Mengapa OPM dilabeli sebagai teroris? Pelabelan OPM sebagai teroris secara resmi telah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahmud MD. Mahmud yang duluhnya kritis terhadap roda pemerintahan namun mulai melempeng sejak menjadi Menko Polhukam, secara resmi atas nama pemerintah dua bulan yang lalu menyatakan. Bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) termaksud juga dengan setiap orang Papua di Papua yang melakukan tindakan kekerasan yang berkelanjutan adalah teroris.
“Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan massif dikategorikan sebagai terorisme.” Kompas, (Kamis/29 April 2021) dikutib dari kanal Yutube Kemenko Polhukam.
Menurut mantan Kejaksaan Agung RI itu, bahwa penetapan TPN-OPM sebagai organisasi teroris sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU. Maka berdasarkan UU tersebut, Mahmud MD memberi penegasan bahwa mereka yang dikatakan teroris adalah siapa pun yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme yang menyebabkan korban banyak dan kerusakan obyek vital negara dengan motif ideologi, politik, dan keamanan.
“Yang dapat menimbulkan korban secara massal atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis terhadap lingkungan hidup, fasilitas public atau fasilitas internasional dengan motif ideology, politik dan keamanan.” kata Mahmud untuk menegaskan TPN-OPM sebagai teroris. Kompas 29 April 2021
Jauh sebelum pemerintah Indonesia memberi label kepada TPN-OPM sebagai organisasi teroris. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli telah melakukan konsulidasi ke beberapa kementrian dan lembaga untuk berdiskusi agar status TPN-OPM yang awalnya distigma sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) segera dituduh lagi sebagai Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT).
“Kami sedang terus gagas diskusi dengan beberapa kementerian dan lembaga berkaitan dengan masalah nomenklatur KKB untuk kemungkinannya apakah ini bisa dikategorikan sebagai organisasi terorisme.” Bilang Boy dalam rapat bersama Komisi III DPR RI pada, Senin 22 April 2021. Kompas 29 April 2021.
Selain melakukan rapat koordinasi pembahasan status TPN-OPM sebagai organisasi teroris. BNPT juga melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk mencari legitimasi atas pelabelan teroris kepada OPM. Contohnya, pada hari Selasa, 27 April 2021 di Hotel Grand Mercure Kemayoran Jakarta, BNPT melakukan FGD dengan agenda pembahasan stigma yang baru bagi OPM dari KKB menjadi teroris.Yang perlu diketahui oleh pribumi Papua adalah dasar BNPT melakukan FGD untuk melabeli OPM sebagai teroris adalah saran dari Kedutaan Besar RI untuk Jerman.
“Berita Rahasia Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin Nomor R00032/Berlin/210207 Tanggal 7 Februari 2021 perihal Saran Rekomendasi Penetapan OPM menjadi Kelompok Separatis (bukan KKB) dan memasukan dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris” demikian bunyi poin b dalam undangan FGD dari BNPT tertanggal 20 April 2021.
Tidak sepakat dengan pemerintah yang menstigma OPM sebagai teroris. Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dan Beka Ulung Hapsara, Ketua Komisioner Komnas HAM RI angkat bicara. Menurut Direktur Amnesty Internasional Indonesiabahwa untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua, pemerintahnya mengambil langka yang keliru dengan menstigma OPM sebagai organisasi teroris.
“ini langkah yang keliru. Selama ini orang Papua sudah marah distigma sebagai separatis, sekarang mereka dilabeli sebagai teroris,” Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Jubi.co.id (Kamis/29/4/2021)
Masihmenurut Usman, bahwa pelabelan OPM sebagai organisasi teroris tidak konsisten dengan pasal 5 UU Terorisme yang menjadi dasar hukum nasional untuk pelabelan TPN-OPM sebagai terorisme. Karena pembebasan nasional dari kolonilisme Indonesia merupakan tujuan perjuangan OPM, dan itu politik.
“Penentuan status OPM sebagai organisasi teroris tidak konsisten dengan UU Tindak Pidana Terorisme, khususnya pasal 5 yang menyatakan bahwa tindak pidana teroris yang diatur dalam UU ini harus dianggap bukan tindak pidana politik” ungkap Usman. Jubi.co.id, 29 April 2021.
Sementara lebih diplomatis. Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM RI Menyarankan kepada pemerintah agar perlu berhati-hati dalam melabelkan TPM-OPM sebagai teroris karena politik pelabelan tersebut bisa menjadi pisau bermata dua.
“Terkait dengan sebutan terorisme, saya kira kita perlu berati-hati supaya tidak menimbulkan masalah baru, baik di dalam negeri maupun internasional” kata Beka. suarapapua.com (26 April 2021) dikutip dari CNN Indonesia.
Respon dari dua pejuang HAM di Indonesia tersebut bagi penulis adalahpenolakan kepada pemerintah bahwaOPMbukanlah organisasi terorisme. Pula bagi penulis bahwa pelabelan OPM sebagai teroris merupakan langkah tidak tahu diri dari pemerintah Indonesia kepada orang Papua yang wilayahnya diintegrasikan ke dalam negara kesatuan republik Indonesia dengan cara kekerasan di saat pemerintah kolonial Belanda hendak mendaftarkan Papua ke komite dekolonisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau C24 PBB, guna memerdekakan Papua sebagaimana yang orang Papua inginkan.
Giat politik Belanda untuk menghentikan kolonialismenya di Papua, diakui oleh Soekarno dalam pengantar pidato TRIKORA, bahwa Belanda akan move dekolonisasi dari pada Irian Barat (sekarang Papua), yang artinya Belanda akan menyudahi, memberhentikan kolonisasi di Irian Barat dan kemudian memberikan hak penentuan nasib sendiri (Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat, 1986). Tetapi kemudian giat politik Belanda untuk mendekolonisasi Papua ke dekolonisasi PBB untuk menyudahi kolonialisme mereka di Papua disikapi oleh Presiden beristri banyakitu dengan cara konfrontasi fisik atau konfrontasi kekerasan yang diawali darimaklumat TRIKORA, pada 19 Desember 1961.
Seruan penghasutan Seokarno dalam maklumat TRIKORAyang dikumandangkannya berbunyi “batalkan negara Papua itu! Kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat! Gagalkan! Kibarkan bendera kita! Siap sedialah, akan datang mobilisasi umum! Mobilisasi umum yang mengenai seluruh rakyat Indonesia untuk menduduki tanah Irian Barat”(Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat, 1961).
Maklumat konfrontasi melawan Kolonialisme Belanda tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan Komando Mandala yang dikomandoi Panglima Mandala Mayjen TNI Seoharto. Kerja utama yang dilakukan Komando Mandala adalah penyusupan gerilyawan dan operasi intelejen serta perang terbuka melawan Belanda di Irian Barat (Papua).
Konfrontasi fisik Indonesia-Belanda berakhir dengan kesepakan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilakukan tanpa melibatkan orang Papua. Dilanjutkan dengan penyerahan administrasi Irian Barat kepada Indonesia 1 Mey 1963, yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengintegrasikan tanah dan manusia Papua kedalam bingkai NKRI sebagai wilayah koloni Indonesia.
Untuk mengintegarasikan Papua kedalam binkai NKRI sebagai wilayah kolonial Indonesia. Pemerintah Indonesia menggunakan cara kekerasan untuk membunuh orang Papua yang berkeinginan merdeka dan menolak bergabung dengan pemerintah Indonesia.cara kekerasan yang digunakan pemerintah Indonesia adalah dengan dilakukannya operasi militer di Papua. Operasi militer Indoensia pertama kali dilakukan pada Mei 1963-17 April 1964 dengan nama sandi Operasi Wisnumurti I,II,III dan IV. Perlu diketahui bahwa untuk mengitegrasikan Papua ke dalam binkai NKRI, sebelum PEPERA 1969, pemerintah Indonesia melakukan enam kali operasi militer dengan nama sandi operasi yakni, operasi Wisnumurti I-IV (1963-1964), operasi Giat dan Tangkas plus operasi Sadar (1964-1965), operasi Brathayudha (1966-1997) untuk mengabisi orang Papua yang menolak kolonialisme Indonesia dan untuk memenangkan PEPERA, 1968-1969 dilakukan operasi Wibawah untuk persiapan PEPERA. Enam operasi sebelum PEPERA ini menelan ribuan nyawa pribumi Papua.
Setelah PEPERA yang cacat hukum dan tidak demokrasi itu selesai, dilakukan lagi operasi Pamungkas (1970-1974), operasi sepanjang perbatasan (1977-1978), Operasi Gagak I dan II (1985-1987), operasi Kasuari I dan II (1987-1989), Operasi Rajawali I dan II (1989-1991), operasi Pengendalian Pengibaran Bendera (1999-2002), Operasi Penyisiran di Wamena (2002-2004), dan hingga hari ini masih terus dilakukan operasi militer di Papua untuk mengamakan Papua sebagai wilayah koloni bagi Indonesia.
Berbagai operasi militer diatas adalah cara kekerasan yang digunakan pemerintah Indonesia untuk mengintegrasikan Papua sebagai wilayah koloni bagi NKRI. Dan integrasi dengan kekerasan ini mengakibatkan ribuan pribumi Papua mati,dan melahirkan OPM (organisasi Papua Merdeka). Sehingga sangat tak tahu diri bila OPM dilabeli sebagai teroris. Karena bila OPM yang adalah anak kandung dari pemerintah Indonesia dinyatakan sebagai teroris, maka sejatihnya pemerintah Indonesia yang adalah ayah sekaligus ibu kandung dari OPM yang juga adalah teroris, itu sangat tepat sebab siapa menanam kekerasan ia akan mendapat balasannya.
Sangat tepat pula bila Indonesialah yang dinyatakan sebagai negara terorisme di Papua. Karena banyak melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap pribumi Papua sejak 1 Mei 1963 hingga sekarang ini. Bahkan kekerasan yang dilakukannya sengaja disebarluaskan sebagai upaya teror psikologis kepada pribumi Papua. Seperti disebarkannya pembunuhan Yawan Wayeni di kebunya yang dilakukan oleh beberapa anggota Brimob (Brigadir Mobil) di Kabupaten Yapen, dan penyiksaan seorang pendeta di pegunungan Papua yang dilakukan aparat TNI dengan membakar kemaluan sang pendeta. Jadi yang paling memenuhi unsur terorisme sebagaimana yang disampaikan Mahmud MD adalah pemerintah Indonesia sendiri.
Jika pemerintah sendirilah yang tepat dinyatakan sebagai teroris, lalu mengapa OPM yang dilabeli teroris? Pertanyaan ini akan menjawab pertanyaan pada pembukaan tulisan diatas “Mengapa-OPM dilabeli teroris?” Dalam buku jurnal “Papua Menggugat” sebuah jurnal dari Pusat Penelitan Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Amiruddin al Rahab menulis dalam jurnal tersebut dengan judul tulisan “Operasi-operasi Militer di Papua: Pagar Makan Tanaman?”
Pada kalimat pembuka dari bagian penutup tulisan Amirudin yang disertai dengan lampiran tabel nama Pangdam XVII/Tjendrawasih dari Mei 1963 s/d tahun 2004 dan operasi-Operasi yang dipimpin oleh para Pangdam tersebut. Amirudin yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisioner Komnas HAM RI menyampaikan bahwa, jika disimak dari literatur resmi negara maka akan ditemukan sebuah kesimpulan bahwa operasi militer untuk mematahkan perlawawan OPM yang berjuang dengan senjata berjalan tanpa cela. Artinya selalu mulus tanpa hambatan.
Bahkan dalam jurnal tersebut Amirudin menegaskan bahwa, sebenarnya ketika memasuki era reformasi politik Indonesia di tahun 1998, OPM tidak berarti lagi secara politik karena tidak memiliki kekuatan senjata yang memadai. Bahkan para anggotanya terpecah-pecah dan banyak yang bertalian dengan TNI. Oleh sebab itu ketika menjabat sebagai Menkopolkam, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menyatakan OPM bukanlah ancaman yang serius. Apa yang disampaikan Amuridin terkait aksi kekerasan TNI di Papua yang tidak pernah surut itu benar dan tak terbantahkan. Sedangkan terkait keberadaan OPM sangat bertolak belakang dengan kenyataan di Papua.
Di Papua TPN-OPM masih ada dan eksis hingga kini, bahkan ditengah belanja negara dibidang keamanan khususnya Angkatan Darat (AD) yang hampir menelan separuh dari APBN negara. Ini melahirkan pertanyaan baru “kok bisa, negara dengan angkatan militer terbaik di dunian tapi sulit mengalahkan TPN-OPM yang memiliki peralatan terbatas dan pengalaman peran modern yang nihil” Secara logis pertanyaan ini seakan dijawab lewat diskusi singkat penulis dengan seorang kawan yang bergerak pada isu kebijakan militer Indonesia di Papua.
Menurut kawan tersebut bahwa, jika militer Indonesia, dalam hal ini TNI-AD serius dalam menumpas TPN-OPM, maka dalam sebulan saja mereka bisa menumpas habis OPM yang berjuang dengan senjata. Karena mereka memilki peralatan perang yang canggih, juga memiliki pengalaman perang. Sementara OPM terpecah-pecah dan ada yang bersekutu dengan TNI sebagai proyek keamanan untuk kepentingan ekonomi dan kenaikan pangkat.
Jadi menurutnya, bisa jadi gerakan TPN-OPM telah dijadikan sebagai lahan bisnis petinggi militer (TNI-AD). Sehingga untuk memutuskan bisnis keamananmilik TNI, maka pemerintah (eksekutif), yang mendagrinya berasal dari institusi Polri harus mengambil langka, dan langka awal adalah melabelkan TPN-OPM sebagai teroris. Setelah itu barulah densus 88 yang merupakan pasukan anti terorisme milik Polri diterjunkan ke Papua untuk melakukan operasi.
Namun jika pelabelan tersebut tidak bermotiv pertarungan bisnis keamanan. Maka bagi penulis, Indonesia sebagai penerus kolonialisme Belanda di Papua lagi mencari solusi atas krisis kolonialisme yang mereka ciptakan sendiri. Krisis kolonialisme yang pemerintah ciptakan sendiri dengan memiskinkan pribumi Papua secara structural dan membuat pribumi Papua kesulitan untuk melakukan mobilitas sosial, serta mati sia-sia akibat operasi-operasi militer. Sementara pemerintah melakukan politik etis di Papua dengan membangun pendidikan yang diskriminativ dan juga merekrut putra/putri dari pribumi Papua untuk menjadi anggota militer, baik TNI mau pun Polri.
Ketika ketika politik etis tersebut dilakukan di Papua sementara kebijakan lainya membuat ribuan pribumi Papua miskin dan termarjinal diatas tanah airnya serta mati sia-sia akibat operasi militer, itu sama halnya dengan menggali kuburan bagi dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh tokoh sentral dalam revolusi Bolshevik, Vladamir Lenin. Kata Lenin,untuk menjawab pertanyaan dua orang wartawan Jepang, Nakahira dan Fussa dalam buku Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga yang ditulis Vihay Prashad (1967).
“Di manakah komunisme lebih punya peluang untuk berhasil di-Barat atau di timur?” tanya Fussa.
“Harus diingat bahwa Barat hidup dengan mengorbankan Timur; kekuatan-kekuatan imprealis Eropa menjadi kaya dengan mengeruk koloni-koloni di timur, tetapi disaat yang bersamaan mereka mempersenjatai koloni mereka dan mengajarinya berperang, dan itu Barat sedang menggali kuburannya sendiri di Timur.” Jawab Lenin.
Apa yang dikatakan Lenin bila disimak dengan politik etis yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua sangat mustahil untuk dibantah. Sumber daya alam Papua dikeruk habis untuk membangun pusat kolonial semetara ribuan pribumi Papua miskin dan termarjinal diatas tanah airnya sendiri. Ribuan Pribumi Papua lainya lagi mati sia-sia akibat operasi militer. Sementara sisa-sisa dari pribumi diberi pendidikan yang diskriminativ dan direkrut menjadi anggota militer (TNI/Polri). Hal ini akan berujung pada apa yang disebut sebagai krisis kolonialisme, dan kini apa yang disebut sebagai krisis kolonialisme sedang dialami Indonesia.
Contohnya pada bulan Februari, seorang pribumi Papua yang menjadi Anggota TNI, yakni Pratu Lucky Matuan dari Yonif 410/Alugoro yang berada dibawah Korem 073/Makutarama, Kodam IV/Diponegoromembelot dan bergabung dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Dan menurut Seby Sambon, juru bicara TPNPB bawah pembelotan Pratu Lucky Matuan murni kesadaran akan penindasan yang dilakukan TNI/Polri di Papua terhadap pribumi Papua.Semenatara di pusat administrasi kolonial dan di wilayah koloni (Papua) mahasiswa-mahasiswa yang telah mendapatkan pendidikan yang diskriminativ membentuk organisasi-organisasi anti kolonialisme dan berjuanga melawan pemerintah Indonesia yang dianggap sebagai kolonilisme di Papua.
Guna membukam perlawanan anti kolonialisme yang dilakukan oleh gerakan-gerakan perjuangan atau mengatasi krisis kolonialisme di Papua sebagaimana yang penulis maksudkan diatas maka selaku kolonialisme baru di Papua, Indonesia tidak memiliki solusi lain untuk mengatasi krisis yang diciptakan itu. Yang dapat dilakukan adalah ekspansi militer nasional dan menciptakan perang nasional diwilayah koloni untuk mempertahankan Papua sebagai wilayah koloni.Agar supaya ekspansi militer secara nasional dan perang nasional di wilayah Papua yang dijadikan wilayah koloni mendapatkan persetujuan parlement Indonesia serta rakyat Indonesia. Juga mendapatkan dukungan dari negara-negara anti terorisme seperti Amerika, Australia dll. Maka krisis kolonialisme di Papua harus diberi nama yang “seksi” dan tidak bertolak belakang dengan politik etis yang diterapkan.
Nama yang “seksi” dan tidak bertentangan dengan politik etis di Papua serta dapat melegalkan pendropan militer dan operasi militer yang dilakukan untuk mengatasi krisis kolonialisme di Papua adalah terorisme.Jadi pelabelan TPN-OPM sebagai organisasi terorisme menurut hemat penulis adalah cara negara mengatasi krisis kolonisasinya di Papua.Dan itu artinya, Indonesia lagi mengalami krisis, dan krisis adalah momentum untuk bergerak dari dalam ke luar.
Referensi:
- Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga, Vihay Prashad (1967).
- Jurnal Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Vol.3, No 1, 2006
- Komnas HAM: Hati-hati Sebut KKB sebagai Teroris. Suarapapua.com (26 April 2021)
- Resmi, Pemerintah Kini Kategorikan KKB di Papua Organisasi Teroris. nasional.kompas.com (29 April 2021)
- Label teroris OPM, Amnesty sebut langkah pemerintah keliru, jubi.co.id (29 April 2021)