Analisa Harian Nabi Musa, Thomas Wanggai, dan Perjuangan Melanesia Barat

Nabi Musa, Thomas Wanggai, dan Perjuangan Melanesia Barat

-

The Fenomena. Tulisan ini saya tulisan dalam rangka memperingati kematian sang fenomena dari Papua. Ia menjadi demikian bukan saja karena ideologi dan karismanya yang masih hidup hingga sekarang ini, walau tubuhnya telah kembali menjadi tanah dan rohnya telah kembali kepada Sang PemilikNya. Tapi juga karena pilihan politiknya untuk meninggalkan segala kemewahan yang dimilikinya dan memilih memikul salib bangsanya membuat ia menjadi fenomena. Dia adalah penggagas bendera Bintang 14, salah satu dari bendera Orang Papua Melanesia (OPM) yang mewarnai perjuangan pembebasan Papua merdeka hari ini, selain dari bendera Bintang Kejora yang berkibar pertama kali pada 1 Desember 1961.

Sang penggagas bendera Bintang 14 sebenarnya sudah tak asing lagi bagi orang Papua, namun ada kabut kegelisahan di hati saya terkait sang fenomena ini. Yang menjadi kegelisahan hati saya adalah, apakah kitong masyarakat pribumi Papua, utamanya generasi abad milenial tahu siapa penggagas bendera Bintang 14, selain dari tahu namanya? Sejak kapan ia membuat atau merancang bendera Bintang 14? Juga mengapa bendera yang lain dari bendera OPM yang pertama kali berkibar pada 1 Desember 1961 itu dibuat?

Pertanyaan siapa penggagas bendera Bintang 14 tentu bukanlah pertanyaan yang sulit untuk dijawab oleh pribumi Papua terutama para aktivis pembebasan Papua merdeka, jika hanya menyebut nama sang penggagas bendera Bintang 14. Namun ketika bicara soal konsep terutama alasan lahirnya bendera Bintang 14 tentu tidaklah mudah sebagaimana yang dipikirkan, terutama penulis sendiri.

Sebagai generasi 80an tentu saya tak punya pengetahuan atau penilaian yang memadai tentang sang tokoh ini. Karena secara pribadi saya terbatas akan referensi, juga ketika sang tokoh ini meninggal dunia, usia saya baru sembilan tahun. Sudah begitu, referensi terkait sang tokoh sangat terbatas. Hanya di kelompok gerakan Bintang 14 sendiri. Itu pun hanya di generasi tua sehingga generasi muda pun terbatas referensinya. Namun pembaca jangan berkecil hati, terutama pembaca seangkatan saya dan dibawa saya. Tulisan ini tidak akan mengecewakan Anda. Yang perlu pembaca lakukan agar tidak kecewa adalah terus membaca tulisan ini sampai selesai.

Tentang The Fenomena

The Fenomena lahir di kampung Ambai, Serui pada 5 Desember 1937 dari orang tua laki-laki bernama Zadrak Aimandori Wanggai dan Ibu Asnat Rewang. Ia diberi nama Thomas Wapai Newei Serampayai Wanggai. Ia adalah pembuat bendera Bintang 14. Sekolah dasarnya diselesaikan di kampung halamannya di Ambai dan dilanjutkan di Biak lalu ke Jayapura. Pendidikan tersebut ditempuh dalam sistem pendidikan kolonialisme Belanda. Thomas Wanggai masuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih (Uncen) pada tahun 1963 sebagai mahasiswa pertama. Dari Uncen yang didirikan oleh kolonialisme Indonesia, Thomas Wanggai berpetualang ke Jepang. Disana ia mendalami bahasa Jepang di International Institusi Of Japanese Language dan tamat tahun 1965. Setelah tamat dari Akademi Bahasa Jepang, ia berkuliah lagi di Okoyama State University dan berhasil meraih gelar sarjana hukum pada tahun 1969.

Ketika masih berada di Jepang, ia menikah dengan seorang perempuan Jepang bernama Mimie Teruko Kohara, kelahiran Kurshiki pada 10 September 1945 dan diberkati tiga orang anak: Salmon Theophilus Seradori Wanggai, Angelica Virginia Indasi Wanggai, dan David I. D. S. Wanggai.

Dari Jepang, ia pulang dan bekerja di Pemda Papua. Tak lama bekerja sebagai seorang pegawai di Pemda Papua, Thomas kembali bersekolah di New York State University di Albany, New York, Amerika Serikat. Thomas berhasil menyelesaikan gelar MPA atau Master of Public Administration pada tanggal 24 Mei 1981. Sedangkan pada 14 Desember 1985, Thomas Wanggai berhasil menyelesaikan studi S3 dengan gelar Doktor of Philosopy atau PhD di Bidang Public Administration (Administrasi Negara) di Universitas Florida, Tallahase, Amerika Serikat dengan judul disertasi, “Decentralization of Authority for National Development in Developing National State a Comparative Analysis“. Dengan sederet gelar akademisi membuat namanya Thomas Wapai Newei Serampayai Wanggai bertambah panjang menjadi Dr. Thomas Wapai Newei Serampayai Wanggai, SH., MPA., PhD.

Seperti dikuti di koran Jubi No. 16 Tahun I, 29 Maret – 11 April 2000, walau sederet gelar akademisi telah berderet dibelakang namanya, namun Thomas Wanggai masih memperkaya ilmu pengetahuannya melalui beberapa training. Antara lain: Development Administrators Training Program pada bidang Local Development Area Administration and Project Analysis yang diikutinya pada Institute of Publik Service di State University of Connecticut, Amerika Serikat pada 1974 dan kursus pada bidang komunikasi di Michigan State Universitay di Annabor, Michigan, Amerika Serikat pada 1975. Pengalaman yang dibarengi dengan gelar akademisi yang menumpuk di belakang namanya membuat ia tidak saja bekerja sebagai Staf Ahli Bappeda Pemda Papua, tapi Thomas Wanggai juga menjadi dosen luar biasa pada Akademi Pemerintahan Dalam Negeri dan dosen luar biasa di STIE Ottow Geisler Jayapura (sekarang Universtias Ottow Geiser). Juga Thomas Wanggai adalah anggota International Development Associaton Depertemen Luar Negeri Amerika Serikat cq, Agency for International Development antara tahun 1974 sampai 1976.

Dengan semua capaian yang luar biasa itu, Thomas tidak menutup mata dan hatinya terhadap penjajahan yang dialami bangsanya sendiri. Bangsa yang disebutnya dalam proklamasi 14 Desember 1988 sebagai bangsa Melanesia Barat. Hebatnya, dengan sederet gelar akademisi dan pengalaman yang luar biasa itu, ia rela mengambil resiko dan menanggalkan segala kemewahan dan kenyamanan pribadinya di zaman rezim kolonial Indonesia yang tak manusiawi demi kemerdekaan bangsanya.

Itulah cinta. Kecintaan Thomas Wanggai terhadap tanah dan rakyat bangsa Papua Barat atau Melanesia Barat yang dikisahkan oleh istrinya, Mimie Teruko Kohara Wanggai dengan mata berlinang kepada Drs. S. M. Paiki ketika eks tapol Melanesia Barat itu berkujung ke rumah perempuan Jepang yang menjahit bendera Bintang 14 yang dikibarkan pertama kali itu. Bahwa suaminya, Thomas Wanggai ketika selesai menempuh pendidikan S2 dan S3 di Amerika, ia (Thomas Wanggai) ditawari beberapa negara di dunia untuk bekerja di negara mereka. Namun ia menolak karena kecintaannya terhadap tanah dan rakyat Papua.

“Waktu bapa kalian selesai kuliah dari Amerika, ada beberapa negara besar yang memintanya untuk bekerja di negara mereka. Dan saya sebagai istrinya menginginkan itu. Tapi karena dia terlalu cinta kalian orang Papua dan tanah airnya, maka dia menolak semua tawaran itu dan memilih berjuang untuk bangsanya.” Cerita bapa Paiki pada Jumat, 25 Februari 2022 yang mengulang cerita istri Almarhum Thomas Wanggai kepada saya.

Keputusan yang didasari oleh rasa cinta itu membuatnya harus kehilangan nyawanya secara misterius di Lapas Kelas I Cipinang Jakarta, pada 12 Maret 1996 setelah 8 tahun dikurung di dalam penjara untuk 20 tahun masa hukuman penjara yang divonis kepadanya. Empat tahun setelah kematiannya, media Jubi membuat satu laporan tentang Thomas Wanggai. Dalam laporan yang ditaruh sebagai laporan utama itu, dikatakan bahwa pengaruh ideologi dan karismanya yang masih hidup hingga saat itu, tahun 2000 (bahkan sampai saat ini) membuat sangat logis bila ia menjadi fenomena. Juga dikatakan bahwa Thomas Wanggai adalah tokoh perjuangan pembebasan Papua Barat atau Melanesia Barat yang kematiannya mampu memantik amarah masa rakyat Papua yang luar biasa. Sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah perjuangan Papua merdeka.

Jubi menulis juga, “Dalam sejarah di Papua, belum pernah kematian seorang tokoh bisa memicu kemarahan massa yang luar biasa. Maka pastilah Thom menjadi fenomena.”

Kematian Thomas Wanggai yang mampu memicu kemarahan masa yang luar biasa hingga Abepura ludes terpanggang api dan ideologinya yang masih hidup hingga sekarang ini membuat Jubi menggunakan kata fenomena untuk menggambarkan siapa Thomas Wanggai. The Fenomena. Namun bagi saya, Thomas Wanggai bukan saja The Fenomena tapi seorang yang dipilih dan dipanggil Tuhan untuk membebaskan bangsa Papua Barat atau Melanesia Barat dari kolonialisme (penjajahan) Indonesia seperti Nabi Musa dalam sejarah bangsa Israel yang dikisahkan dalam Alkitab.

Dalam Alkitab dikisahkan bahwa walau dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatan (Kisah Para Rasul 7:22). Bahkan ia (Musa) diproyeksikan akan menduduki takhta kerajaan di Mesir sebagaimana yang ditulis oleh Samin H. Sitohang, SH., M.Div., M.Th dalam buku Kasus-Kasus Dalam Perjanjian Lama (dikutipnya dari Wood, 1986:94). Namun karena Musa memiliki hati yang lembut terhadap bangsanya maka ia (Musa) tidak lupa diri terhadap bangsanya sendiri. Sehingga Ia (Musa) rela meninggalkan segala kemewahan dan kenyamanan yang diperolehnya di dalam istana Firaun lalu memberontak terhadap Firaun dan pemimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Sama seperti Thomas Wapai Wanggai. Dengan gelar akademisi yang menumpuk dibelakang, namanya dan kehidupan yang tak berkekurangan sebagai seorang pejabat di teras Pemda Papua, juga sebagai seorang dosen luar biasa. Dia tak berpikir individualistik apa lagi sombong hati, namun hatinya peka terhadap kesengsaraan bangsanya. Maka dia rela meninggalkan segala kemewahan dan kenyamanan yang diperolehnya di dalam istana Firaun Indonesia, lalu memberontak terhadap Firaun untuk pemimpin dan menunjuk jalan kemerdekaan bagi bangsa Melanesia Barat agar merdeka dan berdaulat dari kolonialisme Indonesia.

Jadi jawaban lain dari pertanyaan siapa penggagas bendera Bintang 14 selain jawabannya adalah Thomas Wapai Wanggai yang fenomena itu, jawaban lainnya adalah hasil kerja Nabi Musa dari Papua. Sekarang tinggal bagaimana orang Papua, mau ikut jalan yang telah dibuka oleh sang Nabi Allah dari Papua atau mau terus berputar-putar dengan hati yang tenggak-tengguk dengan persoalan yang ditinggalkan Belanda yang sekian puluh tahun tidak bertanggungjawab itu? Hanya pemimpin goblok yang terus memimpin rakyatnya jatuh di lubang yang sama.

Awal Bikin Bendera Bintang 14

Thomas Wanggai bikin bendera Bintang 14 pada tahun 1969 pada saat ia berada di Jepang. Ketika itu, baru tiga warna yang digunakan (hitam, putih, dan merah) tanpa memberi makna pada gambar tersebut. Lalu pada tahun 1983 di Tallahasse, Florida-Amerika Serikat, Thomas mendapat ilham untuk menambahkan warna hijau yang membentang dari atas ke bawa, di bagian sebelah kiri bendera yang dibuatnya itu dan di bagian hijaunya ia meletakan 14 bintang yang disusun berbentuk salib yang kemudian dikenal dengan bendera Bintang 14. Lalu pada tahun 1986 di Kota Port Numbay, Jayapura, Thomas yang juga adalah anggota Dewan Korator Sekolah Tinggi Theologia GKI (Gereja Kristen Injili) Isack Samuel Kijne membuka Alkitab dan menemukan pembenaran atas bendera rancangannya itu dalam kitab Wahyu  6:1-17. Dan dari situ ia kemudian memberi makna pada tiap warna yang ada pada bendera rancangannya itu. Warna hitam sebagai warna maut, warna kematian yang harus ditebus dengan salib, yakni penderitaan yang harus dilalui oleh bangsa Melanesia Barat untuk mencapai kebahagian di tanah airnya sendiri dan di bumi manusia. Begitulah ceria awal lahirnya bendera Bintang 14.

Jadi cerita mulut yang berkembang di saat itu hingga masih tercium sekarang ini Thomas Wanggai memproklamasikan Negara Republik Melanesia Barat yang benderanya adalah bendera Bintang 14 pada tanggal 14 Desember 1988. Lalu mendaulatkan dirinya sebagai Presiden adalah pelarian diri atas kekalahannya dalam pemilihan Gubernur Papua melawan Barnabas Suebu.pada November 2017 dituduh dan ditetapkan sebagai koruptor dan dijebloskan ke dalam penjara Indonesia, barulah mengatakan menyesal bergabung dengan Republik Indonesia adalah cerita hoax untuk menekan citra politik dan karisma yang dimiliki Thomas Wanggai. Thomas Wanggai kalah bersaing untuk menjadi Gubernur Papua dari Barnabas Suebu pada tahun 1987.

Mengapa Thomas Wanggai Kibarkan Bendera Bintang 14 dan Baca Proklamasi?

Selain alasan hukum, ada beberapa alasan mendasar lainnya yang mendasari pengibaran bendera Bintang 14 dan Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Melanesia. Intinya ada sebab akibatnya.

Dari dari buku Bahasa Menunjukan Bangsa dan buku Proklamasi Kemerdekaan Negara Melanesia Barat Solusi Terbaik Meraih Kedaulatan Rakyat Melanesia Barat yang ditulis Drs. S. M. Paiki, nahkoda Dewan Melanesia Barat, saya berpendapat bahwa pembuatan bendera Bintang 14 oleh Doktor Thomas Wanggai untuk tujuan politik tidak saja mendapat jaminan dari mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DU HAM) yang diadopsi oleh PBB ke dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (Sipol), serta Ekonomi dan Sosial Budaya (Ekosob) yang mana DU HAM dan kovenan PBB tentang Sipol dan Ekosob yang turut diratifikasi oleh pemerintah Indonesia memberi jaminan tentang hak menentukan nasib sendiri bagi sebuah bangsa.

Namun pengibaran bendera Bintang 14 pertama kali di Stadion Mandala Jayapura pada 14 Desember 1988 yang disertai dengan pengumuman kemerdekaan (proklamasi), ada sebabnya. Penyebabnya adalah proses demokrasi dan keabsahan Pepera 1969 yang dilakukan berdasarkan amanat perjanjian internasional yakni New York Agreement 15 Agustus 1962 yang cacat hukum. Karena dilaksanakan dalam model Indonesia yang bukan saja tidak lazim dalam kaca mata masyarakat internasional (one man one vote) yang bebas dan rahasia. Tapi juga tidak sesuai dengan moral dan etika dalam sistem demokrasi Pancasila, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Bukan kekerasan yang dipimpin oleh militer dengan todongan senjata untuk memilih dan menekan perwakilan. Itulah akibat atau dampak proses demokrasi (politik) yang melatari Thomas Wanggai mendesain bendera Bintang 14 untuk tujuan ideologi dan politik.

Sementara proklamasi kemerdekaan Negara Republik Melanesia Barat yang bendera negaranya adalah bendera Bintang 14, adalah akibat dari sebab (hukum) pengingkaran pemerintah Indonesia atas Roma Agreement  pada 30 Septemeber 1962 atau Roma Treaty. Isi perjanjian Roma Treaty yang disebut-sebut sebagai perjanjian rahasia tersebut menyatakan bahwa Indonesia sebagai mandataris PBB atas Papua selama 25 tahun, terhitung normal 1 Mei 1963. Sehingga secara normatif keberadaan Indonesia di Papua berakhir pada 1 Mei 1988.

Jadi sejak 1 Mei 1988, perjanjian internasional yang menjadi kekuatan hukum bagi Indonesia berada di Papua telah berakhir dan Papua memasuki satu babak baru yaitu daerah tak berpemerintahan. Kekosongan itu kemudian diisi oleh Doktor Thomas Wanggai dengan mengumumkan secara resmi kepada rakyat Papua Barat atau Melanesia Barat semuanya: dengan nama Allah Bapa, Allah Anak Yesus Kristus, dan Allah Roh Kudus, kami atas nama bangsa Melanesia Barat dengan ini menyatakan kemerdekaan Negara Republik Melanesia pada tanggal empat belas bulan desember tahun seribu sembilan ratus delapan puluh delapan, atas nama bangsa Melanesia Barat, tertanda Thomas Wapai Newei Sarampayai Wanggai.

Apa yang dilakukan Thomas Wanggai pada 14 Desember 1988 sama seperti yang dilakukan Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 ketika Jepang yang menjajah Indonesia melalui kaisar Jepang menyatakan kalah perang dari Amerika. Sehingga kekuatan hukum dan politiknya di wilayah jajahannya menjadi lemah (kosong) dan itu dimanfaatkan untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Amboina, tidak termaksud Papua.

Jadi lahirnya bendera Bintang 14 dan proklamasi kemerdekaan Negara Republik Melanesia Barat adalah dampak dari konsekuensi logis dari hukum, sebab akibat.

Pembaca tentu bertanya. Tapi kenapa Thomas Wanggai berpamitan dengan sejarah politik 1 Desember 1961, padahal itu adalah dasar sejarah perjuangan politik orang Papua. Atau mengapa Thomas Wanggai tidak melanjutkan itu dengan mengibarkan bendera Bintang Fajar dan membacakan proklamasi untuk mengisi kekosongan dari peristiwa 1 Desember 1961. Dalam hemat saya, persoalan antara Belanda dan Indonesia untuk merebut Papua telah berakhir dengan perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 dengan kemenangan bagi Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari isi perjanjian New York yang tidak memberikan ruang yang berarti bagi Belanda untuk terlibat dalam proses Pepera 1969 yang kita ketahui keabsahannya sudah cacat hukum.

Hasil Pepera 1969 yang cacat hukum itu dapat diterima dengan dikeluarkan resolusi PBB 2504 adalah kemenangan taktik Indonesia yang distrategiskan di dalam Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962. Isi perjanjian yang strategis bagi taktik Indonesia untuk merebut Papua dari Belanda dan menjadi kekalahan Belanda adalah penyerahan pemerintahan di Irian Barat (Papua) kepada PBB dalam hal ini UNTEA dan dari UNTEA diserahkan kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 kemudian, Indonesia berkewajiban melaksanakan penentuan nasib sendiri pada tahun 1969 dengan ketentuan Belanda dan Indonesia akan menerima hasil pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri tersebut (Kehidupan Pasca Kemerdekaan, 2008:52). Ini titik kekalahan Belanda.

Belanda bisa kalah dalam strategi mempertahankan Papua dari rebutan Indonesia bukan saja karena Belanda yang bangsat itu tidak melibatkan orang Papua dalam memainkan peran lobi di PBB pada tahun 1969 terkait masalah Papua. Dan juga tidak melibatkan orang Papua dalam perundingan-perundingan internasional, salah satunya Perjanjian New York. Tapi kekalahan Belanda dalam pertarungan perebutan Papua sejatinya titik lemahnya dan pada peristiwa 1 Desember 1961.

Pengibaran bendera Bintang Fajar pada 1 Desember 1961 adalah taktik Belanda agar tetap mengkoloni Papua, namun karena tidak distrategiskan dengan pengumuman kemerdekaan. Sehingga Soekarno yang sejak 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMP) ngotot merebut Papua dari Belanda melihatnya sebagai peluang. Maka untuk merebut Papua, Soekarno mengumumkan Trikora pada 19 Desember 1961. 18 Hari setelah pengibaran bendera 1 Desember 1961. Trikora sendiri adalah strategi militer dengan taktik infiltrasi dan perang militer yang disebut sebagai perang pembebasan Irian Barat. Strategi militer ini diperkuat dengan strategi diplomasi yang taktiknya adalah lobi Uni Soviet dan Amerika Serikat dan beberapa anggota negara PBB.

Dalam adu strategi dan taktik, ternyata Indonesia yang dijajah Belanda 350 tahun lebih strategis dan maju dari Belanda. Sehingga pertarungan perebutan tanah Papua itu dimenangkan oleh Indonesia dan kekalahan bagi Belanda dengan disepakatinya perjanjian New York yang tidak memberi ruang bagi Belanda di Papua hingga Pepera 1969. Hemat saya, jika pada 1 Desember 1961 disaat bendera Bintang Fajar dikibarkan ada pengumuman kemerdekaan (proklamasi) tentu lain cerita. Tapi karena tidak ada proklamasi maka 18 hari kemudian Soekarno mengumumkan Trikora yang adalah strategi militer melawan taktik Belanda yang tidak strategis, dan hasilnya seperti yang kitong tahu, Belanda guling tikar alias kalah.

Kekalahan Belanda itu berdampak pada perjuangan orang Papua di tahun 1960an hingga dewasa ini, yang berjuang dengan berpegang pada histori politik yang ditinggalkan Belanda, bukan dengan pandangan bahwa hak menentukan nasib sendiri orang Papua tidak bisa ditentukan bangsa lain, melainkan bangsa Papua Barat atau Melanesia Barat sendiri yang harus menentukan nasibnya sendiri. Maka orang Papua harus bangkit dan berjuang untuk menentukan nasibnya sendiri dengan strategi taktiknya sendiri. Bahkan ideologi hasil rumusan intelektual bangsanya sendiri.

Kitong bisa kena dampak kekalahan dan bisa berjuang hingga ratusan tahun kalau kitong masih terus menggunakan taktik Belanda yang telah gagal hanya karena klaim, bahwa peristiwa politik 1 Desember adalah sejarah politik orang Papua. Padahal peristiwa 1 Desember 1961 adalah taktik Belanda dan itu adalah politik Belanda untuk nantinya tetap mengkoloni Papua sebagai provinsi seberang laut dari pemerintahan kerajaan Belanda.

Agar kitong tidak mengalami hal yang sama seperti Belanda yang membuat kegaduhan di Papua dan akhirnya kalah. Atau berjalan di jalan revolusi yang panjang (beratus-ratus) tahun baru mencapai kemenangan sebagai bangsa campuran. Maka kitong harus berpamitan dengan histori politik Belanda dan ideologi yang ditinggalkan di Papua dan melangkah untuk merebutkan kemerdekaan dengan ideologi kita sendiri melalui taktik dan strategi kita sendiri. Dan itu yang dilakukan Doktor Thomas Wanggai, bapak bangsa Melanesia Barat. Thomas Wanggai bukan saja menanggalkan strategi Belanda yang dibuat tanpa taktik atau taktik tanpa strategi. Juga sekalian menanggalkan dan mengubah ideologi politik yang ditinggalkan oleh Belanda. Sebagaimana yang dikatakan Dr. George Aditjondro dalam bukunya Cahaya Bintang Kejora bahwa Thomas telah berpamitan dari bekal historis OPM yang sebelumnya.

“Tampaknya cendekiawan asli Papua asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagaian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.” Tulis George.

Kenapa Doktor Thomas Wanggai berpamitan dengan bekal historis OPM yang didasari pada peristiwa politik 1 Desember 1961? Sun Tzu, ahli strategi militer klasik dari Cina mengatakan bahwa, “Taktik tanpa strategi hanyalah kegaduhan sebelum kekalahan.” Juga “Strategi tanpa taktik adalah jalan paling lambat untuk mencapai kemenangan”. Apa yang dikatakan Sun Tzu seakan mengevaluasi taktik non kekerasan yang digunakan Belanda waktu itu dan juga perjuangan Papua dewasa ini yang masih mewarisi dan melanjutkan taktik Belanda untuk tetap menjadikan Papua sebagai wilayah provinsi seberang laut dari Belanda atau Papua Belanda.

Belanda menggunakan taktik non kekerasan dengan membuat lembaga politik bagi orang Papua kemudian dari lembaga politik ini lahirlah manifesto bangsa Papua (bukan manifesto kemerdekaan). Dari manifesto yang dibuat oleh Komite Nasional Papua (KNP), satu lembaga politik ekstra yang didorong pembuataanya oleh De Rijke, berkebangsaan Belanda. Maka terjadilah pengibaran bendera Bintang Fajar pada 1 Desember 1961. Ini adalah pilihan metode dan taktik yang baik untuk mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat Papua dan internasional yang lagi ramai-ramainya mendukung ide dekolonisasi untuk menghindari terjadinya perang.

Mengapa taktik Belanda bisa gagal? Sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, bahwa Belanda bisa kalah karena tidak menstrategiskan pengibaran bendera pada 1 Desember 1961. Belanda hanya mengibarkan bendera pada 1 Desember 1961, tapi tidak mengumumkan kemerdekaan Papua Barat. Kenapa bisa? Karena Papua harus tetap menjadi bagian dari provinsi seberang laut dari Belanda. Akibatnya adalah kegaduhan di kalangan para elit Papua tahun 1960an dan rakyat Papua sendiri seperti ditulis oleh Bernada Meterai dalam bukunya Nasionalisme Ganda Orang Papua, Alexander Griapon dalam bukunya Risalah Perdebatan Dewan Niuw Guinea Raad, Prof Drooglever dalam bukunya Tindakan Pilihan Bebas Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, dan Blus Papua Bab 11. Juga kegaduhan antara Belanda dan Indonesia. Dan kegaduhan itu mengakibatkan kekalahan bagi Belanda sebagaimana kata Sun Tzu “Taktik tanpa strategi hanyalah kegaduhan sebelum kekalahan.”

Berbeda dengan Doktor Thomas Wanggai yang bukan saja berpamitan dengan sejarah politik yang ditinggalkan Belanda. Doktor Thomas Wanggai menstrategiskan taktik pengibaran bendera Bintang 14 yang pertama kalinya dengan memproklamasikan kemerdekaan Negara Melanesia Barat. Sesuatu yang tidak terjadi pada taktik Belanda pada 1 Desember 1961, itu sebabnya Belanda guling tikar.

Jadi mengapa Thomas Wapai Wanggai membuat bendera Bintang 14 dan proklamasi kemerdekaan Negara Republik Melanesia Barat sebagai taktik yang strategis untuk mencapai hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat atau Melanesia Barat. Menggantikan taktik Belanda yang konyol karena tidak distrategiskan terlepas dari hukum sebab-akibat yang dijelaskan di atas.

Kesimpulan

Kesimpulannya adalah bahwa taktik Thomas Wanggai adalah taktik yang tepat, cermat, dan cepat bahkan sebagai mujizat mencapai kemerdekaan. Karena taktik tersebut telah distrategiskan, bahkan meninggalkan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Melanesia dengan 163 pasal garis-garis besar haluan negara. Taktik Thomas Wanggai seperti taktik mujizat yang dibuat Nabi Musa dengan membela laut menjadi jalan potong bagi bangsa Israel dan meninggalkan 10 hukum Tuhan sebagai aturan hidup bagi bangsa Israel menuju tanah Kanaan.

Sekarang tinggal kebijaksanaan rakyat Papua dan tokoh yang menjadi pemimpin perjuangan Papua merdeka untuk memilih. Apakah mau melanjutkan strategi yang ditinggalkan The Fenomena yang mati dibunuh di lapas Cipinang, Jakarta pada 12 Maret 1996 karena cinta terhadap masyarakat dan tanah air Papua Barat atau Melanesia Barat, atau melanjutkan strategi Belanda yang bukan saja telah ditaklukan oleh Indonesia, tapi juga strategi politik yang sarat dengan kepentingan politik tanpa rasa cinta? Sungguh gila bila dilanjutkan. Gila pun bukan karena strategi itu tanpa rasa cinta. Melainkan secara hukum dan politik tidak kuat dan akan terkendala peran aktor Belanda, Indonesia, Amerika dan PBB. Terkait analisis peran aktor, kitong akan jumpa lagi di tulisan berikutnya.

Salam Tumbuna.

***

Referensi:

1. Koran Jubi No. 16 Tahun I, 29 Maret – 11 April 2000.

2. Wawancara dengan Drs. Paiki pada Jumat, 25 Februari 2022.

3. Alkitab dari Kisah Para Rasul 7:22 dan Wahyu  6:1-17.

4.  Sitohang, Samin H. 2006. Kasus-Kasus Dalam Perjanjian Lama. Yayasan Hidup.

5. Paiki, S. M. Bahasa Menunjukan Bangsa.

6. Paiki, S. M. Proklamasi Kemerdekaan Negara Melanesia Barat Solusi Terbaik Meraih Kedaulatan Rakyat Melanesia Barat.

7. Hermawan, Ruswandi dan Permana Sukanda. 2008. Kehidupan Pasca Kemerdekaan. Setia Purna Inves, Bandung.

8. Meteray, Bernarda. 2016. Nasionalisme Ganda Orang Papua. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

9. Griapon, Alexander. Risalah Perdebatan Dewan Niuw Guinea Raad.

10. Drooglever, P. J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Kanisius, Yogyakarta.

Philipus Robaha
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa)

3 KOMENTAR

  1. Luar biasa hormat sangat jelas sekali perjuangan beliau emang membebaskan rakyat Papua Barat, dan membuat saya bertanya adalah bendera bintang 14 itu sampai saat ini belum menemui makna. Yang kedua banyak tidak ada dukungan penuh oleh tokoh Papua, bahwa rakyat. Sampai hari ini perjuangan beliau bertentangan dengan sejarah 1 Desember 1961.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan