Bunga Papua
Indah subur Tanah Papua
Bunga Papua tumbuh mekar
Kami belajar agar jadi pintar
Pintar semua…
(Ciptaan: Abner E Korwa)
***
Aku Anak Papua
Aku anak Papua
Dan kau anak Papua
Kita semua anak Papua
…
Kaki disentak-sentak
Pinggung digoyang-goyang
Tangan dilambaikan
…
Putar badan …
(Ciptaan: Abner E. Korwa)
***
Dua lagu itu, Bunga Papua dan Aku Anak Papua adalah ciptaan almarhum Abner Korwa yang saya lihat langsung dinyanyikannya bersama anak-anak di Sekolah Bunga Papua Inamo, Aimas, Kabupaten Sorong pertengahan tahun 2014. Bapa Abner mengiringi lagu ini dengan memainkan Juk (gitar kecil) yang sering Ia mainkan saat membawakan lagu-lagu Mambesak, sebuah kelompok musik folk legendaris Papua, dimana Ia menjadi salah satu anggotanya. Suaranya berat dan merdu saat saya dan beberapa kawan menyaksikannya bernyanyi di markas Yayasan Belantara Papua di Kota Sorong. Saya masih ingat betul dan tidak akan melupakannya.
Kenangan itulah yang menyentak saya, di hari Jumat, 16 Desember 2022. Saya terkejut saat membuka Whatsapp group Gantrocen (Gabungan Anak Antropologi Uncen). Kakak Max Binur menulis: “Berita duka. Kerabat senior kita kk Abner Korwa telah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta pagi ini jam 6 di rumah duka Jl. Gambas unit II Aimas Kab.Sorong.” Saya tertegun. Pikiran saya kosong. Saya duduk di meja kerja kami di dapur kecil sederhana di rumah sederhama kami di pesisir Kota Denpasar, Bali. Istri memanggil saya berulang kali dan (ternyata) saya tidak menjawabnya.
Pikiran saya terbang dalam ingatan pertengahan 2014 saat Bapak Abner Korwa menemani kami (saya, Prof. PM Laksono, dan kakak Laurens Minipko) dalam melakukan penelitian di Kota Sorong ketika itu. Sekelebat saya kemudian teringat pertemuan kami di daerah Makaleuw, Kota Manokwari pertengahan awal November 2022 lalu. Belum lama. Saat pertemuan terakhir tersebut, saya berjanji untuk menghubunginya semasih di Manokwari sebelum Ia Kembali pulang ke Sorong. Hingga beberapa hari kemudian saya ternyata lupa menghubungi Bapa Abner hingga kemudian saya kembali ke Bali. Ia kemudian kembali ke Sorong hingga pada pagi 16 Desember 2022 saya mendengar kepergiannya ke pelukan Sang Pencipta.
Saat mendengar kabar duka dari kakak Max Binur tersebut, saya yakinkan diri akan menulis mengenang kepergiannya bertemu Tuhan Allah, menuju keabadian. Tidak ada kisah seindah penuturannya tentang kebudayaan, kesenian di dalamnya, serta pendidikan budaya yang memiliki peranan sentral bagi orang Papua. Oleh karena itulah mungkin Ia mengabdikan diri, pengetahuan, dan kehidupannya untuk kedua bidang tersebut (kebudayaan dan pendidikan) hingga akhir hayatnya.
Bapak Abner Korwa jugalah yang membagikan kisahnya kepada saya tentang metode gerakan Mambesak yang sempat Ia lakoni. Saya ingat, paling tidak dua kali kami berdiskusi soal ini. Pertama di tempat saya menginap saat melakukan penelitian di Kota Sorong dan yang kedua saat melakukan diskusi kelompok terbatas di Yayasan Belantara Papua. Malamnya kami duduk bersama, bakar ikan, keladi, patatas, dan putar papeda serta dilanjutkan dengan menyanyikan lagu-lagu Mambesak. Malam itu sungguh indah. Salah satu bab berjudul Menapaki Jalan Mambesak dalam buku saya Hidup Papua Suatu Misteri (2022) bersumber dari diskusi dengannya. Saya menyimpan catatan wawancara dengannya dan kemudian saya menuliskannya.
Selang setahun kemudian yaitu tahun 2015, saya mengunjungi Kota Sorong kembali sebelum menuju Kabupaten Maybrat. Saya menginap dua malam di lokasi tepat kami duduk bakar-bakar ikan dan bernyanyi. Saat itu saya hanya tertegun menyaksikannya menyanyikan lagu-lagu Mambesak dan lagu bahasa Biak dengan sangat memukau, meski hanya menggunakan Juk. Saya menginap di rumah papan panggung Yayasan Belantara Papua ketika itu. Dua malam saya menginap, ingatan saya salah satunya tertambat kepada sosok Bapak Abner Korwa dengan gaya bernyanyi dan memainkan Juk.
Nafasnya adalah Budaya dan Pendidikan Papua
Saat menulis catatan sederhana ini, bayangan saya tentang sosok Abner Korwa adalah pribadi yang sangat berkomitmen terhadap budaya Papua dan pendidikan adalah media untuk mentransmisikannya. Sebagai seorang antropolog lulusan jurusan antropologi tertua di Tanah Papua yaitu Jurusan Antropologi, Universitas Cenderawsih (Uncen), Ia memiliki dasar pengetahuan yang kemudian diyakininya, yaitu menjadikan budaya sebagai basis gerakan sosial dalam dirinya. Kesenian dan pendidikan menjadi spirit dalam hidupnya. Pengetahuan dan keyakinan itu semakin terasah saat Ia terjun sebagai aktivis dan peneliti di Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa – Irian Jaya (YPMD-Irja) ketika itu. Pergaulan dan didikan yang didapat Abner Korwa muda menjadikannya salah satu jebolan aktivis Papua yang memiliki perhatian dan komitmen pada kebudayaan dan pendidikan Papua.
Sejujurnya saya tidak begitu lama dan mendalam mengenal sosok Abner Korwa. Tapi saya ingat betul dua informasi yang saya dapat tentang sosoknya dari P. M. Laksono, guru saya di Departemen Antropologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kisah yang dituturkan oleh Almarhum George Aditjondro saat kami bersama-sama naik motor butut saya, Honda Impresa menuju Warung Bima Kroda, salah satu warung babi guling di wilayah Banguntapan, Yogyakarta.
Saya ingat betul, Prof. P. M. Laksono di rumahnya dan di kampus Fakultas Ilmu Budaya UGM, beberapa kali menuturkan jalinan kerjasamanya dengan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) dan Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), Universitas Cenderawasih. Kerjasama dengan YPMD berwujud melakukan penelitian bersama staf YPMD yang terdiri dari anak-anak muda Papua untuk terjun melakukan advokasi dan penelitian ke kampung-kampung ketika itu. Anak-anak muda Papua itu kini menjadi beberapa tokoh penting dalam birokasi, politisi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pegiat HAM, dan aktivis gerakan sosial di tanah Papua. Abner Korwa adalah salah satu hasil didikan YPMD tersebut. Interaksi dalam beberapa program penelitian YPMD membawanya ikut serta dalam program peningkatan kapasitas dan kemampuan sebagai aktivis dan peneliti sosial.
George Aditjondro, salah satu pendiri dan direktur awal dari YPMD-Irja yang merupakan nama awal sebelum berubah menjadi YPMD, saya ingat betul sempat mengisahkan bahwa salah satu skripsi yang didukung dan dianggap baik oleh YPMD saat itu adalah penelitian dari Abner Korwa tentang budaya maritim di Biak, tanah kelahirannya sendiri. Saya baru mengetahui kemudian skripsi Abner Korwa untuk menyelesaikan sarjana antropologi di Universitas Cenderawasih tahun 1989 tersebut berjudul Tradisi Kemaritiman Suku Bangsa Biak. Abner Korwa juga beberapa kali menulis untuk Kabar dari Kampung, majalah legendaris dan sangat berpengaruh yang diterbitkan oleh YPMD-Irja. Salah satunya adalah bersama Johanes Hambur berjudul Perahu, Alat Transportasi Masyarakat Waigeo yang Hampir Hilang yang diterbitkan dalam Kabar dari Kampung Edisi 5 Nomor 22, Februari 1987. Saya yakin masih banyak laporan yang Ia tulis untuk YPMD maupun Kabar dari Kampung.
Saya meyakini semua jejak karyanya di YPMD dan kemudian memutuskan lebih banyak berkegiatan di Kota Sorong bersama Yayasan Belantara Papua, bernafaskan budaya Papua. Nilai-nilai yang tertanam saat bergabung dengan Mambesak tidak akan pernah hilang dan terpatri hingga Ia menghembuskan nafas terakhirnya. Cara bergerak Mambesak itulah yang coba Abner Korwa lakukan di Sorong bersama juniornya sesama antropolog dan seniman, Max Binur dan generasi muda aktivis gerakan sosial budaya di wilayah Sorong Raya. Cara gerak kebudayaan Mambesak adalah dengan menugaskan anggota-anggotanya untuk turun ke kampung-kampung menginventarisasi lagu-lagu daerah dan gerak-gerak tariannya. Fokusnya adalah mencatat lagu tersebut dan merekam bagaimana suara masyarakat yang memainkannya pada sebuah tape perekam sederhana. Tugas ini dilakukan oleh anggota dari Mambesak di kampungnya masing-masing.
Saat mereka kembali ke Jayapura untuk melanjutkan kuliah, para anggota Mambesak ini akan langsung mempraktikkan pengetahuan yang mereka dapatkan di kampung. Mereka akan menyanyi, menari, dan berbagi pengalaman mereka selama di kampung kepada teman-teman yang lain di Museum Loka Budaya Uncen yang menjadi “istana Mambesak”. Mereka kemudian melakukan aransemen ulang dan merekam lagu-lagu dari berbagai daerah tersebut yang hingga kini kita warisi sebagai lagu-lagu Mambesak hingga beberapa volume tersebut.
Abner Korwa dalam salah satu kesempatan kepada saya mengungkapkan Mambesak menemukan kejayaannya melaui metode gerak kebudayaan seperti itu yang melahirkan syair-syair lagu dan lantunan musik yang tidak lekang hingga kini. Pada sisi lainnya, Mambesak juga aktif menyuarakan isu-isu lingkungan dan terlibat dalam kegiatan penyelamatan alam Papua melalui kampanye-kampanye lingkungan dengan sumbangsih lagu, musik, dan tari-tarian.
Saat memutuskan untuk kembali ke Sorong, sempat beberapa lama kembali ke Biak, dan akhirnya memutuskan kembali menetap di Kabupaten Sorong, Abner Korwa secara penuh mengabdikan dirinya pada advokasi masyarakat sipil. Salah satu bidang yang menjadi perhatiannya adalah pendidikan anak usia dini bersama dengan Danarti Wulandari di Yayasan Belantara Papua. Mereka menerbitkan ulang lagi diktat pelajaran legendaris dari masa zendeling yaitu Itu Dia karya dari Pendeta I. S. Kijne dan yang terpenting adalah menginisiasi Sekolah Bunga Papua.
Kehadiran Sekolah Bunga Papua selain memberikan pendidikan untuk anak-anak yang tersisihkan dari akses pendidikan usia dini, juga mendidik dengan konteks budaya dan berkesenian ala Papua. Pada konteks inilah peran Abner Korwa menjadi sangat penting. Ia menciptakan dua lagu yang seolah menjadi nafas dari Sekolah Bunga Papua ini. Pada sebuah kesempatan Ia mengungkapkan bahwa budaya Papua perlu dicantumkan dalam kurikulum pendidikan, sehingga generasi Papua dapat mengenal dan mempelajari budaya asli Papua tanpa mengadopsi budaya luar. Baginya, budaya Papua sangat penting untuk di masukan dalam kurikulum pendidikan, sehingga sejak SD hingga perguruan tinggi dapat memahami budaya Papua dengan baik dan benar (Suara Papua, 7 Agustus 2022).
Saat saya menulis esai sederhana ini, malam kudus menjelang Natal 25 Desember 2022. Sejak awal menulis rentetan kalimat esai ini, lagu Natal dan Mambesak saya hidupkan silih berganti. Di malam yang kudus ini, saya ingin mengenang sosok Abner Korwa sebagai seorang pribadi yang sangat berkomitmen dalam menegakkan martabat orang Papua melalui kebudayaan dan pendidikan. Itu semua Ia tunjukkan dengan pengetahuan, sikap, dan praktik laku hidupnya.
Selamat menyanyikan kembali lagu-lagu Mambesak, Bunga Papua dan Aku Anak Papua di sorga Bapak Abner Korwa.
***