Analisa Harian Naluri Rasisme Kita dan Langgengnya Tatapan Kolonial

Naluri Rasisme Kita dan Langgengnya Tatapan Kolonial

-

Jalan berliku kasus makar yang ditimpakan kepada Victor Yeimo hingga esai ini ditulis pada pertengahan April 2023 seolah tanpa kejelasan berarti. Sidang putusan yang sudah dijadwalkan mendadak ditunda dengan alasan jaksa belum siap. Kasus ini semakin menunjukkan kejanggalan karena jejak aktivisme Victor dalam gerakan pembebasan Papua. Ia yang berorasi menolak rasisme malah dijerat pasal makar karena dianggap memantik kerusuhan pada demonstrasi menolak rasisme yang pecah di Papua pada 19 Agustus 2019 lalu.

Cikal bakal dari kerusuhan demonstrasi anti rasisme tersebut adalah pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang dilakukan oleh sekelompok personal Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 16 Agustus 2019. Asal muasalnya adalah kemarahan personel TNI karena melihat ada bendera merah putih yang dipasang pemerintah Kota Surabaya jatuh di selokan. Asrama mahasiswa Papua ini kemudian dikepung dan secara bergantian Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Ormas berdatangan dengan meneriakkan makian rasis dan melempari asrama dengan batu. Pasukan Brigade Mobil kemudian datang menembaki gas air mata ke arah asrama mahasiswa sebanyak 23 kali dan kemudian menangkap secara paksa 43 mahasiswa Papua di asrama tersebut. Kisah selanjutnya adalah kerusuhan yang terjadi di berbagai kota besar di tanah Papua seperti Manokwari, Jayapura, Sorong, Nabire, Timika, hingga Fakfak.[1]

Negara kelabakan. Tersangka kasus ujaran rasisme di Surabaya memang sudah ditetapkan tapi lambat laun tidak terdengar lagi di publik kelanjutan kasusnya. Sunyi, senyap. Yang justru terus mengemuka dan menjadi perbincangan publik di Papua dan internasional adalah dugaan makar yang disangkakan kepada Victor Yeimo. Selain kelabakan serta kegagapan negara dalam merespon pengepungan asrama dan ujaran rasisme yang kemudian berdampak terhadap aksi demonstrasi anti rasisme berujung kerusuhan tersebut, saya hendak berargumen bahwa akar dibalik kegagapan itu semua adalah langgengnya tatapan kolonial (colonial gaze) negara dan warga negaranya terhadap orang Papua. Hal itu diterjemahkan dengan berlangsungnya ujaran rasisme sebagai naluri negara dan ditransmisikan kepada warga negaranya dalam memandang orang asli Papua. Seperti yang sering kita dengar dalam berbagai kesaksian bahwa rasisme adalah permasalahan “hari-hari” (baca: keseharian) orang asli Papua.

Tatapan menjajah dari negara terhadap orang Papua terakumulasi (tersimpan dan terbentuk) dalam pengetahuan yang sangat diskriminatif yang menandakan bahwa orang Papua lebih rendah dari orang lainnya di negara ini. Ligia Giay dalam esainya yang sangat menyentuh Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua mengungkapkan bahwa reproduksi stigma dan juga pengetahuan yang rasis itu diciptakan oleh negara untuk menunjukkan tatapannya yang menjajah orang Papua. Cikal bakalnya adalah direproduksinya stigma tentang “kekurangan”, “ketertinggalan”, dan dengan demikian pembangunan untuk “kemajuan” menjadi solusinya. Ligia menulis “Pandangan-pandangan ini berfokus pada “kekurangan” orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang “cantik” atau “kurang tampan”, minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang “beradab”. Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini mengulanginya: percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari Kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” jadi tema favorit. Karena berangkat dari “ketertinggalan”, maka pembangunan adalah solusinya.” [2]

Apa yang diungkapkan Ligia tersebut secara terang benderang menunjukkan bahwa cara pandang Indonesia terhadap orang Papua tidak bisa lepas dari corak rezim kolonial yang merancang serta menentukan realitas Papua. Pada sisi lain, orang Papua sendiri tidak memiliki daya dan kuasa untuk merepresentasikan dirinya. Orang Papua dikonstruksikan tidak memiliki sejarah dan pengetahuan, tidak dianggap ada. Hal itulah yang menjadi agenda terburuk rezim kolonial, yaitu dehumanisasi subyek yang dijajah dan pemisahannya dengan sejarah, identitas, pengetahuan, dan kedaulatan atau kendali atas diri dan masa depannya.

Hal ini semakin menunjukkan bahwa rezim kolonial mengontrol dan mengeksploitasi segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dan sumber daya alam bangsa yang dijajahnya. Cara inilah yang oleh Franz Fanon dalam bukunya Black Skin, White Masks (2008) yang bisa menjelaskan kepada bangsa terjajah, penciptaan, pemeliharaan, kekauan, dan “kegelapan” yang dibangun oleh para penjajah terhadap realitas bangsa yang dijajahnya. Tentu ini tidak mudah karena secara diam-diam, bangsa yang dijajah akan menginternalisasi (menyerap) cara dan pola pikir kolonialistik tersebut untuk kemudian dipraktikkannya kepada komunitasnya sendiri. Cara berpikir penjajah itulah yang kemudian diserap dari proses penjajahan tersebut. Situasi ini tercipta dari konteks (menara) pengawasan (panopticon) seperti dalam penjara yang selalu diciptakan oleh rezim penjajah untuk mengintai gerak-gerik para “tahanan jajahannya”. [3]

“Memakarkan” Ekspresi Anti Rasisme

Tampak gamblang bahwa rasisme, kolonialisme, dan sistem (menara) pengawasan (panopticon) adalah instrumen yang saling berkelindan untuk menciptakan berbagai perangkap untuk mematikan ekspresi bangsa yang dijajah. Dengan situasi tersebut, yang terjadi kemudian adalah rangkaian kekerasan dan juga tingkah-tingkah kemunafikan dengan membohongi isi hati bangsa terjajah. Rangkaian kekerasan adalah akibat dari kesadaran sedang dijajah dan kemudian bangkit melawan. Tingkah-tingkah kemunafikan adalah tingkah polah dan strategi orang-orang yang sedang dijajah untuk “menyelamatkan” diri mereka masing-masing serta berlomba-lomba merebut akses ekonomi politik yang mengorbankan komunitasnya sendiri.

Yang tersisa dalam sejarah kekerasan tersebut adalah ingatan tentang penderitaan dan ketertindasan. “Sejarah Papua dimulai pada saat orang Papua menyadari bahwa mereka sedang dijajah sehingga mereka bangkit dan menyatakan tekad dan sikapnya terhadap penjajah.” Pernyataan Tom Beanal kepada Benny Giay (2000:13) sangat jelas menunjukkan bahwa salah satu identitas orang Papua adalah sejarah ketertindasan, penderitaan, dan kekerasan. Stigma makar dan pembungkaman ekspresi diri menjadi salah satu mesin penindas tersebut.

Konstruksi tentang stigma makar, secara khusus terhadap orang Papua, berakar pada bangunan pengetahuan yang diskriminatif terhadap kebudayaan orang Papua. Hal ini diperparah dengan praktik di lapangan menghadapi aneka ekspresi orang Papua yang penuh dengan kekerasan. Konstruksi kebudayaan tersebut melahirkan perlakuan yang tidak manusiawi karena kesadaran bahwa ada kasta dalam kebudayaan, ada kebudayaan atau harkat dan martabat manusia yang lebih tinggi dibandingkan manusia yang lain. Ini berlangsung secara sadar atau tidak, diakui atau tidak telah masuk dalam cara berpikir dan bertingkah laku di negara ini terhadap orang Papua.

Oleh sebab itulah kekerasan bukan hanya persoalan (kekerasan) fisik, tetapi menyangkut ingatan manusia dalam merespon dan menafsirkan tragedi kekerasan yang menimpanya. Dan dengan demikian, tragedi kekerasan tidaklah bisa “didisiplinkan” atau diatur oleh kemauan kekuasaan. Ingatan akan kekerasan akan terus menyebar dan hidup dalam keseharian masyarakatnya. Dalam konteks Papua, tragedi-tragedi kekerasan inilah yang hidup menyejarah bersama kehidupan rakyat Papua di kampung-kampung baik di pesisir, rawa-rawa, pegunungan maupun di lembah-lembah. Mereka menjadi bagian dari ingatan subyektif di tengah masyarakat yang kemudian tumbuh menjadi ingatan kolektif dan sosial.

Ingatan sejarah seperti itulah yang tersimpan di kehidupan masyarakat biasa yang berhubungan pengalaman mereka terhadap tragedi kekerasan yang masuk ke dalam rumah dan kehidupan pribadi mereka. Narasi-narasi yang diungkapkan seperti di atas tidak pernah dibukukan dan dicatat untuk disebarluaskan menjadi pengetahuan dari generasi ke generasi maupun bagi masyarakat luas. Nada dasar dari segala narasi tersebut adalah: kami dinilai bukan manusia atau warisan ideologis penting Filep Karma dalam bukunya Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua (2014). Artinya adalah orang asli Papua tidak diperlakukan sebagai manusia tetapi sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek pengembangan ekonomi, obyek turisme, dan yang lainnya. Kenyataan itulah yang tersusun selama puluhan tahun dan menggelora sebagai sejarah bangsa Papua.

Apakah arah ke depan dari gerakan menentang rasisme ini? Bagi saya satu yang pasti adalah mengidentifikasi narasi pembebasan yang mengelaborasi penindasan, keterasingan, kesadaran, kebangkitan, perlawanan, dan perjuangan dari orang Papua itu sendiri. Seperti juga Ligia Giay dalam penutup esainya yang sangat penad dengan situasi Papua kontemporer: mengaburkan sekaligus mengubur naluri rasisme negara dan warga negaranya dengan pembangunan, pemekaran, dan ‘gula-gula’ kesejahteraan. Kisah-kisah yang semakin menunjukkan bahwa ke depannya, kita akan mengulangi kembali kisah pembangunan dan pemekaran yang rasis. Jika demikian situasinya, tumbuhnya narasi-narasi pembebasan pasca kolonial bagi orang Papua menjadi sebuah keniscayaan.

***

Referensi:

[1] Lebih jauh lihat: https://tirto.id/kegagapan-indonesia-menangani-rasisme-terhadap-orang-papua-egK6 (diakses 16 April 2023).

[2] Lihat: https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 (diakses 12 April 2023).

[3] Lihat Cynthia R. Nielsen (2011): Resistance through re-narration: Fanon on deconstructing racialized subjectivities, African Identities, 9:4, 363-385. DOI:  http://dx.doi.org/10.1080/14725843.2011.614410

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan