Rasisme yang berakar itu bukan hasil rekayasa genetik, tetapi hasil kontruksi sosial satu bangsa yang direkayasa oleh negara bangsa untuk mempertahankan dominasinya (penjajahan) atas satu bangsa yang tak memiliki perangkat negara sendiri. Apa lagi bangsa tersebut terintegrasi secara paksa oleh negara bangsa dengan cara rekayasa politik yang tak beradab dan tak manusiawi. Contohnya negara bangsa Indonesia menganeksasi (memaksa) wilayah dan manusia Papua masuk kedalam wilayah bangsa negara Indonesia dengan menggunakan alat paksa mereka bernama militer.
Dan didalam negara bangsa Indonesia, bangsa Papua yang dipaksa masuk ke dalam negara bangsa Indonesia tentu menjadi kaum yang sangat minoritas. Posisi minoritas ini menjadi ruang dimana kontruksi sosial yang rasis dan diskriminatif itu dibangun. Sebagaimana yang dikatakan Andi Muhad Rezaldy, staf Devisi Pembela HAM Kontras, bahwa perlakuan diskriminasi yang berujung rasial bisa terjadi akibat perbedaan dan posisi yang tidak kuat.
“Sayangnya, sering banget kita lihat atau dengar ada orang-orang yang mendapat ketidakadilan di lingkungannya, cuman gara-gara mereka dianggap sebagai bagian dari kelompok yang “berbeda” dan posisinya gak kuat atau jadi minoritas di lingkungannya.” KORAN SINDO, Sabtu, 27 Juni 2020.
Untuk meruntuhkan kontruksi atau bangunan rasisme yang dibangun oleh negara bangsa. Maka bangsa minoritas yang teraneksasi kedalam negara bangsa tidak boleh berharap pada produk hukum dan regulasi hukum untuk melindungi kelompoknya. Karena subur dan langgennya perlakuan diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok minoritas pun sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik negara yang dilegalkan dalam konstitsui. Contohnya Undang-Undang Otonomi Khusus. Otsus dianggap rasis karena Jakarta tidak mendengar aspirasi rakyat Papua, tetapi memaksakan Otsus berlanjut.
Selain produk hukum yang juga turut melegalkan perbuatan diskiriminasi dan rasialis. Lingkungan yang tidak berimbang baik secara jumlah populasi antara orang Indonesai yang berasal dari ras Melayu dan orang Papua yang berasal dari ras Melanesia dan peran posisi yang tidak adil sangat mempengaruhi rasisme itu terjadi. Dan posisi ketidak berimbangan ini akan tetap dipelihara negara demi mempertahankan dominasinya. Lihat saja rasisme di Amerika yang konon katanya negara demokrasi. Di sana (Amerika) orang kulit putih masih terus mempertahankan dominasinya atas orang kulit hitam dengan tindakan rasis. Begitu juga di Papua.
Fakta rasisme di Amerika dan Papua yang masih subur seharusnya menyadarkan kita, bahwa produk hukum dan regulasi hukum tidak dapat melindungi kelompok minoritas dalam satu negara bangsa. Apa lagi dengan faktor lingkungan yang tidak berimbang seperti posisi orang Papua di Indonesia yang lemah secara politik dan ekonomi di banding orang Indonesia. Posisi ini membuat walau pun undang-undang otsus yang baru direvisi dan disahkan itu isinya mengalahkan kebenaran dalam alkitab, orang Papua tetap akan dianggap seperti sampah di dalam NKRI.
Agar bangsa minoritas dapat terbebas dari perlakuan rasis yang telah berakar didalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam negara bangas yang majemuk. Makah kelompok minoritas yang sejara politik kelompoknya telah membentuk kelompok tersebut menjadi entitas sebuah bangsa yang berbeda. Maka bangsa tersebut harus membangun solidaritas politik berwatak nasionalisme kebangsaannya sendiri yang solid, tapi juga memiliki praksis revolusioner yang mampu mengacam kedaulatan politik negara bangsa atas kleim wilayah bangsa yang minoritas itu.
Atau maksud saya, jika orang Papua ingin agar rasisme yang telah berurat akar didalam negara dan bangsa Indonesia atas orang Papua menjadi runtuh tak meninggalkan jejak. Maka orang Papua harus membangun solidaritas politik berwatak nasionalisme kepapuan yang; solid, terstruktur, sistematis dan revolusioner di seantero wilayah adatnya dan menjadi oposisi bagi negara Indonesia didalam berteori mau pun praktek politik dengan tujuan merdeka atau menjadi negara bangsa sendiri. Atau pun singkatnya orang Papua harus merdeka dan berdaulat sendiri di atas tanah airnya, Sorong-Merauke.
Kenapa merdeka dan berdaulat sendiri menjadi solusi kaum minoritas yang telah terbentuk menjadi bangsa dapat bebas dari perlakuan rasis kaum minoritas? Negara bangsa bernama Indonesia yang hari ini menjajah bangsa Papua dan mengeksploitasi sumber daya alam milik masyarakat adat Papua demi kepentingan negara bangsanya adalah cerminannya. Dimana bangsa Indonesia yang masih terpecah-pecah dalam kabilah-kabilah kecilnya dijajah oleh perintahan Belanda. Namun peristiwa politik pada, 17 Agustus 1945 yang dikomandankan sekaligus dikomandoi oleh Ir. Soekarna dan Dr. Muhamad Hatta menyatukan kabilah-kabilah kecil tersebut menjadi negara bangsa bernama Indonesia membuat bangsa bernama Indonesia menjadi negara merdeka dan berdaulat sendiri.
Kemerdekaan yang berkedaulatan sendiri membuat rakyat bangsa Indonesia tidak lagi mendapatkan perlakukan rasis dari masyarakat mau pun pemerintah Kerajaan Belanda hingga saat ini. Sebaliknya negara dan masyarakat Indonesia menjadi sederajat dengan pemerintah kerajaan Belanda berserta rakyatnya. Selain cerminan dari bangsa Indonesia yang mendapat perlakuan rasis selama masih dijajah Belanda, namun telah terbebas dari perlakuan rasisme secara total ketika mereka merdeka dan berdaulat sendiri, ada juga cermin lain yang bisa kita gunakan untuk menetapkan solusi terbaik atas perlakuan rasis di Papua.
Cerminan itu adalah rasisme terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat negara yang dianggap paling demokratis di dunia dibandingkan dengan Indonesia. Orang kulit hitam di Amerika di bahwa kepeloporan Merthen Luther King Jr berjuang untuk mengahapus perlakuan rasisme yang mereka alami dan mereka dianggap berhasil dengan lahirnya kebijakan penghapusan sistem diskriminasi dan undang-undang anti rasisme. Tapi faktanya, perlakuan rasisme bagi orang-orang kulit hitam di Amerika masih terus terjadi higga saat ini.
Maksud dari cerminan perjuangan melawan rasisme di Amerika serikat yang hendak saya katakana adalah; jika bangsa Papua ingin terlepas atau bebas dari perlakuan rasisme yang telah terkontruksi secara sosial dan dipelihara oleh negara sebagai praktek penjajahan. Maka tak ada pilihan paling tepat untuk mengakhiri rasisme tersebut. Kecuali rakyat bangsa Papua segera membangun solidaritas politik berwatak nasionalisme kepapuan yang solid dengan jiwa patriotisme bangsa Papua yang tinggi dan berkarakter revolusioner lalu melakukan perlawanan untuk memisahkan diri dari negara Indonesia dengan menggunakan metode perlawanan tanpa kekerasan. Bukan menjadi kabilah-kabilah (“raja-raja”) kecil di Papua dengan modal otonomi khusus.
Mengapa penulis menekankan perlawanan terhadap rasisme harus menggunakan metode tanpa kekerasan dengan disiplin yang sangat tinggi? Terlepas dari presentasi keberhasilan revolusi dengan metode tanpa kekerasan yang memiliki presentase keberhasilan paling tinggi jika dibandingkan revolusi menggunakan kekerasan, menurut Genne Sharp seorang ilmuwan politik Amerika yang adalah pendiri Albert Einstein Institution yang memiliki focus memajukan studi aski tanpa kekerasan. Dalam esai berbentuk buku berjudul “Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan, Kerangka Konseptual Untuk Pembebasan” Sharp berpendapat. Bahwa cara kekerasan pada umum jarang berhasil memenangkan kebebasan. Sebaliknya perjuangan dengan cara kekerasan dapat memicu represi brutal yang akhirnya membuat pendudu semakin tak berdaya dibanding sebelumnya.
“Orang-orang ini biasanya berjuang dengan gagah berani dengan taruhan nyawa dan kesengsaran. Kadang-kadang mereka merahi kemenangan yang mengagumkan, tapi umum jarang memenangkan kebebasan. Pemberontakan dengan kekerasan bisa memicu represi brutal yang akhirnya membuat penduduk makin tak berdaya ketimbang sebelumnya”
Apa yang dikatakan Gene Sharp sam persis dengan kitong bangsa Papua punya pengalaman perlawanan terhadap rasisme di tahun 2019 yang mendapat banyak evaluasi. Dimana gerakan perlawanan terhadap rasisme yang terjadi di seantero tanah Papua, juga di pusat administrasi penjajahan yang sangat luar biasa hebat hingga mampu mendekatkan bangsa Papua pada kemerdekaan. Namun sayangnya, kekerasan yang tidak diinginkan terjadi dan mengakibatkan kemunduran pada gerakan sipil dan membuat rakyat menjadi takut terlibat dalam aksi-aksi sipil karena brutalisme militer. Atau apa yang dikatakan Sharp tentang dampak aksi dengan cara kekeran itu benar.
Pertanyaannya, kenapa kekerasan dalam perlawanan terhadap rasisme di tahun 2019 itu bisa terjadi dan membuat perlawanan yang hebat itu hancur? Menurut saya, gerakannya tak terkonsulidasi baik dalam satu sistem yang terpimpin secara nasional Papua dan tanpa figur perjuangan sipil yang siap bertanggungjawab secara hukum dan politik. Serta lemahnya perangkat aksi dalam manajemen aksi itu sendiri.
Kesimpulan
Jika rakyat Papua ingin bebas dari perlakuan rasisme yang telah terkonstruksi di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terhadap orang Papua. Maka rakyat Papua harus dan wajib lawan balik perlakuan rasisme dengan tuntutan merdeka tanpa kompromi. Yang tentuhnya harus dilakukan dengan cara-cara damai tanpa kekerasan. Dan harus dilakukan dalam satu gerakan yang terpimpin secara nasional serta bertanggung jawab, baik secara hukum mau pun politik.
Ini adalah peluang yang mesti dilihat oleh ULMWP sebagai wadah kordinativ gerakan sipil yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat bangsa Papua. ULMWP yang saya maksud adalah ULMWP yang masih bersifat wadah kordinatif, bukan pemerintahan sementara yang belum memiliki kekuatan perintah atas mayoritas rakyat bangsa Papua.
Referensi:
1. https://gensindo-sindonews-com.cdn.ampproject.org
2. Gene Sharp (1997). MENUJU DEMOKRASI TANPA KEKERASAN.
Papua bebas merdeka dari indonesia baru rasisme terhadap bangsa papua itu hilang karena air sama minyak tidak mungkin bisa menyatu.
Kolonialisme di dunia dalam praktek penjajahan selalu ada Rasisme .
Sajak abab2 di Eropa , Asia dan Afrika.