Analisa Harian Damai Papua yang Tercabik: Pelanggaran HAM yang Tak Kunjung...

Damai Papua yang Tercabik: Pelanggaran HAM yang Tak Kunjung Usai

-

Buku Damai Papua Yang Tercabik adalah buku terbaru SKPKC Fransiskan Papua, yang baru saja di-launcing pada hari Rabu, 30 Maret 2022 lalu. Buku Seri Memoria Passionis No. 39 ini ditulis oleh Tim SKPKC Fransiskan Papua, yaitu Bernard Koten, Yuliana Langowuyo, dan Theo van den Broek. SKPKC Fransiskan Papua sendiri selalu konsisten untuk mendokumentasikan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM di Papua. Buku yang sama diterbitkan tahun 2020 tentang peristiwa HAM yang terjadi di tahun 2019 dengan judul Tuntut Martabat Orang Papua di Hukum.

Salah satu manfaat mendokumentasikan peristiwa-peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua melalui media buku adalah untuk membeberikan gambaran secara langsung bagi rakyat dan publik tentang situasi HAM di Papua yang tidak perna berubah, dan justru semakin parah. Buku-buku Memoria Passionis SKPKC Fransiskan Papua dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2020 telah penulis baca dan membantu penulis mendapatkan informasi tentang kondisi rakyat secara umum, tetapi juga kondisi dan tekanan yang dihadapi oleh aktivis dan tokoh perjuangan kemerdekaan Papua yang selalu dikriminalisasi, diintimidasi, bahkan dibunuh oleh negara kolonial Indonesia melalui aparat keamanan baik TNI dan Polri. Selain itu juga buku-buku ini menjadi media terbaik menemukan informasi, apa lagi dengan melihat kondisi perjuangan dan perlawanan di Papua yang selalu direspon dengan pemadaman akses internet. Bahkan lebih jauh lagi penulis seperti belajar tentang sejarah momentum-momentum penting seperti Kongres Rakyat Papua (KRP) II dan KRP III dan lahirnya gerakan di Papua, seperti saat lahirnya WPNA pada tahun 2004.

Buku Damai Papua yang Tercabik ini merupakan dokumentasi peristiwa HAM di Papua. Buku setebal 71 halaman ini dibagi menjadi tujuh bab dengan memotret peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM di Papua pada tahun 2020. Bagian pertama buku ini diberi judul ‘Melawan Rasisme dan Ketidakadilan Hukum’, bagian kedua ‘Nasib Otonomi Khusus Papua’, bagian ketiga ‘Konflik Bersenjata Tak Kunjung Henti’, bagian empat ‘Operasi Militer: Gagalnya Pendekatan Keamanan, bagian kelima Penyelesaian HAM di Tanah Papua’, bagian keenam ‘Omnibus Law dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Hidup dan Masyarakat Adat di Papua’ dan bagian ketujuh Penutup.

Buku ini akan memberikan gambaran bagaimana pelanggaran HAM di Papua terjadi sepanjang tahun 2020 dari kriminalisasi aktivis, operasi militer, penembakan, dan pengungsian masyarakat sipil, bahkan aktivis dan rakyat yang harus hadapi Otonomi Khusus dan Omnibus Law. Penulis membagi pokok bahasan buku ini menjadi enam bagian dalam penulisan ini. Dan buku ini akan membuktikan banyak persoalan yang terjadi sepanjang tahun 2020 untuk memecah rakyat dalam persoalan yang berbeda, dengan akar konfliknya, yaitu kolonialisme, kapitalisme dan militerisme.

Melawan Rasisme dan Ketidakadilan Hukum

Bagian ini dijelaskan aksi penolakan sikap rasis yang ditujukan kepada Indonesia telah membawah tujuh tahanan politik mendekam dalam dinginnya penjara di Samarinda, Kalimantan Timur. Mereka dipindahkan sesuka hati dengan alasan keamanan. Selain itu ada juga kasus lainnya seperti penangkapan Assa Asso dan Straky Yally yang dikriminalisasi tanpa alasan yang jelas dan tanpa bukti yang kuat. Setidaknya pasca aksi rasisme 72 orang Papua telah ditangkap.

Selain itu usaha-usaha diskusi secara daring pasca munculnya Covid-19 juga dilakukan dan menjadi sarana terbaik menginformasikan kejahatan rasisme dan pelanggaran HAM di Papua kepada semua elemen rakyat, yang belum memahami situasi dan kondisi rakyat Papua, yang mana disebutkan pada Bab pertama ini bahwa nasib rakyat Papua seperti peribahasa tua, “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Dalam kurun waktu satu bulan, April-Juni 2020 saja telah dilakukan 12 diskusi daring, yang membahas tentang persoalan rasisme dan pelanggaran HAM di Papua.

Nasib Otonomi Khusus Papua

Dijelaskan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar oleh MRP di Merauke juga harus berakhir dengan penahanan 54 peserta dan juga anggota MRP. Bagi pihak kepolisian di Papua, RDP yang sesuai dengan pasal 77 UU Otsus 2001 adalah tindakan makar. Di tengah penolakan, kemunculan Petisi Rakyat Papua (PRP) memberikan secercah harapan akan perlawanan terhadap Otonomi Khusus dan untuk mewujudkan cita-cita rakyat, yaitu berpisah dari Indonesia. Konsolidasi-konsolidasi dilakukan, organisasi-organisasi di Papua kemudian dirapatkan, dan rakyat memberikan suara penolakannya, bahkan ratusan ribu suara terjaring melalui wadah PRP.

Berbagai kontroversi Otsus muncul. Pemahaman akan Otsus hanya tentang pelimpahan dana yang diberikan Indonesia pada Papua, tanpa melihat hak-hak dasar lainnya bagi Papua yang menerima kekhususan melalui Otsus, seperti kewenangan daerah, partai politik, hak-hak masyarakat adat, perekonomian, pendidikan dan hak asasi manusia.

Konflik Bersenjata Tak Kunjung Henti

Dijelaskan aksi rasisme yang terjadi pada 2019 menyebabkan pendropan militer ke Papua terus bertambah. Pengiriman pasukan yang dilakukan di daerah pegunungan telah menyebabkan banyak masyarakat sipil yang terpaksa mengungsi. Selain karena pasca aksi rasisme, tetapi juga ada kepentingan lain, yang membuat konflik antara TPN PB dan TNI/Polri menyala, kemudian menjadikan masyarakat sipil sebagai korban dari panasnya konflik yang membara.

Gagalnya Pendekatan Keamanan

Dijelaskan kepentingan Indonesia untuk mengeksploitasi alam Intan Jaya telah membuat ribuan masyarakat sipil mengungsi ke Mimika. Ini yang menjadi alasan Haris Azhar turun ke Mimika dan mengadvokasi permasalahan pengungsi di Mimika yang tidak bisa kembali ke kampungnya. Pendekatan keamanan terus dilakukan dan menimbulkan banyak korban penembakan, baik dari usia anak-anak sampai dengan usia dewasa. Setidaknya ada 8,854 aparat yang dikirimkan ke Papua sepanjang tahun 2020.

Penyelesaian HAM di Tanah Papua

Dijelaskan berbagai upaya dilakukan untuk memperjuangkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua, baik dari di Papua bahkan ditingkatan internasional, namun semua sia-sia. Indonesia tidak punya niat baik untuk menyelesaikan persoalan HAM di Papua. Bahkan puluhan kasus pelanggaran HAM terjadi sepanjang tahun 2020.

Omnibus Law dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Hidup dan Masyarakat Adat di Papua

Dijelaskan Omnibus Law sekalipun menjadi undang-undang sapujagat yang sangat berbahaya bagi Tanah Papua, namum isu RUU Omnibus Law sampai pengesahannya tidak mendapatkan perlawanan sekeras perlawanan pada pengesahaan Otsus Jilid 2 (UU No. 2 Tahun 2022). Di tengah kontra, Omnibus Law tetap disahkan. Kini hanya menunggu dampaknya bagi masyarakat adat, lingkungan, petani, buruh, nelayan dan kaum miskin kota.

Buku ini ditutup dengan harapan untuk mencari solusi yang tepat. Solusi yang tidak mengorbankan nyawa sesama manusia, dan solusi untuk keadilan dan kedamaian di Tanah Papua.

***

Yokbeth Felle
Penulis adalah aktivis dan Pengasuh Rubrik Perempuan Lao-Lao Papua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan