- Tersembunyi ujung jalan, hampir atau masih jauh;
‘ku dibimbing tangan Tuhan ke neg’ri yang tak ‘ku tahu.
Bapa, ajar aku ikut, apa juga maksudMu, tak bersangsi atau
Takut, beriman tetap teguh. - Meski langkahMu semua tersembunyi bagiku, hatiku
menurut jua dan memuji kasihMu. Meski kini tak ‘ku nampak,
nanti ‘ku berbagia, apabila t’rangMu tampak dengan kemuliaannya. - Tuhan, janganlah biarkan kutentukan nasibku. B’rilah hanya
kudengarkan keputusan hikmatMu. Aku ini pun selaku kanak-kanak
yang bebal. Bapa jua bimbing aku ke kehidupan kekal. - Dengan bapa aku maju dalam malam yang kelam
ke neg’ri yang tak kutahu dengan mata terpejam …
Itulah lagu berjudul Tersembunyi Ujung Jalan syair dari Wat de toekomst brengen moge, Jacqueline van der Waals (1863 – 1922), terjemahan dilakukan oleh Ishak Samuel Kijne (1899 – 1970), dan lagu oleh John Zundel pada 1870. Lagu rohani dan nyanyian jemaat ini begitu menyentuh dengan makna yang mendalam. Saat hadir dalam Seminar HUT ke-61 Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) di Tanah Papua di Kota Sorong pada 8 Maret 2023, para peserta yang terdiri dari guru, alumni, dan anak-anak sekolah Pengelola Sekolah Wilayah (PSW) Kota Sorong menyanyikan lagu itu dipimpin oleh Jan Ihalauw, mantan Direktur YPK di Tanah Papua.
Itulah lagu penuh misteri yang menjadi salah satu bagian dari nyanyian jemaat Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua. GKI sendiri adalah gereja tertua di Tanah Papua dengan landasan dari pekabaran injil oleh zending oleh Ottow dan Geissler pada 5 Februari 1855 yang kemudian dijadikan sebagai cikal bakal pekabaran injil di seluruh Tanah Papua. GKI sendiri berdiri pada 26 Oktober 1956 dengan memiliki yayasan atau lembaga, salah satunya adalah YPK, selain Sekolah Tinggi Theologia Izak Samuel Kijne dan Universitas Ottow Geisler di Jayapura, Provinsi Papua.
Pada 8 Maret 2023, YPK di Tanah Papua menginjak usianya yang ke-61 tahun sejak resmi berdiri 8 Maret 1962. Sebelumnya berbagai sekolah yang dikembangkan oleh para zendeling dikenal dengan nama sekolah pengadaban atau sekolah rakyat. Kemudian berkembang kembali menjadi Yayasan Persekolahan Kristen dan berubah lagi menjadi Yayasan Pendidikan Kristen, dan hingga hari ini ditambahkan Tanah Papua untuk menunjukkan jangkauan YPK adalah di seluruh wilayah Tanah Papua.
YPK di Tanah Papua dengan embrio sebelumnya adalah bentuk transmisi pendidikan berbasiskan nilai-nilai kekristenan yang mengawali interkoneksi (keterhubungan) di antara sesama orang Papua dan juga dunia. Pengaruh zending dan misi yang menyebarkan agama sekaligus pendidikan dipraktikkan salah satunya oleh Izaak Samuel Kijne yang meletakkan pondasi pendidikan Kekristenan bagi orang-orang Papua. Pengabdiannya mendidik orang Papua melalui sekolah asrama guru di Mansinam, Manokwari dan dilanjutkan ke Miei, Teluk Wondama dalam rentang waktu 1923-1953 merupakan inspirasi bagi dunia pendidikan di tanah Papua untuk mensinergikan nilai-nilai kekristenan dengan budaya Papua.
Izaak Samuel Kijne menggali pendidikan lokal yang berbasis adat dan budaya Papua untuk diadopsinya menjadi bahan pengajaran membaca melalui tiga seri Itu Dia, Djalan Pengadjaran di Nieuw Guinea. Kijne juga menangkap kegemaran orang Papua bernyanyi dengan merekamnya melalui nyanyian-nyanyian dalam Seruling Mas Njajian Pemuda Pemudi dan Perkataanja. Kijne dengan demikian adalah seorang yang multitalenta yang mampu menggali nilai-nilai pengetahuan dan pendidikan lokal Papua yang dipadukan dengan nilai-nilai Kekristenan.
Kijne dengan kemampuannya, ia mengarang Mazmur dan Nyanyian Rohani yang dipakai sebagai nyanyian untuk beribadah bagi orang dewasa, Suara Gembira untuk anak sekolah minggu dan Seruling Emas yang dibuat untuk mengajarkan agar orang Papua mencintai tanahnya. Ia juga menyusun satu buku nyanyian yaitu Mazmur Maranu untuk orang di Wondama. Dengan kata lain Kijne bermaksud secara khusus untuk mendidik orang Papua dalam bidang pendidikan yang akan membuat suatu peradaban baru (Hutabessy, 2013: 41-42).
Merunut dari Ujung Jalan
I. S. Kijne melihat fenomena pendidikan dan kesenian ini, terutama bernyanyi sebagai bagian untuk melihat pengetahuan-pengetahuan komunitas orang Papua dan karakter dari orang Papua sendiri. Ia berbekal pengetahuan dan “panggilan” sebagai seorang pendidik dan belajar untuk memahami apa yang menjadi isi hati dari orang Papua tersebut. Kijne adalah seorang penginjil zending yang berasal dari Belanda, datang dan diutus untuk mengajar dan mendidik orang Papua dahulu melalui sekolah-sekolah peradaban yang dibangun zending pada saat itu. Kijne memadukan sekaligus pendekatan agama, bahasa, dan budaya.
Kijne juga membuat buku yang sangat berguna bagi murid di sekolahnya dan memulai teknik mengajar secara global. Ia mengajar murid yang baru menggunakan buku dengan judul Itu Dia. Cara kerjanya dengan memulai memecahkan kalimat dan menggabungkan kalimat yang ada. Untuk berhitung, ia menggunakan “metode angka” berbaris. Dengan cara tersebut, anak-anak pada saat itu dapat memahami dengan benar pelajaran yang ada.
Ada beberapa masalah juga yang dihadapi oleh Kijne dalam kepemimpinannya sebagai kepala sekolah di Mansinam. Masalahnya ialah tidak adanya sarana dan prasarana seperti asrama-asrama yang yang memadai, pemondokan sederhana untuk tidur yang terbuat dari kayu yang mudah lapuk dan juga sebuah sumur yang amat dalam dan kadang kala mengalami kekeringan. Anak-anak Papua juga dikuasai oleh anak-anak amber (pendatang) yang bersekolah di sana. Dengan alasan dan pengalaman-pengalaman yang ada maka diusulkan pendidikan harus diatur ulang kembali. Anak-anak amber tadi dikirim untuk pulang kembali belajar di daerahnya.
Tujuan utama untuk memindahkan sekolah guru dari Mansinam ke Miei adalah agar anak-anak Papua diupayakan untuk dididik agar hidup secara mandiri, sehingga mereka sendiri dapat berprestasi. Pilihan memindahkan sekolah di Miei ini menjadi momentum yang penting bagi anak-anak Papua pada masa itu untuk berkumpul satu dengan yang lain yang berbeda etnik untuk membayangkan tentang kepapuaan. I.S. Kijne dengan menghimpun generasi pertama orang-orang Papua yang kemudian akan berperan penting dalam bergeraknya roda pendidikan di Tanah Papua. Dari Miei pulalah sekolah guru pertama Papua didirikan dan kemudian akhirnya bertransformasi di berbagai wilayah di Tanah Papua.
Awal mula berdirinya sekolah guru di Miei itu adalah pada tanggal 25 Oktober 1925 Pdt. Izaak Samuel Kijne, Johan Ariks, dan C. M. Gossal tiba di Miei, Teluk Wondama sebuah kapal KPM Belanda (Maskapai Pelayaran Nasional Belanda) dan membawa 35 orang murid yang dipindahkan dari Cursus Volkschool Onderwijzer (CVO) di Mansinam ke Bukit Aitumieri dan kemudian mereka di tempatkan di asrama yang sudah tersedia. (Onim, 2004; Wanma, 2011; Hutabessy, 2013).
Refleksi
I. S. Kijne dalam sebuah karyanya, Pengharapan (Pustaka Rakjat Hollandia-Binnen, 1957) memberikan penafsiran landasan dasar bagi pendidikan kristiani yang dibayangkannya. Saya kutipkan paling tidak tiga hal penting dari buku ini yang patut kita renungkan bersama:
“… Satu hal hendak saja mengemukakan lagi; -perlu sekali perubahanperubahan diselidiki baik-baik, sebab zaman ini berubah lekas, tetapi adalah suatu bahaja besar, jakni dikota perubahan itu berkembang tjepat dan disertai perubahan dasar djuga, tetaoi didusun perlahan-lahan dan barangkali tanpa perubahan dasar. Nanti diantara kota dan dusun akan mendjadi suatu djurang jang lebar dan dalam, kalau kita semua tidak hati-hati betul …” (hlm. 8)
“… Meskipun kita jakin, bahwa perubahan itu perlu, tetapi kita harus hati-hati sekali, supaja didalam masjarakat orang beroleh kesempatan tjukup akan mengakui segala sesuatu dengan hatinja sendiri. Itulah suatu perubahan dasar rohani. Kalau perubahan itu dipaksa sadja, hasilnja hanja lahir dan bukan batin…” (hlm. 79).
“…Terang sekali: pendidikan disekolah harus sedjalan dengan pengembangan masjarakat. Baik disekolah, baik dikampung dasar rohani baru harus bertumbuh bersama-sama. Kalau tidak: ikatan lama rusak; ikatan baru tidak diperhatikan…” (hlm. 80).
Konteks kontemporer kini selayaknya kembali melihat pondasi pendidikan yang diletakkan oleh Kijne yang menjadi landasan bagi YPK di Tanah Papua dengan pembaharuan dalam berbagai aspek. Pendekatan berbasis kampung dengan perpaduan agama, sastra, seni, dan budaya (menari, menyanyi, dan bermain musik) masih sangat penad (tepat) sebagai landasan awal untuk mentransmisikan nilai-nilai pendidikan karakter dan pengetahuan komunitas yang kaya (berkonteks Papua). Esensi ini penting sekali untuk dipikirkan dengan serius untuk merancang orientasi pendidikan Papua yang sesuai dengan jati diri dan identitas orang Papua itu sendiri. Dengan demikian anak-anak Papua tidak akan tercerabut dari akar budaya dan identitasnya. Orang-orang Papua juga akan tersadarkan secara kritis untuk “bangkit dan memimpin dirinya sendiri” berlandaskan akar pendidikan komunitas dan modern sebagai pisau analisis untuk menentukan sikap ke depan.
***