahun 1919, setahun sebelumnya Partai Bolshevik memutuskan membantu rakyat di Timur Jauh dan April 1920 Divisi Urusan Asing cabang Vladivostok menugaskan Voitinsky, kadernya, untuk mengembangkan Marxisme di Tiongkok, Korea, dan Jepang. Ia kemudian mendirikan Sekretariat Timur Jauh Komunis Internasional (Komintern) di Shanghai. Voitinsky yang membuat Li Da Xau dan Chen Duxiu menjadi komunis serta membantu mendirikan Biro Revolusioner Shanghai atau Grup Komunis Shanghai. Model ini kemudian didirikan di Guanghou, Wuhan, dan Beijing. Hanya berselang satu tahun berikutnya, 23 Juli 1921 diselenggarakanlah Kongres yang mendirikan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Pendirian PKT bahkan tidak menunggu seluruh karya Marx diterjemahkan ke dalam bahasa setempat, analisis dan teori sosialisme Tiongkok tuntas dirumuskan, maupun lingkar studi revolusioner terbentuk di seluruh daerah Tiongkok. Pengorganisiran PKT dengan bantuan Komintern justru menyelaraskan dan meningkatkannya.
Jadi, pertama, pengorganiran lingkar belajar Marxis memang penting tapi jangan dipandang kaku bahkan sejak awal harus dilakukan sebagai kerja peng(organisasi)an politik. Sehingga kedua, jangan terjebak pemisahan kaku atau dikotomi mekanis antara pendirian organisasi politik terlebih dulu atau konsolidasi kader revolusioner, kerja teori-analisis, dan belajar sosialisme terlebih dulu. Organisasi politik tanpa teori, program, analisis, dan kader tidak akan berjalan di satu sisi sedangkan di sisi lain perumusan teori serta analisis, penyelenggaraan pendidikan sosialisme, dan konsolidasi juga tidak akan terjadi tanpa organisasi politik.
Kritik yang harus diberikan kepada Partai Sosialis Papua bukan pada deklarasi organisasinya memakai nama “partai”. Melainkan masukan agar di satu sisi mereka meningkatkan kajian Marxisme, agitasi-propaganda yang memblejeti setiap isu penindasan khususnya di Papua dengan analisis kelas dan perspektif revolusioner (yang disalurkan bukan hanya ke kaum muda tapi juga utamanya ke kalangan buruh pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya), sekaligus partisipasi atau integrasi ke praktik perjuangan rakyat Papua. Partai Sosialis Papua tidak cukup hanya menerbitkan tulisan atau merilis pernyataan sikap di situsnya (yang sekarang tidak bisa diakses) dan membagikannya di media sosial. Partai Sosialis Papua harus muncul bahkan aktif berpartisipasi dalam perjuangan rakyat, baik itu aksi-aksi FRI-WP, demo buruh Freeport, perlawanan Masyarakat Adat, dan sebagainya. Baik itu partisipasi kader-kadernya sebagai bagian barisan maupun penyebaran selebaran/bacaan sosialis dan pengorganisiran massa majunya ke dalam diskusi/pendidikan Marxistis.
Sudah relatif banyak kaum muda Papua yang Marxis. Namun Papua belum punya organisasi politik Marxis, apalagi Leninis. Aktivis Papua yang sudah Marxis maupun buruh Papua yang dimenangkan ke Marxisme harus bersatu dan berorganisasi di bawah kendali program, ide, gagasan dari sebuah organisasi politik. Karena alasan kuantitas, awalnya akan menjadi partai kader, lewat kerja-kerja elemen-elemen termaju yang sudah terkonsolidasi oleh partai sebelumnya, Ia akan berkembang menjadi partai massa, lalu disaat momen-momen yang menetukan kita sudah siap untuk mengambil alih kepemimpinan.
Namun bila pekerjaan membangun organisasi politik Marxis terus ditunda, dan karenanya partai revolusioner Papua tidak kunjung berdiri, maka potensi individu-individu termaju yang sudah ada saat ini (yang sifat dinamis) bukannya tersalurkan malah bisa saja akan turun dan lenyap. Entah karena habis atau berkurang drastis akibat kriminalisasi dan pembunuhan militerisme Indonesia, karena patah semangat atau tenggelam dalam kesibukan mencari nafkah maupun kesulitan hidup sehari-hari, atau terjebak dan terbujuk propaganda pemerintah borjuis Indonesia.
Catatan: tulisan ini pernah dimuat di Arah Juang pada 3 Juni 2021. Atas izin penulis dan redaksi Arah Juang, kami terbitkan kembali disini untuk tujuan propaganda dan pendidikan.
Pustaka:
Haluk, Markus, et. al. Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua. Jayapura: SKPKC Fransiskan Papua. 2020.
Tovariska, Artika. Mengapa Kita Butuh Partai Revolusioner? Koran Arah Juang edisi 108 III-IV April 2021.
Trotsky, L. Writings, 1935-1936, hlm. 66.
Socratez, S. Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press. 2012.
Freire, P. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: PT. Temprint. 1968.
Trotsky, L. Revolusi Permanen. Yogyakarta: Resistbook. 1928.