Analisa Harian Melihat Mama-Mama Wambon Menolak Kapitalisme

Melihat Mama-Mama Wambon Menolak Kapitalisme

-

Bosman Batubara mengulas salah satu buku yang diterbitkan oleh Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua

Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua siap menerbitkan buku Merebut Kendali Kehidupan: Perjuangan Orang Wambon di Boven Digoel Menghadapi Serbuan Investasi. Buku ini merupakan satu dari tiga buku berdasar penelitian yang akan diterbitkan oleh Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua.

Dua buku lainnya, yang akan segera terbit, bertajuk Geliat Kampung Tersembunyi: Siasat Penghidupan dan Perubahan di Teluk Demenggong, Kabupaten Jayapura dan Bayang-Bayang Kerentanan: Tantangan Penghidupan Orang Sowek di Supiori.

Seperti yang disorot antropolog Veronika Kusumaryati dalam Epilog, buku ini melihat masyarakat adat bukan sebagai entitas yang statis, tapi terus-menerus dalam proses menjadi dan dikontekstasikan oleh berbagai aktor (hal. 179). Melalui etnografi, buku ini mencoba memahami masyarakat adat yang dinamis itu dari cara pandang masyarakat adat sendiri.

Adapun buku Merebut Kendali Kehidupan: Perjuangan Orang Wambon di Boven Digoel Menghadapi Serbuan Investasi ditulis oleh Elvira Rumkabu, Apriani Anastasia Amenes, Asrida Elisabeth, dan I Ngurah Suryawan.

Para penulis membeberkan bagaimana meretasnya kapitalisme dalam bentuk investasi di sektor tanaman komoditas karet, perusahan kayu, perkebunan sawit, dan pasar modern sejak era kolonial hingga pasca kolonial di Boven Digoel, Papua.

Investasi berbenturan dengan model kehidupan yang relatif otonom dari orang Wambon yang tinggal di sana. Perluasan kapitalisme yang terus-menerus itu menyedot semua hal ke dalam sirkuit perputaran modal yang semakin lama semakin  besar dan terpusat.

Dampaknya meminggirkan peran dan hak orang Wambon, terutama perempuan dan anak-anak, misalnya dalam hal akses terhadap air, perempuan, dan anak-anak yang paling terdampak. Mereka harus mengeluarkan energi yang secara konsisten relatif semakin lebih besar untuk mencukupi kebutuhan air seluruh anggota keluarga.

Buku ini hadir pada saat yang tepat dengan suatu cara pandang yang membuat permasalahan menjadi lebih sederhana untuk dipahami: bahwa dua model pembangunan sedang berbenturan, dimana yang satu meminggirkan yang lain.

Di satu sisi, penetrasi kapitalisme melalui pembangunan yang bersifat top-down, dengan atau tanpa dukungan kuat dari negara, telah meminggirkan cara hidup dan cara pandang orang Wambon yang berada di sisi lain. Benturan itu diperhatikan dengan secara kritis menginterogasi ulang pembangunan top-down, yang menurut para penulis lebih ditujukan untuk melayani “kapitalisme maupun oligarki” (hal. xxv), sembari meminggirkan cara hidup orang Wambon.

Interogasi ulang secara kritis itu dipandu oleh—sekaligus dalam prosesnya memandu para peneliti untuk sampai pada—sebuah pertanyaan induk tentang model pembangunan yang berbeda: bagaimana pengelolaan sumber daya alam  yang adil dan berkelanjutan menurut masyarakat adat? (hal. xxvii).

Krisis yang disebabkan oleh ekspansi tanpa batas kapitalisme ini adalah masalah rill. Ia muncul dalam wajah-wajah yang berbeda, seperti krisis politik demokrasi perwakilan yang dikoloni oleh oligarki yang mengontrol proses pembuatan keputusan sesuai dengan kepentingannya.

Krisis lingkungan, berupa rusaknya ekosistem-ekosistem tempat manusia dan non-manusia hidup karena diserbu investasi (yang merupakan bagian dari kepentingan para oligarki itu). Juga krisis sosial berupa semakin memburuknya kehidupan manusia yang terdampak.

Kasus orang Wambon dalam buku ini, tak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Aktivitas sehari-hari mama-mama dalam merawat manusia dan non-manusia adalah alternatif terhadap model pembangunan kapitalistik yang top-down dan meminggirkan itu.

Di satu sisi, pembangunan kapitalistik top-down terus melaju, ujungnya adalah peminggiran masyarakat adat di Boven Digoel, terutama mama-mama dan anak-anak. Di sisi lain, kegiatan sehari-hari orang Wambon membatasi proses perluasan kapitalisme; misalnya dalam kontestasi mengakses sumber daya seperti hutan.

Salah satu contoh keseharian praktik merawat mama-mama Wambon adalah menokok sagu sebagai bagian dari sistem semi-ekonomi kedaulatan pangan. Menokok sagu memiliki berbagai langkah.

Sagu yang mereka totok tidaklah tumbuh dengan sendirinya di dalam hutan, tapi ditanam, dan barang tentu di satu atau lebih titik: Mama Imelda adalah seorang pakar dalam menokok sagu. Ia dan kawan-kawan menokok sagu yang ditanam oleh mendiang mamanya.

Pertama sagu harus ditebang dulu, kemudian dibersihkan kulitnya yang keras dengan kapak panjang. Baru kemudian sagu bisa ditotok. Sagu yang sudah ditebang tidak semuanya diambil, tapi disisakan barang sedikit untuk mama dari Mama Imelda yang sudah menanam sagu yang mereka totok.

Contoh yang lain adalah membuat noken, atau yang dalam bahasa Wambon disebut eno. Membuat sebuah eno membutuhkan waktu 1-2 minggu (hal. 116). mama-mama Wambon membuat eno dari kulit kayu genemo yang dipintal dan kemudian dirajut. Mereka mengerjakannya secara berkelompok dengan jumlah anggota 8-9 orang. Eno dijual di pasar atau pun kepada para tamu yang datang.

Untuk terus dapat menokok sagu dan membuat eno, keberadaan pohon sagu dan genemo harus tetap lestari. Disini peran hutan vital. Sebab di dalamnya terdapat bahan makanan seperti sagu, juga bahan pembuat eno. Mama Sarafia yang dikutip dalam buku ini (hal. 124), secara singkat, tepat dan tajam mengungkapkannya: “Hutan menyimpan semua makanan.”

Pergantian fungsi hutan dari penyimpan makanan orang Wambon menjadi perkebunan untuk komoditas global (karet, sawit) inilah contoh kongkret material-geografis investasi yang telah meminggirkan cara hidup orang Wambon yang semi-otonom itu. Karena itulah Mama Yosefa “menolak perusahan” (hal. 118 dan 165). Sikap penolakan Mama Yosefa ini terungkap melalui kerja etnografi yang dilakukan para penulis buku ini dalam usaha mereka memahami/menjelaskan sudut pandang Mama Yosefa.

Kerja merawat yang dilakukan mama-mama dalam menolak perusahan itu hadir, misalnya, dalam bentuk aktivisme yang ekspresif sekaligus spiritual dengan sembahyang, doa, dan nyanyian dalam memikul dan memasang Salib Merah di Simpang. Karena Salib Merah yang dipasang di Simpang itu, “ada isinya”, yaitu “Tuhan Yesus” yang “akan melindungi” (hal. 171) orang Wambon dari serbuan investasi.

Mengingat semakin parahnya krisis kapitalisme yang hadir dalam berbagai bentuk (misalnya krisis politik, lingkungan, dan sosial), kerja-kerja merawat kehidupan seperti yang sudah dilakukan oleh mama-mama Wambon dalam aktivitas sehari-hari mereka ini sangat mendesak untuk bukan hanya sekadar diapresiasi, tapi juga diperdalam dan diperluas.

Jawaban terhadap pertanyaan kunci buku ini (bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan menurut masyarakat adat) bisa didekati dengan cara, salah satunya, menjadikan kerja-kerja keseharian merawat kehidupan oleh mama-mama masyarakat adat Wambon sebagai satu proses produksi pengetahuan dari mana pembangunan yang merawat bisa dirumuskan bukan hanya secara pragmatis, tapi juga terprogram.

***

Catatan: tulisan ini awalnya dimuat di Majalah Tempo pada Minggu, 16 April 2023. Dimuat lagi disini untuk tujuan propaganda dan pendidikan di Papua.

Bosman Batubara
Penulis adalah peneliti di Human Geography and Spatial Plaanning Departement, Utrecht University

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan