Analisa Harian Divonis Ringan, Bisakah Victor Yeimo Menggugat Hakim?

Divonis Ringan, Bisakah Victor Yeimo Menggugat Hakim?

-

Jumat, 5 Mei 2023, Matius SH., MH. Hakim yang memimpin perkara dengan nomor 376/Pid,Sus/2021/PN Jap pada 12 Agustus 2021 membaca vonis delapan bulan penjara dipotong masa tahanan 6 bulan kepada sang terdakwa. Sang terdakwa Pidana Khusus yang divonis delapan bulan dipotong masa tahanan adalah Juru Bicara (Jubir) Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), yakni Victor Frederik Yeimo yang penangkapannya menyita perhatian masyarakat Papua hingga internasional.

Vonis yang lebih ringan dari tuntutan yang buat Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 3 tahun penjara tersebut disambut dengan penuh kemenangan oleh kami sahabat Victor Yeimo yang selama ini melakukan aksi dalam berbagai macam bentuk untuk memintanya dibebaskan tanpa syarat. Kami merasa bahwa dengan vonis yang lebih rendah dari tuntutan JPU, itu membuktikan idealisme kami bahwa kebenaran mungkin bisa disalahkan tapi tidak bisa dikalahkan.

Polisi dapat menangkap Victor Yeimo dan mungkin nanti menangkap kami juga, lalu JPU membuat tuntutan hukumnya untuk menyalahkan kami. Tapi dengan kebenaran yang kami yakini adalah pondasi utama perjuangan rakyat Papua, kami pasti menang. Dan vonis delapan bulan penjara dipotong masa tahanan yang diterima Viki—sapaan akrab kami kepada salah satu pemimpin gerakan perjuangan pembebasan Papua merdeka berwawasan luas itu—adalah bukti bahwa, kami pasti menang. Begitulah kayakinan yang menguat di dalam hati dan pikiran kami.

Kini idealisme yang selalu menguat dalam hati dan pikiran kami, yang menjadi dasar kami terutama saya secara pribadi dalam memaknai kemenangan atas vonis yang lebih rendah yang didapat Victor Yeimo sedang diuji ketika saya dalam memaknai kemenangan terhadap vonis yang lebih rendah dari tuntutan JPU itu, saya mencoba menempatkan posisi saya sebagai Victor Yeimo.

Secara idealis, saya menempatkan posisi saya sebagai Victor untuk dapat memaknai kemenangan Victor di ruang pengadilan sebagai kemenangan saya juga. Secara idealis saya meyakini diri saya bahwa kebenaran yang menjadi pondasi perjuangan kami yang sering kali disalahkan oleh negara Indonesia sebagai kesalahanlah adalah kunci kemenangan Victor Yeimo dengan menerima vonis rendah.

Namun sayang, idealisme saya yang menggebu-gebu. Bahwa kebenaran bisa disalahkan tapi tidak bisa dikalah terasa ditantang atau diuji untuk membuktikan itu secara hukum. Hal itu terjadi setelah Latifah Anum Siregar yang juga tergabung dalam Koalisi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua yang mendampingi Victor Yeimo dalam kasusnya itu, mengatakan bahwa pasal yang digunakan untuk membuat putusan hukum bagi Victor Yeimo ternyata sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Melalui media Jubi, Latifah Anum Siregar mengatakan, “Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura pada Jumat menyatakan Viktor Yeimo bersalah melanggar Pasal 155 ayat (1) KUHP. Padahal Pasal 155 KUHP telah dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak lagi mempunyai kekuatan Hukum.”

Apa yang dikatakan oleh salah satu pengacara HAM senior di Papua itu seakan menyiram wajah saya dengan air. Menyadarkan saya dari mabuk idealisme sekaligus menantang idealisme saya yang menggebu-gebu, yang memaknai kemenangan Victor Yeimo sebagai kemenangan saya juga. Bahkan untuk lebih mendekatkan kemenangan itu menjadi kemenangan saya juga, maka saya menempatkan diri saya sebagai Victor Yeimo, akibatnya saya merasa sangat diuji.

Saya merasa sangat diuji dengan pertanyaan di dalam hati dan pikiran saya sendiri. Apakah saya akan melakukan banding setelah mengetahui bahwa pasal yang digunakan adalah pasal yang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Atau saya akan menerima putusan itu dengan senang hati dan menganggapnya sebagai kemenangan karena vonisnya ringan.

Saya yang mencoba menempatkan diri saya sebagai Victor Yeimo yang menanggung akibat dari aksi demonstrasi protes rakyat Papua yang dihina sebagai monyet, merasa sangat dilematis. Karena harus memilih di antara mempertahankan idealisme bahwa kebenaran bisa disalahkan tapi tidak bisa dikalahkan dengan membuat banding atas vonis yang ilegal itu untuk membuktikan idealisme saya. Tapi juga untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah sehingga demi hukum dan kebenaran seharusnya saya divonis bebas.

Atau patuh menerima putusan yang ilegal itu demi bebas dari penjara dalam waktu dekat agar bisa berjumpa dengan orang-orang terkasih dan juga sahabat-sahabat seperjuangan, untuk dapat menyusun siasat-siasat perjuangan bersama guna melawan balik. Ini pilihan yang dilematis juga di saat perjuangan membutuhkan pemimpin yang memiliki prinsip tangguh dalam perjuangan. Begitulah kata otak saya merespon dua pertanyaan itu. Tapi suara hati saya berbisik bahwa menerima vonis bersalah tanpa upaya melawan balik adalah penghianatan terhadap idealisme dan perjuangan.

Pada saat otak dan hati saya berdialog tentang vonis yang ilegal itu dan benar-benar menempatkan saya pada posisi sangat dilematis. Jiwa saya menyadarkan saya. Bahwasanya bahwa, saya bukan Victor Yeimo, saya hanyalah sahabatnya (atau kamrad dalam istilah orang-orang kiri) yang kapan saja demi kepentingan politik bisa dihianati atau menjadi lawan dalam pertarungan memenangkan ide dan konsep dalam perjuangan. Sehingga seharusnya saya berpikir bagaimana caranya menguatkan hati dan mengisi otak saya secara pribadi dengan nilai-nilai perjuangan dan mentalitas perjuangan yang ditinggalkan parah tokoh berhati baja dalam menjalani persidangan seperti: Thomas Wanggai dan Fillep Karma. Agar dikemudian hari apa bila saya ditangkap lalu ditahan, kemudian divonis bersalah, saya tahu apa yang harus dibuat untuk menegaskan idealisme dan perjuangan saya.

Apa lagi ketika vonis yang diberikan kepada saya bukan saja ilegal sebagaimana vonis yang sekarang ini dialami Victor Yeimo, yang menurut Anum Siregar, bahwa Pasal 155 ayat (1) KUHP tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Tetapi juga apa bila vonis hukum yang dijatuhi tidak dapat dibenarkan secara hukum dan prinsip hukum itu sendiri. Maka saya harus mengambil langkah hukum tanpa mengorbankan idealisme saya dan perjuangan rakyat Papua hanya demi menghirup udara bebas.

Langkah itu harus saya ambil karena ketika suatu saat nanti apa bila saya berada dalam posisi yang dialami Victor Yeimo sekarang ini, dan tidak mengambil langka hukum, itu sama halnya dengan saya menerima putusan hukum yang ilegal itu. Dan ketika saya menerima putusan hukum yang ilegal seperti itu atau pun menerima vonis hukum yang tidak dapat dibenarkan secara hukum tanpa mengambil langkah hukum yang berarti. Apa lagi langkah yang diambil menyikapi vonis hukum yang ilegal adalah langka politik untuk menerima putusan. Itu bukan saja saya menghianati idealisme saya. Tapi itu menjadi sesuatu yang sangat kontradiksi dengan idealisme dan prinsip yang dilihat publik dalam menilai saya bahwa saya adalah pejuang.

Ya, begitulah kata jiwa saya berbisik kepada hati dan otak saya. Bahwa ini adalah ujian bagi saya nanti, dan ujian bagi Jubir Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Frederik Yeimo, sekarang ini. Apakah Victor Yeimo dapat melakukan banding atau tidak? Bila tidak melakukan banding maka sama halnya dengan menerima keputusan hukum yang ilegal itu sebagai pembenaran hukum kolonial di Papua yang dilawan selama ini.

Tapi juga secara logis terdapat kontradiksi ketika menolak Perjanjian New York atau New York Agreement yang dibuat Belanda, Indonesia, dan Amerika pada 15 Agustus 1962 di New York, Amerika Serikat tanpa melibatkan orang Papua dengan dalil bahwa perjanjian itu ilegal karena dibuat tanpa melibatkan orang Papua. Sementara dalam kasus hukum yang kami alami dengan putusan hukum yang jelas-jelas tidak memiliki kekuatan hukum atau jelas-jelas ilegal, kitong terima tanpa mengambil langkah hukum.

Terlepas dari perdebatan pribadi antara hati, otak, dan jiwa saya dalam menilai dan memaknai vonis yang diputuskan kepada sahabat saya yang secara politik saya anggap sebagai salah satu pemimpin rakyat bangsa Papua di jalan perjuangan Papua merdeka, saya memiliki pendapat lain kenapa Victor Yeimo bisa divonis dengan Pasal 155 ayat (1) KUHP. Pasal yang tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak ada di dalam tuntutan JPU dan tidak ada juga dalam Nota Pembelaan Kuasa Hukum. Kenapa bisa?

Menurut pendapat saya dari hasil diskusi dengan seorang praktisi hukum di Papua, bahwa, pasti ada tekanan besar dari negara kepada hakim Matius SH., MH. untuk harus dapat memberikan hukuman kepada Victor Yeimo apa pun caranya dan apa pun alasannya. Akibat dari tekanan negara yang besar itu maka Hakim yang memimpin perkara Victor  dengan terpaksa menggunakan pasal ilegal untuk dapat menjatuhkan hukuman.

Penggunaan pasal yang ilegal seperti itu tidak dapat dibenarkan secara hukum karena melanggar asas legalitas, terutama asas kepastian hukum dan dakwaan sebagai kerangka atau titik tolak bekerja. Sehingga menghilangkan hak Victor Yeimo sebagai terdakwa untuk membela diri terhadap dakwaan baru di luar dari dakwaan yang dituduhkan.

Jadi dalam hal ini menurut saya, Victor Yeimo kemungkinan tidak dapat melakukan banding karena haknya sebagai terkdakwa telah dihilangkan dengan dakwaan baru yang dibuat oleh Hakim. Tapi Victor Yeimo sebagai terdakwa dapat menggugat hakim dengan cara mencari dasar hukum yang melarang Hakim membuat vonis di luar dakwaan. Ini menjadi pertanyaan juga, apakah Victor Yeimo mau melawan hukum negara yang dibilang rasis kepada orang Papua atau tidak? Atau mau melawan Hakim yang menjeratnya dengan pasal yang berpotensi menghilangkan hak konstitusinya sebagai terdakwa yang dapat membela diri di depan hukum yang dinilainya rasis kepada orang Papua.

***

Philipus Robaha
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan